"Kakak!" panggil Nicky dari kejauhan, membuat wanita yang sedang fokus pada laptopnya menoleh. Terlihat Nicky yang berjalan menghampiri wanita itu sambil menggandeng Puspita yang tampak malu, tapi tidak melepaskan tangannya. Mereka berada di kedai kecil penjual es kepala dan es lain-lain, tempatnya yang barada di bawa pohon kelapa langsung tak membuat sang pemilik toko takut terkena kalau pelanggannya terkena bahan yang ia jual. Terlihat selain wanita itu ada juga dua teman laki-laki dan satu orang wanita. Meja yang mereka duduki cukup memanjang jadi tak masalah berapapun orang yang bergabung. Wanita itu tersenyum sambil menyangga kepalanya di meja. "Ada apa ini, kalian sudah jadian?" Nicky menatap tajam pada wanita itu yang membuat kakak perkuliahannya tertawa jail di susul teman-temannya yang tersenyum. "Siapa mereka?" tanya teman laki-laki di sampingnya, wajahnya pun mirip dengan wanita itu, kebangsaan Eropa. "Adik kuliahku dulu, dan di sampingnya kekasihnya." Puspita terse
"Maaf kak, kamarnya hanya tersisa satu," ucap resepsionis hotel dengan mimik tak enak hati pada dua orang di depannya. Nicky menatap gadis di sampingnya, lalu kembali menatap wanita di depannya. "Apa ranjangnya terpisah?"Sang resepsionis melihat data kamar yang tersisa itu, lalu perasaan sedih kembali tergambar di wajahnya. "Maaf kak, ranjang tidak terpisah, jadi bagaimana?" Nicky menghela nafas, dia mendekati gadis kecil di sampingnya. Hari sudah malam dan mereka butuh istirahat, setelah siang berjalan-jalan di beberapa tempat untuk foto-foto atau bermain, lalu setelah menonton film. Membuat dua orang itu tak sadar kalau sudah larut, dan berakhir di sini. "Jadi bagaimana?" Puspita menatap ragu pada Nicky. "Apanya om?" "Hanya ada satu kamar dan satu ranjang, kamu mau atau tidak?" Puspita terdiam beberapa detik, ia tak mau satu ranjang, walau ia masih terhitung belia tapi tetap saja dia ini anak gadis yang beranjak dewasa. Walau ia yakin pria di depannya tidak akan macam-macam,
"Tiga." Wajah Nicky mendekat kearah gadis itu, membuat Puspita menutup matanya dengan kencang, mulutnya pun tertutup rapat. Ia yakin Nicky sudah merasakan detak jantung tak beraturan kencangnya itu, tak lupa pipinya yang panas membuat malunya semakin bertambah saja. Selang beberapa detik, Puspita merasakan tubuhnya ringan lalu ia membuka matanya untuk tau apa yang terjadi, Nicky sekarang menaikkan selimut guna menghangatkan gadis itu, setelah mengambil bantal yang ada di bawah. "Tetap diam di sana, atau om akan menyuruhmu tidur di dalam mobil, paham?!" ujar Nicky dengan wajah serius, saat hendak pergi untuk kembali melakukan aktivitasnya Puspita menarik lengan bajunya. Tentu saja Nicky menoleh. "Ada apa?" "Om, om tidur aja di kasur." Mimik Nicky yang tadi mulai melembut kembali tak bersahabat. "Om sudah bilang, biar om saja yang tidur di sofa, lagipula tidak baik untuk kamu!" "Maksud Puspita kita tidur bareng, satu kasur." Raut wajah pria itu kembali berubah, kali ini tersenyu
Tok, tok, tok! Sebuah ketukan membuat seorang wanita yang baru saja terlelap kembali bangkit dari tidurnya, sambil sesekali ia menguap kala mendekati pintu. Pintu terbuka memperlihatkan seorang pria yang menggendong gadis yang begitu nyenyak tidur sambil memeluknya. Mata wanita itu melotot kala melihat anaknya yang tertidur di gendongan majikan mudanya. "Astaga Puspita."Kala ibunya akan mengambilnya, Nicky tak kunjung melepaskannya. "Bi, Puspita cukup berat, kalau nanti bibi gendong jatuh gimana?"Nicky menatap ragu wanita yang sudah melahirkan anak itu, hingga pad akhirnya Ibu berjalan masuk membuka pintu untuk pria itu mengantarkan anaknya hingga masuk kamar. Pria tampan itu meletakan Puspita ke kasur, dia menaruh bantal guling di sampingnya yang langsung di balas pelukan dari gadis itu. Setelahnya dia memberikan selimut pada Puspita, melihat perhatian yang tak pernah dia berikan pada anaknya membuat ibu Puspita menatap Nicky cukup heran. "Tuan muda!" Nicky menoleh. "Iya Bi?"
"Jawab jujur, kamu ngapain aja sama Om kamu itu?" tanya ibunya sambil melotot, sontak Puspita mundur kebelakang karena terkejut karena ibunya tiba-tiba mendekat. Mata wanita yang sudah melahirkan itu kini melihat kebawah tepat di area miliknya, Puspita menutup hal itu karena merasa malu. Tentu saja ibu Puspita semakin curiga saja pada anaknya. "Ngapain di tutup?" Sekarang keduanya masih di kamar Puspita, jam sudah menunjukkan pukul 9 pagi sehingga suasana di luar amat terik juga panas. "Malu mah." "Ngapain malu? Kamu lahir aja mama udah lihat punya kamu kok," balasnya lebih Sewot."Mah Puspita udah gede mah." "Oh jadi karena kamu udah gede, kamu bebas ngapain aja?" tanya ibunya yang seperti ingin sekali membunuh anak yang ia besarkan. Lagipula dia sendiri yang mengizinkan Puspita untuk ikut, dan sekarang ia malah di interogasi seakan ia baru saja melakukan kejahatan besar. "Mama tuh apa-apa sih? Marah-marah gak jelas, Puspita gak ngapa-ngapain kok sama Om, cuma--" Puspita men
Clek! Pintu terbuka menampakkan Nicky dengan kemeja biru tua yang tampak sangat tampan persis seperti sang ayah. Ada 3 orang di dalam ruangan bergaya klasik itu. Ayahnya, seorang perempuan dan satu pria yang umurnya mungkin sebaya dengan ayahnya. "Perkenalkan dia Nicky! Anak pertama saya!" ucap Ayahnya, Nicky masuk setelah menutup pintu. Ia tak tau apa yang akan terjadi tapi perasaan mengatak tak enak kala melihat perempuan cantik di sisi ayahnya itu. "Nicky! Ini pak Harto kolektor barang antik dan ini Stevani anaknya, dia juga akan kuliah di universitas yang sama dengan kamu nanti." Mata Nicky memincing pada ayahnya, lalu setelah dia tersenyum pada kedua orang asing itu. Wanita itu merapihkan rambutnya ke belakang telinga dengan wajah malu, sedangkan Nicky baru saja duduk di samping pak Harto. "Pah jadi ada apa? Aku rada sibuk hari ini, jadi maaf gak bisa lama."Harto tertawa cukup renyah, lalu memegang pundak kiri Nicky dengan wajah bersahabat. "Kamu membantu salah satu rumah
Mobil terparkir area rumah sakit, membuat orang di dalamnya menghela nafas panjang, tangannya kini menutup mata, guna menetralkan pikirannya yang kacau. Jika bisa ia lebih baik tak pulang saat itu, ketika bersama dengan Puspita hari lalu membuat dia merasa sangat hidup. Segala kerumitan dunia hilang begitu saja jika bersamanya. Tapi kali ini dia harus menjauh dari gadis manis itu, bagaimana ia bila melakukannya? "Sial! Sial! Sial!" ucapnya sambil memukul-mukul setir cukup keras, namun kala ia menoleh kearah pintu mobil Nicky terkejut dengan Puspita yang ada di sana.Tepatnya di jendela mobil dengan posisi yang mengintip kedalam. Kaca itu hanya dapat melihat dari dalam, sedang diarea luar tak terlalu. Pintu mobil terbuka sedikit membuat gadis yang tadinya mengintip untuk mengetahui ada orang di dalam, sekarang terkejut setengah mati. "Om?" panggil Puspita yang tak lama Nicky keluar dengan wajah datarnya. "Ada apa?" tanya Nicky yang membuat Puspita melihat tangan kirinya yang meme
"Archer!" panggil seorang wanita yang begitu familiar, tapi nada suaranya terdengar marah. Pria paruh baya yang di panggil namanya itu menoleh, melihat istri yang tertatih-tatih mendekat kearahnya. "Ada apa? Hari ini aku gak mood untuk bertengkar Emery." "Lalu kenapa kamu menjodohkan Nicky begitu saja?" tanya sang isteri yang terlihat tak terima dari raut wajahnya. "Tau dari mana kamu?" tanya pria itu, ia rasa belum bicara apapun pada wanita itu, atau Nicky. Tapi saat ia telepon lagi sebelum pulang anak itu masih sibuk di ruang sakit. Atau lewat telepon? Anak sialan memang, dia tau kelemahannya. "Anak gadis itu tadi datang juga membawa makanan, yang begitu banyak." "Kalau begitu bagus, dia tau menyenangkan calon mertuanya." "Archer aku bahkan belum tau apapun dan anak itu main sok akrab saja. Aku sama sekali tak setuju jika dia bersama putraku.""Anak itu akan kuliah bersama Nicky, jika mereka bersama maka itu akan sangat luar biasa Emery.""Tapi yang aku tau, Nicky hanya ingin
Saat ini keduanya melihat Archer dengan tatapan kasihan, ayah Nicky betul-betul kehilangan akal setelah kematian mendingang isterinya. Terlihat bingkai foto tanpa kaca yang terdapat foto ibu Nicky yang tersenyum lebar membuat keduanya saling bertatapan, dokter bilang tak ada perubahan sama sekali selama masa pengobatan, membuat mereka tak tau harus apa. Puspita menatap pria di sampingnya iba, dia mengelus lengannya pelan. Gadis itu tak bisa berkata apapun jika situasinya seperti ini, kenyataan memang amat pahit bagi pria itu. Orang yang kerap kali tersenyum lembut itu, sekarang memiliki kehidupan yang kelam, yang tak pernah orang lain bayangkan. Ibunya meninggal karena kanker yang dia derita selama 5 tahun dan itu tanpa pengetahuan semua orang, bahkan sebelum Nicky kembali melanjutkan S2nya di Singapura penyakit wanita itu sudah mulai terlihat dan sialnya dia juga sedang mengandung adik Nicky. Kematian yang mendadak dan tanpa menduga, membuat 4 orang terluka secara bersamaan namu
“Mentalnya terganggu, membuat dia seperti ini. Karena saya bukan dokter kejiwaan dan ini bukan rumah sakit seperti itu, saya sarankan untuk membawanya ke rumah sakit jiwa untuk penanganan lebih baik, hanya ini yang bisa saya sarankan, saya permisi!”Nicky terduduk di kursi tunggu, dimana ayahnya sekarang mengamuk di dalam kamar pasien VVIP yang mereka minta. Ketiganya hanya bisa menghembuskan nafas kasar mendengar apa yang dikatakan dokter, dan Puspita menatap pria itu dengan iba. Sudah ibunya tiada sekarang ayahnya yang kacau balau pasti pikiran begitu runyam saat ini. Sedangkan Angga menatap Nicky dengan tatapan serius. “Tuan muda! Dikarenakan Tuan Archer mengalami hal ini, sebaiknya anda memegang perusahaan terlebih dahulu sampai beliau dinyatakan sembuh.” Puspita menatap tak paham pada majikannya. “Tuan Angga, apa ini tidak terlalu terburu-buru? Bagaimanapun Om baru saja terkena musibah yang bertubi-tubi.” “Saya tau, tapi perusahaan tetap berjalan dan saya sebagai tangan kanan
“Kakak pita!” tangis dua anak lelaki yang baru saja kehilangan ibunya, Puspita sengaja datang kemari untuk menenangkan dia bocah itu. Dan ternyata benar mereka masih menangis meratapi kepergian ibu mereka, dua anak yang masih kecil itu malah mendapatkan kenyataan pahit yang begitu menyiksa jiwa polos mereka. Puspita segera memeluk keduanya, dan menenangkan tangisan mereka. “Kenapa kalian terus menangis, hhhmm? Ini sudah malam sebaiknya kalian tidur.” “Hiks! Kami tidak bisa tidur karena mama gak ada, huuuaa. Mama hiks, mama hiks,” tangis Vano yang begitu menyayat hati, Puspita tak tega melihat mereka dia serasa ingin menangis juga, tapi jika ikut melakukan hal itu makan suasana akan semakin kacau. “Vano! Vino! Dengar kakak! Mama gak kemana-mana! Dia hanya sekarang pindah tempat.” “Pindah tempat?” tanya Vino yang merasa bingung dengan ucapan wanita muda di depannya. Puspita tersenyum. “Iya, saat ini mereka ada di hati kecil kalian, mama akan selalu ada sama kalian dan mama gak per
Pemakaman ini Nicky berlangsung dengan air mata, ucapan menyesal bercampur tangisan kerasa dari bibir kecil adik kembar Nicky, begitu terdengar pilu memecahkan keheningan yang ada di sana. Puspita juga ikut terisak, dia mengenang semua kebaikan wanita yang sudah ia anggap sebagai ibu kedua, walau harusnya tidak pantas namun sikapnya membuat dia tak pernah percaya apa yang terjadi. Puspita berdiri cukup jauh dari pemakaman itu, lagipula dia bukan siapa-siapa untuk maju paling depan. Ia sekarang melihat Nicky yang terdiam mematung dengan air mata yang kering, tentu saja Puspita merasa lebih sakit lagi melihatnya. Pasti pria itu sangat terpukul, Puspita yang melihatnya kembali tak dapat menahan tangisannya. Ibu dan ayahnya sekarang ada di sampingnya, mereka juga ikut menangis sedih, tapi tidak seperti Puspita yang terdengar begitu pilu.Satu persatu orang pergi meninggalkan pemakaman yang masih basah itu tersebut, Nicky menoleh kebelakang dan pandangan mereka bertemu. Setelahnya Nick
Puspita mengemas beberapa baju yang akan di pakai nanti, saat ini jam baru menunjukkan pukul 5:54. Pukul 6 lewat Angga akan menjemput, walau sore mereka akan kembali tapi tetap saja dia harus mempersiapkan dengan baik. Mulai dari makeup juga peralatan lainnya, setelah semuanya ia hafal puspita cukup percaya diri untuk hadir di acara meeting itu. Ibu Puspita masuk ke kamar sambil membawa beberapa kue juga minuman. “Lama emang kerjanya?” Puspita menggeleng. “Enggak tau juga mah, tapi sore pita pulang kok.” “Iya ya udah, hati-hati aja di jalan!” ujar Ibunya yang nampak khawatir, apalagi Puspita adalah anak satu-satunya tentu saja orang tua takut terjadi sesuatu. Puspita mengangguk, sambil tersenyum lebar. “Iya mah.” Saat sedang berbincang-bincang dengan ibunya, sebuah suara klakson mobil membuat keduanya menoleh. “Itu mobilnya Puspita?” “Iya kali mah, katanya jam 6 lewat untung aja aku udah siap semua.” “Ya udah buru-buru sana! Mungkin rapatnya lebih cepet.” Puspita mengangguk p
Gadis belia itu sekarang bergerutu kesal, karena pusing dengan semua pekerjaan yang seperti tak ada habisnya, kenapa ia harus mengiyakan hal yang tak ia suka, walau gajinya lumayan juga mendapat bonus tapi sama saja dia menggali kuburnya sendiri. Saat sedang frustasi, sebuah ketukan di meja membuat dia menoleh. Wajahnya sekarang terkejut juga merasa malu, dengan apa yang terjadi. Namun ada yang aneh dengan pria yang menatapnya kosong, juga penampilan yang terkesan berantakan, apalagi wajahnya yang terlihat basah. Puspita bangkit dari duduknya, dengan mimik khawatir. “Om! Ada apa? Om gak apa-apa?” Nicky masih terdiam sambil mengatur nafas. “Bisa kita keluar sebentar?” Puspita seketika tau apa yang baru saja terjadi, pria di depannya ini baru saja menangis, terbukti dari suaranya yang serak dan nada yang sedih namun tertahan. Akan tetapi dia juga banyak kerjaan sekarang, matanya sekarang melihat sekitar. Beberapa orang yang melihat mereka kembali bekerja, lagipula tak ada yang bis
Setelah kejadian itu, Puspita hampir malu setiap saat, dia kadang berbicara sendiri sambil berteriak pelan, membuat beberapa orang yang melihat itu merasa heran. Yang tak pernah ia bayangkan, bagaimana mungkin dia melakukan hal itu. Puspita memang agak tak sadar saat itu, dan yang mengingatkan semuanya adalah orang yang ia cium hampir secara paksa. Saat ini dia benar-benar malu untuk bertemu pria itu, hampir dua hari sejak kejadian tersebut. Brugh! Sebuah tumpukan berkas di taruh begitu saja di sampingnya, membuat ia kini menatap orang yang melakukan itu. Ternyata biang keroknya seperti biasa adalah sang bos tercinta yaitu asisten Angga. “Kenapa kamu melihatku begitu?” tanya Angga yang merasa risih dengan tatapan memelas dari anak itu. Mata Puspita kini melihat tumpukan itu lagi, kali ini lebih banyak dari pada kemarin. “Kenapa banyak banget, Tuan?” “Nyonya Emery sedang dalam kondisi tidak baik-baik saja, jadi dia tidak masuk ke kantor selama beberapa waktu. Kamu bantu saya dulu
“Lepaskan aku! Jangan!” ujar Puspita yang sekarang sedang dikepung oleh beberapa lelaki yang ia tak kenal, saat hendak menunggu orang yang ingin menjemputnya, dia malah mendapat musibah seperti ini. “Manis! Ayolah main sama kami nanti kami kasih uang, lagipula gak baik cewek sendiri di malem hari kayak gini!” ujar salah satu dari mereka, tentu saja Puspita menggeleng. “Enggak! Lepaskan! Aku mau pulang!” ucap Puspita sambil menangis, dia amat ketakutan sekarang, apalagi toko ini sudah tutup, sedangkan orang yang ia tunggu tak kunjung sampai. “Ayo pulang sama kita aja, gratis kok tapi colek-colek dikit gak apa-apa kan, hahahaha?” ucap yang satu lagi, sambil tersenyum nafsu pada Puspita. Beberapa mereka sudah mencoba memegang tubuh gadis itu, semakin menjadi saja rasa takutnya sekarang. “Jangan! Aku gak mau! Tolong!” Gadis itu pun berjongkok karena tak tau harus bagaimana lagi, dia menangis sejadi-jadinya sambil terus menepis tangan para orang jahat itu. Bugh! Bugh! Bugh! Sebuah
Satu Minggu berlalu, keduanya sekarang sibuk dengan urusan masing-masing. Kadang keduanya hanya bisa menelpon jika waktu luang, itupun hanya sebentar karena tak ada waktu bagi keduanya. Puspita sekarang sedang fokus memperbaiki berkas yang sangat berantakan, karena perbuatan anak magang yang sama sekali tak paham bagaimana bekerja membuat dia yang terkena imbasnya saat ini. Walau begitu ia merasa cukup senang karena hasil kerja di puji Angga sang asisten ayah Nicky, berarti dia harus bekerja lebih giat lagi agar segera mejadi karyawan di perusahaan ini. “Puspita!” panggil seseorang yang cukup familiar, membuat gadis itu menoleh. “Ah iya Tuan Angga?” Pria dewasa itu melirik kearah jam yang menunjukkan pukul 6 sore, lalu melihat gadis belia itu. “Apa pekerjaanmu sudah selesai?” “Hampir Tuan, memang ada apa? Apa perlu sekarang?” Angga menggeleng sambil memberi beberapa map yang berisikan pekerjaan yang harus Puspita kerjakan nanti. “Tolong kamu revisi ini! Karena lusa akan diperlu