Raja Alexander terlihat sangat cemas, berulang kali dia mondar-mandir di dalam kamarnya. Raja Alexander dan istrinya masih tinggal di Rosweld Kingdom.
“Sudahlah, kita memohon saja kepada tuan putri agar dia mau mengampuni Julian.” Ratu Anastasya meminta suaminya untuk meminta maaf kepada Caroline. Dia juga sangat cemas kepada Julian. Walaupun Julian bukan anak kandungnya tetapi dia sudah membesarkan Julian sejak kecil.
“Apa kamu ingin aku bersujud kepada gadis angkuh itu?” Raja Alexander membentak Ratu Anastasya yang tengah menidurkan putri kecilnya itu.
“Lalu apa yang mau kamu lakukan? Aku yakin putri Caroline berhati lembut. Dia akan memaafkan Julian.”
“Tidak, aku akan menghancurkan kerajaan ini.”
Raja Alexander keluar dari ruangan itu dengan pikiran yang tak bisa ditebak oleh Ratu Anastasya. Ratu Anastasya menatap kepergian Raja Alexander dengan wajah cemas. Dia memejamkan mata memohon agar tak ada apapun yang buruk terjadi di kerajaan ini.
Caroline berjalan menembus cahaya bulan yang masuk ke dalam lorong-lorong istana. Dia berjalan menuju ruang bawah tanah. Caroline menuruni tangga melingkar dengan udara yang lembab itu.
“Tuan Putri.” Para penjaga memberi hormat ketika Caroline berjalan menuju mereka.
“Aku ingin menemui Pangeran Julian,” ucap Caroline kepada para penjaga itu. Salah satu penjaga itu mengangguk lalu mempersilahkan Caroline masuk ke dalam ruang tahanan. Penjaga itu memandu Caroline dan menunjukkan Caroline dimana Julian sedang tahan.
“Silahkan Tuan Putri.” Penjaga itu pamit setelah dia mengantarkan Caroline tepat didepan sel Julian.
Julian membuka matanya ketika mendengar suara seseorang, dia menatap Caroline tanpa merubah posisi duduknya.
“Apa yang membawa tuan putri sepertimu kesini?” tanya Julian memandang Caroline dengan kebencian.
“Aku hanya ingin mendengar penjelasan secara detail mengenai kejadian itu.” Caroline menanyakan itu dengan tegas. “Apa kamu benar hanya mengagumi bunga itu atau memang itu semua kamu lakukan dengan sengaja?”
Julian menyunggingkan bibirnya mendengar pertanyaan Caroline, dia bangkit dari duduknya lalu berjalan mendekati caroline yang berdiri di balik sel besinya.
“Yah, aku memang sengaja melakukannya untuk menarik perhatianmu.” Julian tertawa seakan merendahkan Caroline. “Kenapa? apa kamu mau memeberikan hukuman mati untukku?”
“Aku merasa lega ketika kamu berbicara jujur seperti itu kepadaku, aku kira, aku sudah mendapatkan hukuman yang sangat tepat untuk perbuatanmu.”
Caroline pergi setelah mendengar penjelasan Julian, ketika akan melewati pintu, Caroline bertemu dengan Raja Alexander yang tengah berdebat dengan para penjaga tahanan.
“Aku hanya ingin melihat putraku, beraninya kalian melarangku?.” Raja Alexander mencengkeram dengan geram kedua leher penjaga itu.
“Biarkan dia masuk!” Caroline memerintahkan penjaga untuk membiarkan Raja Alexander masuk.
Setelah mendengar perintah itu Raja Alexander melepaskan penjaga itu, Caroline menundukkan kepalanya memberi hormat kepada Raja Alexander tetapi Raja Alexander tak menanggapi itu. Raja Alexander berjalan melewati Caroline begitu saja tanpa memandangnya.
***
Pagi di Rosweld tak seperti pagi-pagi sebelumnya. Hari ini adalah hari dimana Julian akan dibawa ke persidangan kerajaan.
Raja Charlot dan juga seluruh anggota kerajaan telah hadir untuk menyaksikan jalannya persidangan yang dipimpin oleh Caroline itu.
“Bawa Pangeran Julian masuk,” perintah Caroline kepada pengawal.
Pengawal memasuki ruangan dengan membawa Julian yang kedua tangannya terikat. Julian dipaksa untuk berlutut dihadapan Raja Charlot.
“Pangeran Julian, telah melakukan pelanggaran berat di kerajaan ini dengan merusak kebun bunga mawar dan juga dengan sengaja memasuki istana wanita, maka dengan itu saya memohon kepada Yang Mulia Raja untuk bisa menghukumnya dengan hukuman cambuk sebanyak seratus kali.” Charoline membacakan tuntutan hukuman yang sudah ia siapkan di hadapan seluruh yang menghadiri persidangan itu.
Raja Charlot mengangguk, “Sebenarnya hukum kita mengatur untuk perusak kebanggaan dari Rosweld adalah hukuman mati, tetapi mengingat Pangeran Julian adalah pewaris satu-satunya kerajaan Arlo maka tuntutan hukuman yang diajukan Putri Caroline akan saya terima.”
Setelah vonis hukuman untuk Julian telah dijatuhkan, para pengawal kembali menghampiri Julian tapi tiba-tiba suasana rusuh diluar pintu persidangan terjadi. Pintu persidangan dibuka secara paksa oleh segerombolan pasukan. Raja Charlot berdiri dari kursi singgahsananya dan meminta pengawal untuk melindungi para wanita.
Julian tertawa ketika melihat kerusuhan itu, dia melirik ke arah Caroline yang masih terkejut dengan keadaan itu.
Raja Alexander muncul dari balik pintu itu bersama dengan pasukan yang ada dibelakang mereka.
“Alexander, apa yang kau lakukan? Jika kau ingin berperang maka berperanglah secara bermartabat” Raja Charlot terlihat sangat marah melihat pengkhianatan Raja Alexander.
“Hanya dengan cara ini aku bisa melawanmu.”
Para pasukan sudah terlibat saling menyerang, dua pengawal membawa pergi Julian tetapi Julian melawan dan membunuh para pengawal itu. Julian merebut pedang salah satu pengawal dan berlari mendekati Caroline. Raja Charlot menarik Caroline kebelakang dan menghadang pedang dari Julian. Terjadi adu pedang antara Raja Charlot dan juga Julian.
Caroline mengambil pedang dari salah satu pasukan yang juga sedang bertarung melawan pasukan dari Raja Alexander. Caroline menebas pasukan musuh menggunakan pedangnya, dia ikut adil dalam perang ini, kemampuan perangnya sudah dia pelajari sejak dia kecil, Caroline berlari hendak menolong sang ayah tetapi langkah Caroline terhenti ketika melihat Raja Alexander menghunuskan pedangnya dari belakang dan tepat menembus punggung Raja Charlot. Raja Charlot pun ambruk,
“AYAH…” teriak Caroline histeris menyaksikan ayahnya terbunuh.
Terlihat jelas kilatan penuh amarah terpancar di mata Caroline. Dia melangkahkan kakinya dan siap untuk mengayunkan pedangnya melawan Julian dan Alexander. Tetapi seseorang menariknya.
“Caroline, Kamu harus tetap hidup. Pergilah…Biar ibu yang selesaikan. Bawa dia pergi dari sini,” Ratu Cecilia mendorong Caroline untuk pergi meninggalkan istana.
“Tapi…Aku…” Belum sempat Caroline menjelaskannya dia sudah ditarik keluar dari ruang perjamuan.
Ester dan Adrian membawa Charoline meninggalkkan Istana. Julian yang mengetahui Caroline pergi, berlari untuk mengejarnya. Tetapi sebuah pedang mengenai lengannya. Ratu Cecilia mengayunkan pedang kepada Julian.
“DASAR IBLIS, BAGAIMANA KAMU BISA BERBUAT SEPERTI INI?” Murka Ratu Cecilia.
Julian meringis menahan luka gores di lengannya dan tertawa “Jika aku tak bisa memilikinya maka aku akan menghancurkannya.”
Julian menghunuskan pedangnya dan menusuk perut Ratu Cecilia.
“Akh…” Darah keluar dari mulut sang Ratu. “Aku tidak akan membiarkanmu hidup sebagai manusia, kau adalah iblis. Anakku akan datang untuk membunuhmu bahkan ketika kau terlahir kembali.” Dengan sisa-sisa kekuatannya Ratu Cecilia mengutuk Julian.
Ratu Cecilia pun meninggal dan dalam seketika Caroline kehilangan kedua orang tuanya beserta bayi yang berada dalam perut sang Ratu.
Charoline menyaksikan sendiri bagaimana orang tuanya terbunuh dengan sangat kejam. Ia tak menyangka bahwa hari itu adalah hari terakhir untuknya bertemu orang tuanya. Ester menarik Caroline untuk ikut dengannya. Sedangkan Adrian sudah menyiapkan kuda untuk mereka melarikan diri.Adrian melihat Caroline dan Ester berlari keluar dari pintu istana dan menghampirinya. Adrian melihat juga para pengawal dan Julian mengejar mereka.“Tuan Putri, Cepat Naik!” Adrian bergegas membantu Caroline naik ke atas kuda.Caroline, Adrian dan juga Ester memacu kuda mereka dengan kencang. Julian masih terus mengejarnya. Para pengawal dan juga Julian tak henti-hentinya menghujani mereka dengan anak panah. Caroline terus memacu kudanya tanpa arah hingga mereka memasuki hutan yang sangat gelap dan berkabut. Julian menarik tali kudanya dengan keras untuk berhenti ketika akan memasuki hutan itu. Dia melihat ke arah Caroline.“Kenapa kita be
Mereka menyusuri hutan gelap, mengikuti wanita berjubah merah itu. Dari kejauhan mereka bisa melihat sebuah asap mengepul dari api unggun yang ada di depan sebuah gubuk.Mereka sampai di sebuah rumah gubuk yang terbuat dari batang ilalang. Mereka memasuki gubuk yang tingginya hanya sebatas kepala Adrian itu. Wanita berjubah itu lebih tinggi dari Adrian hingga dia harus menunduk untuk melewati pintu rumahnya.Di dalam gubuk itu terdapat banyak sekali botol-botol ramuan dan juga berbagai tanaman kering.“Letak kan dia disitu,” perintah wanita itu sambil menunjuk kearah tempat tidur di sudut kamarnya.Adrian meletakkan tubuh Caroline pada tempat tidur yang hanya cukup untuk satu orang itu. Tempat tidur yang terbuat dari batang kayu yang dilapisi kulit binatang. Tubuh Charoline sudah sangat pucat dan dingin. Wanita itu meracik sebuah ramuan, dan terlihat sangat banyak sekali bahan yang dia gunakan. Wanita itu menempelkan sebuah ramuan di l
“Siapa wanita mengerikan itu ayah?” Julian mengusap darah yang keluar dari mulutnya.Raja Alexander tak menjawab pertanyaan Julian, dia pergi begitu saja setelah memastikan Julian tak terluka parah. Raja Alexander keluar dari ruang perjamuan dengan wajah cemas, pikirannya melayang kepada wanita yang tiba-tiba muncul dihadapannya dengan mengerikan itu.***“Yang Mulia, Caroline.”Caroline membuka matanya, kilat jingga itu menyala dari pupil matanya. Ester dan Adrian tercengang melihat perubahan mata Caroline. Kini mata coklat anggun dan penuh kasih itu telah lenyap berganti dengan mata jingga yang sangat mengerikan. Bahkan kita tahu jika dia menyimpan penuh sisi gelap hanya dengan melihat matanya saja.Meggie, wanita penyihir itu tersenyum melihat ramuan itu berhasil. Wanita itu membuka tudung jubah yang menutupi rambutnya. Kini rambut merah menyala itu keluar dari persembunyiannya.“Selamat datang di dunia yang
“SIAL!” Caroline mengumpat setelah ditinggal Maggie sendirian.Caroline memejamkan matanya, mencoba untuk menenangkan dirinya.“Baiklah, mari kita coba.”Caroline mencoba untuk berteleportasi menggunakan pikirannya. Caroline membayangkan hutan tempat dimana dia bersama Maggie tinggal. Beberapa detik kemudian dia mulai merasakan perbedaan suasana di sekitarnya. Suasana yang awalnya sunyi di perkampungan sepi, kini dia merasakan suasana yang begitu dia kenal. Harum bunga yang biasanya dia hirup itu kini dia rasakan lagi. Caroline membuka matanya, dia mengamati suasana yang telah lama ia tinggalkan itu. Caroline berdiri di tengah-tengah kebun bunga mawar yang berada di halaman belakang istananya. Caroline tersenyum bahagia melihat bunga-bunga itu, senyum pertama ketika dia bangkit kembali. Caroline menyentuh kelopak merah bunga berduri nan cantik itu, mencium wangi yang bisa melunakkan hatinya yang kini tengah mati.Caroline berjalan
Setelah mendengar tentang Caroline dari mulut pelayan itu. Julian semakin cemas, dia berbalik menatap penjaga yang ada di hadapannya seraya memberikan kode untuk menyingkirkan pelayan itu.Penjaga itupun mengangguk, dia menatap rekan yang berada di sampingnya lalu dengan segera menyeret pelayan itu keluar dari Aula Kerajaan.“Pangeran, tolong maafkan hamba. Tolong…tolong ampuni nyawa hamba." Pelayan itu berteriak meminta ampunan dari sang pangeran, tetapi Julian tak menghiraukannya.“Ayah, siapkan pasukan. Kita akan memasuki hutan itu,” kata Julian penuh dengan penekanan.“Tidak, apa kau sudah gila?”Julian terlihat sangat gusar, berulang kali dia mengusap wajah dan mengacak-acak rambutnya. Raja Alexander berjalan menghampirinya dan memegang kedua bahunya.“Tenanglah, jangan sampai kita salah langkah.”Julian berbalik dengan wajah garang menatap sang ayah yang tingginya lebih rendah itu
Julian pergi meninggalkan kerajaan bersama dengan prajuritnya. Dia memacu kudanya memasuki hutan Istaqa dengan penuh ambisi. Ambisi untuk bisa menghabisi Caroline, Julian memacu kudanya menerobos semak ilalang tinggi. Dia menelurusi jalan setapak yang tak tahu dimana ujung dari jalan itu. Kuda yang mereka kendarai tiba-tiba berhenti dan terlihat gelisah. Dia menjerit dan mengangkat kakinya tinggi membuat prajurit yang menungganginya terpental jatuh ke bawah. Ajudan Julian menyuruh beberapa prajurit di belakang untuk mengecek apa yang sebenarnya terjadi. Dua prajurit dengan baju perang itu berjalan ke depan melihat keadaan. Mereka mendekat ke arah semak-semak, salah satu diantaranya menyibakkan semak ilalang itu dan terkejut ketika melihat sesosok wanita cantik berbalik menatapnya dengan tajam. Wanita berambut panjang berwajah manusia dan setengah badannya adalah seekor burung itu tanpa aba-aba langsung menyerang prajurit itu. Cengkraman kaki burung perempuan
Pintu gerbang Istana Rosweld terbuka ketika para penjaga melihat Julian dan beberapa prajuritnya kembali dengan kuda yang terpacu kencang. “TUTUP PINTUNYA!” Julian berteriak kepada para penjaga sesaat setelah memasuki Istana. Para pengawal berhamburan menyambut kedatangan Julian. “Pangeran, kami sangat cemas karena kehilangan jejak anda,” ujar ajudan Julian yang menemani Julian masuk ke dalam hutan. “Julian…” Raja Alexander memeluk putra semata wayangnya itu. “Apa yang terjadi?” tanya Raja Alexander ketika melihat kecemasan pada raut wajah putranya itu. Julian tak menjawab pertanyaan dari sang ayah, dia dengan wajah pucat dan nafas yang menderu masuk ke dalam Istana. *** Minotur membawa jasad Ester dan juga Adrian ke pondok Maggie. Maggie yang tengah serius mengerjakan ramuan-ramuan itu terkejut dengan kedatangan Minotur. “Ada apa ini?” tanya Maggie. “Hah.” Maggie menutup mulutnya dengan kedua tangan ketika Mino
Caroline, memandang kedua peti mati itu dengan raut kesedihan. Terlalu dalam luka di hatinya hingga membuatnya lupa akan cara untuk meneteskan airmata. Jasad Ester dan Adrian dimakamkan di dalam hutan tepat di bawah pohon Hura Crepitans. Pohon dengan duru-duri tajam yang terletak di seluruh batangnya. Hura Crepitans adalah pohon yang sangat berbahaya. Siapa pun yang memakan buahnya yang seperti labu itu akan keracunan, getah pada daunnya bisa membuat mata buta dan buah pohon yang sudah mengering bisa meledak, menembakkan duri-durinya dengan kecepatan 241 km/jam. Alasan Caroline memutuskan menguburkan jasad mereka pada pohon itu adalah untuk menjaga mereka dan sebagai rasa penyesalan karena dia telah gagal melindungi mereka. Caroline menabur beberapa bunga di atas makam Ester dan juga Adrian. Maggie menyentuh bahu Caroline, berusaha untuk menenangkannya. Caroline dengan setelan gaun berwarna hitam itu tak bergeming. Dia pergi begitu saja tanpa menghira
Caroline menyeringai kala dia melihat sekawanan makhluk mengerikan itu dengan perlahan menuju ke arahnya. Kilatan cahaya jingga mulai menjalari tubuh Caroline. Arus air laut yang awalnya tenang tiba-tiba berubah semakin deras menerpa tubuh Caroline. Shiren menatap tajam Charoline dengan mata hijaunya.Pertarungan antara Caroline dan Shiren sangat sengit. Dengan begitu banyak Shiren yang mengepungnya, Caroline tak sekalipun gentar. Dia dengan sangat beringas mematahkan tulang-tulang Shiren itu lalu menghisap ruh mereka sampai habis tak tersisa."Hentikan!" Salah satu Shiren yang masih berusia sangat muda berteriak dan menghentakkan ekor ikannya ke permukaan laut membuat Caroline dan para Shiren yang lain terpental menjauh satu sama lain.Amarah sudah menguasai Caroline hingga dia tidak bisa membedakan benar dan salah untuk saat ini. Dia menatap tajam kepada gadis cilik itu dan dengan secepat kilat mencengkeram leher gadis itu."TIDAK!" Salah satu Shiren me
Desiran ombak menyapu lautan gelap nan dingin itu. Sinar purnama menyinari hamparan air di lautan lepas. Hembusan angin dari pohon-pohon di pinggir lautan itu menusuk pori-pori para nelayan yang tengah mencari ikan di lautan. Sudah menjadi kegiatan rutin untuk para nelayan mencari ikan di tengah malam. Walaupun mereka sadar ancaman maut di depan mata. Tapi demi mencukupi kehidupan keluarga, para nelayan itu rela mempertaruhkan hidupnya. Seperti halnya sekarang ini, dengan berbekal menyumbat telinga yang terbuat dari topi bulu domba itu. Para nelayan itu nekat untuk berlayar di tengah isu yang beredar. “Kita harus segera kembali.” Salah satu teman pelayan itu menghampirinya untuk duduk bergabung bersamanya. “Apakah fajar sudah mau terbit?” tanya nelayan itu. “Belum, tapi kau dengar kan kalau jam segini waktunya dia keluar?” jawab temannya itu. “Tapi kita masih belum dapat apapun. Aku tidak mau pulang dengan tangan kosong. Anak dan istriku sudah
Caroline membaringkan Maggie di atas tempat tidur kayu yang dilapisi oleh bulu domba setelah sampai ke rumah mungilnya. Charoline menatap Maggie dengan iba, tangannya terulur untuk menggenggam tangan Maggie yang sudah mulai pucat.Minotur masuk untuk memberikan ramuan agar tenaga Maggie kembali pulih. Caroline dengan segera mengambil ramuan itu dari tangan Minotur dan memberikannya kepada Maggie. Caroline mengangkat tubuh Maggie dan meminumkannya ramuan itu. Caroline kembali menidurkan Maggie dan menyelimutinya.Caroline meninggalkan Maggie, membiarkannya untuk beristirahat setelah apa yang dia lalui. Caroline berjalan keluar dari kamar Maggie untuk menemui Minotur.Dia melihat bagaimana Minotur tengah sibuk membuat api dari batang-batang kayu. Caroline datang mendekatinya.“Apakah dia akan pulih seperti semula?” tanya Caroline dengan pandangan nanar.Minotur yang mendengar itu menghentikan kegiatannya lalu memandang Caroline dengan taj
Maggie terlihat sangat pucat, wajahnya nampak begitu lesu. Kini dia terlihat sangat kurus dan malang. Raja Alexander tak memberikan setetes air pun pada Maggie. Dia sangat menikmati pemandangan menyedihkan itu.Para pengawal pun tak berani untuk memberikan air kepadanya, mereka hanya bisa melihat Maggie dengan miris.Maggie mencoba membuka matanya dan melihat Hybrid terbang mengitari sel besi tempatnya. Dengan sekuat tenaga Maggie mengangkat tubuhnya. Tak lama setelah Hybrid terbang mengitari atas sel nya, langit berubah menjadi gelap. Matahari terik yang membakar kulit Maggie sekarang hilang tertutup oleh awan mendung yang gelap.Para penjaga istana seketika mendongakkan kepala mereka ketika tiba-tiba langit menjadi gelap dengan kilatan-kilatan petir yang mulai menyambar.“Sepertinya akan ada badai hari ini?” ucap salah satu penjaga.“Kita harus membunyikan genderang untuk memperingatkan warga.”“Biar aku yang
Para pengawal memasukkan Maggie pada gerobak jeruji besi dan menariknya dengan kuda keluar dari hutan menuju ke kota Rosweld. Maggie masih tak sadarkan diri semenjak serbuk mawar itu mengenai dirinya. Entah bagaimana Raja Alexander bisa menemukan kelemahan Maggie.Para penduduk kota Rosweld menatap ngeri ketika kuda yang menarik gerobak itu melewati pemukiman penduduk.“Apa dia siluman?” bisik salah satu penduduk.“Bukan, aku kira dia adalah seorang penyihir.”“Benarkah? Sungguh mengerikan ada seorang penyihir di dunia ini.”Para penduduk kota Rosweld bergunjing dan menatap penuh kengerian kepada Maggie. Mendengar keributan itu Maggie tersadar dari lelapnya. Dia membelalakkan mata ketika mengetahui bahwa dirinya sedang digiring untuk dijadikan bahan tontonan.Maggie menutupi wajahnya ketika salah seorang pria melemparinya dengan tomat busuk, Maggie semakin membenamkan wajahnya saat lemparan demi lemparan i
Caroline, memandang kedua peti mati itu dengan raut kesedihan. Terlalu dalam luka di hatinya hingga membuatnya lupa akan cara untuk meneteskan airmata. Jasad Ester dan Adrian dimakamkan di dalam hutan tepat di bawah pohon Hura Crepitans. Pohon dengan duru-duri tajam yang terletak di seluruh batangnya. Hura Crepitans adalah pohon yang sangat berbahaya. Siapa pun yang memakan buahnya yang seperti labu itu akan keracunan, getah pada daunnya bisa membuat mata buta dan buah pohon yang sudah mengering bisa meledak, menembakkan duri-durinya dengan kecepatan 241 km/jam. Alasan Caroline memutuskan menguburkan jasad mereka pada pohon itu adalah untuk menjaga mereka dan sebagai rasa penyesalan karena dia telah gagal melindungi mereka. Caroline menabur beberapa bunga di atas makam Ester dan juga Adrian. Maggie menyentuh bahu Caroline, berusaha untuk menenangkannya. Caroline dengan setelan gaun berwarna hitam itu tak bergeming. Dia pergi begitu saja tanpa menghira
Pintu gerbang Istana Rosweld terbuka ketika para penjaga melihat Julian dan beberapa prajuritnya kembali dengan kuda yang terpacu kencang. “TUTUP PINTUNYA!” Julian berteriak kepada para penjaga sesaat setelah memasuki Istana. Para pengawal berhamburan menyambut kedatangan Julian. “Pangeran, kami sangat cemas karena kehilangan jejak anda,” ujar ajudan Julian yang menemani Julian masuk ke dalam hutan. “Julian…” Raja Alexander memeluk putra semata wayangnya itu. “Apa yang terjadi?” tanya Raja Alexander ketika melihat kecemasan pada raut wajah putranya itu. Julian tak menjawab pertanyaan dari sang ayah, dia dengan wajah pucat dan nafas yang menderu masuk ke dalam Istana. *** Minotur membawa jasad Ester dan juga Adrian ke pondok Maggie. Maggie yang tengah serius mengerjakan ramuan-ramuan itu terkejut dengan kedatangan Minotur. “Ada apa ini?” tanya Maggie. “Hah.” Maggie menutup mulutnya dengan kedua tangan ketika Mino
Julian pergi meninggalkan kerajaan bersama dengan prajuritnya. Dia memacu kudanya memasuki hutan Istaqa dengan penuh ambisi. Ambisi untuk bisa menghabisi Caroline, Julian memacu kudanya menerobos semak ilalang tinggi. Dia menelurusi jalan setapak yang tak tahu dimana ujung dari jalan itu. Kuda yang mereka kendarai tiba-tiba berhenti dan terlihat gelisah. Dia menjerit dan mengangkat kakinya tinggi membuat prajurit yang menungganginya terpental jatuh ke bawah. Ajudan Julian menyuruh beberapa prajurit di belakang untuk mengecek apa yang sebenarnya terjadi. Dua prajurit dengan baju perang itu berjalan ke depan melihat keadaan. Mereka mendekat ke arah semak-semak, salah satu diantaranya menyibakkan semak ilalang itu dan terkejut ketika melihat sesosok wanita cantik berbalik menatapnya dengan tajam. Wanita berambut panjang berwajah manusia dan setengah badannya adalah seekor burung itu tanpa aba-aba langsung menyerang prajurit itu. Cengkraman kaki burung perempuan
Setelah mendengar tentang Caroline dari mulut pelayan itu. Julian semakin cemas, dia berbalik menatap penjaga yang ada di hadapannya seraya memberikan kode untuk menyingkirkan pelayan itu.Penjaga itupun mengangguk, dia menatap rekan yang berada di sampingnya lalu dengan segera menyeret pelayan itu keluar dari Aula Kerajaan.“Pangeran, tolong maafkan hamba. Tolong…tolong ampuni nyawa hamba." Pelayan itu berteriak meminta ampunan dari sang pangeran, tetapi Julian tak menghiraukannya.“Ayah, siapkan pasukan. Kita akan memasuki hutan itu,” kata Julian penuh dengan penekanan.“Tidak, apa kau sudah gila?”Julian terlihat sangat gusar, berulang kali dia mengusap wajah dan mengacak-acak rambutnya. Raja Alexander berjalan menghampirinya dan memegang kedua bahunya.“Tenanglah, jangan sampai kita salah langkah.”Julian berbalik dengan wajah garang menatap sang ayah yang tingginya lebih rendah itu