“SIAL!” Caroline mengumpat setelah ditinggal Maggie sendirian.
Caroline memejamkan matanya, mencoba untuk menenangkan dirinya.
“Baiklah, mari kita coba.”
Caroline mencoba untuk berteleportasi menggunakan pikirannya. Caroline membayangkan hutan tempat dimana dia bersama Maggie tinggal. Beberapa detik kemudian dia mulai merasakan perbedaan suasana di sekitarnya. Suasana yang awalnya sunyi di perkampungan sepi, kini dia merasakan suasana yang begitu dia kenal. Harum bunga yang biasanya dia hirup itu kini dia rasakan lagi. Caroline membuka matanya, dia mengamati suasana yang telah lama ia tinggalkan itu. Caroline berdiri di tengah-tengah kebun bunga mawar yang berada di halaman belakang istananya. Caroline tersenyum bahagia melihat bunga-bunga itu, senyum pertama ketika dia bangkit kembali. Caroline menyentuh kelopak merah bunga berduri nan cantik itu, mencium wangi yang bisa melunakkan hatinya yang kini tengah mati.
Caroline berjalan menyusuri taman itu, ingatannya menyusuri kenangan pada setiap sudut istana. Kenangan bersama ayahnya, kenangan bersama ibunya dan kenangan selama dia menjadi tuan putri kebanggaan Rosweld Island. Wajah Caroline berubah menjadi sedih ketika satu-persatu kenangan itu muncul dalam ingatannya.
“Hahaha, sayang hati-hati.” Riuh suara itu membuat Caroline mengalihkan pandangan melihat beberapa wanita yang tengah tertawa riang itu.
Tak lama setelah itu sosok lelaki muncul mengejutkan seorang gadis kecil yang berlari kecil, lelaki itu menggedongnya dan berputar-putar membuat gadis kecil itu tertawa memeperlihatkan empat giginya.
Caroline yang berdiri jauh dari arah belakang lelaki itu menyeringai melihat kebahagian mereka. Kilatan cahaya jingga kembali mengalir di seluruh tubuhnya hingga membuat mata coklat itu berubah menjadi jingga menyala.
Ratu Anastasya yang berdiri di hadapan Julian yang sedang menggendong putri kecilnya itu membelalakkan mata.
“Putri Caroline?” gumamnya setelah dia melihat Caroline yang berdiri di belakang Julian dari kejauhan.
Julian menoleh dan berbalik mengikuti arah pandangan ratu Anastasya yang kini telah menjadi Ratu Rosweld Kingdom.
“Apa yang membuatmu terkejut seperti melihat hantu, Ibu?” tanya Julian bingung melihat ekspresi ratu Anastasya yang terpaku di tempatnya.
“Caroline, Aku melihat Putri Caroline di belakangmu tadi.” Ratu Anastasya tergagap menjelaskan itu.
Julian memegang kedua bahu ratu Anastasya, “Ibu, dia sudah mati di dalam hutan. Dia tidak mungkin akan memasuki istana karena penjagaan kita sangat ketat di perbatasan.” Julian mencoba untuk menenangkan ratu Anastasya.
“Jika memang seperti itu berarti arwahnya menghantui istana ini, dia … dia sangat menyeramkan tadi.”
Julian menatap ratu Anastasya dengan iba, sudah berulangkali ratu Anastasya sangat ketakutan dengan mimpinya bertemu Caroline.
“Bawa ratu kembali.” Julian menyuruh pelayan wanita untuk mengantarkan ratu Anastasya kembali ke kamarnya.
Gadis kecil yang berada dalam gendongan Julian merangkul Julian dengan sangat erat, “Jangan takut ada kakak di sini. Kakak akan selalu menjagamu,” ucap Julian seraya membalas pelukan gadis kecil itu. Mendekapnya lebih erat untuk bisa membuatnya nyaman.
Julian berbalik dan menatap arah kebun mawar yang berada tepat di belakangnya. Sorot matanya memperlihatkan sisi kejam ketika dia kembali mendengar nama Caroline. Pikirannya kembali terusik, benarkah Caroline masih hidup? Pertanyaan itu terus muncul dalam pikirannya.
***
“Apa yang kamu lakukan?” Maggie menghentakkan tubuh Caroline ketika dia telah sampai di depan rumahnya di dalam hutan.
“Kenapa kamu mencegahku dan membawaku kembali? Sedikit lagi aku bisa membunuh bajingan itu.” Caroline berteriak tak terima ketika Meggie menariknya kembali dari istana tadi.
“Aku sudah katakan jika kekuatanmu masih belum pulih, Lihat! Bukankah kamu masih belum mampu untuk berteleportasi?”
Perdebatan mereka menarik perhatian Ester dan Adrian yang berada di dalam rumah, mereka keluar dengan sedikit berlari untuk menghampiri Caroline dan Maggie.
“Aku sudah mencoba tapi takdir yang membawaku kembali ke sana.”
“Bukan, itu bukan takdir tapi hatimu yang menginginkannya. Hatimu yang menginginkan untuk kembali ke sana.” Maggie menekankan perkataannya untuk membuat Caroline bisa sadar akan perbuatannya yang sangat berbahaya itu.
“Lalu berapa banyak nyawa yang harus aku ambil? Berapa banyak aku harus menghisap mereka agar aku bisa segera menghabisi mereka yang saat ini tengah tertawa riang di dalam istanaku?”
Adrian dan Ester membulatkan matanya ketika mendengar ucapan Caroline itu.
“Putri, apa anda sudah membunuh seseorang?” tanya Ester dengan pandangan curiga kepada Caroline.
Caroline tak menjawab, dia hanya terdiam membisu. Adrian yang mengetahui arti itu langsung berlutut dan munundukkan badannya di hadapan Caroline.
“Yang Mulia, jika memang itu bisa membuat kekuatan anda kembali maka aku bersedia mengorbankan nyawaku untuk anda.”
Raut kemarahan di wajah Caroline memudar, dia memandang Adrian dengan tatapan sendu. Caroline menghampiri Adrian yang tengah berlutut itu, dia menyentuh kedua lengannya seraya menuntunnya untuk berdiri.
“Aku hanya punya kalian berdua, jadi tolong jangan seperti ini.”
“Putri, tolong anda dengarkan apa kata perempuan itu. Kami tidak ingin sesuatu yang buruk terjadi pada diri anda.” Ester menggenggam tangan Caroline dengan tatapan memohon.
Caroline menganggukkan kepalanya, saat ini hanya Ester dan Adrian lah yang bisa melembutkan hati Caroline. Mereka satu-satunya keluarga yang dia miliki.
***
Julian masih kalut dengan pikiran yang belakangan hari ini menghantuinya. Dia kini tengah duduk di atas singgasananya. Singgasana yang dia rebut dari raja Charlot, ayah Caroline.
“Julian.” Panggilan Raja Alexander itu membuat Julian tersadar.
Julian menatap ayahnya yang masuk ke dalam aula kerajaan dengan wajah cemas itu.
“Ada apa ayah?” tanya Julian.
“Apa yang telah terjadi? Apa benar perempuan itu kembali lagi?” Raja Alexander menanyakan tentang rumor yang tengah beredar di istana kepada Julian.
“Apa ayah sekarang juga termakan dengan rumor istana?” Julian mengejek raja Alexander.
“Bukan seperti itu nak, tapi rumor ini sudah menyebar keluar istana. Dan ada saksi mata yang melihat perempuan itu di istana ini.”
Perkataan ayahnya itu membuat Julian terdiam sesaat,
“Bawa saksi mata itu kehadapanku.” Perintah Julian kepada para pengawal istana itu.
Tak berselang lama, para pengawal kembali dengan membawa seorang wanita muda dengan pakaian pelayan itu masuk ke dalam aula kerajaan. Pengawal itu menggiringnya dan menghadapkannya kepada Julian dengan sangat kasar.
Julian mengamati wanita itu, menatapnya dengan tatapan yang sangat mengintimidasi. Wanita itu tertunduk dengan kedua tangan yang dia genggam dengan bergetar.
“Apa benar kamu melihat Caroline?” tanya Julian.
Wanita itu seketika berlutut dan mengatupkan kedua tangannya. “Maafkan saya pangeran, tapi saya memang melihat putri Caroline di perkebunan bunga beberapa hari yang lalu.”
“Bagaimana penampilannya?”
“Putri…Putri terlihat sangat pucat. Rambut cokelatnya lebih terang. Hamba mohon, maafkan hamba Pangeran. Hamba hanya melihatnya sekilas dan hanya bagian sampingnya saja.”
Tampak kecemasan di raut wajah Adrian setelah mendengarkan perkataan pelayan itu.
Setelah mendengar tentang Caroline dari mulut pelayan itu. Julian semakin cemas, dia berbalik menatap penjaga yang ada di hadapannya seraya memberikan kode untuk menyingkirkan pelayan itu.Penjaga itupun mengangguk, dia menatap rekan yang berada di sampingnya lalu dengan segera menyeret pelayan itu keluar dari Aula Kerajaan.“Pangeran, tolong maafkan hamba. Tolong…tolong ampuni nyawa hamba." Pelayan itu berteriak meminta ampunan dari sang pangeran, tetapi Julian tak menghiraukannya.“Ayah, siapkan pasukan. Kita akan memasuki hutan itu,” kata Julian penuh dengan penekanan.“Tidak, apa kau sudah gila?”Julian terlihat sangat gusar, berulang kali dia mengusap wajah dan mengacak-acak rambutnya. Raja Alexander berjalan menghampirinya dan memegang kedua bahunya.“Tenanglah, jangan sampai kita salah langkah.”Julian berbalik dengan wajah garang menatap sang ayah yang tingginya lebih rendah itu
Julian pergi meninggalkan kerajaan bersama dengan prajuritnya. Dia memacu kudanya memasuki hutan Istaqa dengan penuh ambisi. Ambisi untuk bisa menghabisi Caroline, Julian memacu kudanya menerobos semak ilalang tinggi. Dia menelurusi jalan setapak yang tak tahu dimana ujung dari jalan itu. Kuda yang mereka kendarai tiba-tiba berhenti dan terlihat gelisah. Dia menjerit dan mengangkat kakinya tinggi membuat prajurit yang menungganginya terpental jatuh ke bawah. Ajudan Julian menyuruh beberapa prajurit di belakang untuk mengecek apa yang sebenarnya terjadi. Dua prajurit dengan baju perang itu berjalan ke depan melihat keadaan. Mereka mendekat ke arah semak-semak, salah satu diantaranya menyibakkan semak ilalang itu dan terkejut ketika melihat sesosok wanita cantik berbalik menatapnya dengan tajam. Wanita berambut panjang berwajah manusia dan setengah badannya adalah seekor burung itu tanpa aba-aba langsung menyerang prajurit itu. Cengkraman kaki burung perempuan
Pintu gerbang Istana Rosweld terbuka ketika para penjaga melihat Julian dan beberapa prajuritnya kembali dengan kuda yang terpacu kencang. “TUTUP PINTUNYA!” Julian berteriak kepada para penjaga sesaat setelah memasuki Istana. Para pengawal berhamburan menyambut kedatangan Julian. “Pangeran, kami sangat cemas karena kehilangan jejak anda,” ujar ajudan Julian yang menemani Julian masuk ke dalam hutan. “Julian…” Raja Alexander memeluk putra semata wayangnya itu. “Apa yang terjadi?” tanya Raja Alexander ketika melihat kecemasan pada raut wajah putranya itu. Julian tak menjawab pertanyaan dari sang ayah, dia dengan wajah pucat dan nafas yang menderu masuk ke dalam Istana. *** Minotur membawa jasad Ester dan juga Adrian ke pondok Maggie. Maggie yang tengah serius mengerjakan ramuan-ramuan itu terkejut dengan kedatangan Minotur. “Ada apa ini?” tanya Maggie. “Hah.” Maggie menutup mulutnya dengan kedua tangan ketika Mino
Caroline, memandang kedua peti mati itu dengan raut kesedihan. Terlalu dalam luka di hatinya hingga membuatnya lupa akan cara untuk meneteskan airmata. Jasad Ester dan Adrian dimakamkan di dalam hutan tepat di bawah pohon Hura Crepitans. Pohon dengan duru-duri tajam yang terletak di seluruh batangnya. Hura Crepitans adalah pohon yang sangat berbahaya. Siapa pun yang memakan buahnya yang seperti labu itu akan keracunan, getah pada daunnya bisa membuat mata buta dan buah pohon yang sudah mengering bisa meledak, menembakkan duri-durinya dengan kecepatan 241 km/jam. Alasan Caroline memutuskan menguburkan jasad mereka pada pohon itu adalah untuk menjaga mereka dan sebagai rasa penyesalan karena dia telah gagal melindungi mereka. Caroline menabur beberapa bunga di atas makam Ester dan juga Adrian. Maggie menyentuh bahu Caroline, berusaha untuk menenangkannya. Caroline dengan setelan gaun berwarna hitam itu tak bergeming. Dia pergi begitu saja tanpa menghira
Para pengawal memasukkan Maggie pada gerobak jeruji besi dan menariknya dengan kuda keluar dari hutan menuju ke kota Rosweld. Maggie masih tak sadarkan diri semenjak serbuk mawar itu mengenai dirinya. Entah bagaimana Raja Alexander bisa menemukan kelemahan Maggie.Para penduduk kota Rosweld menatap ngeri ketika kuda yang menarik gerobak itu melewati pemukiman penduduk.“Apa dia siluman?” bisik salah satu penduduk.“Bukan, aku kira dia adalah seorang penyihir.”“Benarkah? Sungguh mengerikan ada seorang penyihir di dunia ini.”Para penduduk kota Rosweld bergunjing dan menatap penuh kengerian kepada Maggie. Mendengar keributan itu Maggie tersadar dari lelapnya. Dia membelalakkan mata ketika mengetahui bahwa dirinya sedang digiring untuk dijadikan bahan tontonan.Maggie menutupi wajahnya ketika salah seorang pria melemparinya dengan tomat busuk, Maggie semakin membenamkan wajahnya saat lemparan demi lemparan i
Maggie terlihat sangat pucat, wajahnya nampak begitu lesu. Kini dia terlihat sangat kurus dan malang. Raja Alexander tak memberikan setetes air pun pada Maggie. Dia sangat menikmati pemandangan menyedihkan itu.Para pengawal pun tak berani untuk memberikan air kepadanya, mereka hanya bisa melihat Maggie dengan miris.Maggie mencoba membuka matanya dan melihat Hybrid terbang mengitari sel besi tempatnya. Dengan sekuat tenaga Maggie mengangkat tubuhnya. Tak lama setelah Hybrid terbang mengitari atas sel nya, langit berubah menjadi gelap. Matahari terik yang membakar kulit Maggie sekarang hilang tertutup oleh awan mendung yang gelap.Para penjaga istana seketika mendongakkan kepala mereka ketika tiba-tiba langit menjadi gelap dengan kilatan-kilatan petir yang mulai menyambar.“Sepertinya akan ada badai hari ini?” ucap salah satu penjaga.“Kita harus membunyikan genderang untuk memperingatkan warga.”“Biar aku yang
Caroline membaringkan Maggie di atas tempat tidur kayu yang dilapisi oleh bulu domba setelah sampai ke rumah mungilnya. Charoline menatap Maggie dengan iba, tangannya terulur untuk menggenggam tangan Maggie yang sudah mulai pucat.Minotur masuk untuk memberikan ramuan agar tenaga Maggie kembali pulih. Caroline dengan segera mengambil ramuan itu dari tangan Minotur dan memberikannya kepada Maggie. Caroline mengangkat tubuh Maggie dan meminumkannya ramuan itu. Caroline kembali menidurkan Maggie dan menyelimutinya.Caroline meninggalkan Maggie, membiarkannya untuk beristirahat setelah apa yang dia lalui. Caroline berjalan keluar dari kamar Maggie untuk menemui Minotur.Dia melihat bagaimana Minotur tengah sibuk membuat api dari batang-batang kayu. Caroline datang mendekatinya.“Apakah dia akan pulih seperti semula?” tanya Caroline dengan pandangan nanar.Minotur yang mendengar itu menghentikan kegiatannya lalu memandang Caroline dengan taj
Desiran ombak menyapu lautan gelap nan dingin itu. Sinar purnama menyinari hamparan air di lautan lepas. Hembusan angin dari pohon-pohon di pinggir lautan itu menusuk pori-pori para nelayan yang tengah mencari ikan di lautan. Sudah menjadi kegiatan rutin untuk para nelayan mencari ikan di tengah malam. Walaupun mereka sadar ancaman maut di depan mata. Tapi demi mencukupi kehidupan keluarga, para nelayan itu rela mempertaruhkan hidupnya. Seperti halnya sekarang ini, dengan berbekal menyumbat telinga yang terbuat dari topi bulu domba itu. Para nelayan itu nekat untuk berlayar di tengah isu yang beredar. “Kita harus segera kembali.” Salah satu teman pelayan itu menghampirinya untuk duduk bergabung bersamanya. “Apakah fajar sudah mau terbit?” tanya nelayan itu. “Belum, tapi kau dengar kan kalau jam segini waktunya dia keluar?” jawab temannya itu. “Tapi kita masih belum dapat apapun. Aku tidak mau pulang dengan tangan kosong. Anak dan istriku sudah
Caroline menyeringai kala dia melihat sekawanan makhluk mengerikan itu dengan perlahan menuju ke arahnya. Kilatan cahaya jingga mulai menjalari tubuh Caroline. Arus air laut yang awalnya tenang tiba-tiba berubah semakin deras menerpa tubuh Caroline. Shiren menatap tajam Charoline dengan mata hijaunya.Pertarungan antara Caroline dan Shiren sangat sengit. Dengan begitu banyak Shiren yang mengepungnya, Caroline tak sekalipun gentar. Dia dengan sangat beringas mematahkan tulang-tulang Shiren itu lalu menghisap ruh mereka sampai habis tak tersisa."Hentikan!" Salah satu Shiren yang masih berusia sangat muda berteriak dan menghentakkan ekor ikannya ke permukaan laut membuat Caroline dan para Shiren yang lain terpental menjauh satu sama lain.Amarah sudah menguasai Caroline hingga dia tidak bisa membedakan benar dan salah untuk saat ini. Dia menatap tajam kepada gadis cilik itu dan dengan secepat kilat mencengkeram leher gadis itu."TIDAK!" Salah satu Shiren me
Desiran ombak menyapu lautan gelap nan dingin itu. Sinar purnama menyinari hamparan air di lautan lepas. Hembusan angin dari pohon-pohon di pinggir lautan itu menusuk pori-pori para nelayan yang tengah mencari ikan di lautan. Sudah menjadi kegiatan rutin untuk para nelayan mencari ikan di tengah malam. Walaupun mereka sadar ancaman maut di depan mata. Tapi demi mencukupi kehidupan keluarga, para nelayan itu rela mempertaruhkan hidupnya. Seperti halnya sekarang ini, dengan berbekal menyumbat telinga yang terbuat dari topi bulu domba itu. Para nelayan itu nekat untuk berlayar di tengah isu yang beredar. “Kita harus segera kembali.” Salah satu teman pelayan itu menghampirinya untuk duduk bergabung bersamanya. “Apakah fajar sudah mau terbit?” tanya nelayan itu. “Belum, tapi kau dengar kan kalau jam segini waktunya dia keluar?” jawab temannya itu. “Tapi kita masih belum dapat apapun. Aku tidak mau pulang dengan tangan kosong. Anak dan istriku sudah
Caroline membaringkan Maggie di atas tempat tidur kayu yang dilapisi oleh bulu domba setelah sampai ke rumah mungilnya. Charoline menatap Maggie dengan iba, tangannya terulur untuk menggenggam tangan Maggie yang sudah mulai pucat.Minotur masuk untuk memberikan ramuan agar tenaga Maggie kembali pulih. Caroline dengan segera mengambil ramuan itu dari tangan Minotur dan memberikannya kepada Maggie. Caroline mengangkat tubuh Maggie dan meminumkannya ramuan itu. Caroline kembali menidurkan Maggie dan menyelimutinya.Caroline meninggalkan Maggie, membiarkannya untuk beristirahat setelah apa yang dia lalui. Caroline berjalan keluar dari kamar Maggie untuk menemui Minotur.Dia melihat bagaimana Minotur tengah sibuk membuat api dari batang-batang kayu. Caroline datang mendekatinya.“Apakah dia akan pulih seperti semula?” tanya Caroline dengan pandangan nanar.Minotur yang mendengar itu menghentikan kegiatannya lalu memandang Caroline dengan taj
Maggie terlihat sangat pucat, wajahnya nampak begitu lesu. Kini dia terlihat sangat kurus dan malang. Raja Alexander tak memberikan setetes air pun pada Maggie. Dia sangat menikmati pemandangan menyedihkan itu.Para pengawal pun tak berani untuk memberikan air kepadanya, mereka hanya bisa melihat Maggie dengan miris.Maggie mencoba membuka matanya dan melihat Hybrid terbang mengitari sel besi tempatnya. Dengan sekuat tenaga Maggie mengangkat tubuhnya. Tak lama setelah Hybrid terbang mengitari atas sel nya, langit berubah menjadi gelap. Matahari terik yang membakar kulit Maggie sekarang hilang tertutup oleh awan mendung yang gelap.Para penjaga istana seketika mendongakkan kepala mereka ketika tiba-tiba langit menjadi gelap dengan kilatan-kilatan petir yang mulai menyambar.“Sepertinya akan ada badai hari ini?” ucap salah satu penjaga.“Kita harus membunyikan genderang untuk memperingatkan warga.”“Biar aku yang
Para pengawal memasukkan Maggie pada gerobak jeruji besi dan menariknya dengan kuda keluar dari hutan menuju ke kota Rosweld. Maggie masih tak sadarkan diri semenjak serbuk mawar itu mengenai dirinya. Entah bagaimana Raja Alexander bisa menemukan kelemahan Maggie.Para penduduk kota Rosweld menatap ngeri ketika kuda yang menarik gerobak itu melewati pemukiman penduduk.“Apa dia siluman?” bisik salah satu penduduk.“Bukan, aku kira dia adalah seorang penyihir.”“Benarkah? Sungguh mengerikan ada seorang penyihir di dunia ini.”Para penduduk kota Rosweld bergunjing dan menatap penuh kengerian kepada Maggie. Mendengar keributan itu Maggie tersadar dari lelapnya. Dia membelalakkan mata ketika mengetahui bahwa dirinya sedang digiring untuk dijadikan bahan tontonan.Maggie menutupi wajahnya ketika salah seorang pria melemparinya dengan tomat busuk, Maggie semakin membenamkan wajahnya saat lemparan demi lemparan i
Caroline, memandang kedua peti mati itu dengan raut kesedihan. Terlalu dalam luka di hatinya hingga membuatnya lupa akan cara untuk meneteskan airmata. Jasad Ester dan Adrian dimakamkan di dalam hutan tepat di bawah pohon Hura Crepitans. Pohon dengan duru-duri tajam yang terletak di seluruh batangnya. Hura Crepitans adalah pohon yang sangat berbahaya. Siapa pun yang memakan buahnya yang seperti labu itu akan keracunan, getah pada daunnya bisa membuat mata buta dan buah pohon yang sudah mengering bisa meledak, menembakkan duri-durinya dengan kecepatan 241 km/jam. Alasan Caroline memutuskan menguburkan jasad mereka pada pohon itu adalah untuk menjaga mereka dan sebagai rasa penyesalan karena dia telah gagal melindungi mereka. Caroline menabur beberapa bunga di atas makam Ester dan juga Adrian. Maggie menyentuh bahu Caroline, berusaha untuk menenangkannya. Caroline dengan setelan gaun berwarna hitam itu tak bergeming. Dia pergi begitu saja tanpa menghira
Pintu gerbang Istana Rosweld terbuka ketika para penjaga melihat Julian dan beberapa prajuritnya kembali dengan kuda yang terpacu kencang. “TUTUP PINTUNYA!” Julian berteriak kepada para penjaga sesaat setelah memasuki Istana. Para pengawal berhamburan menyambut kedatangan Julian. “Pangeran, kami sangat cemas karena kehilangan jejak anda,” ujar ajudan Julian yang menemani Julian masuk ke dalam hutan. “Julian…” Raja Alexander memeluk putra semata wayangnya itu. “Apa yang terjadi?” tanya Raja Alexander ketika melihat kecemasan pada raut wajah putranya itu. Julian tak menjawab pertanyaan dari sang ayah, dia dengan wajah pucat dan nafas yang menderu masuk ke dalam Istana. *** Minotur membawa jasad Ester dan juga Adrian ke pondok Maggie. Maggie yang tengah serius mengerjakan ramuan-ramuan itu terkejut dengan kedatangan Minotur. “Ada apa ini?” tanya Maggie. “Hah.” Maggie menutup mulutnya dengan kedua tangan ketika Mino
Julian pergi meninggalkan kerajaan bersama dengan prajuritnya. Dia memacu kudanya memasuki hutan Istaqa dengan penuh ambisi. Ambisi untuk bisa menghabisi Caroline, Julian memacu kudanya menerobos semak ilalang tinggi. Dia menelurusi jalan setapak yang tak tahu dimana ujung dari jalan itu. Kuda yang mereka kendarai tiba-tiba berhenti dan terlihat gelisah. Dia menjerit dan mengangkat kakinya tinggi membuat prajurit yang menungganginya terpental jatuh ke bawah. Ajudan Julian menyuruh beberapa prajurit di belakang untuk mengecek apa yang sebenarnya terjadi. Dua prajurit dengan baju perang itu berjalan ke depan melihat keadaan. Mereka mendekat ke arah semak-semak, salah satu diantaranya menyibakkan semak ilalang itu dan terkejut ketika melihat sesosok wanita cantik berbalik menatapnya dengan tajam. Wanita berambut panjang berwajah manusia dan setengah badannya adalah seekor burung itu tanpa aba-aba langsung menyerang prajurit itu. Cengkraman kaki burung perempuan
Setelah mendengar tentang Caroline dari mulut pelayan itu. Julian semakin cemas, dia berbalik menatap penjaga yang ada di hadapannya seraya memberikan kode untuk menyingkirkan pelayan itu.Penjaga itupun mengangguk, dia menatap rekan yang berada di sampingnya lalu dengan segera menyeret pelayan itu keluar dari Aula Kerajaan.“Pangeran, tolong maafkan hamba. Tolong…tolong ampuni nyawa hamba." Pelayan itu berteriak meminta ampunan dari sang pangeran, tetapi Julian tak menghiraukannya.“Ayah, siapkan pasukan. Kita akan memasuki hutan itu,” kata Julian penuh dengan penekanan.“Tidak, apa kau sudah gila?”Julian terlihat sangat gusar, berulang kali dia mengusap wajah dan mengacak-acak rambutnya. Raja Alexander berjalan menghampirinya dan memegang kedua bahunya.“Tenanglah, jangan sampai kita salah langkah.”Julian berbalik dengan wajah garang menatap sang ayah yang tingginya lebih rendah itu