"Banyak hasil panen kemarin, Bang?" tanya Kinan saat melihat suaminya sedang berselancar dengan gawainya. Entah apa yang dilakukan laki-laki itu pada layar pipih yang ada di genggamannya.
Mencoba mendapatkan jawab atas rasa ingin tahu yang dipendamnya sejak kemarin, Kinan baru mendapatkan kesempatan menanyakan hal itu kepada Ardi malam ini. Semalam laki-laki itu memilih cepat tidur. Kinan paham, rasa lelah tentu mendera setelah seharian berkutat dengan kegiatan di kebun sawit yang tentu sangat menguras tenaga."Tak terlalu banyak. Kan Abang sudah pernah bilang sebelumnya, hasil panen pertama belumlah maksimal. Ibarat kata, baru belajar berbuah. Tentu hasil panennya tak seberapa."Ardi tetap dalam posisinya. Duduk di depan televisi yang menyala, tanpa sama sekali menikmati tayangannya. Bahkan suami Kinan itu tak melepaskan pandangannya dari benda yang ada di genggamannya."Tak banyak itu, tentu ada nominalnya, Bang," ucap Kinan sembari mendudukkanTampak Ardi yang melemparkan pandangan ke arah Kinan. Mengabaikan layar pipih di genggaman walaupun hanya sesaat."Sudah sejak kecil. Arman, abang Lidya itu bersahabat dengan Abang sejak kami SD."Kinan sempat bingung. Apakah pembicaraan ini harus diteruskan? "Abang dekat dengan keluarga mereka?" tanya Kinan dengan nada hati-hati. Tentunya tak ingin jika pertanyaan yang diajukannya akan membuat Ardi menjadi salah sangka."Sangat dekat dulunya. Yah ... walaupun sekarang tak sedekat dulu karena kami masing-masing punya kesibukan. Hanya jarang-jarang saja Abang ke rumah mereka. Namun sekarang, Abang kembali menjalin hubungan saat Abang tahu Arman melanjutkan usaha orang tuanya. Jual beli tandan sawit segar. Harga yang diberikan Arman informasinya lebih tinggi daripada yang lain."Ardi tampak santai saja menjawab pertanyaan istrinya itu. Kinan memilih diam, walaupun wajah bingungnya agak sedikit terlihat. Entahlah, apakah karena benar s
Tak ada lagi pembahasan tentang Lidya setelah itu. Kinan harus mengabaikan penasarannya. Mengapa? Ardi sudah memberikan penjelasan padanya. Dirinya memutuskan percaya daripada terus berburuk sangka.Bagi Kinan saat ini ada hal yang jauh lebih penting. Mengembalikan tanggung jawab nafkah lahir dari Ardi satu-satunya hal yang harus menjadi fokusnya saat ini.Biarlah cinta itu tak lagi sama dahsyatnya seperti dulu. Bagi Kinan mempertahankan rumah tangga tak melulu harus karena alasan cinta semata. Banyak alasan lain yang akan membuat seorang wanita harus mempertahankan bahtera rumah tangganya. Dan Kinan menjadi salah satu diantaranya."Nan, susu Rafif yang ada di rumah Ayuk habis. Jangan lupa belikan nanti ya!"Kinan terkejut saat mendengar ucapan Yuk Diana yang sangat tiba-tiba. Wanita yang baru saja datang itu langsung mendudukkan tubuhnya di kursi yang berhadapan dengan Kinan. Tentu saja setelah melepaskan Rafif dan membiarkan bocah itu menikmati
Yuk Diana tersentak. Haruskah membuat Kinan dalam posisi seperti itu? Walaupun tak ada niat dalam hatinya untuk menempatkan Kinan menjadi sosok yang dibenci suami sendiri tentunya. Tapi Kinan harus berani mengambil sikap agar tak selalu dipandang lemah oleh Ardi, suaminya sendiri."Bukan membencimu, Nan. Aduh, Ayuk bingung sendiri jadinya kalau sudah seperti ini."Yuk Diana tampak menggaruk pelipisnya. Mungkin wanita itu bingung dengan bahasa apa menyampaikan kepada Kinan isi hatinya."Maksud Ayuk, begini. Kalau kamu terus-menerus menurut saja, Ardi makin semena-mena. Tunjukkan ketegasanmu, Nan!"Kinan menyunggingkan senyumnya."Sebenarnya sudah ada perubahan sedikit sih, Kak! Saat Bang Ardi menolak melepaskanku malam itu, aku meminta kompensasi kepadanya."Kali ini Yuk Diana yang mengernyitkan dahinya."Kompensasi? Maksudmu ganti rugi? Seperti itu, Nan?" tanya Yuk Diana sembari menatap tajam pada Kinan."B
Berhari-hari Kinan memikirkan ucapan yang disampaikan Yuk Diana itu. Wanita itu tak salah telah memberikan saran yang sedikit ekstrim pada Kinan. Kinan saja yang masih merasa ragu apakah pantas dirinya melakukan semua itu.Sejak kecil Kinan dididik hidup dalam kejujuran. Tak masalah hidup kekurangan dan terikat dalam kondisi kemiskinan, asalkan perangai baik dan mulia. Itu ajaran kedua orang tuanya.Sisi batinnya ingin menolak, tapi ruang hati lainnya meminta untuk mengiyakan saja. Bukankah tak akan ada asap tanpa ada api sebelumnya? Tak akan ada kelicikan jika tak ada kecurangan sebelumnya.Berdosa, mungkin itu memang fitrahnya manusia. Tapi sebagai umat-Nya, banyak hal yang dapat dilakukan untuk menjauhi dosa itu tentunya. Kinan merasakan kegalauan dalam hatinya. Sisi baik dan buruk dalam hatinya berlomba ingin menunjukkan kekuatannya.Tadi pagi Ardi kembali melakukan panen tandan sawitnya. Kinan kembali diminta laki-laki itu menyiapkan masakan
Azan Isya telah berkumandang sejak sejam yang lalu. Hanya saja Kinan baru saja menunaikan empat rakaatnya sekarang. Menenangkan Rafif yang agak rewel karena sedikit demam membuat Kinan harus menunda ibadah wajibnya itu.Ardi tak tampak sejak selesai menunaikan salat Magrib tadi. Suami Kinan itu pamit untuk mengambil uang hasil penjualan tandan sawitnya ke rumah Arman.Dua kakak beradik itu sepertinya berbeda. Jika Lidya memutuskan langsung membayar tandan-tandan sawit segar yang dibelinya, Arman justru akan meminta penjual mengambil uangnya ke rumah. Entah mengapa sistem pembayaran keduanya berbeda, Kinan pun tak mengerti alasannya.Sampai jam dinding menunjukkan pukul delapan lebih puluh menit ini, sosok suaminya belum juga kembali. Besar kemungkinan laki-laki itu langsung pergi menemui teman-temannya yang sudah membantu memanen tandan sawit itu. Memberikan upah sebagai bentuk kewajiban menghargai jerih payah mereka.Kinan membuka mukenanya, melipat kembali saj
Kinan melajukan kendaraannya masuk ke halaman rumah. Sepi, tampaknya tak ada suaminya di rumah. Pintu samping pun tertutup rapat memastikan sang penghuni rumah tak ada di rumah.Mematikan mesin kendaraan roda duanya, Kinan lantas mengarahkan anak kunci yang menyatu dengan kunci sepeda motornya itu ke lubang pada daun pintu itu. Perlahan pintu pun terbuka.Melihat tak ada keberadaan suaminya di rumah, Kinan menduga laki-laki itu sepertinya ke kebun sawit. Biasanya Ardi akan membawa masakan yang sudah dimasak Kinan tadi pagi sebagai bekalnya. Artinya laki-laki itu hanya sendiri ke sana jika tak meminta Kinan menyiapkan menu khusus untuk bekal makan siang.Jam kerja yang hanya setengah hari saja di hari Sabtu membuat Kinan cukup bahagia. Waktu kebersamaannya dengan sang putera akan lebih banyak di hari ini. Apalagi besok dirinya tak akan ada di rumah.Kemarin Bang Iwan sudah menelepon Kinan. Memastikan bahwa hari Minggu besok jadwal mereka sudah past
Berhutang pada Mang Ijal menjadi pilihan berikutnya. Tapi rasa malu itu masih berbekas di hati Kinan. Apalagi selama ini dirinya tak pernah berhutang pada warung laki-laki itu, kecuali saat kedatangan kedua kakak iparnya tempo hari. Kinan sengaja membuat dirinya seolah-olah berhutang agar Ardi yang menanggung semuanya.Kinan mendudukkan tubuhnya di sofa yang tak lagi empuk sebenarnya, memijat dahi yang mulai terasa nyeri karena kondisi kantong yang yang tak mendukung sama sekali. Niat hati ingin membahagiakan orang tuanya tak semudah khayalan yang diimpikan.Tiba-tiba pandangannya tertumbuk pada lemari yang berada di dekat televisi. Lemari yang konon kata sang suami berisi beragam mangkuk, gelas, dan piring peninggalan orang tuanya. Ide buruk yang pernah direncanakannya tempo hari sepertinya harus direalisasikan hari ini.Gegas Kinan mengintip ke arah luar rumah. Memastikan jika suaminya tak ada. Demi keamanan, Kinan menutup rapat pintu dan mengunciny
Kinan berusaha setenang mungkin. Jika dirinya gelisah, Yuk Diana akan semakin curiga. Tak masalah sebenarnya jika wanita yang selalu menjaga puteranya ini tahu. Bukankah ide gila itu juga bersumber darinya?Yang jadi masalah adalah jika suaminya curiga. Perbuatan yang baru pertama kali dilakukannya ini harus sempurna. Tanpa jejak, tanpa curiga."Ada Bang Ardi, Yuk. Nanti katanya Ayuk lagi yang mempengaruhiku untuk berpikir macam-macam."Kinan sebenarnya tak tega untuk berkata seperti ini pada wanita yang sudah dianggapnya layak saudara. Namun itu satu-satunya cara agar Yuk Diana tak memperpanjang pertanyaannya tadi. Sudahlah, penjelasan dengan Yuk Diana akan diberikan Kinan suatu saat nanti jika wanita itu masih mengingatnya. Yang terpenting sekarang adalah berbuat setenang mungkin, tanpa kegelisahan, apalagi ketakutan."Dasar suamimu, Nan! Dirinya yang bermasalah, tapi orang lain yang menjadi kambing hitamnya," gerutu Yuk Diana sembari berlalu d
"Bang,dimana kau!" pekik Kinan dengan langkah yang tergesa. Mengabaikan tatapan heran dia lelaki yang memandangnya sejak mematikan mesin motor tadi. Tak peduli tanah yang sedikit becek akibat hujan sesaat barusan, Kinan tak dapat lagi menahan lama-lama emosi yang menggelegak di dadanya. Pernyataan yang disampaikan Fauzan tadi benar-benar membuatnya naik pitam. Mengapa sosok itu harus dia? Bukankah selama ini lelaki itu yang seolah menjadi sahabat dekat mendiang suaminya? Hanya berpura-pura ternyata. Lelaki itu tak lebih dari manusia munafik. Berpura-pura baik, menikam dari belakang. Kinan sempat tercengang saat mendengar nama yang disebutkan Fauzan itu. Menggelengkan kepala menunjukkan ketidakpercayaannya. Bahkan Kinan sempat meminta Fauzan mengulanginya kembali. Memastikan agar lelaki itu tak salah mengeja nama yang akhirnya akan menjadi fitnah. Namun Fauzan mempertegas semuanya. Gendang telinganya tak salah menangkap gelombang suara. Sosok i
Tak ada jawaban yang keluar dari bibir Fauzan. Lelaki itu tampak merasa serba salah. "Mengapa Abang tak menjawab pertanyaanku? Jangan bilang Abang menyesal telah mengatakan semua ini kepadaku!" tukas Kinan dengan tegas. Tatapan mata Kinan semakin menghujam. Membuat Fauzan semakin gelisah. Helaan napas panjang Fauzan terdengar jelas di tengah pemakaman yang sepi tanpa peziarah lainnya. Tampak beban berat seolah menggurat di wajah lelaki itu. "Abang tak bilang begitu. Hanya saja, Abang pikir semua kisah itu telah terungkap tanpa sisa. Ternyata Abang salah. Harusnya Ardi pergi tanpa belenggu rasa bersalah yang selalu membebaninya."Kinan mengernyitkan dahinya. Tak lama kemudian tangan kanannya bergerak ke arah pelipis. Memijatnya perlahan untuk menghalau rasa sakit yang mulai mendera. "Aku tak paham apa yang Abang katakan. Mungkin lebih baik Abang katakan saja langsung. Tak perlu berbelit-belit. Lagi pula aku tak ingin berlama-
Fauzan tampak tersentak. Sepertinya tak menduga jika Kinan akan menanyakan hal ini kepadanya. "Mengapa Abang terlihat terkejut? Abang pikir … aku tak tahu semua itu? Aku tahu, bukan tak tahu apa-apa seperti yang Abang pikirkan."Kinan mencoba menepis keraguan di hati Fauzan. Dirinya tahu tentang masa lalu suaminya. Pun dirinya mencoba berdamai dengan semua itu. Walaupun perceraian yang semoga menjadi penyelesaiannya saat itu. "Setelah Ardi pergi? Atau justru saat awal kalian menikah dulu?"Kinan menggelengkan kepalanya. Perlahan namun pasti. "Bukan keduanya. Aku tahu beberapa waktu sebelum kepergian almarhum. Dan itu pun secara tak sengaja. Berawal dari banyak hal yang memang almarhum coba sembunyikan. Namun Allah punya kehendak, yang mungkin tak sama seperti yang kita harapkan."Kembali Fauzan tertegun. Tak mampu lagi berkata apa-apa. "Aku tak akan dan tak sedang ingin membicarakan hal itu lagi. Aku hanya ingin mem
Beranjak dari posisi berjongkok, Kinan masih tertegun. Tak mengenal sosok yang ada di belakangnya. Bahkan setelah Kinan membalikkan tubuhnya, tetap saja tak ada ingatan yang tersisa tentang lelaki ini. "Maaf … Abang siapa? Mengenal almarhum suami saya?" tanya Kinan sembari menunjukkan raut wajah bingungnya. Dahinya mengernyit mencoba menguatkan kerja memori otaknya. "Ini makam Ardi kan? Soalnya petunjuk yang aku dapatkan tadi menunjukkan arah ini."Seolah tak peduli dengan pertanyaan Kinan, lelaki itu memajukan tubuh dan menajamkan netranya. Kacamata hitam yang tadi dikenakannya berpindah tempat. Tak lagi menempel di hidung, melainkan menggantung di kancing kemeja kotak-kotak yang dikenakannya."Tak salah lagi. Benar, ini makam Ardi."Lirih lelaki itu berkata sembari menurunkan tubuhnya. Mengambil posisi berjongkok di tempat yang tadinya ditempati oleh Kinan. Bibir lelaki itu berkomat-kamit. Kedua telapak tangannya menengadah.
Kinan menatap pilu nisan yang masih terbuat dari sebilah papan. Nama suaminya tertulis di sana. Tanah kuning di hadapannya belum sempurna mengering. Masih membasah, sama seperti hatinya yang belum juga mampu menerima kepergian lelaki ini sepenuhnya. Kepergian lelaki ini masih meninggalkan duka di hatinya. Tak pernah disangka jika mereka sedang dalam situasi tak baik ketika lelaki ini harus pergi selamanya. Itu yang paling menimbulkan penyesalan terbesar di hati Kinan hingga saat ini. Perceraian mereka memang urung terjadi. Namun kenyataan pahit ini jauh lebih menyesakkan dadanya. "Bang … bantu aku! Berikan petunjuk padaku! Aku sedang berjuang membuktikan jika dirimu tak salah kala itu. Sesuai apa yang kamu tuliskan dalam surat itu. Tapi apalagi yang dapat aku lakukan saat ini, Bang? Aku tak tahu bagaimana lagi harus mencari petunjuknya. Aku gagal, Bang."Tak hanya isakan tangis, Kinan juga menumpahkan air matanya. Area pemakaman yang sepi membuat Kinan m
Arman tercengang. Sepasang mata lelaki itu tampak terbelalak. Rahangnya mengeras. Bahkan ekor netra Kinan masih mampu menangkap gerakan terkepalnya telapak kedua tangan lelaki itu. "Abang terkejut aku tahu semuanya? Abang salah jika berpikir akan dapat menutupi bangkai selamanya."Kinan tersenyum sinis. Bentuk penguatan pada diri sendiri agar tak terlihat lemah di hadapan Arman. Kedok lelaki ini harus terbuka sekarang juga. "Pasti Hanif yang mengatakan kepadamu. Benar kan, Nan?" tanya Arman dengan lirih sembari mengacak rambutnya dengan kasar. Kinan diam. Satu hal yang dapat ditangkap dirinya atas ucapan Arman itu. Lelaki ini hanya mengatakan semua itu pada Hanif dan keluarganya. Tidak pada orang lain. "Setidaknya lelaki itu lebih jujur dibandingkan Abang."Kalimat yang singkat itu mengalir dari bibir Kinan. Namun mampu meluluhlantakkan hati Arman seketika. Sebegitu rendahkah dirinya di mata Kinan sekarang? "Kamu ta
Arman terperanjat. Kelihatan sekali jika laki-laki itu tak menyangka atas kalimat yang diucapkan Kinan. "Abang terkejut? Atau pura-pura terkejut? Masih ingin bersandiwara?" lanjut Kinan seolah tak memberi Arman kesempatan untuk bicara. Arman tampak gugup. Sesaat. Kembali berusaha menguasai diri. Namun Kinan mampu menangkap segala perubahan raut wajahnya lelaki itu dengan seksama. "Tak perlu gugup. Tak perlu berdalih untuk menutupi kebohongan Abang. Aku sudah tahu semuanya, Bang."Kali ini Kinan menurunkan nada suaranya. Sedikit melemah walaupun dengan telapak tangan yang terkepal. "Jika Abang tanya perasaanku setelah mengetahui semua ini, jujur aku kecewa. Kecewa pada sikap Abang. Kecewa pada pilihan yang Abang buat bertahun silam."Kinan menyunggingkan senyum sinisnya. Kembali menegakkan wajah ke arah Arman yang tampak kikuk seketika. "Abang masih belum paham arah pembicaraanmu ini, Nan. Semoga apa pun yang ada di
"Maksudmu? Abang tak paham. Bukankah apa yang Abang ketahui sudah Abang jelaskan semua kepadamu?"Arman yang muncul selang lima menit kemudian tampak terkejut mendengar pertanyaan yang dilontarkan Kinan itu. Kinan yang memilih tetap berdiri sama sekali tak ada niat untuk menyampaikan basa-basi. "Abang tak usah lagi berpura-pura. Tak usah berlagak tak tahu apa-apa."Mengernyitkan dahi, Arman sepertinya masih mencoba berlagak tak paham arah pembicaraan Kinan ini. "Abang memang tak tahu apa-apa, Nan. Lagipula kisah itu sudah lama. Sudah jelas apa yang terjadi sebenarnya. Mengapa kamu mengungkit-ungkitnya lagi?"Arman mengambil posisi duduk. Berharap hal yang sama dilakukan Kinan. Tak elok rasanya bicara sambil berdiri. "Abang bertanya mengapa aku mengungkitnya? Atau Abang memang sengaja ingin mengubur kisah itu agar dilupakan orang begitu saja?" Kali ini Kinan menegakkan wajahnya. Menghujam Arman dengan netranya yang se
Kinan menatap tegak bangunan yang ada di hadapannya. Kali kedua menginjakkan kaki ke halaman ini, namun perasaannya sungguh berbeda. Jika dulu langkahnya diiringi kekhawatiran, sekarang sungguh berbeda. Tak ada rasa khawatir yang dirasakannya sama sekali. Justru semangat yang menggebu ingin bertemu dengan sang pemilik rumah. Kecurigaannya jelaslah bukan tanpa alasan. Bukan tanpa dasar. Ada banyak hal mengganjal yang layak disebut sebagai bahan pertimbangan. "Ingin bertemu siapa, Yuk?"Kinan menolehkan kepalanya ke arah samping kiri. Posisi asal sumber suara yang menegurnya tadi. Seorang wanita yang hampir sebaya dengan Yuk Diana tampak berdiri tegak. Menatap Kinan dengan sedikit curiga. Kjnan tak marah. Wajar saja itu dilakukan wanita yang sepertinya merupakan pekerja rumah tangga di bangunan di hadapannya ini. Wanita ini tentu mendapat amanah untuk memastikan para tamu yang datang tak salah orang. Tak salah sasaran. "Pak Ar