Kinan berusaha setenang mungkin. Jika dirinya gelisah, Yuk Diana akan semakin curiga. Tak masalah sebenarnya jika wanita yang selalu menjaga puteranya ini tahu. Bukankah ide gila itu juga bersumber darinya?Yang jadi masalah adalah jika suaminya curiga. Perbuatan yang baru pertama kali dilakukannya ini harus sempurna. Tanpa jejak, tanpa curiga."Ada Bang Ardi, Yuk. Nanti katanya Ayuk lagi yang mempengaruhiku untuk berpikir macam-macam."Kinan sebenarnya tak tega untuk berkata seperti ini pada wanita yang sudah dianggapnya layak saudara. Namun itu satu-satunya cara agar Yuk Diana tak memperpanjang pertanyaannya tadi. Sudahlah, penjelasan dengan Yuk Diana akan diberikan Kinan suatu saat nanti jika wanita itu masih mengingatnya. Yang terpenting sekarang adalah berbuat setenang mungkin, tanpa kegelisahan, apalagi ketakutan."Dasar suamimu, Nan! Dirinya yang bermasalah, tapi orang lain yang menjadi kambing hitamnya," gerutu Yuk Diana sembari berlalu d
Ada haru dan tangis yang terselip di hati Kinan kala mengingat perjalanan kisah masa kecilnya. Bukan perjuangan yang mudah karena terlahir dari keluarga yang bertahan dalam segala keterbatasan yang ada. Namun Kinan tak pernah menyesalinya. Keterbatasan yang ada justru menjadi pemicu bagi Kinan dan adik-adiknya untuk tak pernah menyerah. Mereka tertempa menjadi pribadi yang tangguh, tak mudah mengeluh. Dan itu yang selalu tertanam di jiwa Kinan sampai saat ini. Menyimpan rapi segala pedih yang dirasakannya. Menutup rapat segala kesusahan yang dialaminya. Perjuangan masa kecil hingga dewasa mengajarkannya untuk tak mudah menyerah. "Assalamu'alaikum, Bapak, Ibu, sudah lama sampai?" ucap Kinan seraya mempercepat langkahnya. Menyalami kedua orang tuanya itu dengan takzim setelah melepaskan tubuh Rafif dan kantong plastik belanjaannya ke ubin lantai. "Baru saja, Nan. Kata Ardi kamu pergi mencari lauk. Mengapa harus repot-repot, Nan? Ibu dan Bapak itu ke sini karena kangen Rafif. Bes
Kinan memasukkan potongan pisang yang sudah terbalur tepung adonan gandum ke dalam minyak panas yang ada di wajan. Pekerjaan selanjutnya lebih santai karena tinggal menunggu pisang matang dan membalikkannya saja. Mengangkatnya jika sudah matang."Maksud Bapak bagaimana?" tanya Ardi yang tampak kebingungan atas pertanyaan sang mertua."Katamu tadi kan sudah panen. Uangnya dibelikan apa maksud Bapak? Dibelikan apa untuk Kinan? Emas atau apa, itu maksud Bapak?"Pak Irwan mempertegas pertanyaannya. Ingin tahu apa yang ada di pikiran menantunya. Pernah mendengar cerita dari puterinya, Pak Irwan tak mau percaya begitu saja. Harus ada penelusuran informasi dari pihak lainnya agar tak salah menduga."Ardi simpan uang panennya, Pak. Untuk keperluan beli pupuk dan racun tentunya. Ardi berencana membeli lagi kebun sawit jika memang ada jalannya nanti. Oleh karena itu, sekarang ini Ardi tak mengganggu uang hasil panen itu sama sekali. Kinan pun paham dengan p
Pak Irwan terkekeh mendengar pertanyaan menantunya itu. Laki-laki yang sejak awal memang kurang direstuinya untuk membahagiakan sang puteri tercinta. Namun dirinya dapat berbuat apa saat sang puteri justru bersikeras mempertahankan lelaki idamannya. Hanya kebahagiaan yang diinginkannya untuk sang puteri tertua, tak lebih. Dan tentunya tak hanya diukur dari materi saja."Kamu masih belum mengenal sifat istrimu sendiri, Di? Kinan itu pribadi yang tertutup. Tak mudah baginya untuk bercerita dengan orang lain apa pun masalah yang dihadapinya. Lebih baik menyimpan sendiri semua dukanya. Bapak sangat mengenal sifat anak bapak itu."Tampak Pak Irwan menghela napasnya. Sementara Kinan di dapur masih bersiaga dengan indera pendengarannya. Tangan boleh bergerak membersihkan ikan kerisi dan ayam, namun telinganya harus tetap waspada. Apalagi namanya sudah mulai dikait-kaitkan."Bapak hanya ingin memastikan pilihan anak Bapak tak salah. Bapak hanya ingin tahu ap
"Entahlah, Pak. Ardi pun tak paham. Kinan memang seperti itu sejak dulu. Tak hobi belanja dan lebih senang menyimpan uang saja," jawab Ardi dengan nada sedikit ragu.Tak menyangka jika akan mendapatkan pertanyaan seperti ini dari sang mertua membuat Ardi ragu untuk merangkai kata. Mengapa bapak mertuanya bertanya seperti ini? Sudah enam tahun mereka menikah, baru kali ini mertuanya bertanya terkait masalah rumah tangga mereka.Sementara Kinan yang masih menyibukkan diri di dapur terperanjat mendengar jawaban suaminya itu. Tak hobi belanja? Lebih senang menyimpan uang saja? Uang mana yang mau disimpan jika setelah dibelanjakan uang gajinya tak bersisa, malahan kekurangan setiap bulannya?Laki-laki itu memang pandai bersilat lidah. Berdalih untuk membela dirinya. Dirinya yang hobi menyimpan uang lantas berkata yang sebaliknya. "Kalau begitu kamu saja yang membelanjakannya, Di. Tak usah menunggu Kinan. Jadi apa pun yang kamu beli, Kinan tak akan b
Satu lagi, terkait jatah mingguan. Hitungan jari dua tangannya saja belum penuh untuk melihat berapa kali baru sang suami memberikan uang jatah mingguan itu padanya. Itu pun karena Kinan yang bersikeras meminta. Jika Kinan tak berkeras, pastilah sampai saat ini jatah mingguan itu tak pernah ada.Lagi pula nominalnya sangat jauh dari kata cukup sebenarnya. Hanya saja Kinan memilih bersyukur atas perubahan sikap laki-laki yang menjadi suaminya itu. Syukur jauh lebih baik daripada terus meratapi keadaan yang tak berpihak padanya itu. "Apakah Kinan ikhlas ikut membiayai kebutuhan rumah tangga kalian dengan uang gajinya?"Akhirnya pertanyaan itu mengalir dari bibir Pak Irwan. Apakah Ardi paham dengan ilmu tentang uang istri dan uang suami? Pak Irwan ingin memastikannya saat ini."Tentu ikhlas, Pak. Sama ikhlasnya dengan Ardi yang mengalokasikan seluruh gaji untuk keluarga kami ini. Sama adilnya, seperti itu, Pak."Lagi-lagi Ardi menjawa
"Kamu masih punya mulut kan untuk menjawab pertanyaan Bapak, Nan? Atau telingamu tak lagi berfungsi dengan baik untuk mendengarkan pertanyaan dari Bapak tadi?" Pak Irwan mulai merasa gerah atas tingkah puterinya. Giliran di belakang suaminya, wanita ini berani menceritakan semua keluh kesahnya. Walaupun awalnya menutupi, akhirnya sang puteri dengan lancar mengungkapkan kisah sedihnya.Tak ayal sebagai orang tua, Pak Irwan merasa wajib untuk membela puterinya. Terlepas dari restu yang sempat tak rela diberikan dulunya. Bagaimanapun sekarang ini Ardi merupakan menantunya. Anaknya secara tidak langsung juga.Selama dirinya masih hidup di dunia, kewajiban itu akan tetap melekat padanya. Membela sang anak yang sudah payah dibesarkan sejak kecil hingga dewasa. Walaupun terselip rasa sesak di hatinya saat melihat sikap sang puterinya sekarang, Kinan gagal menunjukkan nyalinya. Kemana puteri pemberaninya dulu yang sempat dibangga-banggakan?Kesal berc
Menafkahi istri sejatinya merupakan tanggung jawab suami. Menikahi seorang wanita bukan hanya menghalalkannya saja. Ada beban dan tanggung jawab dari orang tua yang akan berpindah ke pundak suaminya. Pertanggungjawaban istri akan menjadi milik sang suami ketika akad itu diucapkan."Tak masalah jika Kinan tak mau, Pak. Artinya Kinan sudah siap hidup dengan apa adanya. Tanpa tabungan, tanpa apa-apa," balas Ardi tak mau kalah.Kinan menolehkan kepala pada suaminya. Haruskah seperti itu jadinya? Mengapa seolah-olah semua kembali kepadanya? Bukan dirinya yang menjadi inti persoalan pelik ini. Sikap dan pola pikir laki-laki yang menjadi suaminya ini menjadi titik permasalahan utama."Kalau Kinan tak mau mengeluarkan uangnya untuk rumah tangga ini, akan dikemanakan uangnya? Akan digunakan untuk apa gajinya?" lanjut Ardi masih tak menyerah.Dalam pemikiran Ardi, konsep rumah tangga menjadi tanggung jawab berdua itu tak akan mudah terpatahkan. Bagaima
"Bang,dimana kau!" pekik Kinan dengan langkah yang tergesa. Mengabaikan tatapan heran dia lelaki yang memandangnya sejak mematikan mesin motor tadi. Tak peduli tanah yang sedikit becek akibat hujan sesaat barusan, Kinan tak dapat lagi menahan lama-lama emosi yang menggelegak di dadanya. Pernyataan yang disampaikan Fauzan tadi benar-benar membuatnya naik pitam. Mengapa sosok itu harus dia? Bukankah selama ini lelaki itu yang seolah menjadi sahabat dekat mendiang suaminya? Hanya berpura-pura ternyata. Lelaki itu tak lebih dari manusia munafik. Berpura-pura baik, menikam dari belakang. Kinan sempat tercengang saat mendengar nama yang disebutkan Fauzan itu. Menggelengkan kepala menunjukkan ketidakpercayaannya. Bahkan Kinan sempat meminta Fauzan mengulanginya kembali. Memastikan agar lelaki itu tak salah mengeja nama yang akhirnya akan menjadi fitnah. Namun Fauzan mempertegas semuanya. Gendang telinganya tak salah menangkap gelombang suara. Sosok i
Tak ada jawaban yang keluar dari bibir Fauzan. Lelaki itu tampak merasa serba salah. "Mengapa Abang tak menjawab pertanyaanku? Jangan bilang Abang menyesal telah mengatakan semua ini kepadaku!" tukas Kinan dengan tegas. Tatapan mata Kinan semakin menghujam. Membuat Fauzan semakin gelisah. Helaan napas panjang Fauzan terdengar jelas di tengah pemakaman yang sepi tanpa peziarah lainnya. Tampak beban berat seolah menggurat di wajah lelaki itu. "Abang tak bilang begitu. Hanya saja, Abang pikir semua kisah itu telah terungkap tanpa sisa. Ternyata Abang salah. Harusnya Ardi pergi tanpa belenggu rasa bersalah yang selalu membebaninya."Kinan mengernyitkan dahinya. Tak lama kemudian tangan kanannya bergerak ke arah pelipis. Memijatnya perlahan untuk menghalau rasa sakit yang mulai mendera. "Aku tak paham apa yang Abang katakan. Mungkin lebih baik Abang katakan saja langsung. Tak perlu berbelit-belit. Lagi pula aku tak ingin berlama-
Fauzan tampak tersentak. Sepertinya tak menduga jika Kinan akan menanyakan hal ini kepadanya. "Mengapa Abang terlihat terkejut? Abang pikir … aku tak tahu semua itu? Aku tahu, bukan tak tahu apa-apa seperti yang Abang pikirkan."Kinan mencoba menepis keraguan di hati Fauzan. Dirinya tahu tentang masa lalu suaminya. Pun dirinya mencoba berdamai dengan semua itu. Walaupun perceraian yang semoga menjadi penyelesaiannya saat itu. "Setelah Ardi pergi? Atau justru saat awal kalian menikah dulu?"Kinan menggelengkan kepalanya. Perlahan namun pasti. "Bukan keduanya. Aku tahu beberapa waktu sebelum kepergian almarhum. Dan itu pun secara tak sengaja. Berawal dari banyak hal yang memang almarhum coba sembunyikan. Namun Allah punya kehendak, yang mungkin tak sama seperti yang kita harapkan."Kembali Fauzan tertegun. Tak mampu lagi berkata apa-apa. "Aku tak akan dan tak sedang ingin membicarakan hal itu lagi. Aku hanya ingin mem
Beranjak dari posisi berjongkok, Kinan masih tertegun. Tak mengenal sosok yang ada di belakangnya. Bahkan setelah Kinan membalikkan tubuhnya, tetap saja tak ada ingatan yang tersisa tentang lelaki ini. "Maaf … Abang siapa? Mengenal almarhum suami saya?" tanya Kinan sembari menunjukkan raut wajah bingungnya. Dahinya mengernyit mencoba menguatkan kerja memori otaknya. "Ini makam Ardi kan? Soalnya petunjuk yang aku dapatkan tadi menunjukkan arah ini."Seolah tak peduli dengan pertanyaan Kinan, lelaki itu memajukan tubuh dan menajamkan netranya. Kacamata hitam yang tadi dikenakannya berpindah tempat. Tak lagi menempel di hidung, melainkan menggantung di kancing kemeja kotak-kotak yang dikenakannya."Tak salah lagi. Benar, ini makam Ardi."Lirih lelaki itu berkata sembari menurunkan tubuhnya. Mengambil posisi berjongkok di tempat yang tadinya ditempati oleh Kinan. Bibir lelaki itu berkomat-kamit. Kedua telapak tangannya menengadah.
Kinan menatap pilu nisan yang masih terbuat dari sebilah papan. Nama suaminya tertulis di sana. Tanah kuning di hadapannya belum sempurna mengering. Masih membasah, sama seperti hatinya yang belum juga mampu menerima kepergian lelaki ini sepenuhnya. Kepergian lelaki ini masih meninggalkan duka di hatinya. Tak pernah disangka jika mereka sedang dalam situasi tak baik ketika lelaki ini harus pergi selamanya. Itu yang paling menimbulkan penyesalan terbesar di hati Kinan hingga saat ini. Perceraian mereka memang urung terjadi. Namun kenyataan pahit ini jauh lebih menyesakkan dadanya. "Bang … bantu aku! Berikan petunjuk padaku! Aku sedang berjuang membuktikan jika dirimu tak salah kala itu. Sesuai apa yang kamu tuliskan dalam surat itu. Tapi apalagi yang dapat aku lakukan saat ini, Bang? Aku tak tahu bagaimana lagi harus mencari petunjuknya. Aku gagal, Bang."Tak hanya isakan tangis, Kinan juga menumpahkan air matanya. Area pemakaman yang sepi membuat Kinan m
Arman tercengang. Sepasang mata lelaki itu tampak terbelalak. Rahangnya mengeras. Bahkan ekor netra Kinan masih mampu menangkap gerakan terkepalnya telapak kedua tangan lelaki itu. "Abang terkejut aku tahu semuanya? Abang salah jika berpikir akan dapat menutupi bangkai selamanya."Kinan tersenyum sinis. Bentuk penguatan pada diri sendiri agar tak terlihat lemah di hadapan Arman. Kedok lelaki ini harus terbuka sekarang juga. "Pasti Hanif yang mengatakan kepadamu. Benar kan, Nan?" tanya Arman dengan lirih sembari mengacak rambutnya dengan kasar. Kinan diam. Satu hal yang dapat ditangkap dirinya atas ucapan Arman itu. Lelaki ini hanya mengatakan semua itu pada Hanif dan keluarganya. Tidak pada orang lain. "Setidaknya lelaki itu lebih jujur dibandingkan Abang."Kalimat yang singkat itu mengalir dari bibir Kinan. Namun mampu meluluhlantakkan hati Arman seketika. Sebegitu rendahkah dirinya di mata Kinan sekarang? "Kamu ta
Arman terperanjat. Kelihatan sekali jika laki-laki itu tak menyangka atas kalimat yang diucapkan Kinan. "Abang terkejut? Atau pura-pura terkejut? Masih ingin bersandiwara?" lanjut Kinan seolah tak memberi Arman kesempatan untuk bicara. Arman tampak gugup. Sesaat. Kembali berusaha menguasai diri. Namun Kinan mampu menangkap segala perubahan raut wajahnya lelaki itu dengan seksama. "Tak perlu gugup. Tak perlu berdalih untuk menutupi kebohongan Abang. Aku sudah tahu semuanya, Bang."Kali ini Kinan menurunkan nada suaranya. Sedikit melemah walaupun dengan telapak tangan yang terkepal. "Jika Abang tanya perasaanku setelah mengetahui semua ini, jujur aku kecewa. Kecewa pada sikap Abang. Kecewa pada pilihan yang Abang buat bertahun silam."Kinan menyunggingkan senyum sinisnya. Kembali menegakkan wajah ke arah Arman yang tampak kikuk seketika. "Abang masih belum paham arah pembicaraanmu ini, Nan. Semoga apa pun yang ada di
"Maksudmu? Abang tak paham. Bukankah apa yang Abang ketahui sudah Abang jelaskan semua kepadamu?"Arman yang muncul selang lima menit kemudian tampak terkejut mendengar pertanyaan yang dilontarkan Kinan itu. Kinan yang memilih tetap berdiri sama sekali tak ada niat untuk menyampaikan basa-basi. "Abang tak usah lagi berpura-pura. Tak usah berlagak tak tahu apa-apa."Mengernyitkan dahi, Arman sepertinya masih mencoba berlagak tak paham arah pembicaraan Kinan ini. "Abang memang tak tahu apa-apa, Nan. Lagipula kisah itu sudah lama. Sudah jelas apa yang terjadi sebenarnya. Mengapa kamu mengungkit-ungkitnya lagi?"Arman mengambil posisi duduk. Berharap hal yang sama dilakukan Kinan. Tak elok rasanya bicara sambil berdiri. "Abang bertanya mengapa aku mengungkitnya? Atau Abang memang sengaja ingin mengubur kisah itu agar dilupakan orang begitu saja?" Kali ini Kinan menegakkan wajahnya. Menghujam Arman dengan netranya yang se
Kinan menatap tegak bangunan yang ada di hadapannya. Kali kedua menginjakkan kaki ke halaman ini, namun perasaannya sungguh berbeda. Jika dulu langkahnya diiringi kekhawatiran, sekarang sungguh berbeda. Tak ada rasa khawatir yang dirasakannya sama sekali. Justru semangat yang menggebu ingin bertemu dengan sang pemilik rumah. Kecurigaannya jelaslah bukan tanpa alasan. Bukan tanpa dasar. Ada banyak hal mengganjal yang layak disebut sebagai bahan pertimbangan. "Ingin bertemu siapa, Yuk?"Kinan menolehkan kepalanya ke arah samping kiri. Posisi asal sumber suara yang menegurnya tadi. Seorang wanita yang hampir sebaya dengan Yuk Diana tampak berdiri tegak. Menatap Kinan dengan sedikit curiga. Kjnan tak marah. Wajar saja itu dilakukan wanita yang sepertinya merupakan pekerja rumah tangga di bangunan di hadapannya ini. Wanita ini tentu mendapat amanah untuk memastikan para tamu yang datang tak salah orang. Tak salah sasaran. "Pak Ar