Kinan meletakkan gawainya di atas kasur. Dua puluh menit Kinan menghabiskan waktu berbincang dengan ibunya. Tak bertatap muka secara langsung, namun cukup untuk mengobati rasa rindu di hati atas wanita yang telah melahirkannya itu. Jarak yang membentang di antara mereka. Meskipun di pulau yang sama namun tetap saja Kinan tak dapat sering-sering menemui orang tuanya. Ada tanggung jawab yang tak boleh diabaikannya.
Saling bertukar kabar, Kinan tetap memilih menutup semua pedih dan rasa sakit hati atas perlakuan suaminya. Bagaimanapun, Ardi adalah pilihannya. Lelaki yang dipercayainya dengan sepenuh hati dan jiwa sebagai sandaran hidup untuk menua. Bukan hasil perjodohan orang tuanya. Apalagi ayahnya cukup merasa keberatan atas sosok laki-laki yang dipilihnya itu sejak awal. Restu itu terpaksa diberikan karena Kinan yang bersikeras.Kinan menghela napas panjang. Kabar yang disampaikan ibunya tadi cukup membuat otaknya berpikir keras. Bukan tentang kesehatan kedua oran"Aku minta sekali ini saja kamu mampu menggunakan hati dan otakmu, Bang! Aku mau kita memberikan uang untuk membantu resepsi Sekar nantinya. Paling tidak ... kita menyumbang satu pondok makanan nanti. Aku malu jika tak memberikan apa-apa, Bang! Aku bekerja, kamu juga bekerja. Tak mungkin kita tak menyumbang apa-apa, Bang!"Akhirnya Kinan harus berkata cukup keras untuk menyampaikan niatnya. Semoga Ardi paham dengan maksud hatinya."Apa kamu tak malu jika kita tak ikut menyisihkan sedikit rezeki kita pada Sekar, Bang? Aku malu! Walaupun mungkin Abang sudah putus urat malu itu."Apa Abang melarangmu? Kan tidak, Dek. Abang sudah bilang, jika ada uang ... berikan semampumu. Abang tak melarang. Silahkan!"Kinan harus berkali-kali mengucapkan istighfar. Walaupim reaksi Ardi sudah diduganya, tetap saja rasa kesal dan emosi muncul saat berhadapan dengan laki-laki ini. Hati boleh sama bentuknya, namun tak semua orang ternyata memiliki nurani. Jik
Kinan menggantung mukena yang baru saja dipakainya untuk salat Asar di cantolan samping lemari. Tubuhnya sangat lelah hari ini. Hari Minggu, hari yang seharusnya dimanfaatkannya untuk beristirahat dan menyiapkan tenaga yang kuat untuk aktivitas seminggu ke depan nantinya.Namun itu tak berlaku bagi Kinan. Hari Minggu akan dihabiskannya untuk menambah pundi-pundi tabungannya. Bukan karena gila harta, tapi semua itu terpaksa harus dilakukannya untuk tetap kuat menjalani kenyataan hidup yang sesungguhnya sangat jauh berbeda dengan khayalan masa remajanya.Tadi saat hendak menjemput Rafif di rumah Yuk Diana, gawai Kinan berdering. Wanita yang hendak ditemuinya itu mengabarkan agar tak buru-buru menjemput Rafif. Batita itu sedang tidur pulas. Bahkan, Yuk Diana menyarankan agar Kinan beristirahat saja lebih dulu. Rafif akan diantarkannya jika nanti sudah bangun.Kinan meluruskan punggungnya yang terasa sangat penat. Matanya menerawang menatap langit-langit kamar
"Kamu nggak keberatan kan Nan, kalau Kakak dan anak-anak menginap seminggu di sini?"Pertanyaan yang disampaikan Indah menyadarkan Kinan dari lamunannya. Karena keterkejutannya tadi, Kinan menjadi tak sadar diri jika ada orang lain di dekatnya."Tentu tidak, Kak. Kinan senang sekali malahan. Kami tak sempat mengunjungi Kakak ... Kakak yang mengunjungi kami. Maaf, Kak. Bukannya tak mau, hanya belum sempat membagi waktu saja."Kinan menyunggingkan senyum kecil di bibirnya, mencoba menghalau kebingungan yang sedang terjadi di balik ketidakjujuran Ardi, suaminya. Sambil melangkah menjinjing dua kardus di tangannya, Kinan menebak-nebak arah pikiran Ardi. Harusnya lelaki itu memberitahukannya tentang kedatangan dua wanita ini. Bohong rasanya jika Ardi sampai lupa dan tak ingat. Jika memang lupa, bukankah dapat mengabarkan Kinan dengan menelepon atau mengirimkan pesan? Bukan menjebak Kinan dengan cara seperti ini.Kinan akhirnya menemukan alasa
Kinan melangkahkan kakinya cepat ke warung Mang Ijal. Takut keburu tutup, mengingat hari telah sore. Kali ini, Kinan akan mencoba berbuat sesuatu yang selama ini tak pernah dilakukannya."Mang ... masih ada ikan nggak?" Kinan langsung memanggil Mang Ijal saat sosok itu dilihatnya sudah siap berkemas-kemas. Merapikan barang dagangannya untuk disimpan dan dijual kembali esok hari."Masih ada kepala ikan mayong saja, Nan. Tumben kami belanjanya sore?" Mang Ijal menghentikan aktivitasnya saat mendengar seruan Kinan. "Nggak ada ikan lain, Mang? Ada Kak Wina dan Indah baru datang. Mau liburan di sini katanya karena pas anak-anak nggak masuk sekolah. Ada ujian kelas enam."Tangan Kinan bergerak lincah menyibak sisa sayuran yang masih ada. Tak banyak pilihan jika sudah belanja sore hari seperti ini."Habis, Nan. Besok Mamang baru belanja lagi. Bagaimana ... mau nggak kepala mayongnya?" tanya Mang Ijal seraya membuka kotak berbahan gabu
Kinan menepuk dahinya. Tak menyangka, sudah menjadi rahasia umum tentang perangai almarhum mertuanya. Tak guna ditutupi, dirinya saja yang terlalu polos dan lugu sampai tak mengetahui rahasia bersama warga di dekat rumahnya ini.Ternyata sifat perhitungan suaminya ini bukanlah sesuatu yang menjadi rahasia rumah tangganya. Jika Mang Ijal saja tahu, bukan tak mungkin jika sebagian masyarakat kampung ini pun tahu."Ya sudah, Mang. Kinan balik dulu, mau masak. Titipan Kinan jangan lupa! Mamang tak perlu mengantarnya ke rumah. Nanti pulang dari sekolah, Kinan akan singgah mengambilnya sendiri. Terima kasih ya, Mang!" ucap Kinan sembari mengembangkan senyumnya.Tak perlu merasa malu atas sikap suaminya itu. Yang penting bukan dirinya yang bersikap memalukan seperti itu. Lagi-lagi Mang Ijal hanya mengacungkan jempol kanannya sebagai tanda persetujuan. Bahkan lelaki itu sempat mengucapkan kalimat yang cukup mengejutkan Kinan."Sering-sering saja
"Nan, nanti sore kita ke pemandian ya! Kamu pulang dari sekolah jam berapa?"Kinan yang sedang mengaduk nasi goreng di atas kompor menoleh, mencari sumber suara."Kak Wina, Kinan terkejut."Kinan mematikan kompor setelah memastikan rasa nasi goreng yang dimasaknya telah sesuai selera. Tak pedas, mengimbangi tiga bocah yang nantinya ikut menyantap nasi goreng dengan tambahan telur dan sosis di dalamnya itu. Cepat Kinan mengambil sebuah mangkuk besar bermotif bunga mawar dan menuangkan isi wajan ke dalam mangkuk tersebut. Uap panas nasi goreng mengepul dengan aroma harum yang menguar memenuhi dapur."Tadi Kak Wina bilang apa? Kinan kurang peka karena fokus menggoreng nasi," ujar Kinan seraya meletakkan wajan kotornya di tempat cuci piring.Membiarkan air keran mengalir beberapa saat sampai merendam wajan tersebut. Hal itu biasa dilakukan Kinan sebelum mencuci wajan ataupun panci yang kotor setelah memasak. Tujuannya agar kotoran sisa masaka
"Siplah, Nan! Intinya kamu tak perlu mengkhawatirkannya hidangan untuk kami. Kebutuhan kami tak perlu kamu pikirkan. Kapan lagi kita bisa menikmati kebersamaan seperti ini," ujar Wina seraya mengisi tiga piring yang ada di meja dengan nasi goreng. "Kakak mau menyuruh anak-anak sarapan dulu."Tak lama Wina pun beranjak meninggalkan dapur sembari membawa tiga piring sekaligus di tangannya.Kinan yang sudah berdiri di depan pintu kamar mandi tertegun sesaat. Penilaiannya pada kedua iparnya selama ini ternyata salah. Kinan merasa kedua iparnya itu setipe dengan Ardi, suaminya. Ternyata, sedarah belum tentu sama sifatnya. Tergantung pada karakter dan watak pribadi masing-masing.Kinan menuntun sepeda motornya keluar dari pekarangan rumah. Mengenakan seragam kerja dengan warna abu muda, dengan pasangan pasmina bermotif bunga dengan warna senada membuat paras ayu wanita itu semakin terlihat. Tak ada yang memungkiri pesona Kinan itu sejak masa gadisnya
Kinan menempelkan punggungnya ke dinding ruang tengah, mencoba meluruskan otot-otot punggungnya yang terasa sedikit nyeri. Untung saja, hari Minggu ini Kinan berhasil meminta izin pada Bang Iwan. Tak dapat ikut manggung untuk hari ini saja.Kinan jarang sekali meminta izin pada bosnya itu. Jika keadaan masih memungkinkan, Kinan akan selalu mengikuti jadwal manggung kelompoknya itu kemanapun. Tapi kali ini, Kinan benar-benar menyerah. Tak akan sanggup dirinya memberikan penampilan maksimal dengan kondisi tubuhnya yang lelah saat ini.Wina dan Indah telah pulang kemarin sore bersama tiga bocah yang lumayan membuat suasana ramai seminggu ini. Canda tawa mereka menggoda Rafif cukup membuat membuat suasana rumah yang bisanya sepi menjadi ramai. Tapi sekarang ini suasana kembali seperti semula. Hanya Rafif yang menjadi teman Kinan menghabiskan waktunya.Stok bahan masakan selama seminggu kemarin Kinan peroleh dengan kesepakatan antara dirinya dan Mang Ijal. Kina
"Bang,dimana kau!" pekik Kinan dengan langkah yang tergesa. Mengabaikan tatapan heran dia lelaki yang memandangnya sejak mematikan mesin motor tadi. Tak peduli tanah yang sedikit becek akibat hujan sesaat barusan, Kinan tak dapat lagi menahan lama-lama emosi yang menggelegak di dadanya. Pernyataan yang disampaikan Fauzan tadi benar-benar membuatnya naik pitam. Mengapa sosok itu harus dia? Bukankah selama ini lelaki itu yang seolah menjadi sahabat dekat mendiang suaminya? Hanya berpura-pura ternyata. Lelaki itu tak lebih dari manusia munafik. Berpura-pura baik, menikam dari belakang. Kinan sempat tercengang saat mendengar nama yang disebutkan Fauzan itu. Menggelengkan kepala menunjukkan ketidakpercayaannya. Bahkan Kinan sempat meminta Fauzan mengulanginya kembali. Memastikan agar lelaki itu tak salah mengeja nama yang akhirnya akan menjadi fitnah. Namun Fauzan mempertegas semuanya. Gendang telinganya tak salah menangkap gelombang suara. Sosok i
Tak ada jawaban yang keluar dari bibir Fauzan. Lelaki itu tampak merasa serba salah. "Mengapa Abang tak menjawab pertanyaanku? Jangan bilang Abang menyesal telah mengatakan semua ini kepadaku!" tukas Kinan dengan tegas. Tatapan mata Kinan semakin menghujam. Membuat Fauzan semakin gelisah. Helaan napas panjang Fauzan terdengar jelas di tengah pemakaman yang sepi tanpa peziarah lainnya. Tampak beban berat seolah menggurat di wajah lelaki itu. "Abang tak bilang begitu. Hanya saja, Abang pikir semua kisah itu telah terungkap tanpa sisa. Ternyata Abang salah. Harusnya Ardi pergi tanpa belenggu rasa bersalah yang selalu membebaninya."Kinan mengernyitkan dahinya. Tak lama kemudian tangan kanannya bergerak ke arah pelipis. Memijatnya perlahan untuk menghalau rasa sakit yang mulai mendera. "Aku tak paham apa yang Abang katakan. Mungkin lebih baik Abang katakan saja langsung. Tak perlu berbelit-belit. Lagi pula aku tak ingin berlama-
Fauzan tampak tersentak. Sepertinya tak menduga jika Kinan akan menanyakan hal ini kepadanya. "Mengapa Abang terlihat terkejut? Abang pikir … aku tak tahu semua itu? Aku tahu, bukan tak tahu apa-apa seperti yang Abang pikirkan."Kinan mencoba menepis keraguan di hati Fauzan. Dirinya tahu tentang masa lalu suaminya. Pun dirinya mencoba berdamai dengan semua itu. Walaupun perceraian yang semoga menjadi penyelesaiannya saat itu. "Setelah Ardi pergi? Atau justru saat awal kalian menikah dulu?"Kinan menggelengkan kepalanya. Perlahan namun pasti. "Bukan keduanya. Aku tahu beberapa waktu sebelum kepergian almarhum. Dan itu pun secara tak sengaja. Berawal dari banyak hal yang memang almarhum coba sembunyikan. Namun Allah punya kehendak, yang mungkin tak sama seperti yang kita harapkan."Kembali Fauzan tertegun. Tak mampu lagi berkata apa-apa. "Aku tak akan dan tak sedang ingin membicarakan hal itu lagi. Aku hanya ingin mem
Beranjak dari posisi berjongkok, Kinan masih tertegun. Tak mengenal sosok yang ada di belakangnya. Bahkan setelah Kinan membalikkan tubuhnya, tetap saja tak ada ingatan yang tersisa tentang lelaki ini. "Maaf … Abang siapa? Mengenal almarhum suami saya?" tanya Kinan sembari menunjukkan raut wajah bingungnya. Dahinya mengernyit mencoba menguatkan kerja memori otaknya. "Ini makam Ardi kan? Soalnya petunjuk yang aku dapatkan tadi menunjukkan arah ini."Seolah tak peduli dengan pertanyaan Kinan, lelaki itu memajukan tubuh dan menajamkan netranya. Kacamata hitam yang tadi dikenakannya berpindah tempat. Tak lagi menempel di hidung, melainkan menggantung di kancing kemeja kotak-kotak yang dikenakannya."Tak salah lagi. Benar, ini makam Ardi."Lirih lelaki itu berkata sembari menurunkan tubuhnya. Mengambil posisi berjongkok di tempat yang tadinya ditempati oleh Kinan. Bibir lelaki itu berkomat-kamit. Kedua telapak tangannya menengadah.
Kinan menatap pilu nisan yang masih terbuat dari sebilah papan. Nama suaminya tertulis di sana. Tanah kuning di hadapannya belum sempurna mengering. Masih membasah, sama seperti hatinya yang belum juga mampu menerima kepergian lelaki ini sepenuhnya. Kepergian lelaki ini masih meninggalkan duka di hatinya. Tak pernah disangka jika mereka sedang dalam situasi tak baik ketika lelaki ini harus pergi selamanya. Itu yang paling menimbulkan penyesalan terbesar di hati Kinan hingga saat ini. Perceraian mereka memang urung terjadi. Namun kenyataan pahit ini jauh lebih menyesakkan dadanya. "Bang … bantu aku! Berikan petunjuk padaku! Aku sedang berjuang membuktikan jika dirimu tak salah kala itu. Sesuai apa yang kamu tuliskan dalam surat itu. Tapi apalagi yang dapat aku lakukan saat ini, Bang? Aku tak tahu bagaimana lagi harus mencari petunjuknya. Aku gagal, Bang."Tak hanya isakan tangis, Kinan juga menumpahkan air matanya. Area pemakaman yang sepi membuat Kinan m
Arman tercengang. Sepasang mata lelaki itu tampak terbelalak. Rahangnya mengeras. Bahkan ekor netra Kinan masih mampu menangkap gerakan terkepalnya telapak kedua tangan lelaki itu. "Abang terkejut aku tahu semuanya? Abang salah jika berpikir akan dapat menutupi bangkai selamanya."Kinan tersenyum sinis. Bentuk penguatan pada diri sendiri agar tak terlihat lemah di hadapan Arman. Kedok lelaki ini harus terbuka sekarang juga. "Pasti Hanif yang mengatakan kepadamu. Benar kan, Nan?" tanya Arman dengan lirih sembari mengacak rambutnya dengan kasar. Kinan diam. Satu hal yang dapat ditangkap dirinya atas ucapan Arman itu. Lelaki ini hanya mengatakan semua itu pada Hanif dan keluarganya. Tidak pada orang lain. "Setidaknya lelaki itu lebih jujur dibandingkan Abang."Kalimat yang singkat itu mengalir dari bibir Kinan. Namun mampu meluluhlantakkan hati Arman seketika. Sebegitu rendahkah dirinya di mata Kinan sekarang? "Kamu ta
Arman terperanjat. Kelihatan sekali jika laki-laki itu tak menyangka atas kalimat yang diucapkan Kinan. "Abang terkejut? Atau pura-pura terkejut? Masih ingin bersandiwara?" lanjut Kinan seolah tak memberi Arman kesempatan untuk bicara. Arman tampak gugup. Sesaat. Kembali berusaha menguasai diri. Namun Kinan mampu menangkap segala perubahan raut wajahnya lelaki itu dengan seksama. "Tak perlu gugup. Tak perlu berdalih untuk menutupi kebohongan Abang. Aku sudah tahu semuanya, Bang."Kali ini Kinan menurunkan nada suaranya. Sedikit melemah walaupun dengan telapak tangan yang terkepal. "Jika Abang tanya perasaanku setelah mengetahui semua ini, jujur aku kecewa. Kecewa pada sikap Abang. Kecewa pada pilihan yang Abang buat bertahun silam."Kinan menyunggingkan senyum sinisnya. Kembali menegakkan wajah ke arah Arman yang tampak kikuk seketika. "Abang masih belum paham arah pembicaraanmu ini, Nan. Semoga apa pun yang ada di
"Maksudmu? Abang tak paham. Bukankah apa yang Abang ketahui sudah Abang jelaskan semua kepadamu?"Arman yang muncul selang lima menit kemudian tampak terkejut mendengar pertanyaan yang dilontarkan Kinan itu. Kinan yang memilih tetap berdiri sama sekali tak ada niat untuk menyampaikan basa-basi. "Abang tak usah lagi berpura-pura. Tak usah berlagak tak tahu apa-apa."Mengernyitkan dahi, Arman sepertinya masih mencoba berlagak tak paham arah pembicaraan Kinan ini. "Abang memang tak tahu apa-apa, Nan. Lagipula kisah itu sudah lama. Sudah jelas apa yang terjadi sebenarnya. Mengapa kamu mengungkit-ungkitnya lagi?"Arman mengambil posisi duduk. Berharap hal yang sama dilakukan Kinan. Tak elok rasanya bicara sambil berdiri. "Abang bertanya mengapa aku mengungkitnya? Atau Abang memang sengaja ingin mengubur kisah itu agar dilupakan orang begitu saja?" Kali ini Kinan menegakkan wajahnya. Menghujam Arman dengan netranya yang se
Kinan menatap tegak bangunan yang ada di hadapannya. Kali kedua menginjakkan kaki ke halaman ini, namun perasaannya sungguh berbeda. Jika dulu langkahnya diiringi kekhawatiran, sekarang sungguh berbeda. Tak ada rasa khawatir yang dirasakannya sama sekali. Justru semangat yang menggebu ingin bertemu dengan sang pemilik rumah. Kecurigaannya jelaslah bukan tanpa alasan. Bukan tanpa dasar. Ada banyak hal mengganjal yang layak disebut sebagai bahan pertimbangan. "Ingin bertemu siapa, Yuk?"Kinan menolehkan kepalanya ke arah samping kiri. Posisi asal sumber suara yang menegurnya tadi. Seorang wanita yang hampir sebaya dengan Yuk Diana tampak berdiri tegak. Menatap Kinan dengan sedikit curiga. Kjnan tak marah. Wajar saja itu dilakukan wanita yang sepertinya merupakan pekerja rumah tangga di bangunan di hadapannya ini. Wanita ini tentu mendapat amanah untuk memastikan para tamu yang datang tak salah orang. Tak salah sasaran. "Pak Ar