"Yakin. Karena semua anak buah Bang Iwan diperlakukan sama. Aku, Yola, Lutfi, semuanya sama. Boleh jadi memang Bang Iwan memberikan perlindungan yang lebih untukku dan Yola saat kami sedang manggung. Itu pastinya karena kami perempuan. Abang tak tahu kan jika perempuan penyanyi itu seolah gampang dilecehkan. Tak patut Abang mencurigai Bang Iwan. Yang ada, seharusnya Abang bersyukur laki-laki itu ikut menjaga dan melindungi istri Abang saat di luar sana. Bukan menuduh tak beralasan, membabi buta seperti ini."
Kinan memang tak mengada-ada. Kepentingan dirinya dan Yola lebih diutamakan oleh sang bos mereka itu. Meminta yang lain berjalan di belakang dan memberi kesempatan Kinan dan Yola untuk berjalan lebih dulu jika memang suasana hajatan ramai. "Abang tetap tak percaya. Abang tak melihat langsung selama ini. Dan baru hari ini Abang melihatnya langsung. Abang terlalu bodoh selama ini terlalu mempercayaimu," tukas Ardi dengan tegas."Jadi Abang tak mempercayKinan tahu pasti jika laki-laki itu pun sama dengannya. Mereka sedang berusaha mengelola kemarahan yang ada di hati masing-masing. Luapan emosi sedang merajai hati mereka saat ini. Jiwa mereka sedang terbakar amarah. Sama-sama tak ada yang mau mengalah."Mengapa? Karena Abang sangat mencintaiku? Abang salah dan keliru jika dengan cara itu Abang bilang mencintaiku. Bahkan Abang mengabaikan bahagia untukku. Jika Abang merasa sudah memberiku banyak kebahagiaan selama ini, Abang salah!"Kinan menyunggingkan senyum sinisnya pada laki-laki yang masih terus berusaha mempertahankan keegoisannya itu. Terlalu naif semua ucapan dan tudingan yang dilontarkannya tadi. "Jangan pernah bermimpi jika Abang akan melepaskanmu! Tak akan pernah, ingat itu! Jangan pula coba-coba pergi meninggalkan Abang! Abang akan mencarimu kemana pun. Abang akan pastikan hidupmu tak akan tenang jika melakukan itu. Abang tak main-main dengan ucapan Abang ini! Jika kamu tak percaya, laku
Kinan merebahkan tubuhnya kembali ke samping Rafif. Rasa dahaganya lenyap seketika. Meskipun kerongkongannya terasa kering, Kinan tak berniat membasahinya. Siapa yang berbicara dengan suaminya di telepon tadi? Mengapa harus selarut ini sang penelepon itu menghubungi suaminya? Jika bukan karena hal yang penting rasanya orang akan enggan menghubungi di jam seperti ini.Kinan dapat menangkap ketidaksukaan Ardi pada sang penelepon itu. Terlihat saat laki-laki itu menutup telepon tanpa mengucapkan salam sekali. Raut wajahnya pun tampak kesal.Apa yang sedang coba ditutupi laki-laki itu? Jika berkaitan dengan hutang, Ardi sudah membantahnya dengan jelas. Dan Kinan yakin jika suaminya itu memang enggan meminjam uang pada orang lain. Ardi tipikal orang yang akan lebih baik tak punya daripada harus punya sesuatu dengan memaksakan diri di luar kemampuannya. Kinan menghela napasnya, menatap langit-langit kamar yang tak ada rupa. Mengingat peliknya pe
Menyingkirkan rasa ingin tahu dan penasarannya, Kinan lebih memilih untuk menyiapkan Rafif dan dirinya untuk beraktivitas hari ini. Menyuapi Rafif dengan semangkuk nasi setelah mandi baru kemudian mengantarkan puteranya itu ke rumah Yuk Diana dengan kondisi perut yang sudah terisi. Urusan makan putranya nanti siang, Yuk Diana melarang Kinan untuk membawakannya dari rumah. Kecuali jika wanita itu sendiri yang meminta karena tak punya lauk yang memadai untuk putera Kinan itu. Melajukan kendaraan roda duanya setelah memastikan pintu rumah terkunci dengan sempurna dan tak ada kompor yang menyala, Kinan harus datang lebih pagi karena tugas piketnya hari ini. Hanya seminggu sekali jadwal itu didapatkan setiap orang. Dan boleh saling bertukar jika suatu waktu berhalangan. Yang penting kesepakatan dengan sesama rekan."Nan, kita diminta Bu Alya ke Pangkalpinang nanti agak siang. Bahan-bahan pembelajaran banyak yang sudah menipis," ujar Dinda saat melihat kehadi
"Itu Ardi kan, Nan?" tanya Dinda sembari mengarahkan dagunya kembali. Mengarahkan pandangannya pada sosok yang sama seperti pandangan Kinan saat ini. Hanya anggukan yang diberikan Kinan sebagai jawaban. Tak dapat berkata, lidahnya kelu seketika. Sungguh, ini semua sungguh tak diduga oleh Kinan sebelumnya.Sosok lelaki yang ada di hadapan Ardi itu sama sekali tak dikenalnya. Yang pasti bukan rekan kerja laki-laki itu pastinya. Pakaian yang dikenakan laki-laki itu mengenakan pakaian berupa kaos saja. Tak berseragam seperti suaminya. Siapakah dia? Otak Kinan mulai bekerja. Memikirkan berbagai kemungkinan yang ada. Apakah laki-laki itu ada hubungannya dengan pembicaraan telepon tadi malam?"Nan, kamu mau menemui Ardi?" tanya Dinda sembari menepuk punggung Kinan.Kinan menatap wanita yang sudah dianggapnya seperti kakak kandung sendiri itu. Gelengan kepala diberikan Kinan dengan tegas."Tak usah, Kak! Hanya akan menimbulkan keribu
Gelengan kepala diberikan Kinan sebagai jawaban atas pernyataan Dinda itu. Memang hari itu dirinya merasa melakukan perbuatan yang sia-sia saja. Tak ada keanehan perbuatan yang dilakukan Ardi di hari itu, kecuali keakrabannya dengan pemilik warung makan yang disinggahinya. Kemungkinan besar, Ardi memang berlangganan di sana. Hanya saja entah apa alasan Ardi memilih warung makan yang agak jauh dari tempatnya bekerja."Aman kalau begitu. Kamu saja yang terlalu cermburu, Nan!" tukas Dinda sembari menyuapkan sesendok es krim ke dalam mulutnya."Aku tak akan melakukan hal nekad itu jika tak ada penyebabnya, Kak," ujar Kinan dengan lirih. Mata itu mengembun, jelas sekali terlihat oleh Dinda.Kali ini Dinda yang menghela napas panjangnya. Kinan benar. Mengenalnya bertahun-tahun, Dinda tahu jika Kinan selalu melakukan sesuatu dengan pemikiran yang cukup matang. Hanya satu kesalahan Kinan di mata Dinda, memilih suami seperti Ardi sebagai teman hidupnya. Memang
"Kamu mampu mengingat pembicaraan Ardi semalam, Nan?" tanya Dinda yang berhasil membuat Kinan sadar dari lamunannya. Ya, nama itu jelas sekali diucapkan oleh Ardi semalam."Ada satu nama yang disebut Bang Ardi semalam," sahut Kinan dengan perlahan.Ya, hanya nama itu. Tak ada yang lainnya. Entahlah jika itu ada sebelum Kinan mendengar pembicaraan Ardi sebelumnya."Siapa?" sahut Dinda dengan cepat.Kinan mengerucutkan bibirnya sebelum akhirnya menyebutkan satu nama."Arman. Hanya nama itu yang Kinan sempat dengar disebutkan oleh Bang Ardi semalam," ujar Dinda sembari kembali meneruskan aktivitas makannya. Perutnya lapar apalagi dengan harus menghadapi kenyataan yang baru saja dilihatnya tadi."Arman bos sawit itu?" tanya Dinda untuk memastikan. Nama itu memang sering didengar Dinda di kampung mereka. Apalagi jika bukan terkait banyaknya uang yang dimiliki laki-laki itu. Mempunyai istri yang tampil cukup berbeda dari keb
Kekhawatiran Kinan itu sungguh beralasan. Pertemuan yang sudah sangat lama terjalin tentunya membuat hubungan Arman dan suaminya sangat dekat. Jika diminta memilih, laki-laki itu tentunya akan memilih Ardi dibandingkan dirinya. Dan itu membuat Kinan bimbang. Bagaimana jika Arman menyampaikan maksud Kinan itu kepada Ardi? Suami Kinan itu pasti akan marah dan tak terima karena menganggap Kinan ikut campur urusannya."Tapi hanya ini yang dapat kamu lakukan, Nan! Tak ada cara lain, Kakak rasa. Ini ikhtiarmu, berdoalah semoga Allah mempermudah. Kakak akan menemanimu jika memang kamu ragu menemui Arman sendirian," ujar Dinda seraya menepuk punggung tangan Kinan dengan lembut. Kinan diam, tak tahu harus berkata apa. Keraguan itu masih menyelimuti hatinya."Berusaha itu jauh lebih baik ketimbang kamu duduk dan berdiam diri saja, Nan. Apakah dengan berdiam diri rasa ingin tahumu akan terjawab, Nan? Tentu tidak kan? Jika sudah mencoba, kamu tak akan menyesali
Kinan melangkah dengan ragu. Ini kali pertama kalinya menginjakkan kaki ke rumah ini, rumah teman suaminya. Rumah seseorang yang cukup terpandang di daerah mereka Walaupun tak satu kampung tetap saja yang namanya orang terpandang gaungnya sampai kemana-mana. Jangankan ke kampung sebelah, semilir angin pun akan menerbangkan kabar itu melintasi hutan belantara.Mengedarkan pandangan ke sekeliling, Kinan berdecak kagum melihat bayangan yang ditangkap oleh netranya. Rumah yang besar untuk ukuran di perkampungan dengan bentuk yang minimalis kekinian. Halaman luas menyempurnakannya dengan pagar setinggi kurang lebih satu setengah meter dengan model kekinian berbahan besi berwarna hitam. Memberi kesan yang kuat dan gagah bagi siapa pun yang melihatnya.Dua mobil dengan tipe yang berbeda ada di garasi bersama tiga kendaraan roda dua keluaran tahun ini. Kinan mengenal dari modelnya yang banyak berseliweran di iklan televisi. Untuk ukuran kampung seperti tempat tinggal mer
"Bang,dimana kau!" pekik Kinan dengan langkah yang tergesa. Mengabaikan tatapan heran dia lelaki yang memandangnya sejak mematikan mesin motor tadi. Tak peduli tanah yang sedikit becek akibat hujan sesaat barusan, Kinan tak dapat lagi menahan lama-lama emosi yang menggelegak di dadanya. Pernyataan yang disampaikan Fauzan tadi benar-benar membuatnya naik pitam. Mengapa sosok itu harus dia? Bukankah selama ini lelaki itu yang seolah menjadi sahabat dekat mendiang suaminya? Hanya berpura-pura ternyata. Lelaki itu tak lebih dari manusia munafik. Berpura-pura baik, menikam dari belakang. Kinan sempat tercengang saat mendengar nama yang disebutkan Fauzan itu. Menggelengkan kepala menunjukkan ketidakpercayaannya. Bahkan Kinan sempat meminta Fauzan mengulanginya kembali. Memastikan agar lelaki itu tak salah mengeja nama yang akhirnya akan menjadi fitnah. Namun Fauzan mempertegas semuanya. Gendang telinganya tak salah menangkap gelombang suara. Sosok i
Tak ada jawaban yang keluar dari bibir Fauzan. Lelaki itu tampak merasa serba salah. "Mengapa Abang tak menjawab pertanyaanku? Jangan bilang Abang menyesal telah mengatakan semua ini kepadaku!" tukas Kinan dengan tegas. Tatapan mata Kinan semakin menghujam. Membuat Fauzan semakin gelisah. Helaan napas panjang Fauzan terdengar jelas di tengah pemakaman yang sepi tanpa peziarah lainnya. Tampak beban berat seolah menggurat di wajah lelaki itu. "Abang tak bilang begitu. Hanya saja, Abang pikir semua kisah itu telah terungkap tanpa sisa. Ternyata Abang salah. Harusnya Ardi pergi tanpa belenggu rasa bersalah yang selalu membebaninya."Kinan mengernyitkan dahinya. Tak lama kemudian tangan kanannya bergerak ke arah pelipis. Memijatnya perlahan untuk menghalau rasa sakit yang mulai mendera. "Aku tak paham apa yang Abang katakan. Mungkin lebih baik Abang katakan saja langsung. Tak perlu berbelit-belit. Lagi pula aku tak ingin berlama-
Fauzan tampak tersentak. Sepertinya tak menduga jika Kinan akan menanyakan hal ini kepadanya. "Mengapa Abang terlihat terkejut? Abang pikir … aku tak tahu semua itu? Aku tahu, bukan tak tahu apa-apa seperti yang Abang pikirkan."Kinan mencoba menepis keraguan di hati Fauzan. Dirinya tahu tentang masa lalu suaminya. Pun dirinya mencoba berdamai dengan semua itu. Walaupun perceraian yang semoga menjadi penyelesaiannya saat itu. "Setelah Ardi pergi? Atau justru saat awal kalian menikah dulu?"Kinan menggelengkan kepalanya. Perlahan namun pasti. "Bukan keduanya. Aku tahu beberapa waktu sebelum kepergian almarhum. Dan itu pun secara tak sengaja. Berawal dari banyak hal yang memang almarhum coba sembunyikan. Namun Allah punya kehendak, yang mungkin tak sama seperti yang kita harapkan."Kembali Fauzan tertegun. Tak mampu lagi berkata apa-apa. "Aku tak akan dan tak sedang ingin membicarakan hal itu lagi. Aku hanya ingin mem
Beranjak dari posisi berjongkok, Kinan masih tertegun. Tak mengenal sosok yang ada di belakangnya. Bahkan setelah Kinan membalikkan tubuhnya, tetap saja tak ada ingatan yang tersisa tentang lelaki ini. "Maaf … Abang siapa? Mengenal almarhum suami saya?" tanya Kinan sembari menunjukkan raut wajah bingungnya. Dahinya mengernyit mencoba menguatkan kerja memori otaknya. "Ini makam Ardi kan? Soalnya petunjuk yang aku dapatkan tadi menunjukkan arah ini."Seolah tak peduli dengan pertanyaan Kinan, lelaki itu memajukan tubuh dan menajamkan netranya. Kacamata hitam yang tadi dikenakannya berpindah tempat. Tak lagi menempel di hidung, melainkan menggantung di kancing kemeja kotak-kotak yang dikenakannya."Tak salah lagi. Benar, ini makam Ardi."Lirih lelaki itu berkata sembari menurunkan tubuhnya. Mengambil posisi berjongkok di tempat yang tadinya ditempati oleh Kinan. Bibir lelaki itu berkomat-kamit. Kedua telapak tangannya menengadah.
Kinan menatap pilu nisan yang masih terbuat dari sebilah papan. Nama suaminya tertulis di sana. Tanah kuning di hadapannya belum sempurna mengering. Masih membasah, sama seperti hatinya yang belum juga mampu menerima kepergian lelaki ini sepenuhnya. Kepergian lelaki ini masih meninggalkan duka di hatinya. Tak pernah disangka jika mereka sedang dalam situasi tak baik ketika lelaki ini harus pergi selamanya. Itu yang paling menimbulkan penyesalan terbesar di hati Kinan hingga saat ini. Perceraian mereka memang urung terjadi. Namun kenyataan pahit ini jauh lebih menyesakkan dadanya. "Bang … bantu aku! Berikan petunjuk padaku! Aku sedang berjuang membuktikan jika dirimu tak salah kala itu. Sesuai apa yang kamu tuliskan dalam surat itu. Tapi apalagi yang dapat aku lakukan saat ini, Bang? Aku tak tahu bagaimana lagi harus mencari petunjuknya. Aku gagal, Bang."Tak hanya isakan tangis, Kinan juga menumpahkan air matanya. Area pemakaman yang sepi membuat Kinan m
Arman tercengang. Sepasang mata lelaki itu tampak terbelalak. Rahangnya mengeras. Bahkan ekor netra Kinan masih mampu menangkap gerakan terkepalnya telapak kedua tangan lelaki itu. "Abang terkejut aku tahu semuanya? Abang salah jika berpikir akan dapat menutupi bangkai selamanya."Kinan tersenyum sinis. Bentuk penguatan pada diri sendiri agar tak terlihat lemah di hadapan Arman. Kedok lelaki ini harus terbuka sekarang juga. "Pasti Hanif yang mengatakan kepadamu. Benar kan, Nan?" tanya Arman dengan lirih sembari mengacak rambutnya dengan kasar. Kinan diam. Satu hal yang dapat ditangkap dirinya atas ucapan Arman itu. Lelaki ini hanya mengatakan semua itu pada Hanif dan keluarganya. Tidak pada orang lain. "Setidaknya lelaki itu lebih jujur dibandingkan Abang."Kalimat yang singkat itu mengalir dari bibir Kinan. Namun mampu meluluhlantakkan hati Arman seketika. Sebegitu rendahkah dirinya di mata Kinan sekarang? "Kamu ta
Arman terperanjat. Kelihatan sekali jika laki-laki itu tak menyangka atas kalimat yang diucapkan Kinan. "Abang terkejut? Atau pura-pura terkejut? Masih ingin bersandiwara?" lanjut Kinan seolah tak memberi Arman kesempatan untuk bicara. Arman tampak gugup. Sesaat. Kembali berusaha menguasai diri. Namun Kinan mampu menangkap segala perubahan raut wajahnya lelaki itu dengan seksama. "Tak perlu gugup. Tak perlu berdalih untuk menutupi kebohongan Abang. Aku sudah tahu semuanya, Bang."Kali ini Kinan menurunkan nada suaranya. Sedikit melemah walaupun dengan telapak tangan yang terkepal. "Jika Abang tanya perasaanku setelah mengetahui semua ini, jujur aku kecewa. Kecewa pada sikap Abang. Kecewa pada pilihan yang Abang buat bertahun silam."Kinan menyunggingkan senyum sinisnya. Kembali menegakkan wajah ke arah Arman yang tampak kikuk seketika. "Abang masih belum paham arah pembicaraanmu ini, Nan. Semoga apa pun yang ada di
"Maksudmu? Abang tak paham. Bukankah apa yang Abang ketahui sudah Abang jelaskan semua kepadamu?"Arman yang muncul selang lima menit kemudian tampak terkejut mendengar pertanyaan yang dilontarkan Kinan itu. Kinan yang memilih tetap berdiri sama sekali tak ada niat untuk menyampaikan basa-basi. "Abang tak usah lagi berpura-pura. Tak usah berlagak tak tahu apa-apa."Mengernyitkan dahi, Arman sepertinya masih mencoba berlagak tak paham arah pembicaraan Kinan ini. "Abang memang tak tahu apa-apa, Nan. Lagipula kisah itu sudah lama. Sudah jelas apa yang terjadi sebenarnya. Mengapa kamu mengungkit-ungkitnya lagi?"Arman mengambil posisi duduk. Berharap hal yang sama dilakukan Kinan. Tak elok rasanya bicara sambil berdiri. "Abang bertanya mengapa aku mengungkitnya? Atau Abang memang sengaja ingin mengubur kisah itu agar dilupakan orang begitu saja?" Kali ini Kinan menegakkan wajahnya. Menghujam Arman dengan netranya yang se
Kinan menatap tegak bangunan yang ada di hadapannya. Kali kedua menginjakkan kaki ke halaman ini, namun perasaannya sungguh berbeda. Jika dulu langkahnya diiringi kekhawatiran, sekarang sungguh berbeda. Tak ada rasa khawatir yang dirasakannya sama sekali. Justru semangat yang menggebu ingin bertemu dengan sang pemilik rumah. Kecurigaannya jelaslah bukan tanpa alasan. Bukan tanpa dasar. Ada banyak hal mengganjal yang layak disebut sebagai bahan pertimbangan. "Ingin bertemu siapa, Yuk?"Kinan menolehkan kepalanya ke arah samping kiri. Posisi asal sumber suara yang menegurnya tadi. Seorang wanita yang hampir sebaya dengan Yuk Diana tampak berdiri tegak. Menatap Kinan dengan sedikit curiga. Kjnan tak marah. Wajar saja itu dilakukan wanita yang sepertinya merupakan pekerja rumah tangga di bangunan di hadapannya ini. Wanita ini tentu mendapat amanah untuk memastikan para tamu yang datang tak salah orang. Tak salah sasaran. "Pak Ar