"Kamu mampu mengingat pembicaraan Ardi semalam, Nan?" tanya Dinda yang berhasil membuat Kinan sadar dari lamunannya. Ya, nama itu jelas sekali diucapkan oleh Ardi semalam."Ada satu nama yang disebut Bang Ardi semalam," sahut Kinan dengan perlahan.Ya, hanya nama itu. Tak ada yang lainnya. Entahlah jika itu ada sebelum Kinan mendengar pembicaraan Ardi sebelumnya."Siapa?" sahut Dinda dengan cepat.Kinan mengerucutkan bibirnya sebelum akhirnya menyebutkan satu nama."Arman. Hanya nama itu yang Kinan sempat dengar disebutkan oleh Bang Ardi semalam," ujar Dinda sembari kembali meneruskan aktivitas makannya. Perutnya lapar apalagi dengan harus menghadapi kenyataan yang baru saja dilihatnya tadi."Arman bos sawit itu?" tanya Dinda untuk memastikan. Nama itu memang sering didengar Dinda di kampung mereka. Apalagi jika bukan terkait banyaknya uang yang dimiliki laki-laki itu. Mempunyai istri yang tampil cukup berbeda dari keb
Kekhawatiran Kinan itu sungguh beralasan. Pertemuan yang sudah sangat lama terjalin tentunya membuat hubungan Arman dan suaminya sangat dekat. Jika diminta memilih, laki-laki itu tentunya akan memilih Ardi dibandingkan dirinya. Dan itu membuat Kinan bimbang. Bagaimana jika Arman menyampaikan maksud Kinan itu kepada Ardi? Suami Kinan itu pasti akan marah dan tak terima karena menganggap Kinan ikut campur urusannya."Tapi hanya ini yang dapat kamu lakukan, Nan! Tak ada cara lain, Kakak rasa. Ini ikhtiarmu, berdoalah semoga Allah mempermudah. Kakak akan menemanimu jika memang kamu ragu menemui Arman sendirian," ujar Dinda seraya menepuk punggung tangan Kinan dengan lembut. Kinan diam, tak tahu harus berkata apa. Keraguan itu masih menyelimuti hatinya."Berusaha itu jauh lebih baik ketimbang kamu duduk dan berdiam diri saja, Nan. Apakah dengan berdiam diri rasa ingin tahumu akan terjawab, Nan? Tentu tidak kan? Jika sudah mencoba, kamu tak akan menyesali
Kinan melangkah dengan ragu. Ini kali pertama kalinya menginjakkan kaki ke rumah ini, rumah teman suaminya. Rumah seseorang yang cukup terpandang di daerah mereka Walaupun tak satu kampung tetap saja yang namanya orang terpandang gaungnya sampai kemana-mana. Jangankan ke kampung sebelah, semilir angin pun akan menerbangkan kabar itu melintasi hutan belantara.Mengedarkan pandangan ke sekeliling, Kinan berdecak kagum melihat bayangan yang ditangkap oleh netranya. Rumah yang besar untuk ukuran di perkampungan dengan bentuk yang minimalis kekinian. Halaman luas menyempurnakannya dengan pagar setinggi kurang lebih satu setengah meter dengan model kekinian berbahan besi berwarna hitam. Memberi kesan yang kuat dan gagah bagi siapa pun yang melihatnya.Dua mobil dengan tipe yang berbeda ada di garasi bersama tiga kendaraan roda dua keluaran tahun ini. Kinan mengenal dari modelnya yang banyak berseliweran di iklan televisi. Untuk ukuran kampung seperti tempat tinggal mer
"Saya permisi dulu, Kak. Maaf mengganggu waktunya," ucap Kinan sembari menangkupkan kedua telapak tangannya di depan dada.Salahnya telah menginjakkan kaki di rumah ini. Nasibnya sudah bertemu wanita ini. Takdirnya gagal bertemu Arman hari ini."Sama-sama. Hanya satu pesan saya, jika ingin bertemu Bang Arman, di rumah ini saja. Jangan mau diajak Bang Arman bertemu di luar sana! Lagi pula saya harus tahu apa yang kalian bicarakan nantinya," tukas wanita yang sama sekali tak diketahui Kinan namanya itu dengan sengit.Kinan memilih menganggukkan kepalanya untuk mempersingkat cerita. Cukup sekali berurusan dengan wanita ini. Lantas bagaimana jika dirinya ikut dalam pembicaraan Kinan dan Arman nantinya? Kinan tak mampu membayangkan bagaimana reaksi wanita ini setelah mendengar semua penuturan yang disampaikan Kinan nanti.Gegas Kinan membalikkan tubuhnya. Berjalan ke arah pagar, jalan masuknya ke rumah ini tadi. Kinan merasa heran saja, mengapa ta
"Aku datang di pernikahan kalian saat itu. Kamu saja yang tak mengenaliku," sahut Arman sembari memainkan gawainya dengan santai.Kinan paham jika laki-laki yang duduk di hadapannya ini sedang berusaha tak menimbulkan kecurigaan orang-orang yang ada di tempat mereka duduk ini. Kentara sekali dari cara Arman berbicara, sedikit menurunkan nadanya. Lebih keras sedikit dari berbisik. "Kamu belum menjawab pertanyaanku tadi. Mengapa ke rumah dan ingin menemuiku?" ulang Arman kembali. Segelas es teh sudah hadir di hadapannya dan langsung diseruput Arman dengan semangat empat lima. Arman sangat yakin jika istri Ardi ini ingin menemuinya. Tak mungkin wanita ini akan menginjakkan kaki di rumah mereka jika bukan karena ingin bertemu dengannya. Istrinya tak saling mengenal dengan istri Ardi ini. Jadi tak mungkin jika wanita ini ingin menemui istrinya."Aku Kinan, Bang. Panggil nama saja," pinta Kinan sembari mulai menghirup kuah baksonya. Tak nyaman rasany
"Maksudmu?" tanya Arman dengan wajah yang bingung yang bercampur panik. Kontak mata pertama terjadi di antara mereka saat Arman tiba-tiba menghujamkan pandangannya pada Kinan.Saat ini Kinan yakin jika Arman juga memiliki rasa khawatir terhadap suaminya itu. Kepanikan itu jelas sekali terlihat, tak dapat tertutupi.Mungkin apa yang dikatakan Dinda benar. Tak ada manusia sempurna dalam menjalankan perannya sebagai pasangan hidup. Tugas seorang istri adalah mendampingi, bukan meninggalkan. Tugas seorang istri adalah melengkapi, bukan menuntut kesempurnaan semata. Dan saat ini Kinan sedang berusaha untuk melakukan semua itu. "Abang hanya perlu menceritakan pada Kinan apa yang Abang ketahui. Tak perlu lagi menutupi. Apa pun masalah Bang Ardi, kita akan bantu untuk menyelesaikannya," ujar Kinan dengan tenang sembari menyeruput es jeruknya yang masih tinggal separuh gelas saja. Arman masih bergeming. Memilih menutup rapat mulutnya untuk seb
"Bagaimana pertemuanmu dengan Bang Arman kemarin, Nan?" tanya Dinda saat mereka sedang duduk di depan ruang salat. Mereka baru saja menjalankan salat Zuhur bersama anak-anak, agenda kegiatan rutin setiap harinya. Kegiatan selanjutnya adalah makan siang bersama. Dan itu menjadi tugas guru piket untuk mengkoordinirnya. Guru yang lain dapat beristirahat sejenak melepas lelah selama anak-anak menikmati makan siangnya.Kinan mendesah. Kecewa masih dirasakannya sampai saat ini. Dugaannya benar, Arman akan lebih membela Ardi dan menutupi apa pun yang diketahuinya. Padahal Kinan sudah berupaya menarik simpati dan empati laki-laki itu."Gagal, Kak. Dan aku bisa mengerti. Pertemanan mereka sudah sangat lama kalau menurut cerita Lidya.""Apa yang dikatakan Arman padamu?" tanya Dinda sembari melemparkan pandangannya ke arah area makan, anak-anak yang tampak riuh sekali.Kinan mengembuskan napasnya kuat-kuat. Membuang sesak yang menyeruak di dadanya
"Atau apakah tak sebaiknya kamu bertanya dan berbicara dengan kedua kakak Ardi? Bukankah hubungan kalian cukup baik selama ini? Kakak rasa jika kamu bertanya baik-baik dan mereka memang mengetahui sesuatu, mereka akan mengatakannya padamu."Kinan diam. Berusaha mencerna saran dari Dinda. Mungkinkah kedua iparnya itu tahu sesuatu? Dan jika mereka tahu, apakah mereka akan menutupinya sama sepertinya Arman? Mungkin apa yang dikatakan Dinda benar. Jika Arman sebagai teman saja mengetahui sesuatu, besar kemungkinan kedua saudara Ardi juga mengetahuinya. Tapi selama ini, kedua kakak beradik itu tak pernah mengatakan apa pun padanya. Bahkan menyinggung masa lalu adik mereka itu pun tidak sama sekali. "Kakak yakin mereka akan menjelaskannya kepadaku?" tanya Kinan dengan ragu."Tak ada salahnya mencoba. Bukankah jika hendak ke Roma akan ada banyak jalan yang bisa kita tempuh? Mengapa hanya berpatokan pada satu jalan saja? Bahkan boleh jadi akan ada
"Bang,dimana kau!" pekik Kinan dengan langkah yang tergesa. Mengabaikan tatapan heran dia lelaki yang memandangnya sejak mematikan mesin motor tadi. Tak peduli tanah yang sedikit becek akibat hujan sesaat barusan, Kinan tak dapat lagi menahan lama-lama emosi yang menggelegak di dadanya. Pernyataan yang disampaikan Fauzan tadi benar-benar membuatnya naik pitam. Mengapa sosok itu harus dia? Bukankah selama ini lelaki itu yang seolah menjadi sahabat dekat mendiang suaminya? Hanya berpura-pura ternyata. Lelaki itu tak lebih dari manusia munafik. Berpura-pura baik, menikam dari belakang. Kinan sempat tercengang saat mendengar nama yang disebutkan Fauzan itu. Menggelengkan kepala menunjukkan ketidakpercayaannya. Bahkan Kinan sempat meminta Fauzan mengulanginya kembali. Memastikan agar lelaki itu tak salah mengeja nama yang akhirnya akan menjadi fitnah. Namun Fauzan mempertegas semuanya. Gendang telinganya tak salah menangkap gelombang suara. Sosok i
Tak ada jawaban yang keluar dari bibir Fauzan. Lelaki itu tampak merasa serba salah. "Mengapa Abang tak menjawab pertanyaanku? Jangan bilang Abang menyesal telah mengatakan semua ini kepadaku!" tukas Kinan dengan tegas. Tatapan mata Kinan semakin menghujam. Membuat Fauzan semakin gelisah. Helaan napas panjang Fauzan terdengar jelas di tengah pemakaman yang sepi tanpa peziarah lainnya. Tampak beban berat seolah menggurat di wajah lelaki itu. "Abang tak bilang begitu. Hanya saja, Abang pikir semua kisah itu telah terungkap tanpa sisa. Ternyata Abang salah. Harusnya Ardi pergi tanpa belenggu rasa bersalah yang selalu membebaninya."Kinan mengernyitkan dahinya. Tak lama kemudian tangan kanannya bergerak ke arah pelipis. Memijatnya perlahan untuk menghalau rasa sakit yang mulai mendera. "Aku tak paham apa yang Abang katakan. Mungkin lebih baik Abang katakan saja langsung. Tak perlu berbelit-belit. Lagi pula aku tak ingin berlama-
Fauzan tampak tersentak. Sepertinya tak menduga jika Kinan akan menanyakan hal ini kepadanya. "Mengapa Abang terlihat terkejut? Abang pikir … aku tak tahu semua itu? Aku tahu, bukan tak tahu apa-apa seperti yang Abang pikirkan."Kinan mencoba menepis keraguan di hati Fauzan. Dirinya tahu tentang masa lalu suaminya. Pun dirinya mencoba berdamai dengan semua itu. Walaupun perceraian yang semoga menjadi penyelesaiannya saat itu. "Setelah Ardi pergi? Atau justru saat awal kalian menikah dulu?"Kinan menggelengkan kepalanya. Perlahan namun pasti. "Bukan keduanya. Aku tahu beberapa waktu sebelum kepergian almarhum. Dan itu pun secara tak sengaja. Berawal dari banyak hal yang memang almarhum coba sembunyikan. Namun Allah punya kehendak, yang mungkin tak sama seperti yang kita harapkan."Kembali Fauzan tertegun. Tak mampu lagi berkata apa-apa. "Aku tak akan dan tak sedang ingin membicarakan hal itu lagi. Aku hanya ingin mem
Beranjak dari posisi berjongkok, Kinan masih tertegun. Tak mengenal sosok yang ada di belakangnya. Bahkan setelah Kinan membalikkan tubuhnya, tetap saja tak ada ingatan yang tersisa tentang lelaki ini. "Maaf … Abang siapa? Mengenal almarhum suami saya?" tanya Kinan sembari menunjukkan raut wajah bingungnya. Dahinya mengernyit mencoba menguatkan kerja memori otaknya. "Ini makam Ardi kan? Soalnya petunjuk yang aku dapatkan tadi menunjukkan arah ini."Seolah tak peduli dengan pertanyaan Kinan, lelaki itu memajukan tubuh dan menajamkan netranya. Kacamata hitam yang tadi dikenakannya berpindah tempat. Tak lagi menempel di hidung, melainkan menggantung di kancing kemeja kotak-kotak yang dikenakannya."Tak salah lagi. Benar, ini makam Ardi."Lirih lelaki itu berkata sembari menurunkan tubuhnya. Mengambil posisi berjongkok di tempat yang tadinya ditempati oleh Kinan. Bibir lelaki itu berkomat-kamit. Kedua telapak tangannya menengadah.
Kinan menatap pilu nisan yang masih terbuat dari sebilah papan. Nama suaminya tertulis di sana. Tanah kuning di hadapannya belum sempurna mengering. Masih membasah, sama seperti hatinya yang belum juga mampu menerima kepergian lelaki ini sepenuhnya. Kepergian lelaki ini masih meninggalkan duka di hatinya. Tak pernah disangka jika mereka sedang dalam situasi tak baik ketika lelaki ini harus pergi selamanya. Itu yang paling menimbulkan penyesalan terbesar di hati Kinan hingga saat ini. Perceraian mereka memang urung terjadi. Namun kenyataan pahit ini jauh lebih menyesakkan dadanya. "Bang … bantu aku! Berikan petunjuk padaku! Aku sedang berjuang membuktikan jika dirimu tak salah kala itu. Sesuai apa yang kamu tuliskan dalam surat itu. Tapi apalagi yang dapat aku lakukan saat ini, Bang? Aku tak tahu bagaimana lagi harus mencari petunjuknya. Aku gagal, Bang."Tak hanya isakan tangis, Kinan juga menumpahkan air matanya. Area pemakaman yang sepi membuat Kinan m
Arman tercengang. Sepasang mata lelaki itu tampak terbelalak. Rahangnya mengeras. Bahkan ekor netra Kinan masih mampu menangkap gerakan terkepalnya telapak kedua tangan lelaki itu. "Abang terkejut aku tahu semuanya? Abang salah jika berpikir akan dapat menutupi bangkai selamanya."Kinan tersenyum sinis. Bentuk penguatan pada diri sendiri agar tak terlihat lemah di hadapan Arman. Kedok lelaki ini harus terbuka sekarang juga. "Pasti Hanif yang mengatakan kepadamu. Benar kan, Nan?" tanya Arman dengan lirih sembari mengacak rambutnya dengan kasar. Kinan diam. Satu hal yang dapat ditangkap dirinya atas ucapan Arman itu. Lelaki ini hanya mengatakan semua itu pada Hanif dan keluarganya. Tidak pada orang lain. "Setidaknya lelaki itu lebih jujur dibandingkan Abang."Kalimat yang singkat itu mengalir dari bibir Kinan. Namun mampu meluluhlantakkan hati Arman seketika. Sebegitu rendahkah dirinya di mata Kinan sekarang? "Kamu ta
Arman terperanjat. Kelihatan sekali jika laki-laki itu tak menyangka atas kalimat yang diucapkan Kinan. "Abang terkejut? Atau pura-pura terkejut? Masih ingin bersandiwara?" lanjut Kinan seolah tak memberi Arman kesempatan untuk bicara. Arman tampak gugup. Sesaat. Kembali berusaha menguasai diri. Namun Kinan mampu menangkap segala perubahan raut wajahnya lelaki itu dengan seksama. "Tak perlu gugup. Tak perlu berdalih untuk menutupi kebohongan Abang. Aku sudah tahu semuanya, Bang."Kali ini Kinan menurunkan nada suaranya. Sedikit melemah walaupun dengan telapak tangan yang terkepal. "Jika Abang tanya perasaanku setelah mengetahui semua ini, jujur aku kecewa. Kecewa pada sikap Abang. Kecewa pada pilihan yang Abang buat bertahun silam."Kinan menyunggingkan senyum sinisnya. Kembali menegakkan wajah ke arah Arman yang tampak kikuk seketika. "Abang masih belum paham arah pembicaraanmu ini, Nan. Semoga apa pun yang ada di
"Maksudmu? Abang tak paham. Bukankah apa yang Abang ketahui sudah Abang jelaskan semua kepadamu?"Arman yang muncul selang lima menit kemudian tampak terkejut mendengar pertanyaan yang dilontarkan Kinan itu. Kinan yang memilih tetap berdiri sama sekali tak ada niat untuk menyampaikan basa-basi. "Abang tak usah lagi berpura-pura. Tak usah berlagak tak tahu apa-apa."Mengernyitkan dahi, Arman sepertinya masih mencoba berlagak tak paham arah pembicaraan Kinan ini. "Abang memang tak tahu apa-apa, Nan. Lagipula kisah itu sudah lama. Sudah jelas apa yang terjadi sebenarnya. Mengapa kamu mengungkit-ungkitnya lagi?"Arman mengambil posisi duduk. Berharap hal yang sama dilakukan Kinan. Tak elok rasanya bicara sambil berdiri. "Abang bertanya mengapa aku mengungkitnya? Atau Abang memang sengaja ingin mengubur kisah itu agar dilupakan orang begitu saja?" Kali ini Kinan menegakkan wajahnya. Menghujam Arman dengan netranya yang se
Kinan menatap tegak bangunan yang ada di hadapannya. Kali kedua menginjakkan kaki ke halaman ini, namun perasaannya sungguh berbeda. Jika dulu langkahnya diiringi kekhawatiran, sekarang sungguh berbeda. Tak ada rasa khawatir yang dirasakannya sama sekali. Justru semangat yang menggebu ingin bertemu dengan sang pemilik rumah. Kecurigaannya jelaslah bukan tanpa alasan. Bukan tanpa dasar. Ada banyak hal mengganjal yang layak disebut sebagai bahan pertimbangan. "Ingin bertemu siapa, Yuk?"Kinan menolehkan kepalanya ke arah samping kiri. Posisi asal sumber suara yang menegurnya tadi. Seorang wanita yang hampir sebaya dengan Yuk Diana tampak berdiri tegak. Menatap Kinan dengan sedikit curiga. Kjnan tak marah. Wajar saja itu dilakukan wanita yang sepertinya merupakan pekerja rumah tangga di bangunan di hadapannya ini. Wanita ini tentu mendapat amanah untuk memastikan para tamu yang datang tak salah orang. Tak salah sasaran. "Pak Ar