"Bagaimana pertemuanmu dengan Bang Arman kemarin, Nan?" tanya Dinda saat mereka sedang duduk di depan ruang salat. Mereka baru saja menjalankan salat Zuhur bersama anak-anak, agenda kegiatan rutin setiap harinya. Kegiatan selanjutnya adalah makan siang bersama. Dan itu menjadi tugas guru piket untuk mengkoordinirnya. Guru yang lain dapat beristirahat sejenak melepas lelah selama anak-anak menikmati makan siangnya.Kinan mendesah. Kecewa masih dirasakannya sampai saat ini. Dugaannya benar, Arman akan lebih membela Ardi dan menutupi apa pun yang diketahuinya. Padahal Kinan sudah berupaya menarik simpati dan empati laki-laki itu."Gagal, Kak. Dan aku bisa mengerti. Pertemanan mereka sudah sangat lama kalau menurut cerita Lidya.""Apa yang dikatakan Arman padamu?" tanya Dinda sembari melemparkan pandangannya ke arah area makan, anak-anak yang tampak riuh sekali.Kinan mengembuskan napasnya kuat-kuat. Membuang sesak yang menyeruak di dadanya
"Atau apakah tak sebaiknya kamu bertanya dan berbicara dengan kedua kakak Ardi? Bukankah hubungan kalian cukup baik selama ini? Kakak rasa jika kamu bertanya baik-baik dan mereka memang mengetahui sesuatu, mereka akan mengatakannya padamu."Kinan diam. Berusaha mencerna saran dari Dinda. Mungkinkah kedua iparnya itu tahu sesuatu? Dan jika mereka tahu, apakah mereka akan menutupinya sama sepertinya Arman? Mungkin apa yang dikatakan Dinda benar. Jika Arman sebagai teman saja mengetahui sesuatu, besar kemungkinan kedua saudara Ardi juga mengetahuinya. Tapi selama ini, kedua kakak beradik itu tak pernah mengatakan apa pun padanya. Bahkan menyinggung masa lalu adik mereka itu pun tidak sama sekali. "Kakak yakin mereka akan menjelaskannya kepadaku?" tanya Kinan dengan ragu."Tak ada salahnya mencoba. Bukankah jika hendak ke Roma akan ada banyak jalan yang bisa kita tempuh? Mengapa hanya berpatokan pada satu jalan saja? Bahkan boleh jadi akan ada
Kinan melajukan kendaraan roda duanya lebih cepat. Walaupun Wina, sang kakak iparnya sudah berpesan tak usah menyiapkan apa-apa untuk menyambut kedatangan mereka, tetap saja hati Kinan tak nyaman. Bagaimanapun kedua kakak iparnya itu akan bertamu. Dan menjamu tamu hukumnya sunah.Wina sudah berjanji akan membawakan makanan untuk makan malam mereka. Berpesan pada Kinan tak usah memasak lebih untuk nanti malam. Menepikan kendaraan motornya di depan warung Mang Ijal, Kinan berharap masih ada sisa ikan yang dapat dibelinya sebagai persiapan. Di kulkasnya masih ada beberapa potong daging ayam dan beberapa ekor ikan kerisi. Hanya untuk berjaga-jaga saja jika diperlukan nanti."Mang, ada ikan apa yang tersisa?" tanya Kinan saat melihat meja dagangan Mang Ijal sudah hampir kosong. Hanya ada beberapa ikat kangkung dan bayam serta dua papan tempe di atas meja itu."Tak ada ikan apa pun lagi, Nan. Barusan tadi ada ikan cantik manis, tapi dibeli Wak Ida. La
Kinan tahu wanita itu pasti lelah setelah menyetir selama hampir dua jam tentunya. "Tak apa. Lagi pula jarang bertemu Yuk Diana. Ambilkan Kakak kantung plastik yang berwarna putih itu, Nan!" pinta Wina kepada Ranti. Gegas Kinan mengambilkan kantung plastik yang dimaksud kakak iparnya itu. Sebuah kantung plastik berukuran cukup besar dengan isi yang entah apa itu, Kinan tak tahu."Baju sekolah dan peralatan sekolah, Nan," terang Wina seolah paham apa yang menjadi pikiran adik iparnya itu. Kinan tahu jika Wina memang sering membelikan anak-anak Yuk Diana baju ataupun peralatan sekolah. Bahkan setiap bertemu seperti ini, kakak iparnya itu akan selalu menyelipkan amplop untuk janda beranak dua itu."Kapan lagi bisa membagi rezeki, Nan? Yuk Diana itu janda. Bukankah menyantuni anak-anaknya merupakan kewajiban kita? Lagi pula mereka itu masih keluarga kita, kerabat sendiri." Jawaban itu diberikan Kinan saat melihat Wina ruti
Kinan menyiapkan beberapa mangkuk kecil. Tampak kompor di belakang tubuhnya dengan sebuah wajan di atasnya. Beberapa potong empek-empek sedang tergenang di dalam minyak panas. Menuangkan cairan kental berwarna hitam dengan aroma bawang putih bercampur cabe dan gula merah, Kinan sedang menyiapkan pelengkap untuk empek-empek hangat yang akan menjadi teman pengisi sore mereka. Makanan yang tak sempat digoreng Kinan kemarin malam karena ternyata kedua iparnya itu sudah membawa aneka roti untuk camilan."Nan, sudah siap empek-empeknya?" tanya Wina yang sepertinya baru keluar dari kamar mandi.Memang Kinan membiarkan kedua kakak iparnya beristirahat saja sore ini setelah pulang dari ziarah makam kedua orang tua mereka. Lagi pula semua urusan rumah sudah diselesaikan kedua wanita itu sehingga Kinan tak perlu repot lagi membereskan rumah sore ini. Jadi sepulang mengajar, tak ada lagi yang harus dilakukannya. Bahkan Rafif pun tak diantar ke rumah Yuk Diana hari
"Nan, Kakak bertanya padamu! Tak mungkin tanpa alasan, kamu tiba-tiba ingin bicara serius seperti ini dengan Kakak.""Aku tak tahu apakah ini bermasalah bagi Kakak, tapi bagiku bermasalah."Setelah diam beberapa saat akhirnya Kinan membuka mulutnya juga. Menguatkan hatinya agar penasaran yang menyelubungi hatinya tertuntaskan hari ini juga. Tak ingin dihujat sebagai wanita lemah lebih lama lagi."Ardi masih tetap pelit kepadamu?" tanya Wina dengan tatapan mata kurus ke layar televisi yang tak memancarkan cahaya itu.Wina memang mengenal dan sangat tahu jika adik bungsunya itu sangat perhitungan dalam hal keuangan. Sejak dulu, Ardi kecil akan rela menahan rasa haus dan laparnya agar dapat mengumpulkan uang demi membeli sesuatu yang diinginkannya. Tak mudah ingin membeli sesuatu jika memang dirasakannya tak perlu."Bang Ardi sudah memberikan sisa gajinya setelah potongan bank kepada Kinan beberapa bulan ini setelah mendapat ancaman dari Bapak," tutur Kinan de
"Ardi mengkhianatimu, Nan?" tanya Wina dengan lirih.Jika bukan karena uang gaji tentunya kemungkinan hanya ada satu. Adiknya menduakan wanita ini.Kinan mengendikkan bahunya. Menghela napas panjang untuk melegakan sistem pernapasannya."Aku tak tahu apakah Bang Ardi menduakan aku akan tidak, Kak. Yang jelas Bang Ardi menutupi sesuatu," tutur Kinan perlahan. Perlahan Kinan menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi."Darimana kamu dapat berpikir jika Ardi menutupi sesuatu darimu, Nan?"Wina mengenal adiknya itu sejak kecil. Bungsu laki-laki mereka itu memang pribadinya lebih tertutup. Sungkan untuk berbagi cerita dengan orang lain."Banyak, Kak. Mulai dari bukti transfer yg aku temukan tanpa sengaja di saku celana Bang Ardi, percakapan teleponnya dengan seseorang di tengah malam, sampai pertemuannya dengan seorang laki-laki yang tidak aku kenali. Tapi Bang Ardi tak mengakui semuanya. Dan itu membuatku meyakini jika ada hal ya
Kinan menganggukkan kepala walaupun jelas Wina tak akan melihatnya."Aku tahu semua orang akan punya masa lalu. Tapi hidup bukan terkungkung dalam masa lalu, Kak. Sejatinya hidup ini untuk merajut masa depan. Apakah Bang Ardi sedang terkungkung dalam masa lalunya?" tanya Kinan dengan tatapan mata ke arah yang sama. Mereka berbicara, tapi tak saling melihat satu sama lain."Apakah jika Ardi punya masa lalu yang buruk, kamu masih akan tetap bersedia ada di sampingnya?" tanya Wina kembali dengan nada ragu.Pertanyaan itu benar-benar menohok hati Kinan. Seakan ada titik terang yang tersirat dalam ucapan kakak iparnya itu. Ada sesuatu di masa lalu suaminya. Dan sesuatu itu disembunyikan semua orang karena khawatir Kinan akan meninggalkan laki-laki itu saat mengetahui semuanya.Apakah itu? Apa yang terjadi di masa lalu Ardi yang membuatnya menutupi dari Kinan? Apakah ini alasan yang membuat Arman juga menutupinya? Tak mau mengatakan semuanya?
"Bang,dimana kau!" pekik Kinan dengan langkah yang tergesa. Mengabaikan tatapan heran dia lelaki yang memandangnya sejak mematikan mesin motor tadi. Tak peduli tanah yang sedikit becek akibat hujan sesaat barusan, Kinan tak dapat lagi menahan lama-lama emosi yang menggelegak di dadanya. Pernyataan yang disampaikan Fauzan tadi benar-benar membuatnya naik pitam. Mengapa sosok itu harus dia? Bukankah selama ini lelaki itu yang seolah menjadi sahabat dekat mendiang suaminya? Hanya berpura-pura ternyata. Lelaki itu tak lebih dari manusia munafik. Berpura-pura baik, menikam dari belakang. Kinan sempat tercengang saat mendengar nama yang disebutkan Fauzan itu. Menggelengkan kepala menunjukkan ketidakpercayaannya. Bahkan Kinan sempat meminta Fauzan mengulanginya kembali. Memastikan agar lelaki itu tak salah mengeja nama yang akhirnya akan menjadi fitnah. Namun Fauzan mempertegas semuanya. Gendang telinganya tak salah menangkap gelombang suara. Sosok i
Tak ada jawaban yang keluar dari bibir Fauzan. Lelaki itu tampak merasa serba salah. "Mengapa Abang tak menjawab pertanyaanku? Jangan bilang Abang menyesal telah mengatakan semua ini kepadaku!" tukas Kinan dengan tegas. Tatapan mata Kinan semakin menghujam. Membuat Fauzan semakin gelisah. Helaan napas panjang Fauzan terdengar jelas di tengah pemakaman yang sepi tanpa peziarah lainnya. Tampak beban berat seolah menggurat di wajah lelaki itu. "Abang tak bilang begitu. Hanya saja, Abang pikir semua kisah itu telah terungkap tanpa sisa. Ternyata Abang salah. Harusnya Ardi pergi tanpa belenggu rasa bersalah yang selalu membebaninya."Kinan mengernyitkan dahinya. Tak lama kemudian tangan kanannya bergerak ke arah pelipis. Memijatnya perlahan untuk menghalau rasa sakit yang mulai mendera. "Aku tak paham apa yang Abang katakan. Mungkin lebih baik Abang katakan saja langsung. Tak perlu berbelit-belit. Lagi pula aku tak ingin berlama-
Fauzan tampak tersentak. Sepertinya tak menduga jika Kinan akan menanyakan hal ini kepadanya. "Mengapa Abang terlihat terkejut? Abang pikir … aku tak tahu semua itu? Aku tahu, bukan tak tahu apa-apa seperti yang Abang pikirkan."Kinan mencoba menepis keraguan di hati Fauzan. Dirinya tahu tentang masa lalu suaminya. Pun dirinya mencoba berdamai dengan semua itu. Walaupun perceraian yang semoga menjadi penyelesaiannya saat itu. "Setelah Ardi pergi? Atau justru saat awal kalian menikah dulu?"Kinan menggelengkan kepalanya. Perlahan namun pasti. "Bukan keduanya. Aku tahu beberapa waktu sebelum kepergian almarhum. Dan itu pun secara tak sengaja. Berawal dari banyak hal yang memang almarhum coba sembunyikan. Namun Allah punya kehendak, yang mungkin tak sama seperti yang kita harapkan."Kembali Fauzan tertegun. Tak mampu lagi berkata apa-apa. "Aku tak akan dan tak sedang ingin membicarakan hal itu lagi. Aku hanya ingin mem
Beranjak dari posisi berjongkok, Kinan masih tertegun. Tak mengenal sosok yang ada di belakangnya. Bahkan setelah Kinan membalikkan tubuhnya, tetap saja tak ada ingatan yang tersisa tentang lelaki ini. "Maaf … Abang siapa? Mengenal almarhum suami saya?" tanya Kinan sembari menunjukkan raut wajah bingungnya. Dahinya mengernyit mencoba menguatkan kerja memori otaknya. "Ini makam Ardi kan? Soalnya petunjuk yang aku dapatkan tadi menunjukkan arah ini."Seolah tak peduli dengan pertanyaan Kinan, lelaki itu memajukan tubuh dan menajamkan netranya. Kacamata hitam yang tadi dikenakannya berpindah tempat. Tak lagi menempel di hidung, melainkan menggantung di kancing kemeja kotak-kotak yang dikenakannya."Tak salah lagi. Benar, ini makam Ardi."Lirih lelaki itu berkata sembari menurunkan tubuhnya. Mengambil posisi berjongkok di tempat yang tadinya ditempati oleh Kinan. Bibir lelaki itu berkomat-kamit. Kedua telapak tangannya menengadah.
Kinan menatap pilu nisan yang masih terbuat dari sebilah papan. Nama suaminya tertulis di sana. Tanah kuning di hadapannya belum sempurna mengering. Masih membasah, sama seperti hatinya yang belum juga mampu menerima kepergian lelaki ini sepenuhnya. Kepergian lelaki ini masih meninggalkan duka di hatinya. Tak pernah disangka jika mereka sedang dalam situasi tak baik ketika lelaki ini harus pergi selamanya. Itu yang paling menimbulkan penyesalan terbesar di hati Kinan hingga saat ini. Perceraian mereka memang urung terjadi. Namun kenyataan pahit ini jauh lebih menyesakkan dadanya. "Bang … bantu aku! Berikan petunjuk padaku! Aku sedang berjuang membuktikan jika dirimu tak salah kala itu. Sesuai apa yang kamu tuliskan dalam surat itu. Tapi apalagi yang dapat aku lakukan saat ini, Bang? Aku tak tahu bagaimana lagi harus mencari petunjuknya. Aku gagal, Bang."Tak hanya isakan tangis, Kinan juga menumpahkan air matanya. Area pemakaman yang sepi membuat Kinan m
Arman tercengang. Sepasang mata lelaki itu tampak terbelalak. Rahangnya mengeras. Bahkan ekor netra Kinan masih mampu menangkap gerakan terkepalnya telapak kedua tangan lelaki itu. "Abang terkejut aku tahu semuanya? Abang salah jika berpikir akan dapat menutupi bangkai selamanya."Kinan tersenyum sinis. Bentuk penguatan pada diri sendiri agar tak terlihat lemah di hadapan Arman. Kedok lelaki ini harus terbuka sekarang juga. "Pasti Hanif yang mengatakan kepadamu. Benar kan, Nan?" tanya Arman dengan lirih sembari mengacak rambutnya dengan kasar. Kinan diam. Satu hal yang dapat ditangkap dirinya atas ucapan Arman itu. Lelaki ini hanya mengatakan semua itu pada Hanif dan keluarganya. Tidak pada orang lain. "Setidaknya lelaki itu lebih jujur dibandingkan Abang."Kalimat yang singkat itu mengalir dari bibir Kinan. Namun mampu meluluhlantakkan hati Arman seketika. Sebegitu rendahkah dirinya di mata Kinan sekarang? "Kamu ta
Arman terperanjat. Kelihatan sekali jika laki-laki itu tak menyangka atas kalimat yang diucapkan Kinan. "Abang terkejut? Atau pura-pura terkejut? Masih ingin bersandiwara?" lanjut Kinan seolah tak memberi Arman kesempatan untuk bicara. Arman tampak gugup. Sesaat. Kembali berusaha menguasai diri. Namun Kinan mampu menangkap segala perubahan raut wajahnya lelaki itu dengan seksama. "Tak perlu gugup. Tak perlu berdalih untuk menutupi kebohongan Abang. Aku sudah tahu semuanya, Bang."Kali ini Kinan menurunkan nada suaranya. Sedikit melemah walaupun dengan telapak tangan yang terkepal. "Jika Abang tanya perasaanku setelah mengetahui semua ini, jujur aku kecewa. Kecewa pada sikap Abang. Kecewa pada pilihan yang Abang buat bertahun silam."Kinan menyunggingkan senyum sinisnya. Kembali menegakkan wajah ke arah Arman yang tampak kikuk seketika. "Abang masih belum paham arah pembicaraanmu ini, Nan. Semoga apa pun yang ada di
"Maksudmu? Abang tak paham. Bukankah apa yang Abang ketahui sudah Abang jelaskan semua kepadamu?"Arman yang muncul selang lima menit kemudian tampak terkejut mendengar pertanyaan yang dilontarkan Kinan itu. Kinan yang memilih tetap berdiri sama sekali tak ada niat untuk menyampaikan basa-basi. "Abang tak usah lagi berpura-pura. Tak usah berlagak tak tahu apa-apa."Mengernyitkan dahi, Arman sepertinya masih mencoba berlagak tak paham arah pembicaraan Kinan ini. "Abang memang tak tahu apa-apa, Nan. Lagipula kisah itu sudah lama. Sudah jelas apa yang terjadi sebenarnya. Mengapa kamu mengungkit-ungkitnya lagi?"Arman mengambil posisi duduk. Berharap hal yang sama dilakukan Kinan. Tak elok rasanya bicara sambil berdiri. "Abang bertanya mengapa aku mengungkitnya? Atau Abang memang sengaja ingin mengubur kisah itu agar dilupakan orang begitu saja?" Kali ini Kinan menegakkan wajahnya. Menghujam Arman dengan netranya yang se
Kinan menatap tegak bangunan yang ada di hadapannya. Kali kedua menginjakkan kaki ke halaman ini, namun perasaannya sungguh berbeda. Jika dulu langkahnya diiringi kekhawatiran, sekarang sungguh berbeda. Tak ada rasa khawatir yang dirasakannya sama sekali. Justru semangat yang menggebu ingin bertemu dengan sang pemilik rumah. Kecurigaannya jelaslah bukan tanpa alasan. Bukan tanpa dasar. Ada banyak hal mengganjal yang layak disebut sebagai bahan pertimbangan. "Ingin bertemu siapa, Yuk?"Kinan menolehkan kepalanya ke arah samping kiri. Posisi asal sumber suara yang menegurnya tadi. Seorang wanita yang hampir sebaya dengan Yuk Diana tampak berdiri tegak. Menatap Kinan dengan sedikit curiga. Kjnan tak marah. Wajar saja itu dilakukan wanita yang sepertinya merupakan pekerja rumah tangga di bangunan di hadapannya ini. Wanita ini tentu mendapat amanah untuk memastikan para tamu yang datang tak salah orang. Tak salah sasaran. "Pak Ar