"Tak ada, Kak." Hanya kalimat singkat itu yang diberikan Kinan sebagai jawaban atas pertanyaan wanita di sampingnya ini."Masih tentang Ardi? Dalam hidupmu rasanya hanya satu masalah yang ada, Nan. Suamimu sendiri. Kakak rasa masalah hidupmu tak akan pernah berubah, hanya terpusat pada sosok yang sama. Suamimu sendiri."Kinan terkekeh mendengarkan ucapan wanita yang sudah dianggapnya tak ubah kakaknya sendiri itu."Separah itukah aku, Kak?""Bagi Kakak, tak tahu bagi orang lain. Pikiran orang kan tak sama, Nan. Eh, Ardi masih belum berubah ya?" tanya Dinda sembari memalingkan wajahnya menatap Kinan. Kinan menggelengkan kepala sebagai jawaban atas pertanyaan Dinda itu."Masih sama, Kak. Uangnya untuk cicilan dan tabungan, uangku untuk kebutuhan rumah tangga. Sulit mengubah cara berpikirnya, Kak."Kali ini Kinan mengucapkan kalimatnya dengan lebih santai. Petuah Wak Siti masih melekat di ingatannya. Paling tidak sam
Kinan baru saja keluar dari kamar, selesai menidurkan Rafif saat pintu samping terbuka. Sosok suaminya itu baru saja masuk ke dalam rumah. Laki-laki itu memang sempat pamit pada Kinan untuk bergabung dengan rombongan bapak-bapak yang berbincang di seberang rumah sejak selesai salat Isya tadi. "Rafif sudah tidur?" tanya Ardi sembari melangkahkan kakinya ke dapur, sepertinya hendak meletakkan mug yang sempat dibawanya tadi."Sudah, baru saja."Kinan mulai menyiapkan perlengkapan untuk menyetrika. Tak ada waktu yang luang untuk melakukan aktivitas yang satu ini di siang hari. Mau tak mau Kinan harus merelakan waktu istirahatnya di malam hari. Sebenarnya besok hari Minggu. Kinan pun tak ada jadwal untuk menyanyi besok. Hanya saja Kinan berniat untuk beristirahat dengan santai esok hari. Jarang-jarang ada kesempatan seperti ini."Tolong siapkan makanan untuk Abang bawa ke kebun besok, Dek! Abang mau memupuk. Tak lama lagi kita akan panen."
Ruangan hanya dipenuhi suara pembawa acara yang sedang memandu ajang pencarian bakat dari layar datar yang memancarkan cahaya itu. Tak ada niat dari Kinan ataupun Ardi untuk membuka suara lagi.Kinan menyelesaikan sedikit lagi pekerjaannya sembari mengumpulkan mental dan energi untuk melaksanakan saran pertama yang diberikan Dinda beberapa hari yang lalu. Dinda mungkin benar, Kinan belum mencoba. Lantas mengapa berpikir jika Ardi tak akan menerima? Merapikan tumpukan pakaian-pakaian itu, lantas setelahnya Kinan merapikan selimut tebal tak terpakai lagi yang memang digunakannya sebagai alas menyetrika tadi. Setelah itu Kinan menggulung setrika dan meletakkan di tempat khusus di dalam tak sebelah meja televisi.Ardi masih dengan posisi santainya. Kinan merasa mungkin ini waktu yang tepat untuk mencoba saran Dinda itu. Tak ada salahnya jika ternyata hasilnya tak sesuai harapan. Paling tidak, Kinan tak akan pernah menyesalinya. Dirinya sudah pernah menco
Satu minggu berlalu sejak perbincangan di malam Minggu itu. Ardi benar-benar menepati ucapannya. Laki-laki itu sama sekali tak menyentuh masakan apa pun dimasak Kinan. Makan nasi bungkus atau memasak mie instan menjadi kegiatannya untuk mengganjal perut.Kinan awalnya tak ambil pusing dengan semua sikap suaminya itu. Hanya saja semakin hari rasanya aneh juga jika menjalani pernikahan tapi hidup dengan cara masing-masing seperti ini.Dalam kesehariannya, Ardi bersikap biasa, tak berubah dari tingkah ataupun caranya berkata-kata. Hanya satu hal saja yang berubah dalam kehidupan rumah tangga mereka. Untuk urusan perut, mereka mencukupinya masing-masing.Apakah ini yang diinginkan Kinan? Tentu saja tidak. Menjalani bahtera rumah tangga dengan cara yang seperti ini jelas jauh lebih menyakitkan baginya. Apakah keinginannya malam itu salah hingga Yang Maha Kuasa menghukumnya dengan cara seperti ini?"Nan, ini sandal Rafif! Kemarin sempat kotor jadi Ayuk
Gelengan kepala Kinan menjadi jawaban atas pertanyaan wanita yang setiap hari mengasuh puteranya itu."Lantas?" tukas Diana sembari mengernyitkan dahinya."Kami makan masing-masing. Bang Ardi tak lagi ingin menyentuh makanan yang aku masak. Nasi bungkus atau mie instan menjadi pilihannya sejak seminggu belakangan ini."Karuan saja Diana membelalakkan matanya. Ucapan Kinan itu benar-benar di luar dugaannya."Kamu serius, Nan? Kamu sedang tak bercanda kan?"Jelas sekali Diana hendak mempertegas ucapan Kinan itu. Kinan tahu, mungkin apa yang disampaikannya tak lazim di pendengaran banyak orang. Tapi orang harus percaya bahwa apa yang disampaikannya ini benar, bukan hanya fitnah semata."Ayuk pikir aku suka bercanda untuk hal seperti ini?"Sedikit kesal, Kinan berusaha menegaskan ucapannya tadi. Tak mungkin dirinya akan main-main untuk hal sensitif seperti ini."Ini berawal dari permintaanku, Yuk. Aku ingin kam
Ardi membalikkan tubuhnya dengan cepat. Matanya melotot ke arah Kinan dengan tatapan yang menunjukkan ketersinggungan."Meminta apa tadi?" tanya Ardi dengan nada tegas.Kinan menegakkan kepalanya. Dirinya harus kuat. Apalagi yang harus membuatnya ragu?"Aku rasa berpisah lebih baik untuk kita. Jatuhkan saja talak padaku, Bang! Itu jauh lebih baik daripada keadaan yang kita jalani saat ini."Kinan meyakinkan dirinya sendiri untuk mampu tegas mengungkapkan apa yang ada di hatinya. Diana, wanita itu telah berhasil memberikan kekuatan pada dirinya. Bertahan atau melepaskan. Kinan memilih melepaskan. Pilihan yang sulit baginya, tapi sepertinya menjadi keputusan terbaik bagi kehidupannya."Yuk Diana yang telah menghasutmu untuk meminta cerai pada Abang?" tanya Ardi dengan tatapan yang sangat tajam. Kinan semakin menguatkan hatinya. Tangannya menggenggam buku ibu jari untuk membuatnya semakin kuat menghadapi situasi saat ini.
"Jujur ... iya." Singkat kalimat itu menjadi jawaban sekaligus penegasan kembali kepada laki-laki yang saat ini berstatus sebagai suaminya."Aku mencoba bertahan karena banyak hal. Kehadiran Rafif, keadaan orang tuaku yang hingga saat ini berpikir anaknya bahagia menjalani bahtera rumah tangga, bahkan kesadaranku bahwa diri ini juga bukan manusia sempurna."Ardi diam. Laki-laki itu menghela napasnya berkali-kali."Berkali-kali aku mencoba membuat keadaan ini lebih baik. Tapi setiap kali aku berusaha, Abang tak mau mendengarkannya. Aku ingin merasakan sebagai istri seperti orang lain, Bang. Menerima gaji dari suaminya, terlepas dari berapa pun nominalnya. Bukan masalah jumlah, tapi masalah rasa."Kinan akhirnya meneteskan air matanya. Perih yang sejak tadi ditahannya tak mampu lagi tertampung di hatinya."Lima tahun pernikahan ini, kita sampai di titik ini. Aku menyerah, Bang. Aku tak akan menuntut apa pun dari Abang, cukup Rafif saja
Dua minggu berlalu sejak perdebatan sore itu. Kinan sadar, meminta berpisah dengan laki-laki yang menyandang gelar ayah puteranya itu sangat tak mudah. Apalagi saat mengingat penegasan laki-laki itu jika tak akan ada perceraian dalam rumah tangga mereka.Bercerai tak mau, memberikan pendapatan pun enggan. Waraskah suaminya itu?Memang Ardi tak memungkiri janjinya. Jatah mingguan diberikan laki-laki itu setiap hari Senin pagi dengan nominal dua ratus ribu rupiah. Tak banyak memang, tapi Kinan pun tak mempermasalahkannya. Lagi pula Kinan tak tahu berapa pendapatan Ardi setiap bulannya. Haruskah dirinya menuntut sejumlah uang sebagai bukti kesungguhan laki-laki itu mempertahankan rumah tangga mereka?Tidak, Kinan tak ingin egois. Cukuplah itikad baik laki-laki itu dia hargai. Selanjutnya nanti Kinan yang akan mencari tahu, sebenarnya berapa besar pendapatan suaminya itu? Paling tidak ada perubahan yang sedikit terjadi dalam biduk pernikahan yan
"Bang,dimana kau!" pekik Kinan dengan langkah yang tergesa. Mengabaikan tatapan heran dia lelaki yang memandangnya sejak mematikan mesin motor tadi. Tak peduli tanah yang sedikit becek akibat hujan sesaat barusan, Kinan tak dapat lagi menahan lama-lama emosi yang menggelegak di dadanya. Pernyataan yang disampaikan Fauzan tadi benar-benar membuatnya naik pitam. Mengapa sosok itu harus dia? Bukankah selama ini lelaki itu yang seolah menjadi sahabat dekat mendiang suaminya? Hanya berpura-pura ternyata. Lelaki itu tak lebih dari manusia munafik. Berpura-pura baik, menikam dari belakang. Kinan sempat tercengang saat mendengar nama yang disebutkan Fauzan itu. Menggelengkan kepala menunjukkan ketidakpercayaannya. Bahkan Kinan sempat meminta Fauzan mengulanginya kembali. Memastikan agar lelaki itu tak salah mengeja nama yang akhirnya akan menjadi fitnah. Namun Fauzan mempertegas semuanya. Gendang telinganya tak salah menangkap gelombang suara. Sosok i
Tak ada jawaban yang keluar dari bibir Fauzan. Lelaki itu tampak merasa serba salah. "Mengapa Abang tak menjawab pertanyaanku? Jangan bilang Abang menyesal telah mengatakan semua ini kepadaku!" tukas Kinan dengan tegas. Tatapan mata Kinan semakin menghujam. Membuat Fauzan semakin gelisah. Helaan napas panjang Fauzan terdengar jelas di tengah pemakaman yang sepi tanpa peziarah lainnya. Tampak beban berat seolah menggurat di wajah lelaki itu. "Abang tak bilang begitu. Hanya saja, Abang pikir semua kisah itu telah terungkap tanpa sisa. Ternyata Abang salah. Harusnya Ardi pergi tanpa belenggu rasa bersalah yang selalu membebaninya."Kinan mengernyitkan dahinya. Tak lama kemudian tangan kanannya bergerak ke arah pelipis. Memijatnya perlahan untuk menghalau rasa sakit yang mulai mendera. "Aku tak paham apa yang Abang katakan. Mungkin lebih baik Abang katakan saja langsung. Tak perlu berbelit-belit. Lagi pula aku tak ingin berlama-
Fauzan tampak tersentak. Sepertinya tak menduga jika Kinan akan menanyakan hal ini kepadanya. "Mengapa Abang terlihat terkejut? Abang pikir … aku tak tahu semua itu? Aku tahu, bukan tak tahu apa-apa seperti yang Abang pikirkan."Kinan mencoba menepis keraguan di hati Fauzan. Dirinya tahu tentang masa lalu suaminya. Pun dirinya mencoba berdamai dengan semua itu. Walaupun perceraian yang semoga menjadi penyelesaiannya saat itu. "Setelah Ardi pergi? Atau justru saat awal kalian menikah dulu?"Kinan menggelengkan kepalanya. Perlahan namun pasti. "Bukan keduanya. Aku tahu beberapa waktu sebelum kepergian almarhum. Dan itu pun secara tak sengaja. Berawal dari banyak hal yang memang almarhum coba sembunyikan. Namun Allah punya kehendak, yang mungkin tak sama seperti yang kita harapkan."Kembali Fauzan tertegun. Tak mampu lagi berkata apa-apa. "Aku tak akan dan tak sedang ingin membicarakan hal itu lagi. Aku hanya ingin mem
Beranjak dari posisi berjongkok, Kinan masih tertegun. Tak mengenal sosok yang ada di belakangnya. Bahkan setelah Kinan membalikkan tubuhnya, tetap saja tak ada ingatan yang tersisa tentang lelaki ini. "Maaf … Abang siapa? Mengenal almarhum suami saya?" tanya Kinan sembari menunjukkan raut wajah bingungnya. Dahinya mengernyit mencoba menguatkan kerja memori otaknya. "Ini makam Ardi kan? Soalnya petunjuk yang aku dapatkan tadi menunjukkan arah ini."Seolah tak peduli dengan pertanyaan Kinan, lelaki itu memajukan tubuh dan menajamkan netranya. Kacamata hitam yang tadi dikenakannya berpindah tempat. Tak lagi menempel di hidung, melainkan menggantung di kancing kemeja kotak-kotak yang dikenakannya."Tak salah lagi. Benar, ini makam Ardi."Lirih lelaki itu berkata sembari menurunkan tubuhnya. Mengambil posisi berjongkok di tempat yang tadinya ditempati oleh Kinan. Bibir lelaki itu berkomat-kamit. Kedua telapak tangannya menengadah.
Kinan menatap pilu nisan yang masih terbuat dari sebilah papan. Nama suaminya tertulis di sana. Tanah kuning di hadapannya belum sempurna mengering. Masih membasah, sama seperti hatinya yang belum juga mampu menerima kepergian lelaki ini sepenuhnya. Kepergian lelaki ini masih meninggalkan duka di hatinya. Tak pernah disangka jika mereka sedang dalam situasi tak baik ketika lelaki ini harus pergi selamanya. Itu yang paling menimbulkan penyesalan terbesar di hati Kinan hingga saat ini. Perceraian mereka memang urung terjadi. Namun kenyataan pahit ini jauh lebih menyesakkan dadanya. "Bang … bantu aku! Berikan petunjuk padaku! Aku sedang berjuang membuktikan jika dirimu tak salah kala itu. Sesuai apa yang kamu tuliskan dalam surat itu. Tapi apalagi yang dapat aku lakukan saat ini, Bang? Aku tak tahu bagaimana lagi harus mencari petunjuknya. Aku gagal, Bang."Tak hanya isakan tangis, Kinan juga menumpahkan air matanya. Area pemakaman yang sepi membuat Kinan m
Arman tercengang. Sepasang mata lelaki itu tampak terbelalak. Rahangnya mengeras. Bahkan ekor netra Kinan masih mampu menangkap gerakan terkepalnya telapak kedua tangan lelaki itu. "Abang terkejut aku tahu semuanya? Abang salah jika berpikir akan dapat menutupi bangkai selamanya."Kinan tersenyum sinis. Bentuk penguatan pada diri sendiri agar tak terlihat lemah di hadapan Arman. Kedok lelaki ini harus terbuka sekarang juga. "Pasti Hanif yang mengatakan kepadamu. Benar kan, Nan?" tanya Arman dengan lirih sembari mengacak rambutnya dengan kasar. Kinan diam. Satu hal yang dapat ditangkap dirinya atas ucapan Arman itu. Lelaki ini hanya mengatakan semua itu pada Hanif dan keluarganya. Tidak pada orang lain. "Setidaknya lelaki itu lebih jujur dibandingkan Abang."Kalimat yang singkat itu mengalir dari bibir Kinan. Namun mampu meluluhlantakkan hati Arman seketika. Sebegitu rendahkah dirinya di mata Kinan sekarang? "Kamu ta
Arman terperanjat. Kelihatan sekali jika laki-laki itu tak menyangka atas kalimat yang diucapkan Kinan. "Abang terkejut? Atau pura-pura terkejut? Masih ingin bersandiwara?" lanjut Kinan seolah tak memberi Arman kesempatan untuk bicara. Arman tampak gugup. Sesaat. Kembali berusaha menguasai diri. Namun Kinan mampu menangkap segala perubahan raut wajahnya lelaki itu dengan seksama. "Tak perlu gugup. Tak perlu berdalih untuk menutupi kebohongan Abang. Aku sudah tahu semuanya, Bang."Kali ini Kinan menurunkan nada suaranya. Sedikit melemah walaupun dengan telapak tangan yang terkepal. "Jika Abang tanya perasaanku setelah mengetahui semua ini, jujur aku kecewa. Kecewa pada sikap Abang. Kecewa pada pilihan yang Abang buat bertahun silam."Kinan menyunggingkan senyum sinisnya. Kembali menegakkan wajah ke arah Arman yang tampak kikuk seketika. "Abang masih belum paham arah pembicaraanmu ini, Nan. Semoga apa pun yang ada di
"Maksudmu? Abang tak paham. Bukankah apa yang Abang ketahui sudah Abang jelaskan semua kepadamu?"Arman yang muncul selang lima menit kemudian tampak terkejut mendengar pertanyaan yang dilontarkan Kinan itu. Kinan yang memilih tetap berdiri sama sekali tak ada niat untuk menyampaikan basa-basi. "Abang tak usah lagi berpura-pura. Tak usah berlagak tak tahu apa-apa."Mengernyitkan dahi, Arman sepertinya masih mencoba berlagak tak paham arah pembicaraan Kinan ini. "Abang memang tak tahu apa-apa, Nan. Lagipula kisah itu sudah lama. Sudah jelas apa yang terjadi sebenarnya. Mengapa kamu mengungkit-ungkitnya lagi?"Arman mengambil posisi duduk. Berharap hal yang sama dilakukan Kinan. Tak elok rasanya bicara sambil berdiri. "Abang bertanya mengapa aku mengungkitnya? Atau Abang memang sengaja ingin mengubur kisah itu agar dilupakan orang begitu saja?" Kali ini Kinan menegakkan wajahnya. Menghujam Arman dengan netranya yang se
Kinan menatap tegak bangunan yang ada di hadapannya. Kali kedua menginjakkan kaki ke halaman ini, namun perasaannya sungguh berbeda. Jika dulu langkahnya diiringi kekhawatiran, sekarang sungguh berbeda. Tak ada rasa khawatir yang dirasakannya sama sekali. Justru semangat yang menggebu ingin bertemu dengan sang pemilik rumah. Kecurigaannya jelaslah bukan tanpa alasan. Bukan tanpa dasar. Ada banyak hal mengganjal yang layak disebut sebagai bahan pertimbangan. "Ingin bertemu siapa, Yuk?"Kinan menolehkan kepalanya ke arah samping kiri. Posisi asal sumber suara yang menegurnya tadi. Seorang wanita yang hampir sebaya dengan Yuk Diana tampak berdiri tegak. Menatap Kinan dengan sedikit curiga. Kjnan tak marah. Wajar saja itu dilakukan wanita yang sepertinya merupakan pekerja rumah tangga di bangunan di hadapannya ini. Wanita ini tentu mendapat amanah untuk memastikan para tamu yang datang tak salah orang. Tak salah sasaran. "Pak Ar