"Kamu yakin meminta Kakak menemani?" tanya Dinda dengan wajah yang terkejut saat Kinan mengutarakan maksudnya.
Kinan menganggukkan kepalanya tegas, tak ada keraguan sama sekali. Niatnya tak berubah untuk meminta Dinda menemaninya sore ini."Tak mungkin jika aku hanya berbicara berdua saja dengan Bang Arman, meskipun hanya di teras rumah, Kak. Apalagi dengan kondisi Bang Ardi yang tak ada. Kakak paham kan maksudku?"Dinda diam, tak mampu merangkai kata. Bukan dirinya tak ingin menemani Kinan, wanita yang sudah dianggapnya selayaknya saudara sendiri ini. Hanya saja apa tak dianggap ikut campur urusan rumah tangga Kinan nantinya? "Bagaimana jika nanti keluargamu atau keluarga Ardi berpikir Kakak ikut campur urusan rumah tangga kalian? Kakak khawatir, Nan," ujar Dinda dengan raut wajah yang gelisah.Saat ini keduanya sedang duduk di depan musala. Aktivitas salat Zuhur baru saja dilaksanakan bersama anak-anak didik mereka. Waktunya para gur"Beberapa teman kami memang membawa minuman keras saat itu. Yah, kamu tahu sendirilah gaya pemuda begajulan yang sering disebut berandalan di masanya." "Apakah Bang Ardi termasuk di antara kelompok itu?" sambar Kinan dengan cepat.Anggukan kepala Arman membuat Kinan terhenyak. Satu fakta baru terungkap yang membuat dirinya syok seketika. Ternyata lelaki halalnya itu pemuda berandalan di masa sekolah."Saat di pendakian entah siapa yang memulai ... Abang pun tak sangat paham saat itu. Mereka melakukan pesta miras saat malam hari. Dan kenyataan berikutnya yang mengejutkan ternyata ...."Arman menjeda kalimatnya. Wajah laki-laki tampak gusar. Berkali-kali Arman menyugar rambutnya dengan kasar."Apa yang terjadi saat malam itu?" cerca Kinan tak sabar. Semakin dekat dengan inti pengungkapan masalah yang terjadi. Dan Kinan pun semakin merasakan gemuruh di dadanya."Terjadi pemerkosaan pada seorang gadis dari sekolah lain. Ta
"Nan ... kamu ...." sergah Dinda dengan raut wajah yang sangat terkejut. Kalimat itu tak diselesaikan Dinda saat Kinan memotongnya."Aku hanya ingin tahu siapa wanita yang nasibnya sungguh tak beruntung itu. Apakah salah?" tanya Kinan dengan wajah yang datar, tanpa ekspresi sama sekali. Hancur. Itu yang sebenarnya dirasakan hati Kinan saat ini. Kalimat-kalimat yang diucapkan Arman seolah perlahan membuka topeng lelaki yang dipanggilnya sebagai suami selama ini.Mimpi yang semalam menjadi bunga tidur Kinan seolah-olah akan menjelma menjadi kenyataan."Siapakah wanita itu, Bang?" ulang Kinan kembali.Helaan napas panjang terdengar dari mulut Arman entah untuk yang ke sekian kalinya. Menguak kisah lama ternyata lebih berat daripada menyimpannya."Salsabila."Akhirnya nama itu terucap dari bibir Arman dengan lirih. Nama yang sekian tahun menjadi rahasia temannya akhirnya harus terungkap hari ini."Setelah kejadia
Apakah ini yang membuat Ardi tak memberikan gajinya pada Kinan selama ini? Apakah ini yang menjadi alasan selama ini suaminya menjadi sosok yang perhitungan? Apalah ini yang menjadi alasan Ardi mengirimkan uang secara berkala di sekitaran tanggal yang sama setiap bulannya!""Sejak kapan Bang Ardi harus menafkahinya?" tanya Kinan sembari menghela napasnya. Sesak itu kian menyeruak. Bahkan Kinan seolah tak lagi merasakan sakit di hatinya lagi. Tak ada air mata yang mengalir lagi."Ya ... sejak pernikahan siri itu terjadi. Walaupun Ardi tak pernah menafkahi secara batin, tetap saja nafkah lahir tetap dituntut oleh keluarga mereka. Bahkan ada perjanjian hitam di atas putihnya. Sebelum Ardi bekerja dulu, almarhum mertuamu yang memberikan uang nafkah itu. Tapi setelah suamimu bekerja, Ardi lah yang memberikan sebagian gajinya. Bahkan mereka menuntut lebih sejak empat tahun yang lalu dengan alasan untuk pengobatan Salsabila.""Pengiriman uan
"Nan ...?" tanya Dinda dengan raut wajah yang bingung. Wanita itu seolah tak percaya tas apa yang baru didengarnya Arman pun tampak menolehkan kepalanya pada Kinan. Ucapan yang baru saja meluncur dari bibir Kinan itu sukses membuat keduanya terkejut."Ada yang salah dengan pertanyaanku?" ulang Kinan untuk meminta penegasan."Kamu ingin menemui wanita itu?" tanya Dinda dengan tatapan mata yang tajam ke arah Kinan. Memastikan apa yang diucapkan wanita itu tadi tak salah dengan olehnya. Atau Kinan hanya sekadar ingin tahu alamat wanita itu saja?"Apakah aku salah jika ingin bertemu dengan wanita itu?" tanya Kinan dengan seulas senyum di ujung bibirnya.Entah senyum yang bermakna apa, bahkan dirinya sendiri pun tak tahu apa namanya. Kinan hanya sedang berusaha menunjukkan jika dirinya baik-baik saja. Hanya senyuman bukan tangisan. Untuk apa menangis jika hal itu tak akan pernah merubah keadaan menjadi lebih baik?"Kamu yakin, Nan?
"Tekadku sudah bulat, Bang. Aku harus bertemu dengan wanita itu. Tolong jangan beritahu Bang Ardi dulu!" ucap Kinan dengan nada penuh harap dengan Arman.Sontak saja Arman merasa serba salah. Tak menyangka jika akhirnya Kinan akan mengambil keputusan seperti ini. Bagaimana jika nanti Ardi tahu dan akan menyalahkannya? Bukan ini tujuan Arman mengatakan semuanya pada Kinan. Laki-laki itu ingin agar Kinan tahu dan tak terus-menerus berpikiran buruk pada suaminya. Sementara Ardi sendiri sedang ditekan oleh pihak keluarga wanita masa lalunya. "Dan bagaimana jika nanti Ardi tahu dan menyalahkan Abang, Nan? Tolong jangan lakukan ini! Abang hanya ingin tak ada rahasia yang ditutupi antara Ardi dan dirimu, Nan," ujar Arman dengan nada pinta.Kinan menghela napasnya. Dirinya sudah memantapkan tekad. Terlepas apa yang akan terjadi nanti, Kinan merasa dirinya harus bertemu wanita itu. Melihat kondisinya dengan mata kepala sendiri."Abang tak
Kinan menatap rumah bercat hijau muda itu dari kejauhan. Rumah yang memiliki halaman paling luas di sekitar masjid Ar-Rahmah jika dibandingkan dengan bangunan lainnya. Tak susah untuk menemukan rumah ini. Begitu mereka berhenti di warung kecil yang berseberangan dengan masjid yang memiliki kubah berwarna emas tadi, sang pemilik warung langsung mengarahkan tangannya ke arah sini. Hanya dengan menyebutkan nama Hanif saja. "Baca Basmallah, Nan. Semoga kamu kuat dengan apa pun yang akan kamu hadapi nanti," ujar Dinda sembari menepuk lengan Kinan yang baru saja melepaskan jaketnya.Setelah jam salat Zuhur selesai dan anak-anak sudah masuk waktu istirahat sebelum kegiatan sore, Dinda dan Kinan memberanikan diri untuk meminta izin kepada Bu Alya. Kinan meminta Dinda yang menyampaikan permohonan izin mereka."Aku sudah pernah izin saat mengintai Bang Ardi dulu, Kak. Tak enak hati jika terlalu sering," ujar Kinan dengan nada memohon. Bahkan kedua telapak tangannya dit
"Tak penting saya tahu darimana. Niat saya datang ke sini untuk bicara dengan Abang selalu kakak Salsabila. Bisa?" tanya Kinan sembari menatap penuh harap pada laki-laki itu. Laki-laki yang bernama Hanif Fakhuroja, laki-laki yang namanya sudah dikenal oleh Kinan, tapi rupanya baru dilihat hari ini.Hanif tampak menggelengkan kepalanya. Membuat Kinan melafalkan pinta agar kedatangannya ini tak sia-sia."Untuk apa? Apa yang harus dibicarakan saya dengan kalian? Dan siapa wanita ini?" tanya Hanif seraya mengarahkan pandangannya pada Dinda. Karuan saja hati Dinda pun menjadi agak ciut saat sepasang Hanif menatapnya dengan tajam.Kinan berusaha tetap tenang. Tak boleh menunjukkan kecemasannya."Dinda. Namanya Dinda. Dia kerabat saya."Kinan memilih memperkenalkan Dinda sebagai kerabat, bukan sekadar sahabat saja. Tak ingin membuat Hanif menjadi tak nyaman dengan kehadiran orang lain dalam masalah ini."Apa tujuanmu kemari?
Laki-laki yang tadi terlihat kumal telah berganti pakaian dengan kaos berkerah dan celana panjang. Wajahnya pun terlihat lebih jelas sekarang. Rahang tegas membingkai wajah yang bersih tanpa cambang dan kumis. Kulit sawo matang yang terlihat sekali merupakan hasil tempaan sang surya setiap harinya. Hidung mancung dengan bibir yang tipis. Rambut ikal yang basah disisir sekadarnya saja. Kinan menebak usia abang Salsabila itu hanya berselisih sekitar tiga tahun saja dari suaminya. Tapi jelas penampilan laki-laki ini jauh lebih menarik dibanding suaminya jika dalam kondisi seperti ini.Dalam hatinya Kinan mulai menebak-nebak. Melihat penampilan laki-laki ini, Kinan menduga jika sang adiknya pun tak akan jauh berbeda dengan abangnya. Pastilah wanita yang bernama Salsabila itu merupakan gadis yang cantik dan menarik di zamannya dulu. Entahlah sekarang setelah noda itu membungkus tubuhnya dengan sempurna bertahun-tahun lamanya."Maaf jika menunggu lama," ucap H
"Bang,dimana kau!" pekik Kinan dengan langkah yang tergesa. Mengabaikan tatapan heran dia lelaki yang memandangnya sejak mematikan mesin motor tadi. Tak peduli tanah yang sedikit becek akibat hujan sesaat barusan, Kinan tak dapat lagi menahan lama-lama emosi yang menggelegak di dadanya. Pernyataan yang disampaikan Fauzan tadi benar-benar membuatnya naik pitam. Mengapa sosok itu harus dia? Bukankah selama ini lelaki itu yang seolah menjadi sahabat dekat mendiang suaminya? Hanya berpura-pura ternyata. Lelaki itu tak lebih dari manusia munafik. Berpura-pura baik, menikam dari belakang. Kinan sempat tercengang saat mendengar nama yang disebutkan Fauzan itu. Menggelengkan kepala menunjukkan ketidakpercayaannya. Bahkan Kinan sempat meminta Fauzan mengulanginya kembali. Memastikan agar lelaki itu tak salah mengeja nama yang akhirnya akan menjadi fitnah. Namun Fauzan mempertegas semuanya. Gendang telinganya tak salah menangkap gelombang suara. Sosok i
Tak ada jawaban yang keluar dari bibir Fauzan. Lelaki itu tampak merasa serba salah. "Mengapa Abang tak menjawab pertanyaanku? Jangan bilang Abang menyesal telah mengatakan semua ini kepadaku!" tukas Kinan dengan tegas. Tatapan mata Kinan semakin menghujam. Membuat Fauzan semakin gelisah. Helaan napas panjang Fauzan terdengar jelas di tengah pemakaman yang sepi tanpa peziarah lainnya. Tampak beban berat seolah menggurat di wajah lelaki itu. "Abang tak bilang begitu. Hanya saja, Abang pikir semua kisah itu telah terungkap tanpa sisa. Ternyata Abang salah. Harusnya Ardi pergi tanpa belenggu rasa bersalah yang selalu membebaninya."Kinan mengernyitkan dahinya. Tak lama kemudian tangan kanannya bergerak ke arah pelipis. Memijatnya perlahan untuk menghalau rasa sakit yang mulai mendera. "Aku tak paham apa yang Abang katakan. Mungkin lebih baik Abang katakan saja langsung. Tak perlu berbelit-belit. Lagi pula aku tak ingin berlama-
Fauzan tampak tersentak. Sepertinya tak menduga jika Kinan akan menanyakan hal ini kepadanya. "Mengapa Abang terlihat terkejut? Abang pikir … aku tak tahu semua itu? Aku tahu, bukan tak tahu apa-apa seperti yang Abang pikirkan."Kinan mencoba menepis keraguan di hati Fauzan. Dirinya tahu tentang masa lalu suaminya. Pun dirinya mencoba berdamai dengan semua itu. Walaupun perceraian yang semoga menjadi penyelesaiannya saat itu. "Setelah Ardi pergi? Atau justru saat awal kalian menikah dulu?"Kinan menggelengkan kepalanya. Perlahan namun pasti. "Bukan keduanya. Aku tahu beberapa waktu sebelum kepergian almarhum. Dan itu pun secara tak sengaja. Berawal dari banyak hal yang memang almarhum coba sembunyikan. Namun Allah punya kehendak, yang mungkin tak sama seperti yang kita harapkan."Kembali Fauzan tertegun. Tak mampu lagi berkata apa-apa. "Aku tak akan dan tak sedang ingin membicarakan hal itu lagi. Aku hanya ingin mem
Beranjak dari posisi berjongkok, Kinan masih tertegun. Tak mengenal sosok yang ada di belakangnya. Bahkan setelah Kinan membalikkan tubuhnya, tetap saja tak ada ingatan yang tersisa tentang lelaki ini. "Maaf … Abang siapa? Mengenal almarhum suami saya?" tanya Kinan sembari menunjukkan raut wajah bingungnya. Dahinya mengernyit mencoba menguatkan kerja memori otaknya. "Ini makam Ardi kan? Soalnya petunjuk yang aku dapatkan tadi menunjukkan arah ini."Seolah tak peduli dengan pertanyaan Kinan, lelaki itu memajukan tubuh dan menajamkan netranya. Kacamata hitam yang tadi dikenakannya berpindah tempat. Tak lagi menempel di hidung, melainkan menggantung di kancing kemeja kotak-kotak yang dikenakannya."Tak salah lagi. Benar, ini makam Ardi."Lirih lelaki itu berkata sembari menurunkan tubuhnya. Mengambil posisi berjongkok di tempat yang tadinya ditempati oleh Kinan. Bibir lelaki itu berkomat-kamit. Kedua telapak tangannya menengadah.
Kinan menatap pilu nisan yang masih terbuat dari sebilah papan. Nama suaminya tertulis di sana. Tanah kuning di hadapannya belum sempurna mengering. Masih membasah, sama seperti hatinya yang belum juga mampu menerima kepergian lelaki ini sepenuhnya. Kepergian lelaki ini masih meninggalkan duka di hatinya. Tak pernah disangka jika mereka sedang dalam situasi tak baik ketika lelaki ini harus pergi selamanya. Itu yang paling menimbulkan penyesalan terbesar di hati Kinan hingga saat ini. Perceraian mereka memang urung terjadi. Namun kenyataan pahit ini jauh lebih menyesakkan dadanya. "Bang … bantu aku! Berikan petunjuk padaku! Aku sedang berjuang membuktikan jika dirimu tak salah kala itu. Sesuai apa yang kamu tuliskan dalam surat itu. Tapi apalagi yang dapat aku lakukan saat ini, Bang? Aku tak tahu bagaimana lagi harus mencari petunjuknya. Aku gagal, Bang."Tak hanya isakan tangis, Kinan juga menumpahkan air matanya. Area pemakaman yang sepi membuat Kinan m
Arman tercengang. Sepasang mata lelaki itu tampak terbelalak. Rahangnya mengeras. Bahkan ekor netra Kinan masih mampu menangkap gerakan terkepalnya telapak kedua tangan lelaki itu. "Abang terkejut aku tahu semuanya? Abang salah jika berpikir akan dapat menutupi bangkai selamanya."Kinan tersenyum sinis. Bentuk penguatan pada diri sendiri agar tak terlihat lemah di hadapan Arman. Kedok lelaki ini harus terbuka sekarang juga. "Pasti Hanif yang mengatakan kepadamu. Benar kan, Nan?" tanya Arman dengan lirih sembari mengacak rambutnya dengan kasar. Kinan diam. Satu hal yang dapat ditangkap dirinya atas ucapan Arman itu. Lelaki ini hanya mengatakan semua itu pada Hanif dan keluarganya. Tidak pada orang lain. "Setidaknya lelaki itu lebih jujur dibandingkan Abang."Kalimat yang singkat itu mengalir dari bibir Kinan. Namun mampu meluluhlantakkan hati Arman seketika. Sebegitu rendahkah dirinya di mata Kinan sekarang? "Kamu ta
Arman terperanjat. Kelihatan sekali jika laki-laki itu tak menyangka atas kalimat yang diucapkan Kinan. "Abang terkejut? Atau pura-pura terkejut? Masih ingin bersandiwara?" lanjut Kinan seolah tak memberi Arman kesempatan untuk bicara. Arman tampak gugup. Sesaat. Kembali berusaha menguasai diri. Namun Kinan mampu menangkap segala perubahan raut wajahnya lelaki itu dengan seksama. "Tak perlu gugup. Tak perlu berdalih untuk menutupi kebohongan Abang. Aku sudah tahu semuanya, Bang."Kali ini Kinan menurunkan nada suaranya. Sedikit melemah walaupun dengan telapak tangan yang terkepal. "Jika Abang tanya perasaanku setelah mengetahui semua ini, jujur aku kecewa. Kecewa pada sikap Abang. Kecewa pada pilihan yang Abang buat bertahun silam."Kinan menyunggingkan senyum sinisnya. Kembali menegakkan wajah ke arah Arman yang tampak kikuk seketika. "Abang masih belum paham arah pembicaraanmu ini, Nan. Semoga apa pun yang ada di
"Maksudmu? Abang tak paham. Bukankah apa yang Abang ketahui sudah Abang jelaskan semua kepadamu?"Arman yang muncul selang lima menit kemudian tampak terkejut mendengar pertanyaan yang dilontarkan Kinan itu. Kinan yang memilih tetap berdiri sama sekali tak ada niat untuk menyampaikan basa-basi. "Abang tak usah lagi berpura-pura. Tak usah berlagak tak tahu apa-apa."Mengernyitkan dahi, Arman sepertinya masih mencoba berlagak tak paham arah pembicaraan Kinan ini. "Abang memang tak tahu apa-apa, Nan. Lagipula kisah itu sudah lama. Sudah jelas apa yang terjadi sebenarnya. Mengapa kamu mengungkit-ungkitnya lagi?"Arman mengambil posisi duduk. Berharap hal yang sama dilakukan Kinan. Tak elok rasanya bicara sambil berdiri. "Abang bertanya mengapa aku mengungkitnya? Atau Abang memang sengaja ingin mengubur kisah itu agar dilupakan orang begitu saja?" Kali ini Kinan menegakkan wajahnya. Menghujam Arman dengan netranya yang se
Kinan menatap tegak bangunan yang ada di hadapannya. Kali kedua menginjakkan kaki ke halaman ini, namun perasaannya sungguh berbeda. Jika dulu langkahnya diiringi kekhawatiran, sekarang sungguh berbeda. Tak ada rasa khawatir yang dirasakannya sama sekali. Justru semangat yang menggebu ingin bertemu dengan sang pemilik rumah. Kecurigaannya jelaslah bukan tanpa alasan. Bukan tanpa dasar. Ada banyak hal mengganjal yang layak disebut sebagai bahan pertimbangan. "Ingin bertemu siapa, Yuk?"Kinan menolehkan kepalanya ke arah samping kiri. Posisi asal sumber suara yang menegurnya tadi. Seorang wanita yang hampir sebaya dengan Yuk Diana tampak berdiri tegak. Menatap Kinan dengan sedikit curiga. Kjnan tak marah. Wajar saja itu dilakukan wanita yang sepertinya merupakan pekerja rumah tangga di bangunan di hadapannya ini. Wanita ini tentu mendapat amanah untuk memastikan para tamu yang datang tak salah orang. Tak salah sasaran. "Pak Ar