Laki-laki yang tadi terlihat kumal telah berganti pakaian dengan kaos berkerah dan celana panjang. Wajahnya pun terlihat lebih jelas sekarang. Rahang tegas membingkai wajah yang bersih tanpa cambang dan kumis. Kulit sawo matang yang terlihat sekali merupakan hasil tempaan sang surya setiap harinya. Hidung mancung dengan bibir yang tipis. Rambut ikal yang basah disisir sekadarnya saja. Kinan menebak usia abang Salsabila itu hanya berselisih sekitar tiga tahun saja dari suaminya. Tapi jelas penampilan laki-laki ini jauh lebih menarik dibanding suaminya jika dalam kondisi seperti ini.Dalam hatinya Kinan mulai menebak-nebak. Melihat penampilan laki-laki ini, Kinan menduga jika sang adiknya pun tak akan jauh berbeda dengan abangnya. Pastilah wanita yang bernama Salsabila itu merupakan gadis yang cantik dan menarik di zamannya dulu. Entahlah sekarang setelah noda itu membungkus tubuhnya dengan sempurna bertahun-tahun lamanya."Maaf jika menunggu lama," ucap H
Hanif terkekeh. Laki-laki itu seperti sedang menertawakan sesuatu."Aku tak mengenal suamimu dengan cukup baik. Yang aku percaya dan yakini hanyalah keadaan yang terjadi saat semua orang menyadarinya. Adikku sedang tak sadarkan diri. Begitu juga dengan suamimu yang ada di sebelahnya. Sepercaya apa pun, seyakin apa pun, fakta yang berbicara. Laki-laki yang kamu panggil sebagai suami itu ada di samping tubuh kotor adikku. Hanya dia, tak ada orang lain lagi. Lantas kepercayaan apa yang harus aku berikan kepada suamimu itu?" cecar Hanif dengan sengit.Lidah Kinan keluh seketika. Bibirnya tak mampu merangkai kata. Semua yang telah diucapkan Hanif ini sungguh tak terduga."Mau percaya atau tidak, itu fakta yang ada. Fakta yang dilihat banyak orang. Dan kami sekeluarga mau tak mau harus memercayainya juga. Dan apakah pantas laki-laki itu bahagia, sementara adikku terpuruk dalam luka yang tak akan pernah sembuh? Adikku ... sampai akhir hayatnya akan hidup dal
Langkah Kinan dan Dinda bergerak mengikuti Hanif. Masuk ke dalam rumah melalui pintu depan yang sejak tadi tertutup rapat. Ternyata tak dikunci sama sekali. Atau memang Hanif sudah membuka kuncinya saat membersihkan tubuh tadi.Mereka melewati ruang tamu dengan satu set kursi jati berukir. Satu vas bunga berisi anggrek bulan berbahan latex berwarna putih ada di atas meja dengan alas taplak berbahan rasfur berwarna coklat muda itu. Tatanan ruang tamu yang cukup menarik dengan sebuah kaligrafi berbahan jati berukuran sedang pada salah satu dindingnya.Memasuki ruang tengah, seorang wanita paruh baya tampak duduk di lantai yang beralaskan karpet berwarna hijau. Kinan mengernyitkan dahinya. Mengapa tak ada sahutan saat mereka berkali-kali mengucapkan salam tadi? Padahal wanita ini pasti jelas mendengarkan ucapan salam itu. Tak mungkin jika tak mendengar kalimat yang diucapkan dengan cukup keras dan berkali-kali tadi. Apakah ini wanita yang bernama Salsabila itu?
"Aku yang meminta. Aku sudah berpesan pada Wak Ida untuk tak membukakan pintu untuk orang yang tak dikenalnya. Aku tak akan pernah tahu siapa saja yang akan datang ke rumah ini dan aku tak ingin menambah masalah. Masalah ini sangat berat untukku," balas Hanif dengan cepat.Penjelasan Hanif itu memang masuk akal. Tak ada hal yang dapat diduga dalam hidup ini. Sama seperti yang dirasakan Kinan saat ini. Siapa yang akan menyangka semua kenyataan ini harus didapatkan Kinan telah bertahun-tahun hidup dengan suaminya? "Sejak kematian almarhum Ibu, aku cenderung menjadi lebih sensitif. Merasakan semua beban seolah tertumpuk di bahuku. Tak ada lagi tempat untuk berbagi. Dan terpaksa, aku meminta bantuan Wak Ida untuk menemani Salsa dan mengerjakan semua pekerjaan rumah yang memang sedari dulu tak pernah aku sentuh. Menyapu, masak, mencuci, aku tak pernah melakukannya. Aku hanya tahu cara memanen tandan sawit, menanam lada, mencegah serangga agar cabeku tak rusak."
"Kamu yakin???" tanya Dinda saat mendengar ucapan Kinan. Raut wajah wanita itu jelas menunjukkan keterkejutan yang tak mampu disembunyikan. Hatinya berharap semoga apa yang baru saja didengarkannya itu salah."InsyaaAllah, Kak. Aku sudah memikirkannya semalaman," ucap Kinan dengan raut wajah tenang, namun tetap menunjukkan keseriusannya. Dinda menggelengkan kepalanya berulang kali. Kalimat demi kalimat yang dirangkai Kinan tadi sungguh tak dapat dipercaya olehnya."Mengapa kamu bisa begitu yakin, Nan? Kakak rasa kamu perlu waktu yang lebih lama untuk memikirkannya. Jangan terburu-buru! Banyak yang mungkin harus kamu pertimbangkan, Nan," balas Dinda dengan tatapan yang menerawang ke langit-langit ruangan.Keduanya sedang berbaring, menemani anak-anak yang tidur siang setelah mereka menunaikan salat Zuhur. Tak ada yang bermain di luar. Barangkali semuanya lelah setelah menjalankan aktivitas di lapangan seharian hari ini. Aman, para guru
Terlalu banyak kecewa, terlalu banyak perih yang didapatkannya, terlalu banyak air mata yang dikeluarkannya selama ini. Puncaknya saat belati yang ditancapkan ke hati, mengetahui sang suami mempunyai masa lalu yang kelam setelah hatinya berusaha berkata jika pernikahan mereka akan membaik seiring waktu yang akan berjalan.Salah. Pikirannya salah jika berkata seperti itu. Hatinya bukan hanya teriris tapi robek dengan sayatan besar saat melihat sosok itu duduk dengan tatapan mata kosong di sudut kamar. Jiwanya seakan tak mampu berkata apa-apa ketika melihat sebesar itu pengorbanan seorang abang kepada adiknya. Mengabaikan perasaannya sendiri demi seorang adik yang disayanginya. Seribu, mungkin hanya satu laki-laki yang akan berkorban sedemikian dasyatnya seperti sosok Hanif.Sedangkan dirinya, apa yang dilakukannya saat ini? Duduk menangisi takdir. Sibuk menggugat takdir. Ingin melawan takdir tapi tak mungkin dilakukannya.Kinan sadar, diriny
"Apa maksudmu, Dek? Siapa orang itu? Abang tak kenal," sahut Ardi sembari mengangkat tubuhnya dari sofa. Ingin melangkah meninggalkan Kinan yang masih duduk di tempatnya. "Jangan pergi dulu, Bang! Aku masih ingin bicara!" tegas Kinan berusaha menahan langkah suaminya itu. Ardi memutar tubuhnya. Pandangannya bertemu dengan tatapan mata Kinan yang menghujamnya."Jangan membiasakan diri meninggalkan orang yang mengajak kita bicara, Bang!" ujar Kinan dengan raut wajah datar. Pastilah Ardi sedang ingin menghindari pembicaraan ini. Gelagat laki-laki itu jelas sekali. Apakah pergi akan menyelesaikan masalah yang terjadi? Hanya menunda, tidak menyelesaikan sama sekali. Hanya menunggu, bom waktu itu meledak dengan sangat dahsyat."Sampai kapan Abang akan menghindari semua ini?" tanya Kinan dengan nada sinis."Abang bukan ingin menghindar. Abang memang tak kenal nama yang Adek sebutkan. Lagi pula Abang ingin mandi. Ada hal lain yang in
"Lantas??" tanya Ardi sembari mengernyitkan dahinya.Kinan menghela napasnya. Membuang tumpukan karbondioksida di paru-parunya."Aku melihat semuanya dengan kepala sendiri," ucap Kinan dengan nada yang diturunkan dari sebelumnya.Bagaimanapun Kinan sudah berjanji pada Arman. Tak akan membuka identitas laki-laki itu sama sekali. Kinan tak mengingkari janji. Kinan tahu bahwa Arman mempertaruhkan hubungan pertemanannya dengan Ardi selama ini saat membuka semua kisah itu pada dirinya. Dan Kinan tak ingin Arman merasa bersalah atas semua yang telah dilakukannya.Ada keterkejutan yang terlihat di wajah Ardi. Dan Kinan dapat menangkap semua itu dengan sangat jelas. "Aku melihat saat Abang bertemu dengan seorang laki-laki di warung bakso yang berseberangan dengan BTC beberapa hari yang lalu. Abang berdebat dengan laki-laki itu sepertinya. Dan aku mengikuti laki-laki itu sampai akhirnya tahu laki-laki itu bernama Hanif Fakhuroja. Sosok laki-
"Bang,dimana kau!" pekik Kinan dengan langkah yang tergesa. Mengabaikan tatapan heran dia lelaki yang memandangnya sejak mematikan mesin motor tadi. Tak peduli tanah yang sedikit becek akibat hujan sesaat barusan, Kinan tak dapat lagi menahan lama-lama emosi yang menggelegak di dadanya. Pernyataan yang disampaikan Fauzan tadi benar-benar membuatnya naik pitam. Mengapa sosok itu harus dia? Bukankah selama ini lelaki itu yang seolah menjadi sahabat dekat mendiang suaminya? Hanya berpura-pura ternyata. Lelaki itu tak lebih dari manusia munafik. Berpura-pura baik, menikam dari belakang. Kinan sempat tercengang saat mendengar nama yang disebutkan Fauzan itu. Menggelengkan kepala menunjukkan ketidakpercayaannya. Bahkan Kinan sempat meminta Fauzan mengulanginya kembali. Memastikan agar lelaki itu tak salah mengeja nama yang akhirnya akan menjadi fitnah. Namun Fauzan mempertegas semuanya. Gendang telinganya tak salah menangkap gelombang suara. Sosok i
Tak ada jawaban yang keluar dari bibir Fauzan. Lelaki itu tampak merasa serba salah. "Mengapa Abang tak menjawab pertanyaanku? Jangan bilang Abang menyesal telah mengatakan semua ini kepadaku!" tukas Kinan dengan tegas. Tatapan mata Kinan semakin menghujam. Membuat Fauzan semakin gelisah. Helaan napas panjang Fauzan terdengar jelas di tengah pemakaman yang sepi tanpa peziarah lainnya. Tampak beban berat seolah menggurat di wajah lelaki itu. "Abang tak bilang begitu. Hanya saja, Abang pikir semua kisah itu telah terungkap tanpa sisa. Ternyata Abang salah. Harusnya Ardi pergi tanpa belenggu rasa bersalah yang selalu membebaninya."Kinan mengernyitkan dahinya. Tak lama kemudian tangan kanannya bergerak ke arah pelipis. Memijatnya perlahan untuk menghalau rasa sakit yang mulai mendera. "Aku tak paham apa yang Abang katakan. Mungkin lebih baik Abang katakan saja langsung. Tak perlu berbelit-belit. Lagi pula aku tak ingin berlama-
Fauzan tampak tersentak. Sepertinya tak menduga jika Kinan akan menanyakan hal ini kepadanya. "Mengapa Abang terlihat terkejut? Abang pikir … aku tak tahu semua itu? Aku tahu, bukan tak tahu apa-apa seperti yang Abang pikirkan."Kinan mencoba menepis keraguan di hati Fauzan. Dirinya tahu tentang masa lalu suaminya. Pun dirinya mencoba berdamai dengan semua itu. Walaupun perceraian yang semoga menjadi penyelesaiannya saat itu. "Setelah Ardi pergi? Atau justru saat awal kalian menikah dulu?"Kinan menggelengkan kepalanya. Perlahan namun pasti. "Bukan keduanya. Aku tahu beberapa waktu sebelum kepergian almarhum. Dan itu pun secara tak sengaja. Berawal dari banyak hal yang memang almarhum coba sembunyikan. Namun Allah punya kehendak, yang mungkin tak sama seperti yang kita harapkan."Kembali Fauzan tertegun. Tak mampu lagi berkata apa-apa. "Aku tak akan dan tak sedang ingin membicarakan hal itu lagi. Aku hanya ingin mem
Beranjak dari posisi berjongkok, Kinan masih tertegun. Tak mengenal sosok yang ada di belakangnya. Bahkan setelah Kinan membalikkan tubuhnya, tetap saja tak ada ingatan yang tersisa tentang lelaki ini. "Maaf … Abang siapa? Mengenal almarhum suami saya?" tanya Kinan sembari menunjukkan raut wajah bingungnya. Dahinya mengernyit mencoba menguatkan kerja memori otaknya. "Ini makam Ardi kan? Soalnya petunjuk yang aku dapatkan tadi menunjukkan arah ini."Seolah tak peduli dengan pertanyaan Kinan, lelaki itu memajukan tubuh dan menajamkan netranya. Kacamata hitam yang tadi dikenakannya berpindah tempat. Tak lagi menempel di hidung, melainkan menggantung di kancing kemeja kotak-kotak yang dikenakannya."Tak salah lagi. Benar, ini makam Ardi."Lirih lelaki itu berkata sembari menurunkan tubuhnya. Mengambil posisi berjongkok di tempat yang tadinya ditempati oleh Kinan. Bibir lelaki itu berkomat-kamit. Kedua telapak tangannya menengadah.
Kinan menatap pilu nisan yang masih terbuat dari sebilah papan. Nama suaminya tertulis di sana. Tanah kuning di hadapannya belum sempurna mengering. Masih membasah, sama seperti hatinya yang belum juga mampu menerima kepergian lelaki ini sepenuhnya. Kepergian lelaki ini masih meninggalkan duka di hatinya. Tak pernah disangka jika mereka sedang dalam situasi tak baik ketika lelaki ini harus pergi selamanya. Itu yang paling menimbulkan penyesalan terbesar di hati Kinan hingga saat ini. Perceraian mereka memang urung terjadi. Namun kenyataan pahit ini jauh lebih menyesakkan dadanya. "Bang … bantu aku! Berikan petunjuk padaku! Aku sedang berjuang membuktikan jika dirimu tak salah kala itu. Sesuai apa yang kamu tuliskan dalam surat itu. Tapi apalagi yang dapat aku lakukan saat ini, Bang? Aku tak tahu bagaimana lagi harus mencari petunjuknya. Aku gagal, Bang."Tak hanya isakan tangis, Kinan juga menumpahkan air matanya. Area pemakaman yang sepi membuat Kinan m
Arman tercengang. Sepasang mata lelaki itu tampak terbelalak. Rahangnya mengeras. Bahkan ekor netra Kinan masih mampu menangkap gerakan terkepalnya telapak kedua tangan lelaki itu. "Abang terkejut aku tahu semuanya? Abang salah jika berpikir akan dapat menutupi bangkai selamanya."Kinan tersenyum sinis. Bentuk penguatan pada diri sendiri agar tak terlihat lemah di hadapan Arman. Kedok lelaki ini harus terbuka sekarang juga. "Pasti Hanif yang mengatakan kepadamu. Benar kan, Nan?" tanya Arman dengan lirih sembari mengacak rambutnya dengan kasar. Kinan diam. Satu hal yang dapat ditangkap dirinya atas ucapan Arman itu. Lelaki ini hanya mengatakan semua itu pada Hanif dan keluarganya. Tidak pada orang lain. "Setidaknya lelaki itu lebih jujur dibandingkan Abang."Kalimat yang singkat itu mengalir dari bibir Kinan. Namun mampu meluluhlantakkan hati Arman seketika. Sebegitu rendahkah dirinya di mata Kinan sekarang? "Kamu ta
Arman terperanjat. Kelihatan sekali jika laki-laki itu tak menyangka atas kalimat yang diucapkan Kinan. "Abang terkejut? Atau pura-pura terkejut? Masih ingin bersandiwara?" lanjut Kinan seolah tak memberi Arman kesempatan untuk bicara. Arman tampak gugup. Sesaat. Kembali berusaha menguasai diri. Namun Kinan mampu menangkap segala perubahan raut wajahnya lelaki itu dengan seksama. "Tak perlu gugup. Tak perlu berdalih untuk menutupi kebohongan Abang. Aku sudah tahu semuanya, Bang."Kali ini Kinan menurunkan nada suaranya. Sedikit melemah walaupun dengan telapak tangan yang terkepal. "Jika Abang tanya perasaanku setelah mengetahui semua ini, jujur aku kecewa. Kecewa pada sikap Abang. Kecewa pada pilihan yang Abang buat bertahun silam."Kinan menyunggingkan senyum sinisnya. Kembali menegakkan wajah ke arah Arman yang tampak kikuk seketika. "Abang masih belum paham arah pembicaraanmu ini, Nan. Semoga apa pun yang ada di
"Maksudmu? Abang tak paham. Bukankah apa yang Abang ketahui sudah Abang jelaskan semua kepadamu?"Arman yang muncul selang lima menit kemudian tampak terkejut mendengar pertanyaan yang dilontarkan Kinan itu. Kinan yang memilih tetap berdiri sama sekali tak ada niat untuk menyampaikan basa-basi. "Abang tak usah lagi berpura-pura. Tak usah berlagak tak tahu apa-apa."Mengernyitkan dahi, Arman sepertinya masih mencoba berlagak tak paham arah pembicaraan Kinan ini. "Abang memang tak tahu apa-apa, Nan. Lagipula kisah itu sudah lama. Sudah jelas apa yang terjadi sebenarnya. Mengapa kamu mengungkit-ungkitnya lagi?"Arman mengambil posisi duduk. Berharap hal yang sama dilakukan Kinan. Tak elok rasanya bicara sambil berdiri. "Abang bertanya mengapa aku mengungkitnya? Atau Abang memang sengaja ingin mengubur kisah itu agar dilupakan orang begitu saja?" Kali ini Kinan menegakkan wajahnya. Menghujam Arman dengan netranya yang se
Kinan menatap tegak bangunan yang ada di hadapannya. Kali kedua menginjakkan kaki ke halaman ini, namun perasaannya sungguh berbeda. Jika dulu langkahnya diiringi kekhawatiran, sekarang sungguh berbeda. Tak ada rasa khawatir yang dirasakannya sama sekali. Justru semangat yang menggebu ingin bertemu dengan sang pemilik rumah. Kecurigaannya jelaslah bukan tanpa alasan. Bukan tanpa dasar. Ada banyak hal mengganjal yang layak disebut sebagai bahan pertimbangan. "Ingin bertemu siapa, Yuk?"Kinan menolehkan kepalanya ke arah samping kiri. Posisi asal sumber suara yang menegurnya tadi. Seorang wanita yang hampir sebaya dengan Yuk Diana tampak berdiri tegak. Menatap Kinan dengan sedikit curiga. Kjnan tak marah. Wajar saja itu dilakukan wanita yang sepertinya merupakan pekerja rumah tangga di bangunan di hadapannya ini. Wanita ini tentu mendapat amanah untuk memastikan para tamu yang datang tak salah orang. Tak salah sasaran. "Pak Ar