Jihan yang masih terkejut sekaligus bingung, berusaha menarik dirinya dari posisi yang sangat memalukan itu. Bersamaan dengan hal itu, gelang karet yang menjadi penyebab insiden ini jatuh ke lantai.Azlin yang marah, bertanya dengan nada tak percaya. "Apa-apaan ini?" Sugiono menjawab dengan wajah sedih, "Tanyakan saja kepada istrimu, Zlin."Tanpa merasa bersalah, pria tua itu terus menggerakkan kursi rodanya dan meninggalkan ruang tamu menuju kamarnya. Azlin memandang Jihan dengan tatapan yang penuh kecurigaan. Sementara Jihan masih diam dengan jantung yang masih berdebar kencang."Kenapa kamu melakukan sesuatu yang tak senonoh seperti itu pada bapak?" tanya Azlin.Mendapatkan pertanyaan yang tajam dari suaminya, membuat Jihan membelalakan kedua matanya.“Kok kamu nanya nya kayak gitu, Mas? Harusnya kamu jangan hanya melihat dari sudut pandang bapak saja, tapi dengarkan penjelasanku juga.” Jihan masih tak habis pikir dengan cara berpikir suaminya.“Lalu apa yang ingin kamu jelaskan
Jihan terperanjat saat dirinya mendengar suara mobil berhenti di depan rumah.Ia menghentikan kegiatannya, dan terburu-buru menghampiri pintu utama. Azlin dan Pak Sugiono tengah dari pekerjaannya.Dengan tubuh berdiri tegak, Jihan menanti kehadiran sang suami di depan mata, meski ia tahu bahwa Azlin akan datang di temani bapak tua itu juga."Mas!?" sapa Jihan saat Azlin memasuki ruang rumah serta dengan pak Sugiono.Alih-alih menjawab, Azlin nampak datar melenggang pergi melewati Jihan. Jihan tercengang dengan sikap Azlin yang nampak tak seperti biasanya.Jihan menarik nafasnya sesak dengan perlakuan suaminya.Sedangkan Azlin masih saja terngiang dengan cerita bapaknya tentang sikap Jihan kepada mertuanya. Setelah Azlin mengantar bapak Sugiono ke kamar, dia kembali papasan dengan Jihan, dan tak diragukan lagi, kalau Azlin sangat cuek.Jihan membiarkan perilaku suaminya berlalu begitu adanya, dia diam dan melihat punggung sang suami masuk ke dalam kamarnya.Tak beberapa menit masuk, t
Kecemasan Jihan terhenti saat dirinya mendengar ponselnya berdering di balik tas kecil. Dengan adanya jaringan suara itu, Jihan berharap ada kabar baik untuknya yang masih menunggu wanita tak jelas itu.Benar saja apa yang ia duga, telepon yang datang ke ponselnya, datang dari wanita yang inisial kan MI6. Jihan lantas bergeming dan terburu-buru mengangkat telepon itu."Halo, kamu di mana sih? Aku sudah ada di sini dari tadi. Cepetan datang ke sini! Atau jangan bilang, kalau kamu nggak jadi datang," Cirocos Jihan yang tak sabar akan pertemuan itu.Tak peduli cuaca yang sangat panas, dan matahari seolah ingin menelan Jihan di puncak ubun-ubunnya. Yang jelas Jihan ingin sekali bertemu dengan wanita misterius itu."Tau saja kalau aku nggak bisa datang," balas wanita di seberang ponsel itu dengan sangat santai. Jihan melenguk bingung mendengar balasan teleponnya.Wanita itu seolah tak peduli atas dirinya yang sudah menunggu lama."Apa maksudmu?" tanya Jihan menegang. Wajahnya mulai pucat
Jihan terkejut tegang. Dia tidak menyangka Kenapa Ibu Puri bisa datang bertepatan dengan posisi kakinya berada di atas tangan pak Sugiono."Tunggu. I-ini tidak seperti yang Ibu lihat, Bu," ucap Jihan gagu. Bola mata Puri seperti hendak meloncat kesal. Tangannya berkacak pinggang, dengan dada naik turun menahan emosinya yang akan pecah."Terus, apa? Kenapa kamu sampai tega menendang suamiku, hah?""Begini, Bu. Aku tidak berniat menendang bapak. Tapi, tadi- bapak beraba betis saya," urai Jihan dengan mata dan wajah yang memelas. Namun mata Puri nampak bertemu dengan sepasang bola mata Sugiono. Pria berkursi roda itu nampak menggelengkan kepalanya. Matanya bermain seperti memberi arti bahwa Jihan pembohongnya.Puri percaya suaminya hanya dengan satu kedipan dan beberapa gelengan kepala."Berani-beraninya kamu bicara seperti itu pada mertuamu? Sebenarnya kamu Ada masalah apa sih sama kita? Kenapa sekarang ini kamu suka sekali cari masalah?" Puri memberondong ketagihan dengan banyak per
Lima jari Jihan menari di atas meja. Ia mengetuk-ngetuk meja hanya untuk menghilangkan rasa cemasnya.Berulang kali Jihan melirik arlojinya. Namun orang yang di tunggu tak kunjung datang juga. Ia takut jika wanita asing itu kembali mengurungkan niatnya.'Apa dia tidak datang lagi?' Pikir Jihan dengan hati yang sangat was-was. Setidaknya Jihan tak ingin kalau dia pulang dengan tangan kosong lagi.Ia membutuhkan setitik saja informasi tentang masa lalu sang suami.Saat pengunjung restoran mulai surut, Jihan pun menjulurkan lehernya melirik ke seluruh arah, fokusnya bertepatan di depan pintu."Mana sih?" gumamnya lagi tak sabar. Beberapa menit kemudian, suara kecil datang dari belakang punggung Jihan, lalu menepuk pundaknya."Istri, Mas Azlin?" sapanya.Jihan tersentak dan menoleh. Sesaat dia terdiam dan dunianya seakan terhenti. Lalu, dia melirik wanita itu naik turun. Rambut pendek yang terpapas indah, dan lekuk wajah yang lancip membuat Jihan tak mengibaskan pandangannya.Body wanit
Sudah dua bulan berlalu sejak Diska menjadi istri Azlin. Ia belum sepenuhnya mengenal keluarga suaminya itu, terutama bapak mertuanya, Sugiono. Suatu hari, ketika hendak masuk ke dalam dapur, Diska terperanjat saat melihat Sugiono. Dia berkata dalam hati, ‘Bapak kok bisa berdiri secara? Terus dia lagi ngapain dan serbuk apa yang dimasukan ke jus jeruk itu?’Kejadian ini tentu sangat aneh bagi Diska, si wanita tanpa hijab, karena Sugiono biasanya berada dalam kursi roda. Namun, saat itu, ia berdiri tegak, seolah-olah tak pernah kehilangan kemampuan berdiri.Diska berusaha untuk tidak bersuara. Namun, sepertinya Sugiono bisa merasakan kehadirannya di ambang pintu dapur. Dia menoleh langsung melihat Diska yang terperangah.“Argh!”Diska menjerit, ketakutan setengah mati. Namun sebelum ia bisa kabur, Sugiono sudah mengejarnya dan membekap mulutnya dengan tangannya yang kuat."Kenapa kamu malah mengintip, Diska? Apa kamu gak tahu kalau mengintip adalah perilaku yang sangat lancang," bisik
Diska menggeleng setelah ia mengingat-ingat beberapa saat.Matanya terlihat kosong, membayangkan angka-angka masuk di kepalanya."Ach, aku lupa," ucap Diska menggenggam puncak kepalanya."Masa kamu lupa sih?" Jihan nampak menyayangkan jawaban Diska. Hanya Diska satu-satu kesempatan bagi Jihan untuk membongkar misteri di rumah mertuanya itu."Beneran. Aku tidak ingat password pintu itu. Soalnya, waktu itu aku ketakutan. Terus, sensor pintu yang cepat berubah membuat pintu itu cepat tertutup lagi."Jihan melenguk, ada rasa memengkal di hatinya, "Diska, coba ingat-ingat lagi password pintu itu lagi, mudah-mudahan kamu masih ingat. Ini bersangkutan dengan masa depan rumah tanggaku. Aku tidak mau jadi Korba selanjutnya," mohon Jihan hingga perlahan suaranya parau dan menghilang.Mata Diska berkedip cepat, melintas di bayangannya angka pertama yang pernah ia tekan. "Aku hanya mengingat dua angka pertama, password itu.""Berapa?" sambar Jihan tak bisa menunda kesabarannya. "Pokoknya dua ang
Jihan menjerit dan menutup mata sekaligus membalikkan tubuh. Dia berteriak sambil bertanya, "Apa yang bapak lakukan? Kenapa bapak seperti itu? Kemana pakaiannya?Seringai kecil terbit dari bibir Sugiono. Tatapan nakal melihat punggung jihan naik turun. "Aku mau dipakaikan baju oleh kamu, Jihan," pinta bapak tua itu tanpa tahu malu.Jihan sangat jijik mendengarnya. Kalimat bapak mertuanya itu, membuat Jihan ingin muntah. "Nggak bisa Pak, aku nggak bisa memakaikan baju itu ke bapak!" Elak Jihan tak ingin ada negosiasi lagi di antara mereka."Ayolah, cantik! Aku kedinginan," bujuk mertuanya.Tentu menantu perempuannya itu menolak dan berkata," Bapak ini sudah gila, ya?! Bapak tidak waras."Mendengar cemoohan dari menantunya, Sugiono semakin tertantang. Kemudian tiba-tiba saja, Sugiono menekan tombil di bagian kursi rodanya. Hingga lajunya mendekat ke arah Jihan.Jihan menungkup kasar wajahnya, ketakutan di pojok pintu.Dengan cepat dia menarik tangan Jihan dan mengarahkan tangan itu ke
Wajah seketika memucat setelah mendengarkan penjelasan dari dokter spesialis kulit dan kelamin tersebut."Bagaimana mungkin saya bisa menginap HIV, Dok?" tanya Sugiono yang masih tak percaya dengan penjelasan dokter tersebut. Suaranya bergetar."Ada beberapa faktor yang memungkinkan seseorang bisa tertular penyakit mematikan ini. Bisa melalui pemakaian obat-obatan terlarang dalam jangka panjang, penggunaan jarum suntik yang digunakan oleh beberapa orang dan yang paling fatal adalah melalui hubungan seks dengan seseorang sudah terjangkit HIV," paper dokter tersebut.Sugiono tampak terdiam mematung setelah mendengarkan pemaparan dokter spesialis kulit dan kelamin tersebut. Seketika Sugiono teringat dengan Alda, karena hanya dengan perempuan itu sajalah belakangan ini dia melakukan hubungan badan.'Apa jangan-jangan Alda memang pengidap HIV AIDS? Sebelumnya tubuhku baik-baik saja saat berhubungan badan dengan Puri maupun dengan istri-istrinya Azlin,' batin Sugiono yang sebenarnya saat in
Malam telah beranjak semakin larut. Sugiono yang tadi sore sudah tertidur dengan lelap karena kelelahan, seketika terbangun. Dia terbangun karena merasakan ingin buang air kecil."Duh, gelap lagi. Ini jam berapa, ya?" tanya Sugiono pada dirinya sendiriSugiono pun beranjak menuju jendela sambil menyingkap gordennya. "Ternyata ini sudah malam. Pantes aja gelap. Kirain tadi ada pemutusan aliran listrik."Sugiono pun segera menyalakan semua lampu yang ada dalam rumah itu. Setelah itu dia bergegas melangkah menuju kamar mandi untuk buang air kecil."Aaargh!" Sugiono memekik tertahan saat merasakan perih dan nyeri di sekitar kelelakiannya. "Loh, kok berdarah?"Kedua mata Sugiono terbelalak saat ia melihat air s*ninya berwarna merah. Keanehan di tubuh Sugiono makin hari makin menjadi-jadi, termasuk dengan air s*ninya yang berwarna merah tersebut.Setelah kegiatannya di dalam kamar mandi selesai, Sugiono pun beranjak ke arah ruang tengah. Dia menghempaskan tubuhnya ke arah kursi sambil mengh
Hari kian gelap. Gulungan awan hitam menyelubungi langit-langit.Tubuh Sugiono lelah menanti kedatangan seseorang di halaman depan rumah itu.Angin sesekali menyapa Sugiono dan meneriaki pria malang itu."Aaargh, sialan. Dingin banget sih!" kesal Sugiono menepuk nyamuk hitam yang hinggap bagian pipinya.Meskipun, dia sudah tertimpa kemalangan, tapi egonya masih meninggi. Ia bertindak seperti pemilik dunia."Kalau saja aku ketemu dengan Alda saat ini, aku akan mematahkan seluruh persendiannya. Aku akan kerjain dia sampai mulut anunya berbusa. Dasar manusia murahan. Lihat saja, aku akan melakukan semuanya," sumpah serapah Sugiono mulai meluap-luap.Tapi, power Sugiono kembali melemah saat dia melihat jalanan masih sepi. Wanita yang ia tunggu tak kunjung datang juga. Hati Sugiono terasa terkikis saat itu.Sugiono pun mengeluarkan ponselnya dan melihat dasar layar ponsel itu.Pria berkepala plontos itu lantas menekan nomor Alda di dalam phone booknya dan memijit tombol telpon untuk menyam
Sugiono semakin kaget saat tidak menemukan uang beserta ATM di dalam dompet."Ah, mana dompetku? Atmku? Uangku juga? Astaga, semua hilang? BAGAIMANA INI?" erang Sugiono merasa stres dan gila.Hanya kartu identitas saja yang tersisa di atas laci kamarnya."Ada yang tidak beres. Pasti, tadi ada maling di sinil" Ssugiono menggaruk kepalanya yang plontos botak.Dia meyakini kalau kontrakannya dimasuki garong darat.Sugiono memutar otaknya, dia memikirkan beberapa hal yang ia perbuat sebelumnya. "Alda," celetuk Sugiono saat tiba-tiba mengingat sosok wanita itu.Wajah dan ucapan Alda seakan menari-nari dalam ingatannya. "Ya, aku yakin ini semua ulah si cewek sialan itu," dengus Sugiono berwajah garang.la menghembuskan nafasnya panas. Lalu bangkit dari posisinya yang terpuruk setelah kehilangan segala karunnya.Laki-laki botak itu melenggang ke samping rumah sambil berkacak pinggang."Mana wanita itu?" Sugiono mendengus marah. Hingga kakinya mencapai halaman kontrakan Alda.Rumah hening dan
FLASH BACK ONAlda menangis di bawah titisan hujan.Wanita berdagu lancip itu menangisi kepergian ibu dan ayahnya yang mendadak meninggal secara tragis.Kala itu Alda masih berusia 17 tahun. Seorang teman yang sama-sama tinggal di satu kampung merangkul tangannya.Di bawah langit yang mendung, tubuh mereka basah kuyup terkena air hujan. "Jangan bersedih! Aku juga ditinggal orang tuaku, kok, bahkan sudah setahun lalu. Kamu bisa kerja sama aku. Nanti kita dapat banyak kemewahan dari para klien."Awalnya, Alda tak menghiraukan kata-kata orang di sampingnya, namun sesaat dia mencerna hingga keingintahuan Alda tentang hal yang dialami orang itu, ia pun menoleh."Apa maksud kamu?"Wanita di sampingnya lekas merangkul Alda dengan sebelah tangan kirinya. "Pokoknya, kamu ikut saja. Jangan banyak tanya, yang jelas seluruh kesedihan kamu akan hilang, dan kamu akan hidup bahagia.""Benarkah?"Teman Alda sejak kecil itu, lantas menarik tangannya tak bersyarat.Dilihatlah apartemen kawannya yang be
FLASH BACK ONRumah kontrakan yang kosong di sebelah kediaman Alda tiba-tiba kedatangan seorang lelaki paruh baya berkepala botak.Awalnya, Alda hanya memperhatikan dengan acuh, merasa bahwa kehadiran orang baru itu tidak memiliki berpengaruh besar bagi hidupnya.Namun, hari demi hari kehadiran lelaki itu mulai mencuri perhatian Alda. Pernah sekali- kali ia memergoki pria botak itu sedang mencuri pakaiannya saat ia mencoba mengeringkannya di bawah sinar matahari yang hangat."Apa yang di lakukan bapak itu, ya?" bisik hati Alda, lalu kembali masuk dan bersembunyi di balik pintu tanpa di ketahui oleh Sugiono.Alda yang terkejut, keesokannya ia memanggil teman-temannya untuk memberitahu mereka tentang peristiwa itu."Heh, kalian kenal sama bapak itu nggak sih?" tanya Alda saat dia berkumpul dengan orang- orang yang mengontrak lainnya."Nggak tahu tuh. Sepertinya bapak itu baru ya?" jawab dari wanita lainnya yang ia sebut sebagai teman."Iya bapak itu orang baru di sini," timpal rekan lai
Jihan terengah kesakitan. Nafasnya memburu oksigen sekitar."Lepaskan! Siapa kamu?" cecar Jihan yang kini sudah terjerat dalam ikatan tubuh pria itu.Kedua tangan Jihan dicengkram erat hingga sulit untuk melawan. Sedangkan tubuh mungilnya sudah ditindih oleh badan besar berdada bidang itu.Wajah asing yang menyergap Jihan sangat mencekam. "Diam kamu! Kalu tidak diam, nyawamu akan melayang," ancamnya.Jihan meronta sekuat tenaga. Tak ada cara lain untuk dia melepaskan diri, hingga ia melakukan cara lain semampu tenaganya."Cuihh!"Jihan menyemprotkan salivanya, hingga wajah pria itu terciprat cairan kental dari mulut Jihan."Blegedes! Berani sekali kamu? Kamu mau melawan?""Aku nggak akan diam saja, aku nggak sudi kedatangan tamu kaya binatang seperti kamu!" lawan Jihan menantang pria berbalutkan kaus hitam itu.Mata pria itu semakin tajam, ia menghempas nafas panas, seolah siap melahap mangsanya.Dalam ketegangan, pria asing itu merobek sebelah baju yang ia kenakan. Lantas menggulingk
Saat ini malam sudah semakin larut. Pria berusia 24 tahun itu tampak masih kelelahan setelah dikejar oleh anjing malam."Fiuh! Kakiku rasanya seperti mau lepas dari persendiannya. Andai saja tak ada truk tadi yang melintas dan membunyikan klakson, mungkin aku sudah menjadi korban keganasan anjing-anjing malam itu," gumam Azlin sambil nyekak keringatnya.Saat ini nafasnya bahkan masih ngos-ngosan. Azlin pun bersandar di tembok toko yang berada di pinggiran jalan besar tersebut."Aku harus ke mana lagi?" tanya Azlin pada dirinya sendiri. Bingung, sebab tak punya tempat tinggal.Azlin menatap jalanan yang tampak sepi. Hanya beberapa kendaraan saja yang saat ini melintas. Meski tanpa tujuan Azlin pun tetap melangkah meninggalkan lokasinya berdiri.Saat sedang melangkah, seketika kening Azlin mengernyit. Dia melihat seorang wanita tanpa hijab dengan bajunya yang sudah sangat kotor dan kumal, sedang tidur meringkuk di bawah tiang neon trotoar."Kenapa rasanya aku familiar sekali dengan gela
Pagi yang cerah menyapa Azlin dengan kebingungan di dalam hatinya.Ia berjalan luntang-lantung tak tentu arah. Sampai tibalah lapar yang tak tertahankan membuatnya merenung sejenak di sebuah lorong kecil."Ya tuhan, kemana lagi aku berjalan? Kemana aku harus cari uang?" keluh Azlin menghrmpaskan di pinggir trotoar.Matanya menyapu seluruh tempat itu, memandang dengan cermat keadaan sekitar.Hingga dia memutuskan untuk mengatasi masalahnya dengan mengunjungi pasar setempat.Meskipun langkah ini agak nekat, tapi Azlin yakin dia bisa menemukan cara untuk mengisi perutnya yang kosong.Saat tiba di pasar, dia melihat tumpukan barang-barang yang perlu diangkat oleh penjual. Ide langsung muncul dalam pikirannya."Hemh, apa aku bisa?" Pikir Azlin memutar otaknya.Azlin pun langsung menyambangi tempat seorang pria yang sedang bersusah payah mengangkat banyak barang."Maaf, Bapak. Apa aku bisa kerja pada bapak?" tanya Azlin ragu."Kerja? Maaf-maaf. Pelayan tokoku sudah terlalu padat. Aku juga h