Di sekolahnya Rifka mendapat perlakuan yang sama. Tak hanya teman-temannya, bahkan guru yang dianggap pengayom yang bijaksana bisa berbuat sebelah mata, dengan beranggapan kesalahan ayahnya adalah tanggung jawab Rifka juga. Gadis enam belas tahun itu bingung. Dia merasa di dakwa atas kesalahan yang tak pernah diperbuatnya.
Sering Reksa melihat Rifka pulang dari sekolah dengan wajah yang kusut dan mata yang merah. Walau tak pernah bertanya tapi Reksa tahu apa yang sedang dialami adik semata wayangnya itu. Rifka juga jadi gadis yang pendiam dan sering melamun. Kalau boleh memilih, Reksa mau menanggung aib papanya sendiri saja tanpa melibatkan mama dan adiknya.
Puncak dari kejadian itu saat Reksa di panggil Pak Anto, Manajer Radio Galaxy FM, tempat di mana dia bekerja selama tiga tahun terakhir.
“Saya sudah dengar apa yang sedang menimpa keluarga kamu,” ujar Pak Anto dengan intonasi dan pemilihan kalimat yang sepertinya sudah dirancang.
Reksa diam. Perasaan tak enak perlahan menyelinap ke dalam hatinya.
“Saya sudah bicarakan hal ini dengan dewan direksi dan seluruh jajaran divisi radio ini, tentang tindak lanjut dari masalah yang kamu hadapi.”
“Maksud Bapak?” Walau sudah menangkap kemana arah pembicaraan Pak Anto tapi Reksa perlu kalimat yang lugas, tegas dan enggak bertele-tele. Mau kalimat semanis apapun, toh hasilnya akan tetap sama, kan?
“Begini, Reksa. Kamu adalah salah satu penyiar terbaik yang dipunya sama radio ini. Program-program yang kamu bawakan berhasil merangkul pendengar dari segala segmen. Acara kamu juga termasuk acara unggulan dan masuk dalam jajaran prime time. Tak heran kalau rating radio ini naik dan membuat klien berlomba-lomba memasang iklan.”
Dulu seringkali atasannya ini memuji prestasinya di radio Galaxy FM. Ada sejumput bangga tersemat di dada Reksa pada saat itu. Tapi, pujian itu kini malah membuat Reksa muak. Ada kalimat lanjutan yang dia yakin bakal mengubah warna hidupnya menjadi kelam.
“Namun sungguh sayang. Dampak dari berita ayahmu yang beredar akhir-akhir ini membuat rating acaramu merosot tajam. Membuat para pendengarmu berpaling ke channel lain. Saya tidak tahu persis apakah itu terjad karena dampak dari kasus yang menimpa keluargamu. Atau spirit siar kamu sudah menurun. Entahlah. Tetapi seperti itulah yang terjadi sekarang.”
Lirih suara Pak Anto namun sanggup membuat gendang telinga Reksa serasa terkoyak. Dada Reksa seperti dihantam balok es. Dingin sekaligus sakit.
“Jadi sekarang bagaimana, Pak?” Reksa pasrah.
Pak Anto terdiam sebelum meneruskan kalimatnya. “Kami terpaksa menon-aktifkan kamu dari radio ini…”
Setelah itu Reksa tak ingat apa-apa lagi yang dikatakan Pak Anto. Dunianya tak hanya mendadak kelam tapi juga sempit. Semua kalimat manis berbuah pahit itu tak mau di dengarnya lagi. Dunianya serasa terbalik. Mendadak hitam dan suram. Impiannya untuk terus bekerja di tempat yang sesuai dengan hobinya kini musnah. Masa tiga tahun yang menyenangkan kini musnah dalam sekejap. Saat-saat berada di ruang kaca kebanggannya itu kini hanya tinggal kenangan.
* Tuhan tak pernah membiarkan hambanya berjalan sendiri, bertanya-tanya dalam bisu kemana nasib akan membawanya pergi. Begitu juga pada Reksa. Di saat kegamangan pasca dipecat dari Radio Galaxy FM, dia bertemu Barudin. Barudin adalah sahabatnya semasa kuliah di Untan dulu, anak Mempawah. Reksa dekat dengan cowok kocak itu karena mereka sama-sama suka musik.Tapi pertemuan yang serba kebetulan itu sepertinya sudah diatur sama Yang di Atas. Sebuah skenario Tuhan yang sudah dipersiapkan untuk Reksa. Saat mau sholat dzuhur di masjid agung Mujahidin, Reksa melihat sosok pemuda hitam kurus yang dulu pernah di akrabinya di fakultas Ekonomi. Cowok itu sedang berjalan masuk ke ruang wudhu bersama jemaah lainnya. Melihatnya, Reksa langsung mempercepat langkah untuk menyusulnya.
“Din…!” sapa Reksa tanpa menyembunyikan nada senang di suaranya.
“Eh… Reksa!” Barudin juga tampak terkejut bertemu dengan sahabat lamanya. Ekspresinya seperti pengangguran yang menang togel satu milyar.
“Kemana aja kamu selepas kuliah? Nggak ada kabar sama sekali,” tanya Reksa setengah menggerutu.
“Abis kuliah aku sibuk mengurusi perusahaan ayahku,” jawab Barudin dengan nada setengah bercanda.
“Wah… Sudah jadi orang hebat kamu sekarang, ya? Lepas kuliah sudah punya perusahaan sendiri. Nggak sia-sia title Sarjana Ekonomi yang kamu sandang di belakang namamu,” puji Reksa tulus.
Barudin hanya tersenyum menanggapi.
“Kalau boleh tahu, perusahaan kamu bergerak di bidang apa? Kali-kali aja aku bisa menjadi salah satu pegawaimu,” canda Reksa bernada harapan.
“Di bidang jagal menjagal, Sa. Alias usaha pemotongan ayam. Hahaha…” jawab Barudin sambil tertawa.
Mendengar itu Reksa ikutan tertawa. “Dasar kamu!”
Dulu semasa kuliah Reksa cukup akrab dengan Barudin. Gayanya yang ramah, polos sekaligus kocak, membuat Reksa seketika tertarik menjalin pertemanan dengannya. Reksa memang selalu membuka diri pada siapa saja untuk bergaul. Walau mayoritas teman-temannya di kampus anak orang berada seperti dirinya, namun dia tak menutup diri untuk berteman dengan orang-orang menengah ke bawah seperti Barudin.
Setelah selesai sholat Dzhuhur, mereka ngobrol lagi sembari makan siang di sebuah warteg yang teduh. Dari sanalah curhat Reksa mengalir. Diantara kepulan asap rokok mereka Reksa bercerita, bagaimana keluarganya sekarang sedang mengalami musibah dan mereka kini seolah kehilangan pegangan.
Barudin mendengarkan cerita Reksa dengan seksama. Kelihatan dari rautnya dia sama sekali tak tahu menahu dengan masalah yang menimpa keluarga Reksa. Syukurlah! Reksa memaklumi hal itu. Mungkin saja Barudin baru kembali dari planet Pluto, jadi tak tahu kalau keluarga Reksa sedang mengalami musibah. Tapi Reksa tak ambil pusing soal itu. Dia sudah tahu siapa Barudin. Pemuda itu kan peka informasi.
Selan itu, Reksa juga bercerita tentang pemecatan dirinya di radio Galaxy FM karena kasus korupsi ayahnya itu. Impact dari kesalahan yang tak pernah diperbuatnya.
“Sebenarnya mereka ndak bisa memecat kau begitu saja. Masyak gara-gara orangtua, anak yang jadi ikutan kena getahnya,” protes Barudin dengan aksen melayu Mempawah yang kental.
“Tapi menurut mereka, sejak kabar itu beredar luas, acara yang aku bawakan ratingnya merosot tajam,” urai Reksa sambil mengisap rokoknya dalam.
“Ah, alasan gampang dicari, Bro,” tepis Barudin tak setuju.
Reksa diam, membenarkan perkataan Barudin.
“Sekarang apa rencana kau selanjutnya,” tanya Barudin.
Reksa menggeleng. “Entahlah…” Matanya terlihat kosong. Hampa.
“Kalau kau mau, kau bisa kok kembali bekerja di radio.”
“Maksudmu?” Reksa bingung kemana arah kalimat Barudin. Dia yakin, dengan reputasinya sebagai anak seorang koruptor sekarang, tak ada yang mau menerimanya bekerja, apalagi di stasiun radio.
“Di Mempawah ada sebuah radio yang sedang membutuhan penyiar.”
“Ah, yang bener kamu?” Reksa tampak antusias.
Barudin mengangguk serius. “Benar! Untuk apa aku bohong.”
“Aku bisa daftar nggak, ya?” harap Reksa.
“Kalau mau, kau bisa aku ajukan. Aku yakin kau bakal lolos.”
“Kok bisa? Emang enggak melalui tahap voice test dulu, gitu?”
Barudin menggeleng tegas. “Aku yakin kau bisa langsung diterima disana. Apalagi kalau mereka mendengar kau pernah bekerja di radio Galaxy FM.”
“Tapi kalau mereka tahu kenapa aku keluar dari Galaxy FM bagaimana?” Perasaan khawatir itu hadir kembali. Reksa trauma.
“Tak semua orang tahu berita yang beredar, Sa. Di sekitar mereka sekalipun. Lagipula kalian bukan dari kalangan keluarga selebritis, kan? Jadi kau jangan kege-eran kalau berita tentang ayah kau diketahui semua orang di Indonesia ini, hehehe…,” cetus Barudin sembari terkekeh.
“Hahaha… Sialan kamu!” Tak sadar Reksa ikutan tertawa mendengarnya.
“Tapi kalau jadi keterima di radio itu kau jangan terkejut!”
“Memangnya kenapa, Din?”
“Pokoknya kau jangan terkejut. Titik!” jawab Barudin sembari membanting puntung rokoknya ke tanah.
Dan apa yang dibilang Barudin itu memang benar. Reksa tak hanya terkejut tapi mau mati saking excited-nya.
***
BAB 04 : Kita Harus Bicara, Reksa Ratu Matalatta termenung di dalam kamarnya yang luas dengan interior dinding dan pernak-pernik bernuansa pastel. Gadis cantik itu tercenung sejenak, ia sedang memikirkan berita yang lagi hangat dibicarakan orang-orang sekarang, headline news yang menjadi bulan-bulanan pers dan netizen akhir-akhir ini, tentang perkara yang menimpa keluarga Darman Achmad, papa Reksa. Berita yang dianggapnya belum tentu benar walau bukti-bukti sudah mengarah ke sana. Sebenarnya bukan urusan Ratu kalau sampai ia memikirkan hal itu, apalagi sampai membuat mood-nya turun ke titik nadir. Namun ini semua menyangkut keberadaan Reksa, kekasihnya. Bukankah seorang kekasih selalu berbagi persoalan kepada kekasihnya? Memberi dukungan sekaligus saling menguatkan? Dan hal itu yang selalu mereka aplikasikan kedalam hubungan yang mereka jalin selama ini. Namun kini sepertinya ada yang b
Seakan tak mau menyia-nyiakan waktu, sepulang dari Galaxy FM hari itu juga Ratu meluncur ke Mempawah. Dengan mobilnya cewek itu nyetir sendiri kesana. Tak ada tujuan lain selain menjumpai Reksa. Ratu harus tahu semuanya dari mulut cowok terkasih itu, bukan dari orang lain. Setelah menempuh perjalanan selama satu setengah jam, Ratu pun tiba di Mempawah, kota kecil yang bersih dan asri itu tak banyak mengalami perubahan suasana dari tahun ke tahun. Suasananya terlihat lengang. Hanya ada satu dua kendaraan yang melintas di jalanan. Setelah melewati gerbang Selamat Datang, Ratu lantas memasang headset, menelepon Reksa. Untunglah di nada dering ketiga teleponnya diangkat. Tak sadar Ratu mendesah lega. Reaksi Reksa yang mengangkat teleponnya membuat Ratu seakan mendapat durian runtuh. “Reksa, aku ada di Mempawah, nih. Kamu di mana?”
Sore itu juga Ratu memutuskan untuk secepatnya pulang ke Pontianak. Tak ada gunanya lagi ia berlama-lama disini. Hanya melahirkan kemarahan dan kekecewaan baru pada Reksa. Dia kecewa sekali dengan sikap Reksa. Tadinya dia berharap cowok itu mau berkompromi dengan keadaan dan memperbaiki hubungan mereka yang telah lama sunyi. Ratu rindu saat-saat dulu. Rindu tawa ramah dan kehangatan Reksa. Tapi bagaimana bisa dia merubahnya? Sedangkan Reksa sendiri tak yakin akan keadaan dirinya dan selalu skeptis memandang hari esok. Reksa sudah berubah menjadi laki-laki pengecut! Ratu paham. Paham sekali dengan kondisi psikologis yang sedang melanda kehidupan keluarga Reksa. Anak mana yang tak terbebani mendapati ayahnya menjadi tersangka sebuah kasus korupsi besar dan lantas dicap sebagai koruptor? Anak mana yang tak merasa bingung dengan perubahan keadaan yang terjadi secara tiba-tiba, dari seorang pangera
Jam tujuh malam Reksa siaran di Gantara AM. Sebenarnya dia kurang bersemangat untuk cuap-cuap di udara malam ini. Apalagi tadi mixernya bermasalah. Baru saja mau menaikkan chanel mikropon, tiba-tiba mixernya keluar asap, seperti ada yang bikin api unggun di dalam ruang siarnya, bersaing dengan asap rokok yang mengepul dari mulut Reksa. Ya, tak seperti di Galaxy FM dengan peraturan dan etika siar yang cukup ketat, disini Reksa sedikit bebas, bisa merokok walaupun sedang on-air dan AC ruangan dalam keadaan menyala. Bebas sebebas-bebasnya. Melihat pemandangan yang tak biasa itu Reksa panik dan langsung menelepon Saeful untuk segera datang ke studio. Tuh anak, walau suaranya kalau lagi siaran kalah merdu dengan suara kucing dalam karung, tapi kalau soal membenarkan alat-alat yang rusak di studio, masih bisa diandalkan. Walaupun lebih sering dibuat semakin rusak. Begitu informasi sementara yang Reksa d
Kecelakaan mobil yang dialami Ratu sangat parah. Tak hanya luka yang dideritanya namun juga patah tulang di beberapa bagian di tubuh gadis malang itu. Kalau melihat kondisi body mobilnya yang ringsek, tak ada yang yakin kalau pengemudianya masih bisa bertahan hidup. Semuanya semata hanya karena mukjizat dari Tuhan yang membuat Ratu masih bisa menghirup udara dunia hingga hari ini, walau untuk itu ia mesti melaluinya dengan cara yang sangat sulit untuk dibayangkan. Karena insiden itu Ratu koma selama dua hari di RSU Antonius Pontianak. Semua mengkhawatirkan keselamatan jiwanya, terlebih keluarga dan kedua orangtuanya. Saat pertama kali siuman, Ratu langsung histeris melihat kondisi dirinya dan beberapa kali pingsan kembali. Kedua orangtuanya semakin sedih melihat fisik dan psikis yang dialami oleh Ratu. Seminggu di rumah sakit keadaan Ratu semakin memburuk. B
Luka fisik Ratu memang sembuh tapi tidak dengan luka psikisnya. Pasca kakinya diamputasi, Ratu selalu termenung di kamarnya. Ragam pikirannya bercampur aduk sekarang. Kadang Ratu tak bisa membedakan mana alam nyata dengan alam khayalnya. Seribu satu penyesalan ia hujamkan kedalam diri sendiri. Mengapa ia nekad menemui Reksa? Mengapa ia kalap menyetir mobil di kala hujan mendera? Apakah ia puas setelah ini? Apa yang ia dapatkan setelah apa yang ia perjuangkan tak dapat menghasilkan kemenangan? Tanpa sadar airmata sudah membasahi wajahnya. Tak cukup sampai disitu. Gadis itu juga menolak keluar kamar kalau ada tamu, sanak famili atau keluarga jauh yang datang berkunjung ingin menjenguknya. Kenalan dan teman-teman semasa kuliah yang ingin menemuinya juga tak pernah digubris. Semua kecewa dengan sikap yang diambil Ratu. Namun mereka juga sadar dan memaklumi keadaan. Bagaimana perasaan mereka jika posisi Ratu adala
Begitulah sekarang keadaan Ratu. Pasca operasi amputasi kakinya, kondisi psikis gadis itu kian memburuk. Kehilangan sebelah kaki seakan melenyapkan seluruh harapan hidupnya. Jika boleh memilih, ia ingin mati saja daripada hidup dengan fisik yang tak lagi sempurna. Semua mencemaskannya. Semua sedih melihat kondisinya. Kedua orangtua dan juga adik kembarnya tak henti-hentinya menyemangati, namun sepertinya sia-sia. Harapan dan asa tak lagi milik Ratu. Semua telah padam seiring satu kakinya yang terbuang. “Kak… Kakak harus semangat lagi. Jangan buat kita ikutan sedih melihat Kakak seperti ini,” pujuk Raka dengan harapan yang tak pernah padam. Namun Ratu, diatas kursi rodanya, hanya tersenyum sumbang. “Kami tahu apa yang Kakak rasakan. Ini memang sulit untuk Kakak. Tapi, jika Kakak bersikap seperti ini terus,
Tak ada yang tak bisa di dunia ini selagi manusia mau berusaha. Upaya Pak Dibyo dan keluarga dalam penyembuhan fisik dan pemulihan psikis Ratu mulai menampakkan hasilnya. Kini Ratu tak lagi berkawan dengan kursi rodanya. Ia pun sekarang tampak lebih optimis dalam menjalani hari-harinya. Ratu juga selalu berusaha menggunakan prostesisnya dan selalu belajar berjalan layaknya orang yang berkaki normal. Untung kedua orangtuanya dan adik-adiknya sangat perhatian dan selalu membantu, jadi kemampuan Ratu dalam menggunakan prostesis terbilang cepat prosesnya. Suatu hari Lila datang kembali ke rumah Ratu. Tak seperti biasanya kali ini Ratu menyambut Lila dengan senyum yang sedikit merekah. Dari wajah cantiknya juga dibinari dengan harapan. Kepercayaan diri sahabatnya itu sepertinya perlahan sudah bangkit kembali, pikir Lila. Gadis berambut pendek itu sangat senang melihat perubahan sikap Ratu tersebut. Lila adalah salah
Irsyad sendiri sebenarnya bukan tanpa tujuan mengajak Ratu dinner malam ini. Ada sesuatu yang penting yang akan ia sampaikan pada Ratu menyangkut masa depan mereka berdua yang arahnya belum menemukan tujuan. Awalnya Irsyad ragu bagaimana caranya untuk memulai dan mengungkapkan hal tersebut pada Ratu. Namun karena keinginan lebih besar dari keraguan, Irsyad pun memberanikan diri mengajak Ratu kencan dan sudah mempersiapkan segalanya mala mini, termasuk mental. “Ratu. Ada yang mau aku sampaikan sama kamu malam ini.” Wajah Irsyad tampak sedikit tegang. Ia coba mengatasi kegugupannya dengan menampilkan sebuah senyuman..“Mau ngomong apa, Bang?” tanya Ratu. Ia sedikit bingung. Tak seperti biasanya Irsyad meminta ijin sebelum ngomong. Ada apa?“Aku pikir, sudah saatnya kita memikirkan kelanjutan hubungan ini ke jenjang yang lebih serius.” Akhirnya kalimat itu mengalir lancar dari bibir Irsyad.“Ma
Kadang sesuatu yang datang dan memberikan kenyamanan tak pernah benar-benar kita rasakan. Kadang sesuatu yang menghilang dan memberikan kenangan malah dapat menimbulkan kerinduan yang dalam. Yang tampak belum tentu dapat dirasa. Yang tak tampak selalu bisa dirasa walau hanya dalam bayangan. Begitulah cinta, siapapun tak kan sanggup mengukur kadarnya. Cinta hanya dapat dirasa, entah itu berasa manis atau berupa pahit belaka. Namun satu yang pasti, cinta tak pernah benar-benar pergi walau sekeras apapun hati ingin membenci. Malam ini Andi Irsyad mengajak Ratu dinner di sebuah kafe yang letaknya di tepi sungai yang bernuansa romantis. Dekor dan motif temboknya bercorak ‘awan berarak’ dengan kombinsi warna kuning dan hijau yang serasi. Lampu-lampu hias yang menempel di setiap lekuk bangunan membuatnya tampak begitu indah. Ditambah lagi dengan alunan musik dari streo set audio yang mengalun lembut, membuat pengunjung menjadi terhanyut dalam suasana yang tercipta.
“Kalau melihat dari data yang kamu tulis, semua pendapatan habis untuk biaya operasional dan mengganti alat-alat radio. Tapi disini tidak kamu rincikan apa maksud dari biaya operasional tersebut. Bukankah radio kita nggak pernah mengadakan acara off air? Saya juga perlu estimasi barang-barang apa saja yang telah dibeli dengan memakai uang iklan,” pinta Pak Imam. Sepertinya ia harus lebih berhati-hati dalam menghadapi Jodi.“Iya, Pak Imam. Saya…”“Datanya ada kamu bawa sekarang?” potong Pak Imam.“Be-belum saya buat, Pak. Tapi nanti akan saya segerakan.”Pak Imam menghela nafas kesal. “Vera tolong kamu simpan dulu data-data ini. Nanti diketik yang rapi, ya. Lalu fax ke alamat email kantor pusat,” perintah Pak Imam pada sekretarisnya. “Tapi sebaiknya jangan dikirim dulu, karena akan ada data tambahan dari Jodi nantinya.”“Baik, Pak,” jawab Vera sigap. Wanita tiga p
“Bagaimana Saeful, Salmah, Hartati? Apa kalian pernah mendengar ada selentingan pendengar yang menyudutkan acara yang dibawakan Reksa?” tanya Pak Imam pada ketiga penyiarnya. Beliau sepertinya harus menerapkan teori semua arah, dimana kebenaran atau keburukan dapat dilihat dari berbagai sudut pandang yang tak hanya mendengar satu pihak. Salamah menggeleng. “Setahu saya, Reksa banyak fans-nya,” ujarnya sambil tersenyum malu-malu. Namun dibalik ketersipuan itu, kentara sekali jika Salmah bangga dengan pencapaian yang diraih Reksa.Hartati yang duduk di samping Salma ikut-ikutan tersenyum mengiyakan perkataan rekan sesama penyiarnya. Akan halnya Salmah yang pemalu, Tati juga terlalu sungkan dan canggung untuk berbicara pada atasannya. Ia hanya membuka suara apabila ditanya. Selebihnya hanya diam dan menyimak dengan khusyuk seperti yang lainnya.“Kalau kamu Tati? Bagaimana pendapatmu tentang Reksa? Maksud saya tentang
“Pak Imam datang? Mau mengadakan rapat?” protes Jodi saat Reksa meneleponnya.“Iya, Bang. Saya hanya menyampaikan,” sahut Reksa.“Selalu saja seperti itu. Setiap datang kesini seperti pencuri. Diam-diam dan membuat orang kaget,” gerutu Jodi lagi dengan bahasa yang membuat Reksa menggeleng-gelengkan kepalanya.“Saya tidak tahu juga sih, Bang. Terus terang saya juga kaget. Karena baru pertama kali ini bertemu beliau. Apalagi mendengar akan diadakan rapat dadakan.”“Nah, kamu sendiri tahu.”“Tapi kan kita bisa apa? Sebagai penyiar, sebaiknya kita ikuti saja apa yang diinginkan oleh pimpinan. Toh, beliau tak menyuruh kita kerja bakti membersihkan got, kan?” Reksa mencoba menetralisir dengan selorohan.Namun alih-alih merasa lucu, Jodi malah menyerang Reksa dengan berang. “Eh, Reksa! Kamu itu anak baru. Kamu nggak usah ceramah dan mengajari aku. ““Buka
“Well, my time is up, guys. Sekarang waktunya saya untuk pamit undur dari ruang dengar kalian semua. Terima kasih atas atensinya Gantara Listeners. Keep stay tune disini, di gelombang 817 Gantara AM, karena setelah ini bakal banyak acara keren yang akan menemani kalian hingga ke pukul 24 teng nanti. Tetap jaga semangat kamu hari ini bersama Gantara AM. Reksada Dirga sign out. Adios!”Setelah menutup acaranya, Reksa kemudian keluar dari ruang siar menuju ruang tengah. Ternyata ada Salmah di sana, salah satu penyiar perempuan di Gantara AM ini.“Sudah selesai, Ga?” sapa Salmah saat melihat kemunculan Reksa.“Iya, Sal. Setelah ini kamu, kan?” sahut Reksa, ramah.Salmah hanya mengangguk dan kemudian menuduk.Basa-basi diantara mereka sepertinya memang masih telihat kaku dan canggung. Walau sudah kenal selama beberapa bulan, dan bertemu walau hanya sekilas, di saat jam pergantian siar seperti saat ini, namun g
BAB 32 : Masa Lalu Versus Masa DepanCinta mendatangkan keberanian. Cinta dapat menumbuhkan sifat-sifat manusia yang kadang tak pernah tewujud selain hanya terpendam. Dan cinta adalah keinginan, cita-cita yang terus tumbuh bersemi dalam hati dan pada saatnya akan dipetik dan dinikmti. Rasanya naïf jika ada kata bijak yang mengatakan cinta tak harus memiliki. Sebuah kalimat usang yang tetap berkumandang walau jaman sudah jauh berjalan. Namun tak semua suka dengan ungkapan itu. Tak semua setuju dengan apa makna yang terkandung didalamnya. Cinta haruslah memiliki, karena rasa itu akan tetap ada jika sepasang manusia saling memberi. Jika cinta tetap ada walau tak ada garis jodoh antara keduanya, itu sangatlah langka dan nyaris musnah dilindas waktu yang tentu saja akan menyesuaikan dengan irama zaman.Akhirnya, dengan sikap gentle yang ditampilkannya, Irsyad berhasil meraih perhatian seorang Ratu. Sisi ruang hati Ratu yang hampa, ternyata tanpa disadari butuh keha
Ratu menangis di kamarnya. Tangis kerinduan yang sudah lama ia tahan dalam dada. Kerinduan yang selama ini masih terus menyiksa walau ia ingin sekali melupakan semua. Melupakan sesuatu yang sepertinya sulit untuk dilupakan. Karena kenangan itu seperti hantu masa lalu yang terus datang dan membuatnya merasa semakin tersiksa. Adakah yang lebih menyiksa dari sebuah rindu? Jika ada, katakan. Ratu ingin sekali menakar kadarnya hingga ia punya alasan untuk tidak merasa tersiksa jika perasaan rindu ini melanda.Hampir lima bulan berlalu namun ia tetap tak bisa melupakan kenangan itu. Kenangan yang berbuah rindu. Rindu yang kini terasa pahit karena tak semanis yang diharapkan. Ratu sedih. Reksa berlalu begitu saja dari kehidupannya setelah memuntahkan kata putus pada hubungan mereka, menelantarkan cinta yang telah mereka bina dengan seenak hati. Walau apapun alasannya, Ratu berhak marah, kesal, kecewa dan cemburu. Tapi sedahsyat apapun rasa itu terjadi, tetap saja akhirnya bermuara pad
Pikiran itu seperti lautan. Ia begitu luas. Bisa menghanyutkan bahkan menenggelamkan. Pikiran juga bisa menjadi sesuatu yang menyenangkan jika kita punya pedoman sebagai sampan dan keyakinan sebagai kayuhan. Segala tujuan ada dalam pikiran. Segala keinginan berlompatan seperti ikan. Tinggal kebijaksanaan kita dalam menentukan, ikan yang mana yang akan diambil sebagai untuk di makan.Saat mereka selesai sarapan, tiba-tiba saja ada ‘badai’ yang menghampiri. Seorang perempuan dari negeri antah berantah dengan dandanannya yang menor mencolok mata -baju terusan ketat dan make-up tebal, menghiasi raga. Gadis itu kini berdiri di depan Reksa dan Lea dengan wajah penuh amarah dan nafas memburu seperti banteng betina yang sedang terluka. Sepertinya mereka perlu kain merah sekarang, kalau tak mau diseruduk dan menjadi binasa.“Maemunah?”Reksa terkejut. Lea melongo. Keduanya sama-sama takjub dan heran dengan sebuah ‘penampakan’ yang tak