Seakan tak mau menyia-nyiakan waktu, sepulang dari Galaxy FM hari itu juga Ratu meluncur ke Mempawah. Dengan mobilnya cewek itu nyetir sendiri kesana. Tak ada tujuan lain selain menjumpai Reksa. Ratu harus tahu semuanya dari mulut cowok terkasih itu, bukan dari orang lain. Setelah menempuh perjalanan selama satu setengah jam, Ratu pun tiba di Mempawah, kota kecil yang bersih dan asri itu tak banyak mengalami perubahan suasana dari tahun ke tahun. Suasananya terlihat lengang. Hanya ada satu dua kendaraan yang melintas di jalanan. Setelah melewati gerbang Selamat Datang, Ratu lantas memasang headset, menelepon Reksa. Untunglah di nada dering ketiga teleponnya diangkat. Tak sadar Ratu mendesah lega. Reaksi Reksa yang mengangkat teleponnya membuat Ratu seakan mendapat durian runtuh.
“Reksa, aku ada di Mempawah, nih. Kamu di mana?”
Ratu tak perlu berbasa-basi sekarang. Sudah banyak waktu yang terbuang atas nama basa-basi demi mengikuti perasaan Reksa selama ini. Ia harus menuntaskan masalah mereka. Sekarang atau tidak sama sekali.
“Ka-kamu ada di Mempawah?” Reksa kaget, suaranya terdengar dua kali lebih berat.
“Kenapa? Kamu ada disini, kan?” pancing Ratu.
“Eng… Ngapain kamu ke Mempawah? Ada urusan apa?” Reksa tak perlu lagi menahan segalanya dalam dada.
“Kita perlu bicara, Sa. Sudah lama kamu diam dan membuat aku tak tahan dengan berbagai pertanyaan tak terjawab yang bermunculan dibenakku selama ini.”
“Ratu, aku…”
“Reksa please… Sampai kapan kamu terus-terusan menghindari aku seperti ini?” Ratu berusaha menahan emosinya.
Reksa diam.
“Baik. Sekarang katakan dimana posisi kamu?” tanya Ratu, tegas. Kini ia harus diikuti, bukan mengikuti, tekadnya.
Reksa akhirnya menyerah. “Oke. Aku sekarang ada di radio Gantara AM, jalan Chandramidi.”
“Kamu share loc, sekarang,” pinta Ratu mengakhiri telepon.
Ratu lantas menyimpan ponselnya diatas tatakan HP yang ada dashboard, Ia kembali memacu mobilnya, meluncur ke jalan Chandramidi sesuai lokasi yang dibagi sama Reksa. Walau jarang mengunjungi Kota Bestari ini, tapi Ratu yakin bisa menemukan alamat yang dimaksud. Lagipula tak susah untuk mendapatkan informasi tentang keberadaan radio Gantara AM, karena Mempawah adalah kota kecil yang akses alamatnya sangat mudah untuk dilacak keberadaannya.
Saat mobilnya tiba di halaman radio Gantara AM, Ratu terkejut. Apakah lokasi yang dibagikan Reksa keliru? Apa ia tersesat? Jika benar lokasinya, apakah Reksa benar-benar bekerja di tempat ini? Setelah mematikan mesin mobilnya, Ratu tak segera keluar. Ia masih tercenung sembari menatap bangunan yang ada di depan matanya lekat-lekat dari kabin mobil. Tak sadar Ratu bergumam dalam hati. Bentuk fisiknya sangat jauh dari kata sebuah studio radio, apalagi sekelas Galaxy FM yang mentereng, tempat dimana dulu Reksa bernaung. Sudah bisa ketebak, program-program apa saja yang tersaji di radio ini. Dan Ratu tak mau repot-repot memikirkannya. Ia kemudian keluar dari mobil dengan langkah setengah ragu.
Saat Ratu masuk, Reksa sudah selesai siaran. Cowok jangkung itu sedang berdiri di depan pintu, seakan menanti kedatangan Ratu di tempat barunya ini. Dari tadi sikapnya terus-terusan gelisah melihat keberadaan Ratu. Asap rokok terus mengepul di mulutnya. Mereka kemudian ngobrol di ruang tamu. Keadaan radio yang sepi membuat mereka leluasa bicara. Dari sikap yang ditampilkan Reksa, kentara sekali kalau ia malu dengan keadaannya sekarang.
“Kenapa sih kamu sepertinya menghindar dari aku?” Ratu tak kuasa menahan emosinya. Cowok itu sudah keterlaluan. Sekarang ia harus menerima ganjaran.
“Aku bukannya menghindar, Ra. Tapi aku…”
“Kamu jangan jadi pengecut, Sa…” potong Ratu.
“Tolong kamu mengerti. Seandainya saja kamu yang menjadi aku…”
“Aku mengerti. Tapi jangan itu dijadikan alasan untuk membuat jarak diantara kita,” sesal Ratu. Matanya kini berkaca-kaca.
“Ratu dengar!” Reksa lantas mendekat dan duduk di samping Ratu, menggenggam tangan gadis itu. “Aku perlu waktu untuk sendiri,” bisiknya.
“Kenapa?” tanya Ratu. Airmata kini membanjiri wajahnya.
“Kamu jangan membuat aku ikut-ikutan sedih, dong,” pujuk Reksa sambil menyeka airmata Ratu. Namun sikap lembutnya malah membuat Ratu kian tergugu.
“A-aku bingung dengan sikap kamu, Sa,” isak Ratu.
“Ratu tolong mengerti aku. Setelah apa yang menimpa keluargaku, aku limbung. Aku malu dan minder sama semua orang terutama sama kamu.”
“Sa... Kamu nggak perlu berpikiran seperti itu. Aku ini pacar kamu. Kamu bisa berbagi sama aku kalau kamu mau,” rajuk Ratu, terus terisak.
Reksa menggeleng. “Nggak Ratu! Aku nggak akan sanggup mengungkap kebobrokan keluargaku sendiri, walau sama kamu sekalipun.”
“Bagiku itu bukan kebobrokan, Reksa. Itu nasib.”
“Apapun namanya, yang pasti hal itu sudah membunuh hidupku.”
“Tapi bukan berarti kamu harus mengabaikan aku, kan?”
“Aku nggak mengabaikan kamu, Ratu… Sama sekali enggak,” bisik Reksa lembut.
“Tapi mengapa semua panggilanku nggak pernah kamu jawab? WA, bahkan telepon pun nggak kamu angkat. Aku bingung, Sa. Tolong ngertiin perasaan aku,” Ratu kembali menangis.
Reksa meraih kepala Ratu dan mendekapnya di dada.
“Ssstttt… Jangan menangis, dong. Aku mengerti perasaan kamu. Yang tak kumengerti adalah perasaanku sendiri,” bisik Reksa. Suaranya terdengar serak seperti menahan tangis.
Ratu terkesiap. Kepalanya terangkat, menatap wajah Reksa. “Maksud kamu?”
“Aku bukan Reksa yang dulu, Ra. Aku nggak akan bisa membahagiakan kamu.”
“Bagiku kamu tetap Reksa yang dulu. Keadaan keluargamu tak mengubah perasaanku padamu,” tegas Ratu, seakan memberi suntikan semangat pada Reksa, padahal itu untuk dirinya.
“Tapi kini aku merasa kerdil, Ra. Apa kata keluargamu, orangtuamu, kalau mereka tahu hubungan kita. Apalagi tahu keadaan keluargaku?”
“Orangtuaku memang belum tahu hubungan kita. Tapi kalau pun mereka tahu tentang keluargamu, kurasa mereka tak sepicik apa yang kamu bayangkan, Sa. Mereka pasti memaklumi dan bisa mengerti kalau itu hanyalah musibah dan bukan kesalahan kamu,” yakin Ratu. Padahal dalam hatinya terdalam, ia sendiri meragukan ucapannya.
“Tapi… Tapi kepercayaan diriku telah musnah, Ra. Peristiwa itu berhasil melumpuhkan kepercayaan diriku.”
“Jadi kamu mau terus-terusan seperti ini? Membunuh hatiku secara perlahan?”
“Ratu, please… Beri aku waktu,” pinta Reksa.
“Sampai kapan?” desak Ratu.
“Entahlah… Aku…” Reksa bingung. Ia lantas melepaskan pelukannya pada Ratu dan berdiri membelakangi gadis itu. Ia kemudian menyalakan sebatang rokok lagi, coba mengusir perasaan sesak yang dari tadi tak mau juga hilang dari relung hatinya.
“Mana Reksa yang penuh semangat dulu?” erang Ratu.
“Reksa yang dulu telah mati, Ra. Papaku yang telah membunuhnya,” desah Reksa sambil menghembuskan asap rokoknya kuat-kuat.
“Reksa! Kamu jangan bilang seperti itu.” Ratu kemudian berdiri, menggapai bahu Reksa yang membeku. “Kamu harus bangkit!”
“Jangankan untuk bangkit, beranjak saja aku rasanya tak sanggup.”
“Reksa! Kenapa kamu jadi seperti ini?”
“Maaf, Ratu. Sebaiknya kamu lupakan aku,” pinta Reksa dengan suara lirih. Sama dengan Ratu, Reksa sebenarnya juga sedih. Dan kalau boleh memilih, ia juga tak mau keadaan menjadi seperti ini. Ini seperti buah simalakama yang mau tak mau mesti ditelannya.
“Reksa…?” Ratu tak bisa berkata-ata lagi. Hanya dapat menatap gamang pada Reksa.
“Lupakan aku, Ra…” bisik Reksa namun terdengar seperti perintah.
Ratu terluka. Tak sadar ia berteriak. “Kamu jahat, Sa! Jahaaat…”
Ratu kemudian beranjak meninggalkan Reksa, melangkah tergesa-gesa masuk kedalam mobilnya tanpa sudi lagi menoleh kearah cowok yang sekarang dibenci sekaligus dikasihinya itu. Reksa hanya memandang kepergian Ratu dengan tatapan hampa tanpa berniat untuk menenangkan gadis itu apalagi mencegah kepergiannya. Dan saat mobil Ratu meninggalkan pekarangan radio, tak sadar airmata Reksa menetes di pipinya.
***Sore itu juga Ratu memutuskan untuk secepatnya pulang ke Pontianak. Tak ada gunanya lagi ia berlama-lama disini. Hanya melahirkan kemarahan dan kekecewaan baru pada Reksa. Dia kecewa sekali dengan sikap Reksa. Tadinya dia berharap cowok itu mau berkompromi dengan keadaan dan memperbaiki hubungan mereka yang telah lama sunyi. Ratu rindu saat-saat dulu. Rindu tawa ramah dan kehangatan Reksa. Tapi bagaimana bisa dia merubahnya? Sedangkan Reksa sendiri tak yakin akan keadaan dirinya dan selalu skeptis memandang hari esok. Reksa sudah berubah menjadi laki-laki pengecut! Ratu paham. Paham sekali dengan kondisi psikologis yang sedang melanda kehidupan keluarga Reksa. Anak mana yang tak terbebani mendapati ayahnya menjadi tersangka sebuah kasus korupsi besar dan lantas dicap sebagai koruptor? Anak mana yang tak merasa bingung dengan perubahan keadaan yang terjadi secara tiba-tiba, dari seorang pangera
Jam tujuh malam Reksa siaran di Gantara AM. Sebenarnya dia kurang bersemangat untuk cuap-cuap di udara malam ini. Apalagi tadi mixernya bermasalah. Baru saja mau menaikkan chanel mikropon, tiba-tiba mixernya keluar asap, seperti ada yang bikin api unggun di dalam ruang siarnya, bersaing dengan asap rokok yang mengepul dari mulut Reksa. Ya, tak seperti di Galaxy FM dengan peraturan dan etika siar yang cukup ketat, disini Reksa sedikit bebas, bisa merokok walaupun sedang on-air dan AC ruangan dalam keadaan menyala. Bebas sebebas-bebasnya. Melihat pemandangan yang tak biasa itu Reksa panik dan langsung menelepon Saeful untuk segera datang ke studio. Tuh anak, walau suaranya kalau lagi siaran kalah merdu dengan suara kucing dalam karung, tapi kalau soal membenarkan alat-alat yang rusak di studio, masih bisa diandalkan. Walaupun lebih sering dibuat semakin rusak. Begitu informasi sementara yang Reksa d
Kecelakaan mobil yang dialami Ratu sangat parah. Tak hanya luka yang dideritanya namun juga patah tulang di beberapa bagian di tubuh gadis malang itu. Kalau melihat kondisi body mobilnya yang ringsek, tak ada yang yakin kalau pengemudianya masih bisa bertahan hidup. Semuanya semata hanya karena mukjizat dari Tuhan yang membuat Ratu masih bisa menghirup udara dunia hingga hari ini, walau untuk itu ia mesti melaluinya dengan cara yang sangat sulit untuk dibayangkan. Karena insiden itu Ratu koma selama dua hari di RSU Antonius Pontianak. Semua mengkhawatirkan keselamatan jiwanya, terlebih keluarga dan kedua orangtuanya. Saat pertama kali siuman, Ratu langsung histeris melihat kondisi dirinya dan beberapa kali pingsan kembali. Kedua orangtuanya semakin sedih melihat fisik dan psikis yang dialami oleh Ratu. Seminggu di rumah sakit keadaan Ratu semakin memburuk. B
Luka fisik Ratu memang sembuh tapi tidak dengan luka psikisnya. Pasca kakinya diamputasi, Ratu selalu termenung di kamarnya. Ragam pikirannya bercampur aduk sekarang. Kadang Ratu tak bisa membedakan mana alam nyata dengan alam khayalnya. Seribu satu penyesalan ia hujamkan kedalam diri sendiri. Mengapa ia nekad menemui Reksa? Mengapa ia kalap menyetir mobil di kala hujan mendera? Apakah ia puas setelah ini? Apa yang ia dapatkan setelah apa yang ia perjuangkan tak dapat menghasilkan kemenangan? Tanpa sadar airmata sudah membasahi wajahnya. Tak cukup sampai disitu. Gadis itu juga menolak keluar kamar kalau ada tamu, sanak famili atau keluarga jauh yang datang berkunjung ingin menjenguknya. Kenalan dan teman-teman semasa kuliah yang ingin menemuinya juga tak pernah digubris. Semua kecewa dengan sikap yang diambil Ratu. Namun mereka juga sadar dan memaklumi keadaan. Bagaimana perasaan mereka jika posisi Ratu adala
Begitulah sekarang keadaan Ratu. Pasca operasi amputasi kakinya, kondisi psikis gadis itu kian memburuk. Kehilangan sebelah kaki seakan melenyapkan seluruh harapan hidupnya. Jika boleh memilih, ia ingin mati saja daripada hidup dengan fisik yang tak lagi sempurna. Semua mencemaskannya. Semua sedih melihat kondisinya. Kedua orangtua dan juga adik kembarnya tak henti-hentinya menyemangati, namun sepertinya sia-sia. Harapan dan asa tak lagi milik Ratu. Semua telah padam seiring satu kakinya yang terbuang. “Kak… Kakak harus semangat lagi. Jangan buat kita ikutan sedih melihat Kakak seperti ini,” pujuk Raka dengan harapan yang tak pernah padam. Namun Ratu, diatas kursi rodanya, hanya tersenyum sumbang. “Kami tahu apa yang Kakak rasakan. Ini memang sulit untuk Kakak. Tapi, jika Kakak bersikap seperti ini terus,
Tak ada yang tak bisa di dunia ini selagi manusia mau berusaha. Upaya Pak Dibyo dan keluarga dalam penyembuhan fisik dan pemulihan psikis Ratu mulai menampakkan hasilnya. Kini Ratu tak lagi berkawan dengan kursi rodanya. Ia pun sekarang tampak lebih optimis dalam menjalani hari-harinya. Ratu juga selalu berusaha menggunakan prostesisnya dan selalu belajar berjalan layaknya orang yang berkaki normal. Untung kedua orangtuanya dan adik-adiknya sangat perhatian dan selalu membantu, jadi kemampuan Ratu dalam menggunakan prostesis terbilang cepat prosesnya. Suatu hari Lila datang kembali ke rumah Ratu. Tak seperti biasanya kali ini Ratu menyambut Lila dengan senyum yang sedikit merekah. Dari wajah cantiknya juga dibinari dengan harapan. Kepercayaan diri sahabatnya itu sepertinya perlahan sudah bangkit kembali, pikir Lila. Gadis berambut pendek itu sangat senang melihat perubahan sikap Ratu tersebut. Lila adalah salah
Hari pasti berganti, namun hati belum tentu bisa mengimbangi. Ada banyak peristiwa yang menimbulkan duka, menyisakan luka. Belum satu mongering, timbul lula baru yang menambah pedih. Namun apa yang bisa manusia lakukan demi menghadapi itu semua? Apakah terus terpuruk, berdiam diri dan kalah? Apa terus menyesali takdir dengan mengurainya tanpa berusaha untuk mengubah? Tuhan selalu menciptakan jalan untuk semua masalah yang diberikan. Berdoa dan berusaha adalah jalan terbaik untuk melenyapkan segala cobaan yang mendera. Pagi ini Reksa tidak ada jadwal siaran, jadi ia bisa beres-beres kamar dan juga nyuci baju yang kelihatannya sudah mulai menggunung. Kalau dulu, boro-boro beberes kamar dan nyuci baju, nyuci CD-nya sendiri saja pembantu di rumah yang mengerjakan. Ah, ingat rumahnya Reksa menjadi sedih. Walau bagaimanapun pahitnya, tapi banyak kenangan manis yang telah terlukis di sana. Sekarang keadaan su
Bertahan adalah salah satu sifat alami manusia yang dianugerahkan Tuhan. Kemana pun tempatnya dan kapan pun saatnya, jika hal itu terjadi makan manusia punya akal dan naluri untuk menyiasati. Ada banyak keraguan dan juga rasa enggan. Merubah kebiasaan dan beradaptasi dengan lingkungan memang tak semudah membalikkan telapak tangan. Untuk itulah akal dan pikiran manusia diciptakan, untuk membantu mengatasi segala macam masalah untuk menaklukan keadaan. Saat lamunan terus menjelajahi masa lalunya, menerobos lorong waktu, Reksa dikejutkan oleh sebuah suara. Tika, adik pertama Barudin, tiba-tiba mengetuk pintu kamar dan memanggil Reksa dari luar. Reksa terpaksa memutus lamunannya dan bangun dari rebahan. Terbersit heran dan tanya dalam hati Reksa. Tak seperti biasanya Tika memanggilnya seperti saat ini. Ada apa gerangan? Apakah sesuatu yang penting yang ingin disampaikan gadis kecil itu? &
Irsyad sendiri sebenarnya bukan tanpa tujuan mengajak Ratu dinner malam ini. Ada sesuatu yang penting yang akan ia sampaikan pada Ratu menyangkut masa depan mereka berdua yang arahnya belum menemukan tujuan. Awalnya Irsyad ragu bagaimana caranya untuk memulai dan mengungkapkan hal tersebut pada Ratu. Namun karena keinginan lebih besar dari keraguan, Irsyad pun memberanikan diri mengajak Ratu kencan dan sudah mempersiapkan segalanya mala mini, termasuk mental. “Ratu. Ada yang mau aku sampaikan sama kamu malam ini.” Wajah Irsyad tampak sedikit tegang. Ia coba mengatasi kegugupannya dengan menampilkan sebuah senyuman..“Mau ngomong apa, Bang?” tanya Ratu. Ia sedikit bingung. Tak seperti biasanya Irsyad meminta ijin sebelum ngomong. Ada apa?“Aku pikir, sudah saatnya kita memikirkan kelanjutan hubungan ini ke jenjang yang lebih serius.” Akhirnya kalimat itu mengalir lancar dari bibir Irsyad.“Ma
Kadang sesuatu yang datang dan memberikan kenyamanan tak pernah benar-benar kita rasakan. Kadang sesuatu yang menghilang dan memberikan kenangan malah dapat menimbulkan kerinduan yang dalam. Yang tampak belum tentu dapat dirasa. Yang tak tampak selalu bisa dirasa walau hanya dalam bayangan. Begitulah cinta, siapapun tak kan sanggup mengukur kadarnya. Cinta hanya dapat dirasa, entah itu berasa manis atau berupa pahit belaka. Namun satu yang pasti, cinta tak pernah benar-benar pergi walau sekeras apapun hati ingin membenci. Malam ini Andi Irsyad mengajak Ratu dinner di sebuah kafe yang letaknya di tepi sungai yang bernuansa romantis. Dekor dan motif temboknya bercorak ‘awan berarak’ dengan kombinsi warna kuning dan hijau yang serasi. Lampu-lampu hias yang menempel di setiap lekuk bangunan membuatnya tampak begitu indah. Ditambah lagi dengan alunan musik dari streo set audio yang mengalun lembut, membuat pengunjung menjadi terhanyut dalam suasana yang tercipta.
“Kalau melihat dari data yang kamu tulis, semua pendapatan habis untuk biaya operasional dan mengganti alat-alat radio. Tapi disini tidak kamu rincikan apa maksud dari biaya operasional tersebut. Bukankah radio kita nggak pernah mengadakan acara off air? Saya juga perlu estimasi barang-barang apa saja yang telah dibeli dengan memakai uang iklan,” pinta Pak Imam. Sepertinya ia harus lebih berhati-hati dalam menghadapi Jodi.“Iya, Pak Imam. Saya…”“Datanya ada kamu bawa sekarang?” potong Pak Imam.“Be-belum saya buat, Pak. Tapi nanti akan saya segerakan.”Pak Imam menghela nafas kesal. “Vera tolong kamu simpan dulu data-data ini. Nanti diketik yang rapi, ya. Lalu fax ke alamat email kantor pusat,” perintah Pak Imam pada sekretarisnya. “Tapi sebaiknya jangan dikirim dulu, karena akan ada data tambahan dari Jodi nantinya.”“Baik, Pak,” jawab Vera sigap. Wanita tiga p
“Bagaimana Saeful, Salmah, Hartati? Apa kalian pernah mendengar ada selentingan pendengar yang menyudutkan acara yang dibawakan Reksa?” tanya Pak Imam pada ketiga penyiarnya. Beliau sepertinya harus menerapkan teori semua arah, dimana kebenaran atau keburukan dapat dilihat dari berbagai sudut pandang yang tak hanya mendengar satu pihak. Salamah menggeleng. “Setahu saya, Reksa banyak fans-nya,” ujarnya sambil tersenyum malu-malu. Namun dibalik ketersipuan itu, kentara sekali jika Salmah bangga dengan pencapaian yang diraih Reksa.Hartati yang duduk di samping Salma ikut-ikutan tersenyum mengiyakan perkataan rekan sesama penyiarnya. Akan halnya Salmah yang pemalu, Tati juga terlalu sungkan dan canggung untuk berbicara pada atasannya. Ia hanya membuka suara apabila ditanya. Selebihnya hanya diam dan menyimak dengan khusyuk seperti yang lainnya.“Kalau kamu Tati? Bagaimana pendapatmu tentang Reksa? Maksud saya tentang
“Pak Imam datang? Mau mengadakan rapat?” protes Jodi saat Reksa meneleponnya.“Iya, Bang. Saya hanya menyampaikan,” sahut Reksa.“Selalu saja seperti itu. Setiap datang kesini seperti pencuri. Diam-diam dan membuat orang kaget,” gerutu Jodi lagi dengan bahasa yang membuat Reksa menggeleng-gelengkan kepalanya.“Saya tidak tahu juga sih, Bang. Terus terang saya juga kaget. Karena baru pertama kali ini bertemu beliau. Apalagi mendengar akan diadakan rapat dadakan.”“Nah, kamu sendiri tahu.”“Tapi kan kita bisa apa? Sebagai penyiar, sebaiknya kita ikuti saja apa yang diinginkan oleh pimpinan. Toh, beliau tak menyuruh kita kerja bakti membersihkan got, kan?” Reksa mencoba menetralisir dengan selorohan.Namun alih-alih merasa lucu, Jodi malah menyerang Reksa dengan berang. “Eh, Reksa! Kamu itu anak baru. Kamu nggak usah ceramah dan mengajari aku. ““Buka
“Well, my time is up, guys. Sekarang waktunya saya untuk pamit undur dari ruang dengar kalian semua. Terima kasih atas atensinya Gantara Listeners. Keep stay tune disini, di gelombang 817 Gantara AM, karena setelah ini bakal banyak acara keren yang akan menemani kalian hingga ke pukul 24 teng nanti. Tetap jaga semangat kamu hari ini bersama Gantara AM. Reksada Dirga sign out. Adios!”Setelah menutup acaranya, Reksa kemudian keluar dari ruang siar menuju ruang tengah. Ternyata ada Salmah di sana, salah satu penyiar perempuan di Gantara AM ini.“Sudah selesai, Ga?” sapa Salmah saat melihat kemunculan Reksa.“Iya, Sal. Setelah ini kamu, kan?” sahut Reksa, ramah.Salmah hanya mengangguk dan kemudian menuduk.Basa-basi diantara mereka sepertinya memang masih telihat kaku dan canggung. Walau sudah kenal selama beberapa bulan, dan bertemu walau hanya sekilas, di saat jam pergantian siar seperti saat ini, namun g
BAB 32 : Masa Lalu Versus Masa DepanCinta mendatangkan keberanian. Cinta dapat menumbuhkan sifat-sifat manusia yang kadang tak pernah tewujud selain hanya terpendam. Dan cinta adalah keinginan, cita-cita yang terus tumbuh bersemi dalam hati dan pada saatnya akan dipetik dan dinikmti. Rasanya naïf jika ada kata bijak yang mengatakan cinta tak harus memiliki. Sebuah kalimat usang yang tetap berkumandang walau jaman sudah jauh berjalan. Namun tak semua suka dengan ungkapan itu. Tak semua setuju dengan apa makna yang terkandung didalamnya. Cinta haruslah memiliki, karena rasa itu akan tetap ada jika sepasang manusia saling memberi. Jika cinta tetap ada walau tak ada garis jodoh antara keduanya, itu sangatlah langka dan nyaris musnah dilindas waktu yang tentu saja akan menyesuaikan dengan irama zaman.Akhirnya, dengan sikap gentle yang ditampilkannya, Irsyad berhasil meraih perhatian seorang Ratu. Sisi ruang hati Ratu yang hampa, ternyata tanpa disadari butuh keha
Ratu menangis di kamarnya. Tangis kerinduan yang sudah lama ia tahan dalam dada. Kerinduan yang selama ini masih terus menyiksa walau ia ingin sekali melupakan semua. Melupakan sesuatu yang sepertinya sulit untuk dilupakan. Karena kenangan itu seperti hantu masa lalu yang terus datang dan membuatnya merasa semakin tersiksa. Adakah yang lebih menyiksa dari sebuah rindu? Jika ada, katakan. Ratu ingin sekali menakar kadarnya hingga ia punya alasan untuk tidak merasa tersiksa jika perasaan rindu ini melanda.Hampir lima bulan berlalu namun ia tetap tak bisa melupakan kenangan itu. Kenangan yang berbuah rindu. Rindu yang kini terasa pahit karena tak semanis yang diharapkan. Ratu sedih. Reksa berlalu begitu saja dari kehidupannya setelah memuntahkan kata putus pada hubungan mereka, menelantarkan cinta yang telah mereka bina dengan seenak hati. Walau apapun alasannya, Ratu berhak marah, kesal, kecewa dan cemburu. Tapi sedahsyat apapun rasa itu terjadi, tetap saja akhirnya bermuara pad
Pikiran itu seperti lautan. Ia begitu luas. Bisa menghanyutkan bahkan menenggelamkan. Pikiran juga bisa menjadi sesuatu yang menyenangkan jika kita punya pedoman sebagai sampan dan keyakinan sebagai kayuhan. Segala tujuan ada dalam pikiran. Segala keinginan berlompatan seperti ikan. Tinggal kebijaksanaan kita dalam menentukan, ikan yang mana yang akan diambil sebagai untuk di makan.Saat mereka selesai sarapan, tiba-tiba saja ada ‘badai’ yang menghampiri. Seorang perempuan dari negeri antah berantah dengan dandanannya yang menor mencolok mata -baju terusan ketat dan make-up tebal, menghiasi raga. Gadis itu kini berdiri di depan Reksa dan Lea dengan wajah penuh amarah dan nafas memburu seperti banteng betina yang sedang terluka. Sepertinya mereka perlu kain merah sekarang, kalau tak mau diseruduk dan menjadi binasa.“Maemunah?”Reksa terkejut. Lea melongo. Keduanya sama-sama takjub dan heran dengan sebuah ‘penampakan’ yang tak