Cinta wanita itu ke lelakinya, layaknya detak jantung yang hanya akan berhenti ketika ajal menjemput, itulah janji yang dikatakan perempuan itu ketika melakukan honeymoon indah di kota sejuta cahaya bernama Paris.
Di bawah langit yang mulai berubah warna, ketika matahari perlahan tenggelam dan semburat senja mulai terpancar, kedua anak manusia itu saling bergenggaman tangan, menikmati keindahan alam yang memanjakan mata.
Bertelanjang kaki sambil menyusuri pantai dengan kedua tangan yang tetap saling bertautan, ketika ombak menerjang dan menyapa dua pasang kaki yang masih terus berjalan beriringan, ketika tawa mulai bersorak memenuhi penjuru alam terbuka, ketika gemercik air mulai turun, berlari bersama menuju tepian lalu saling memeluk untuk sekedar menghangatkan.
Bagi mereka, hidup berdua itu sangat menyenangkan. Saat cahaya masuk melalui jendela pertanda pagi telah datang, ketika mata mulai mengerjab lalu setelahnya terbuka, menemukan orang yang paling dicintai bergelung di sampingnya, adalah hal luar biasa yang tidak bisa dibeli dengan apapun.
Memulai hari dengan saling melumat, menandai setiap jengkal sebagai kepemilikan, melakukan rutinitas mandi bersama yang akan berakhir dengan desahan panjang, dilanjutkan sarapan pagi dengan menu favorite roti bakar alakadarnya. Mereka hanya ingin hidup seperti ini, selamanya.Arti pernikahan bagi keduanya begitu menajubkan, ikatan sakral seumur hidup, sebuah tanda bukti cinta yang menyatu menjadi sebuah hubungan dan tanggung jawab untuk saling memahami satu sama lain. Cinta adalah kuncinya, jika hal itu hilang maka semuanya akan melebur.
"Aku mencintaimu." Perempuan itu tersenyum, sedikit berjinjit untuk mengecup bibir sang suami.
"Indah sekali, ketika kita saling mencintai dan bisa bersama." Lelaki itu tersenyum, terus memandang wajah cantik bidadarinya.
Shira meringis lalu mengulurkan tangan ke luar, menikmati tetesan air dari langit lalu memberikan ke wajah penguasa hatinya. "Kamu gombal."
"Lashira, kamu---" Perkataan Ken terhenti ketika istrinya malah kembali mencipratkan air hujan itu ke wajahnya.
"Aku akan balas kamu." Shira tertawa keras dan berlari ke luar, membiarkan tubuh mungilnya terkena siraman hujan.
Ken menyusul, mengejar belahan jiwanya yang terus berlari, membiarkan tubuh tegapnya basah kuyub, langkah pasti itu mulai bertambah, diraih cepat wanitanya ke dalam dekapan.
"Ken Farrel, cukup!" Perempuan itu berteriak dengan tawa, tubuhnya direngkuh dan digendong sedemikian rupa.
"Mari bercinta," ujar Ken di sela langkahnya, Shira tersenyum, memeluk kuat leher sang lelaki.
"Aku mencintaimu, sangat," ujar perempuan itu berbinar, Ken menghentikan langkahnya, meraih bibir perempuan yang sangat dia cintai untuk dia lumat, alam menyaksikan bagaimana cinta mereka meluap, tanpa menduga akan ada waktu di mana semuanya tak bersisa.
"SHIRA BANGUN, WOI!" Perempuan itu terperanjat ketika rambutnya tertarik. "Gilak! Rame gini bisa tidur lu?" lanjut Luna berkacak pinggang, tatapan horornya mulai menjadi.
Shira memijat kening, sebelah tangannya dia gunakan untuk membenarkan alat bantu dengar yang mulai berdengung. "Gue mimpi Mas Ken."
"Nggak nanya, cepet cuci muka terus balik kerja, keburu si penghisep darah dateng," omel Luna terpaksa dirinya turuti, habis sudah karier sebagai pelayan kalau pemakan orok itu melihatnya tidur di jam kerja.
*
"Enggak mau, pulang saja." Gadis cilik itu menggeleng, menutup kuat mulutnya dengan kedua telapak tangan.
"Mau diperiksa pak dokter dulu nggak boleh seperti itu." Sang ibu menggeleng tidak suka, sedikit memaksa anaknya agar membuka mulut.
"Mami, enggak!" teriak gadis itu histeris membuat ibu muda itu kewalahan.
"Yasudah, biar Mami dulu yang buka mulut." Lelaki itu tersenyum, mengedipkan sebelah mata agar sang ibu menurut. "Wah tenggorakan Mami sehat, pintar jadi dapat hadiah," lanjut lelaki itu sambil menurunkan senternya, mengambil bungkusan di laci.
"Wah, Pak Dokter baik sekali, Terima kasih." Wanita itu tersenyum bahagia, melirik anak gadisnya yang mulai tertarik.
"Seeara nggak dapat?" tanya gadis itu iri.
"Anak manis pasti dapat dong." Lelaki itu mengeluarkan bungkusan dengan motif frozen. "Tapi harus buka mulut kayak Mami tadi, Seeara mau?"
Anak itu mengangguk mantap. "Dibuka aja mulutnya, tidak di suntik?"
"Disuntik dikit, boleh?"
"Sakit banyak-banyak, takut." Anak itu menggeleng.
"Ara nggak boleh kelamaan ih, kasihan pak dokternya." Wanita itu merasa tidak enak.
"Waktu saya banyak, tenang saja," ujar lelaki itu tersenyum.
"Kalau aku buka mulut dikasih tas frozen-nya?" Lelaki itu mengangguk mantap.
"Iya, Ara mau." Anak itu membuka mulut dan segera lelaki itu mengangkat senter kecil ditangan.
"Tenggorokannya sehat, pasti jarang minum es, ya? Anak pintar." Gadis kecil itu tersenyum malu.
"Wah, gelang Ara bagus sekali, Pak Dokter mau lihat, boleh?" pinta lelaki itu berbinar.
"Iya, boleh." Anak itu mengulurkan tangannya cepat.
"Suster, tolong ambil darahnya," bisik lelaki itu membuat wanita di sebelahnya mengangguk.
"Ini gelangnya beli di mana? Siapa yang beliin? Cantik sekali, Pak dokter juga mau dong." Sosok itu terus berbicara melepas pelan gelang bermotif barbie dari pergelangan kecil milik pasiennya dan mulai mengagumi.
"Ini gelang aku beli di Mall, Nenek yang belikan, bagus sekali' kan, Pak dokter?" Anak itu dengan semangat bercerita dan dibalas anggukan mantap sang dokter.
"Harganya pasti mahal." Wajah lelaki itu tertekuk sedih.
"Tidak tapi, aduh sakit." Ara berteriak ketika jarum panjang menembus kulitnya.
"Pintar sekali, Ara, darahnya sudah diambil, anak pintar." Puji lelaki itu sambil bertepuk tangan, secepat kilat suster di samping memberikan selotip kecil pada bekas jarum suntik.
"Mami...." Mata bulat Ara berkaca, memanggil sang Mami dengan bibir bergetar dan malah dibalas gelak tawa oleh ibunya.
"Dokter Farrel memang luar biasa, tidak kaget bila pasien selalu penuh dan harus membuat janji jika akan periksa." Kagum wanita itu membuat sang dokter hanya bisa terkekeh.
"Mami tangan aku perih." Rengek Ara menjebik kesal.
"Dokter minta maaf, ya. Sakitnya bentar lagi hilang, Ara' kan anak pintar." Farrel meringis penuh rasa bersalah.
"Tidak apa, Pak Dokter, Terima kasih," ujar wanita itu mewakilkan.
"Ini gelang Ara yang paling cantik Pak Dokter kembalikan." Farrel mengambil tangan mungil pasiennya untuk dia pakaiakan gelang tapi anak itu menolak.
"Ara tidak boleh nakal." Sang mami melotot tidak suka.
"Tadi Pak Dokter pengen gelangnya,itu buat anak Pak Dokter saja, nanti Ara biar di beliin Nenek lagi," ujar anak itu malu-malu.
Ibu muda itu terkejut lalu setelahnya tersenyum, mengacak perlahan rambut bergelombang putrinya. "Pak dokter belum punya anak, Sayang."
"Sudah punya, tadi' kan mau beli, pasti anaknya juga secantik aku," tukas ara sambil menyibak rambutnya.
Farrel tidak bisa menahan senyumnya, dunia anak-anak memang menyenangkan, hal yang sangat terlambat dia sadari. "Terima kasih, Seeara, pasti gelang ini bakal Pak Dokter simpan."
Tidak ada yang abadi, semua yang memiliki awal pasti ada akhir. Layaknya sebuah hubungan, ketika kita menyakini semua itu akan bertahan selamanya, tapi kenyataan berkata sebaliknya. Semua akan kehilangan pada waktunya, hanya ada dua pilihan, ditinggalkan atau meninggalkan, ada saat semua orang merasakan hal itu.Hidup memang memang penuh kejutan yang tak terduga, detik ini kita masih bisa tersenyum lebar dan tidak tau bahwa di detik selanjunya senyum itu bisa berubah menjadi sebuah tangisan."Belum tidur?"Shira menutup cepat buku hariannya, menemukan Indah yang malam ini ikut menumpang di gubuk deritanya. Agenda yang awalnya mampir berubah menjadi menginap, dikarenakan hujat lebat yang belum reda sedari sore.Janda dua puluh delapan tahun itu menggeleng, memasukan buku bersampul navy ke dalam laci. "Aku emang insome, seperti biasa."Indah mengangguk lalu menarik kursi di samping.&nbs
"Untung aja gue nggak masuk angin, bener-bener kalian berdua titisan dakjal." Shira terbahak diikuti indah yang sudah hampir menangis saking bahagianya."Basah kuyub nggak bangun dia, heran asli," ujar Indah sambil memegang perutnya, tidak kuat lagi dengan apa yang terjadi."Apa begitu rasanya mimpi basah?""Ssst, pelan, Pak Arga di atas." Meraih cepat bibir Luna untuk Shira bungkam."Lepas, Maemunah, gincu gua, woi!" teriak perempuan itu tidak terima."Sumpah, ngakak banget, pas Luna bangun teriak banjir-banjir." Indah masih saja tertawa, membayangkan semalam saat hujan angin semakin deras, tanpa tau diri keduanya membiarkan Luna tidur di bawah beralaskan tikar dengar air yang menggenangi sekitar."Diem lu, Siti! Gua gibeng juga lu bedua abis!""Onty, kangennnn..." Bocah lelaki itu berlari, menubruk cepat kaki Shira, kedua tangannya di ulurkan agar wanita
"Loh, Arzha di sini?" Shira yang baru selesai membersihkan meja menghampiri bocah lima tahun yang sedang menyuapkan es cream ke mulut."Onty Shira," ujar anak itu berbinar."Makannya pelan, Nak." Perempuan itu dengan kilat mengambiltissudi meja samping lalu membersihkan sisa es cream di bibir Arzha."Mami lagi pergi, aku dititip Papi," jawab bocah lelaki itu meringis."Udah jam sembilan, Arzha nggak sekolah?" tanya Shira sambil merapikan rambut anak tampan di depannya."Nggak tau." Geleng anak itu polos."Shir, persediaan gula di dapur abis, belanja gih." Luna berjalan mendekat."Ha?" Shira mendongak, membenarkan alat bantu dengarnya."Belanja gula!" Mulut Luna sampai menempel di telinga Shira, membuat perempuan itu refleks berdiri."Ya nggak usah begitu kalik, lu pikir gua tuli," omel Shira tidak terima.
"Tumben ngajak gue ke tempat beginian?" Farzan mengkerut, tidak ada tempat yang lebih menyenangkan dari padaclub, Farrel sendiri yang pernah mengatakan hal itu. "Haduh, ditanyain diem aja, kali ini yang bermasalah telinga atau mulut lu?!" Lelaki itu terus berbicara walau langkahnya tetap bergerak."Tanya sekali lagi, mending lu pulang!" Ditariknya cepat kursi kayu itu lalu Farrel duduki.Farzan mengkerut, ikut menarik kursi dan duduk tepat di hadapan sang sahabat. "PMS atau gimana sik, judes amat jadi manusia?!"Tidak ada jawaban, duda keren itu malah membuka buku menu untuk mencari makanan yang akan dirinya pesan."Eh, bukanya itu Shira, ya?" Suara Farzan tidak lelaki itu gubris, dia tau semua tentang sang mantan, bahkan dia bisa bertarung bahwa wanita itu tidak akan menginjakan kaki di restaurant dengan menu seperti ini. "Eh, bener! Itu mantan bini lu, duit dari mana bisa makan di sini." Farza
"Apa?!""Cedera saraf tulang belakang adalah kondisi bila bagian manapun pada tulang belakang, seperti jaringan, bantalan, tulang, ataupun saraf tulang belakang itu sendiri mengalami kerusakan.""Bukan itu! Apa hubungannya dengan kesuburan?!""Rayline, sabar.""Sabar kamu bilang?! Kamu sengaja sembunyiin ini dari aku? Makanya kamu awalnya nggak mau aku ajak tes kesuburan?!""Ray... malu dilihatin,"bentak Farrel."Dok, bisa dilanjutkan""Cedera saraf tulang belakang dibagi menjadi dua tipe, yaitu traumatis dan non-traumatis.Cedera saraf tulang belakang traumatis adalah kondisi ketika tulang punggung mengalami pergeseran, patah, ataupun terkilir akibat kecelakaan, seperti kecelakaan bermotor, cedera saat berolahraga, terjatuh atau mengalami kekerasan. Sedangka
"Widih, pergi nyelonong sendiri sekarang mah, nggak bilang dulu!" Luna mencibir ketika pintu kontrakan terbuka."Berisik dah lu," jawab perempuan itu sambil masuk kamar mandi untuk berganti baju."Eh lu ke mana sih, di telfon nggak nongol." Shira keluar kamar mandi, terduduk sambil mengeringkan tangan dan kakinya yang basah."Kepo!" Lidah perempuan itu terjulur."Eh, woy, gincu lu kenapa?" Mulut Luna terbuka. "Wah nggak bener, habis slepetan sama siapa lu?!""Hah?" Dengan tergesa Shira menyamber kaca di samping."Emmm ini," ujar Shira tergagap. "Tadi aku pake masker jadi gini." Alibi wanita itu berjalan."Itu bekas slepetan keleus, pake masker nggak begitu," ujar Luna tidak percay
"Wah, wah, kalian ngapain?!" Suara berat itu menggema."Emmm, Ken lepas, huh ...." Dorongan keras Shira berikan kepada mantan suaminya."Kalian berdua berbuat mesum?" Shira menggeleng cepat."Pak, ini ....""Kamu tau aturan di desa ini 'kan, Shira? Kalau ada yang berbuat mesum harus apa?" ujar lelaki paruh baya itu tegas."Pak, saya bisa jelasin," ujar Shira mengelap kasar bibirnya. "Ken, aku mohon jelaskan." Mata Shira berkaca, menatap Farrel yang masih setia membisu."Memang aturannya apa kalau berbuat mesum di sini?" tanya lelaki itu tanpa dosa."Ken Farrel!" Teriak Shira."Apa?" jawab lelaki itu santai."Kalian harus menikah.""Menikah?" Dahi Farrel mengkerut. "Hanya karena berciuman harus menikah?""Ini pedesaan, aturan di sini begitu, sudah turun temurun." Jelasnya."Pak, sa
--"Gue pergi semalem si Shira sama Ken udah kawin, gila nggak tuh?!" Gibah pagi hari resmi dimulai."HAH, BENERAN?" Indah yang sedang ngemil hampir saja menyemburkan makanannya."Tadi pagi pas gue masuk rumah, begitu berdosanya lihat Ken telanjang dada dan si shira rambutnya basah," ujar Luna melebih-lebihkan, perempuan satu ini memang pantas disebut 'Ratu Gibah'. Padahal yang sebenarnya terjadi adalah Shira yang baru keluar dari kamar mandi karna rambut panjangnya terkena kecap yang tumpah di dapur dan Ken yang akan mengambil jam tangan di meja depan, kebiasaan lelaki itu memang tidak berubah, selalu menunda memakai baju jika sehabis mandi."Astafirullah, Shir, kamu?" Tatapan tajam Indah serasa ingin menghakimi."Lu kompor banget sih, Lun," ujar Shira kesal.
Perempuan itu turun dari mobil, melepas perlahan kacamata hitam yang melekat pada matanya. Netra itu menelisik, mencari seseorang yang akan dirinya temui, dengan langkah anggun kaki jenjang itu bergerak, melewati beberapa meja yang sudah terisi, dan ketika wanita yang akan dirinya jumpai sudah terlihat, perempuan itu mempercepat langkahnya, menarik kursi lalu terduduk di sana. "Sudah lama?" Tanyanya sambil menaruh tas kecil yang dirinya bawa ke atas meja. Wanita paruh baya itu mendongak, lalu menaruh ponsel pintarnya. "Lumayan." "Kamu semakin cantik dan sepertinya sudah tidak bodoh lagi." Raya menyeruput minumannya. "Ken baik-baik saja?" Wajah cantik itu seketika sendu. Raya tertawa. "Sepertinya saya salah, kamu masih saj
Enam tahun lalu Raya pernah ada di situasi tidak masuk akal di mana sang putra menyuruh sang istri berselingkuh agar kejadian di masa lalu terulang. Wanita paruh baya itu tidak pernah mengerti cinta seperti apa yang kedua anak muda itu miliki. Karena menurutnya tidak ada cinta yang saling menyakiti, tapi hal itu tidak berlaku untuk manusia setengah waras yang sialnya adalah anak dan menantunya. Raya yang dulu selalu ikut campur pun akhirnya menyerah, membiarkan kedua anak manusia itu menjalani kehidupan yang menurut mereka benar. Untung saja dirinya masih memiliki Keisya, putrinya yang selama ini menempuh studi di lu
"Mana ponselnya?" Lelaki itu mendekat lalu mengulurkan tangannya."Apa sih." Kaki kecil itu terangkat. "Telinga aku masih bisa dengar, nggak usah teriak."Menghembuskan napas pelan, lelaki berkemeja biru itu mencoba menahan emosi. "Mana, banyak kerjaan di situ.""Mami!" Jurus andalan anak berusia enam tahun itu keluar."Farrel, Kawa kenapa?" Wanita paruh baya itu berlari tergesa, memeluk cepat cucunya yang sudah berderai air mata."Mami." Gadis itu melempar ponsel berwarna gold itu ke sofa."Kamu! Bagaimana kalau jatuh?!" Teriaknya ketika melihat bagaimana sang anak melempar ponselnya ke sofa."Jaga nada suara kamu, Farrel!" Raya melotot."Mami, dia....""Dia siapa? Hah? Anak ini punya nama." Raya melotot tidak suka."Mami!
Shira melangkahkan kakinya, menyusuri jalanan panjang yang sepertinya tidak akan berujung. Di tangannya ada amplop putih dengan logo rumah sakit, di dalam sana ada sebuah pernyataam yang membuat hati perempuan itu campur-aduk, separuhnya bahagia dan sisanya rasa khawatir.Entah sudah sejauh apa kaki itu melangkah, nyatanya Shira sama sekali tidak merasa lelah. Pikirannya bercabang, perasaannya tidak karuan, dan tubuhnya sekarang terasa mati rasa. Jika berita ini datang di saat dia tidak mengetahui fakta tentang Ken yang berselingkuh karena dirinya mungkin Shira akan menyambut ini dengan kebahagiaan penuh tapi sayang untuk kedua kalinya buah cinta itu hadir di saat yang sangat tidak tepat.Perempuan itu memiliki janji kepada lelaki yang sangat dia cintai, sebuah janji
"Lashira?" Sebuah sentuan membuat wanita di depannya menoleh."Sandra?" Mulut Shira terbuka."Kamu apakabar?" Perempuan bergaun Hitam itu tersenyum lalu mengulurkan tangannya."Aku, aku baik." Sedikit tergugup Shira mengulurkan tangan."Boleh bicara sebentar?" Sandra menunjuk cafe samping."Ha?" Shira terlihat bingung."Kalau ada waktu mau ngobrol." Perempuan itu akhirnya mengangguk, mengikuti Sandra yang sudah memasuki cafe terlebih dahulu."Kamu kembali menikah dengan Farrel, bukan?" Tanpa basa basi Sandra bertanya."Iya," jawab Shira ragu."Santai, aku nggak akan marah, aku sama Farrel juga nggak ada perasaan apapun," ujar Sandra tersenyum."Iya," jawab Shira sungkan."Kamu jalan sama lelaki lai
Sudah dua bulan sejak mereka akhirnya menikah secara hukum. Tidak ada yang berubah, semuanya masih sama, hanya saja ada kemajuan pada hubungan Shira dan Abil, beberapa kali Ken melihat mereka bersama dan terlihat semakin akrab. Sebenarnya ketika Abil sudah terlihat serius, Ken ingin sekali berbicara empat mata pada lelaki itu, menyerahkan seseorang yang dirinya cintai kepada lelaki yang lebih berhak. Tapi desakan maminya untuk menikahi Sandra membuat Ken mau tidak mau harus mendaftarkan pernikahannya.Masuk ke kamar mandi, Ken menghembuskan napas kasar, entah sudah berapa puluh testpack yang Shira gunakan, wanita itu ingin sekali hamil tapi kenyataannya takdir lebih memihaknya. Walau tidak menghalangi agar anak itu datang tapi Ken yakin dengan kondisinya dan Shira yang tidak cukup baik akan membuat wanita itu sulit hamil. Syukurlah, ka
Hati-hati dalam memilih bahan bacaan :)Mengandung 18+ ๐๐--"Terima kasih, pak," ujar Shira kepada lelaki berbadan besar di depannya."Mbak yakin bisa bawa masuk?" Lelaki itu meragu ketika memberikan tubuh kokoh Ken ke pelukan Shira."Iya Pak bisa." Perempuan itu berusaha tersenyum sambil menahan tubuh besar Ken."Yasudah pelan-pelan, Mbak, nanti kalau butuh tinggal telfon nomor keamanan aja." Pesan lelaki ber
Lelaki itu turun dari taksi lalu berjalan cepat, tersenyum ketika melihat bungkusan di tangan. Pagi tadi istrinya memilih pulang sendiri, kontrakan Shira harus melalui gang sempit dan tidak bisa dilewati oleh mobil, maka dari itu Farrel hampir tidak pernah membawa kendaraannya ketika pulang kesana.Farrel tau bahwa dirinya egois, harusnya bukan ini tujuannya, jika seperti ini akhirnya sama saja dia tidak mendapatkan balasan apapun. Luka yang Farrel berikan pada istrinya sangat dalam dan semestinya dia juga merasakan. Memang niat awalnya adalah untuk melindungi walau hasilnya malah menyakiti.Langkah itu terhenti, ketika senyum yang entah kapan terakhir kali dirinya lihat muncul dari bibir sang wanita, lelaki di depannya ikut menarik bibir lalu suara rengekan bocah menggema. Dengan refleks lelaki itu meremas bungkusan di tangan, kantong plastik berisi cake kesukaan
Shira memejamkan mata, entah apa yang akan terjadi hari ini, ketika dirinya benar-benar bertemu dengan Raya, ibu mertuanya. Terakhir kali perempuan paruh baya itu mendorongnya hingga tersungkur, menampar kasar pipinya dan mengusirnya agar menjauh dari sang putra, kenangan yang mengerikan jika kembali dibayangkan."Turun." Suara serak Ken menggema, dengan malas perempuan itu turun dari mobil."Ayo." Lelaki itu menggenggam kuat telapak tangannya dan menariknya masuk.Shira mengatur napas, meremas kuat celana kain yang dirinya pakai, hatinya berdesir, tentu saja, rasanya seperti akan menerima hukuman yang menyakitkan."Farrel?" Tanpa permisi suara itu bergema, menerobos perlahan gendang telinga Shira yang tertutup helaian anak rambut.Lelaki itu menengok, menarik tangan yang berada di genggamannya lalu menuju kursi yang tersedia. "Udah lama?""Baru saja." Lelaki paruh baya it