"Tumben ngajak gue ke tempat beginian?" Farzan mengkerut, tidak ada tempat yang lebih menyenangkan dari pada club, Farrel sendiri yang pernah mengatakan hal itu. "Haduh, ditanyain diem aja, kali ini yang bermasalah telinga atau mulut lu?!" Lelaki itu terus berbicara walau langkahnya tetap bergerak.
"Tanya sekali lagi, mending lu pulang!" Ditariknya cepat kursi kayu itu lalu Farrel duduki.
Farzan mengkerut, ikut menarik kursi dan duduk tepat di hadapan sang sahabat. "PMS atau gimana sik, judes amat jadi manusia?!"
Tidak ada jawaban, duda keren itu malah membuka buku menu untuk mencari makanan yang akan dirinya pesan.
"Eh, bukanya itu Shira, ya?" Suara Farzan tidak lelaki itu gubris, dia tau semua tentang sang mantan, bahkan dia bisa bertarung bahwa wanita itu tidak akan menginjakan kaki di restaurant dengan menu seperti ini. "Eh, bener! Itu mantan bini lu, duit dari mana bisa makan di sini." Farzan mengkerut, pasalnya menu makanan di tempat ini memiliki harga yang lumayan tinggi untuk kalangan seperti mantan istri sahabatnya itu. "Bro, asli, itu Shira!" Guncangan kasar mengenai pergelangan tangan Farrel.
"Apaan sih! Dia alergi seafood, nggak mungkin ke sini!" Suara tidak bersahabatnya menggelegar.
Dagu Farrel terangkat, ketika tangan kokoh Farzan mengangkatnya. "Dia lagi makan, padahal setahu gue semua makanan di sini mengandung seafood, bahkan bumbu utamanya pun begitu."
Mata setajam elang milik Farrel melotot, tangannya tergegam kuat, Shira bukan wanita ceroboh, mantan istrinya itu adalah manusia terteliti yang pernah dia temui. Bahkan Shira merupakan perempuan yang menanamkan perfeksionis, kecenderungan seseorang untuk selalu memiliki atau mencapai kesempurnaan.
Lelaki tiga puluh tahun itu berdiri, mata pekatnya tidak berkedip menatap sang mantan yang masih saja menikmati hidangan yang berada di meja. Langkah cepatnya menggelegar, memilih berlari dan menepis kasar sendok yang hampir kembali masuk ke mulut Shira, sesuatu yang membuat ketiga wanita yang berada di sana menengok secara bersamaan. "Apa yang kamu lakukan?!"
"Kamu makan apa, Lashira?!" Dengan wajah merah padam lelaki itu memukul kasar meja hingga menyebabkan suara pecahan terdengar. "Udah nggak waras kamu, pengen mati?" Tatapan setajam paku itu berhasil menusuk kasar pengelihatan Shira.
Wanita itu terdiam, untuk sekedar menjawab bahkan dirinya tidak mampu, rasa sesak seperti bergulat tepat di jantungnya. "Dadaku, sakit."
Tanpa berpikir lelaki itu mengikis jarak, menendang kasar meja hingga hampir terguling dan setelahnya mengambil tubuh mungil separuh nyawanya. Mengabaikan tatapan sekitar yang sudah pasti seperti melucuti tubuhnya.
"Eh, eh mau dibawa ke mana?" Langkah pastinya terhenti, ketika seorang wanita menarik pergelangan tangan.
Jemari itu terhempas saat tanpa ampun Farrel menyingkirkan. "Temanmu bisa mati jika tetap dibiarkan! Dia tidak bisa menyantap makanan seperti ini!"
Teriakan penuh kemarahan seorang Ken Farrel Aditama mampu membungkam seluruh mulut manusia yang berada di sana.
"Ken, sakit." Kemeja lelaki itu teremas, mata mereka beradu, tatapan sayup milik Shira dan tatapan penuh ketakutan Farrel bertemu di satu titik.
"Aku bersumpah, kamu tidak akan kenapa-kenapa." Lelaki itu berlari, mendekap erat tubuh wanitanya, menerobos jalanan tanpa menghiraukan teriakan sekitar. Tidak ada yang lebih berharga dari wanita ini, tidak akan pernah ada!
***
"Sadar juga elah, orang misqueen pake acara alergi segala ---" Mulut Luna seketika terbungkam.
"Ini di rumah sakit, diem!" Indah melotot galak.
"Nggak usah bangun dulu." Perempuan itu menghalangi ketika Shira akan mengangkat tubuh. "Ada yang sakit? Dada mungkin? Butuh dipanggil dokter?" lanjut Indah penuh kekhawatiran.
Shira menggeleng, memegang kuat kepalanya yang terasa pening. "Apa yang terjadi?"
"Lu pingsan, terus mantan laki lu tendang meja ampe gelas berjatuhan, gilak ya keren parah, makanya lu masih cinta orang laki lu juga kayaknya masi naruh ---"
"Apa?!" Shira melotot. "Ken? Dia tolongin aku?"
"Amnesia dia?" Luna menatap Indah ngeri.
"Shir, kamu lupa?" tanya Indah pelan membuat wanita itu meremas kasar rambutnya, berusaha mengingat apa yang sebenarnya terjadi.
"Lalu Ken ke mana?" tanya Shira tidak sabar.
"Udah inget?" Indah memastikan.
Shira mengangguk. "Dia gendong aku."
"Dia lari ke jalan raya, dia nerobos gitu aja, gila keren parah, bahkan dia masih inget kalau kamu alergi seafood," ujar Luna menggebu-gebu.
"Dia udah pergi pas aku sama Luna ke sini dan semua administrasi udah dia lunasi," ucapan Indah membuat bibir Shira terkunci. "Farrel ternyata tidak sejahat itu, tetapi dia tetap jahat, luka masa lalu tidak mungkin termaafkan semudah itu' kan, Shir?"
"Walau memafkan itu mudah, tetapi kembali seperti semula memang terdengar tidak mungkin." Shira terdiam sejenak. "Itu jika hati tidak ikut bekerja," lanjutnya lirih.
Indah menggeleng. "Hampir saja aku menganggapmu berubah."
"Udah tau goblognya Shira itu sampe ke tulang, mana ada berubah." Dan kali ini tawa ketiganya terdengar.
"Aku bahkan bisa memaafkan setiap kesalahannya, kecuali mendua, ketika kamu tau ada wanita lain di hati lelakimu, itu benar-benar terasa menyakitkan. Aku bisa berbagi apa pun selain suami, apa aku terlalu egois jika meminta satu hal itu?" Keduanya terdiam sejenak, lalu sedetik kemudian pelukan itu Shira dapatkan. "Aku tau kekuranganku saat itu, aku kira Ken bisa menerimanya, kami saling mencintai, bahkan pernikahan itu berjalan begitu membahagiakan, Ken begitu mencintaiku, bahkan dia pernah berkata bahwa hidup pun akan dia berikan padaku."
"Keluarkan semuanya, Shira, keluarkan sakit yang pernah kehidupan torehkan di hatimu, jangan di pendam, itu akan lebih menyakitkan." Pelukan itu semakin menguat, beserta kata-kata dukungan sebagai penyemangat.
"Dia meninggalkanku, dia melepaskanku, dia tidak keberatan ketika aku menawarkan perceraian." Napas Shira tersenggal. "Semua kenangan yang terukir, semua cinta yang pernah ada, dia bisa melupakan semua itu hanya karena satu kesalahanku, bagaimana mungkin semua kenangan menyenangkan itu dia lupakan hanya karena satu kesalahan yang ada di diriku, karena aku tidak lagi bisa berjalan, aku tidak lagi bisa menemaninya berkeliling dunia dengan kedua kakiku," lanjut Shira menangis keras, bahkan air liur sampai menyedak tenggorokannya.
"Aku tidak pernah menolak permintaan lelaki itu, bahkan ketika dia menyuruhku menggugurkan kandungan, aku melakukan hal gila itu, aku membunuh bayiku." Tubuh keduanya menegang, dengan kasar Indah melepaskan pelukannya.
"Shira, kamu bilang apa?" Luna yang masih memeluk Shira perlahan mulai menjauh.
Perempuan itu mendongak, berusaha menyeka air mata walau nyatanya gagal. "Kami benar-benar saling mencintai, kalian tidak akan pernah mengerti cinta apa yang kami miliki. Menikmati hidup berdua itu sungguh menyenangkan, kami bisa bebas pergi ke mana pun tanpa gangguan, kami bisa bergelung ber jam-jam tanpa ada sesuatu yang mengganggu."
"Cinta?" Indah tertawa. "Cinta seperti apa yang kamu maksud, Lashira? Kalian saling mencintai tapi membunuh tanda cinta itu? Pikiran seperti apa itu?!" lanjut perempuan itu tidak percaya, otak macam apa yang dimiliki sahabatnya ini.
"Kamu tidak akan mengerti, ketika cinta membutakan segalanya, semua yang datang akan dianggap orang ketiga, begitu pun juga anak," jelas Shira tersedu.
"Kamu bisa menyingkirkan anakmu tapi kenapa kamu tidak bisa menyingkirkan pelakor dalam rumah tanggamu? Kamu punya nyali mencincang bayimu yang bahkan masih berupa gumpalan tapi kenapa kamu tidak ada nyali menyakiti perempuan perebut suamimu? Kenapa kamu malah menyerah dan membiarkan hidupmu sehancur ini?!" teriak Indah menarik kasar bahu sang sahabat.
"Karena Ken menyukai perempuan itu dan kebahagiaan dia adalah detak jantungku."
"Apa?!""Cedera saraf tulang belakang adalah kondisi bila bagian manapun pada tulang belakang, seperti jaringan, bantalan, tulang, ataupun saraf tulang belakang itu sendiri mengalami kerusakan.""Bukan itu! Apa hubungannya dengan kesuburan?!""Rayline, sabar.""Sabar kamu bilang?! Kamu sengaja sembunyiin ini dari aku? Makanya kamu awalnya nggak mau aku ajak tes kesuburan?!""Ray... malu dilihatin,"bentak Farrel."Dok, bisa dilanjutkan""Cedera saraf tulang belakang dibagi menjadi dua tipe, yaitu traumatis dan non-traumatis.Cedera saraf tulang belakang traumatis adalah kondisi ketika tulang punggung mengalami pergeseran, patah, ataupun terkilir akibat kecelakaan, seperti kecelakaan bermotor, cedera saat berolahraga, terjatuh atau mengalami kekerasan. Sedangka
"Widih, pergi nyelonong sendiri sekarang mah, nggak bilang dulu!" Luna mencibir ketika pintu kontrakan terbuka."Berisik dah lu," jawab perempuan itu sambil masuk kamar mandi untuk berganti baju."Eh lu ke mana sih, di telfon nggak nongol." Shira keluar kamar mandi, terduduk sambil mengeringkan tangan dan kakinya yang basah."Kepo!" Lidah perempuan itu terjulur."Eh, woy, gincu lu kenapa?" Mulut Luna terbuka. "Wah nggak bener, habis slepetan sama siapa lu?!""Hah?" Dengan tergesa Shira menyamber kaca di samping."Emmm ini," ujar Shira tergagap. "Tadi aku pake masker jadi gini." Alibi wanita itu berjalan."Itu bekas slepetan keleus, pake masker nggak begitu," ujar Luna tidak percay
"Wah, wah, kalian ngapain?!" Suara berat itu menggema."Emmm, Ken lepas, huh ...." Dorongan keras Shira berikan kepada mantan suaminya."Kalian berdua berbuat mesum?" Shira menggeleng cepat."Pak, ini ....""Kamu tau aturan di desa ini 'kan, Shira? Kalau ada yang berbuat mesum harus apa?" ujar lelaki paruh baya itu tegas."Pak, saya bisa jelasin," ujar Shira mengelap kasar bibirnya. "Ken, aku mohon jelaskan." Mata Shira berkaca, menatap Farrel yang masih setia membisu."Memang aturannya apa kalau berbuat mesum di sini?" tanya lelaki itu tanpa dosa."Ken Farrel!" Teriak Shira."Apa?" jawab lelaki itu santai."Kalian harus menikah.""Menikah?" Dahi Farrel mengkerut. "Hanya karena berciuman harus menikah?""Ini pedesaan, aturan di sini begitu, sudah turun temurun." Jelasnya."Pak, sa
--"Gue pergi semalem si Shira sama Ken udah kawin, gila nggak tuh?!" Gibah pagi hari resmi dimulai."HAH, BENERAN?" Indah yang sedang ngemil hampir saja menyemburkan makanannya."Tadi pagi pas gue masuk rumah, begitu berdosanya lihat Ken telanjang dada dan si shira rambutnya basah," ujar Luna melebih-lebihkan, perempuan satu ini memang pantas disebut 'Ratu Gibah'. Padahal yang sebenarnya terjadi adalah Shira yang baru keluar dari kamar mandi karna rambut panjangnya terkena kecap yang tumpah di dapur dan Ken yang akan mengambil jam tangan di meja depan, kebiasaan lelaki itu memang tidak berubah, selalu menunda memakai baju jika sehabis mandi."Astafirullah, Shir, kamu?" Tatapan tajam Indah serasa ingin menghakimi."Lu kompor banget sih, Lun," ujar Shira kesal.
-"Kamu tau nggak, tempat apa yang akan aku kunjungi setelah sembuh?" Perempuan itu membuka pembicaraan.Bibir mungil itu mengerucut. "Oke, aku paham kalau kamu nggak suka diajak bicara pas nyetir.""Aku pengen banget ke pantai lagi, jalan di tepian terus nunggu ombak dateng, kamu inget nggak pas honeymoon dulu?" Tidak ada jawaban, lelaki di sampingnya tetap saja diam."Ah, itu es cream kesukaanku, kenapa nggak berhenti? Aku bukannya udah pesen kalau mau mampir?" perempuan itu terus saja berbicara.Decitan rem terdengar. "Mas!""Kamu kenapa berhenti mendadak? Gimana kalau tadi kepala aku kebentur?"
Shira membuka mata, jam masih menunjukan pukul lima pagi tapi matanya tidak bisa tertutup kembali, semalam saat lelaki itu berkata ingin memanfaatkannya, Shira tidak lagi bisa berbicara, lidahnya kelu, tubuhnya lemas, dan otaknya kosong. Lagi pula apa yang bisa perempuan itu harapkan dari lelaki yang sudah berkhianat? Cinta dan kesetiaan? Bodoh jika iya. Memilih bangkit, perempuan itu mengikat cepat rambut panjangnya."Sudah bangun?" Shira terperanjat, lelaki itu sudah berdiri di depan, semalam dengan tidak tau diri, Ken mengambil tempat tidur istrinya dan dengan bodoh Shira menurut begitu saja. "Kamu banyak berubah, Lashira mana pernah bangun sepagi ini? Hmm?"Perempuan itu tidak mengubris, memilih menjauh dari sang suami, tapi sebuah tarikan membuat tubuh Shira menabrak kasar dada Ken."Lepas!" Shira mendorong kasar lelakinya. "Kamu boleh membuatku menjadi milikmu kembali, ta
"Kamu gila?" Sebuah tamparan mendarat mulus di pipi Farrel."Tapi itu kenyataannya, aku dan Shira sudah menikah." Lelaki itu berkata tanpa ragu."Apa kurangnya Sandra? Dia cantik, baik, kaya dan pastinya sempurna!" Saut wanita paruh baya itu membuat tawa Farrel menggema."Baik?" Ulang Farrel tidak percaya. "Wanita selingkuh dan diceraikan suaminya itu baik di mata Mama?"Nuria terpingkal. "Apa bedanya sama kamu yang juga selingkuh dan diceraikan?""Papa tidak peduli! Kamu tidak boleh menikah dengan anak pembohong itu!" Potong Aji marah."Aku dan Shira sudah menikah, restu kalian tidak perlu." Ketika lelaki itu akan keluar sebuah tarikan dan pukulan kembali Farrel dapatkan."Papa!" Teriak Nuria histeris."Anak ini benar-benar kurang ajar jika dibiarkan!""Farrel, tidak bisa kah kamu menuruti kata Papa sekali saja?!" Mata Nuria b
"Hujan deres banget ini, Shira balik bareng gue aja sih ya?" Luna mengamati tetesan air yang jatuh dari jendela."Bukannya mau dijemput calon misua?" Kerutan di dahi Shira muncul."Ya nggak apa lah nanti anter lu dulu.""Mau bonceng tiga gitu?" Saut Indah dari dapur."Itulah, puyeng gue juga." Luna menggaruk kasar rambutnya."Udahlah gue balik sendiri juga berani.""Masalahnya kalo ujan kaga ada bus." Luna menyentil dahi sahabatnya."Naik taksi lah." Dengan sombong perempuan itu menyibak kucir kudanya."Duit aman?" Bukan pertanyaan ini lebih mirip ledekan.Shira menghembuskan napas kesal. "Ken punya utang ke gue belum dibalikin, kesel.""Nggak dikasih duit bulanan?" tanya Indah heran."Auk lah males.""Shir, gue merasa aneh banget sih sama lu, bukanya cinta lu sama Farrel itu nggak ad
Perempuan itu turun dari mobil, melepas perlahan kacamata hitam yang melekat pada matanya. Netra itu menelisik, mencari seseorang yang akan dirinya temui, dengan langkah anggun kaki jenjang itu bergerak, melewati beberapa meja yang sudah terisi, dan ketika wanita yang akan dirinya jumpai sudah terlihat, perempuan itu mempercepat langkahnya, menarik kursi lalu terduduk di sana. "Sudah lama?" Tanyanya sambil menaruh tas kecil yang dirinya bawa ke atas meja. Wanita paruh baya itu mendongak, lalu menaruh ponsel pintarnya. "Lumayan." "Kamu semakin cantik dan sepertinya sudah tidak bodoh lagi." Raya menyeruput minumannya. "Ken baik-baik saja?" Wajah cantik itu seketika sendu. Raya tertawa. "Sepertinya saya salah, kamu masih saj
Enam tahun lalu Raya pernah ada di situasi tidak masuk akal di mana sang putra menyuruh sang istri berselingkuh agar kejadian di masa lalu terulang. Wanita paruh baya itu tidak pernah mengerti cinta seperti apa yang kedua anak muda itu miliki. Karena menurutnya tidak ada cinta yang saling menyakiti, tapi hal itu tidak berlaku untuk manusia setengah waras yang sialnya adalah anak dan menantunya. Raya yang dulu selalu ikut campur pun akhirnya menyerah, membiarkan kedua anak manusia itu menjalani kehidupan yang menurut mereka benar. Untung saja dirinya masih memiliki Keisya, putrinya yang selama ini menempuh studi di lu
"Mana ponselnya?" Lelaki itu mendekat lalu mengulurkan tangannya."Apa sih." Kaki kecil itu terangkat. "Telinga aku masih bisa dengar, nggak usah teriak."Menghembuskan napas pelan, lelaki berkemeja biru itu mencoba menahan emosi. "Mana, banyak kerjaan di situ.""Mami!" Jurus andalan anak berusia enam tahun itu keluar."Farrel, Kawa kenapa?" Wanita paruh baya itu berlari tergesa, memeluk cepat cucunya yang sudah berderai air mata."Mami." Gadis itu melempar ponsel berwarna gold itu ke sofa."Kamu! Bagaimana kalau jatuh?!" Teriaknya ketika melihat bagaimana sang anak melempar ponselnya ke sofa."Jaga nada suara kamu, Farrel!" Raya melotot."Mami, dia....""Dia siapa? Hah? Anak ini punya nama." Raya melotot tidak suka."Mami!
Shira melangkahkan kakinya, menyusuri jalanan panjang yang sepertinya tidak akan berujung. Di tangannya ada amplop putih dengan logo rumah sakit, di dalam sana ada sebuah pernyataam yang membuat hati perempuan itu campur-aduk, separuhnya bahagia dan sisanya rasa khawatir.Entah sudah sejauh apa kaki itu melangkah, nyatanya Shira sama sekali tidak merasa lelah. Pikirannya bercabang, perasaannya tidak karuan, dan tubuhnya sekarang terasa mati rasa. Jika berita ini datang di saat dia tidak mengetahui fakta tentang Ken yang berselingkuh karena dirinya mungkin Shira akan menyambut ini dengan kebahagiaan penuh tapi sayang untuk kedua kalinya buah cinta itu hadir di saat yang sangat tidak tepat.Perempuan itu memiliki janji kepada lelaki yang sangat dia cintai, sebuah janji
"Lashira?" Sebuah sentuan membuat wanita di depannya menoleh."Sandra?" Mulut Shira terbuka."Kamu apakabar?" Perempuan bergaun Hitam itu tersenyum lalu mengulurkan tangannya."Aku, aku baik." Sedikit tergugup Shira mengulurkan tangan."Boleh bicara sebentar?" Sandra menunjuk cafe samping."Ha?" Shira terlihat bingung."Kalau ada waktu mau ngobrol." Perempuan itu akhirnya mengangguk, mengikuti Sandra yang sudah memasuki cafe terlebih dahulu."Kamu kembali menikah dengan Farrel, bukan?" Tanpa basa basi Sandra bertanya."Iya," jawab Shira ragu."Santai, aku nggak akan marah, aku sama Farrel juga nggak ada perasaan apapun," ujar Sandra tersenyum."Iya," jawab Shira sungkan."Kamu jalan sama lelaki lai
Sudah dua bulan sejak mereka akhirnya menikah secara hukum. Tidak ada yang berubah, semuanya masih sama, hanya saja ada kemajuan pada hubungan Shira dan Abil, beberapa kali Ken melihat mereka bersama dan terlihat semakin akrab. Sebenarnya ketika Abil sudah terlihat serius, Ken ingin sekali berbicara empat mata pada lelaki itu, menyerahkan seseorang yang dirinya cintai kepada lelaki yang lebih berhak. Tapi desakan maminya untuk menikahi Sandra membuat Ken mau tidak mau harus mendaftarkan pernikahannya.Masuk ke kamar mandi, Ken menghembuskan napas kasar, entah sudah berapa puluh testpack yang Shira gunakan, wanita itu ingin sekali hamil tapi kenyataannya takdir lebih memihaknya. Walau tidak menghalangi agar anak itu datang tapi Ken yakin dengan kondisinya dan Shira yang tidak cukup baik akan membuat wanita itu sulit hamil. Syukurlah, ka
Hati-hati dalam memilih bahan bacaan :)Mengandung 18+ 🙂👍--"Terima kasih, pak," ujar Shira kepada lelaki berbadan besar di depannya."Mbak yakin bisa bawa masuk?" Lelaki itu meragu ketika memberikan tubuh kokoh Ken ke pelukan Shira."Iya Pak bisa." Perempuan itu berusaha tersenyum sambil menahan tubuh besar Ken."Yasudah pelan-pelan, Mbak, nanti kalau butuh tinggal telfon nomor keamanan aja." Pesan lelaki ber
Lelaki itu turun dari taksi lalu berjalan cepat, tersenyum ketika melihat bungkusan di tangan. Pagi tadi istrinya memilih pulang sendiri, kontrakan Shira harus melalui gang sempit dan tidak bisa dilewati oleh mobil, maka dari itu Farrel hampir tidak pernah membawa kendaraannya ketika pulang kesana.Farrel tau bahwa dirinya egois, harusnya bukan ini tujuannya, jika seperti ini akhirnya sama saja dia tidak mendapatkan balasan apapun. Luka yang Farrel berikan pada istrinya sangat dalam dan semestinya dia juga merasakan. Memang niat awalnya adalah untuk melindungi walau hasilnya malah menyakiti.Langkah itu terhenti, ketika senyum yang entah kapan terakhir kali dirinya lihat muncul dari bibir sang wanita, lelaki di depannya ikut menarik bibir lalu suara rengekan bocah menggema. Dengan refleks lelaki itu meremas bungkusan di tangan, kantong plastik berisi cake kesukaan
Shira memejamkan mata, entah apa yang akan terjadi hari ini, ketika dirinya benar-benar bertemu dengan Raya, ibu mertuanya. Terakhir kali perempuan paruh baya itu mendorongnya hingga tersungkur, menampar kasar pipinya dan mengusirnya agar menjauh dari sang putra, kenangan yang mengerikan jika kembali dibayangkan."Turun." Suara serak Ken menggema, dengan malas perempuan itu turun dari mobil."Ayo." Lelaki itu menggenggam kuat telapak tangannya dan menariknya masuk.Shira mengatur napas, meremas kuat celana kain yang dirinya pakai, hatinya berdesir, tentu saja, rasanya seperti akan menerima hukuman yang menyakitkan."Farrel?" Tanpa permisi suara itu bergema, menerobos perlahan gendang telinga Shira yang tertutup helaian anak rambut.Lelaki itu menengok, menarik tangan yang berada di genggamannya lalu menuju kursi yang tersedia. "Udah lama?""Baru saja." Lelaki paruh baya it