Happy ReadingMalam itu kembali sunyi ketika Nara menatap dokumen-dokumen yang tersebar di pangkuannya. Meski tubuhnya masih lemah, matanya tak bisa berpaling dari foto-foto dan catatan yang seakan membisikkan bahaya. Salah satu foto memperlihatkan Rehan sedang menyerahkan sebuah koper pada pria berjubah hitam. Wajah pria itu tak terlihat jelas, tapi suasana dalam gambar itu begitu... mencurigakan. Di pojok foto, tertulis tanggal—hanya dua hari sebelum pertemuan Nara dan Damar di kafe.“Kenapa ada namaku di catatan ini?” bisiknya.Damar duduk di kursi sebelah tempat tidur, menatapnya dengan sorot waspada. “Kita belum tahu pasti. Tapi sepertinya kau bagian dari sesuatu yang lebih besar, Nara. Rehan mungkin melindungimu… atau justru memanfaatkannya.”Nara menggeleng lemah. “Tapi dia bilang dia tak ingin menyakitiku. Dia… dia bahkan menyesal.”“Menyesal bukan berarti tak bersalah,” jawab Damar, nada suaranya dingin namun jujur.Sebelum Nara bisa merespons, pintu kamar rumah sakit terbuka
Happy ReadingMalam itu kembali sunyi ketika Nara menatap dokumen-dokumen yang tersebar di pangkuannya. Meski tubuhnya masih lemah, matanya tak bisa berpaling dari foto-foto dan catatan yang seakan membisikkan bahaya. Salah satu foto memperlihatkan Rehan sedang menyerahkan sebuah koper pada pria berjubah hitam. Wajah pria itu tak terlihat jelas, tapi suasana dalam gambar itu begitu... mencurigakan. Di pojok foto, tertulis tanggal—hanya dua hari sebelum pertemuan Nara dan Damar di kafe.“Kenapa ada namaku di catatan ini?” bisiknya.Damar duduk di kursi sebelah tempat tidur, menatapnya dengan sorot waspada. “Kita belum tahu pasti. Tapi sepertinya kau bagian dari sesuatu yang lebih besar, Nara. Rehan mungkin melindungimu… atau justru memanfaatkannya.”Nara menggeleng lemah. “Tapi dia bilang dia tak ingin menyakitiku. Dia… dia bahkan menyesal.”“Menyesal bukan berarti tak bersalah,” jawab Damar, nada suaranya dingin namun jujur.Sebelum Nara bisa merespons, pintu kamar rumah sakit terbuka
Happy ReadingPagi itu langit kelabu, kabut turun tebal menutupi lereng bukit. Nara terbangun lebih awal dari biasanya, merasakan hawa tak biasa mengendap di udara. Biasanya, Rehan sudah di dapur membuat kopi atau sekadar menyusun kayu bakar. Tapi pagi ini, kabin sunyi.“Rehan?” panggilnya lirih.Tak ada jawaban.Nara menyisir setiap ruangan. Tak ada tanda-tanda Rehan. Jaketnya tak tergantung di gantungan. Sepatunya pun tak ada di rak dekat pintu. Tapi dompet dan ponselnya tertinggal di meja. Aneh.Perasaan cemas mulai naik ke tenggorokan. Ia membuka pintu belakang kabin dan melihat jejak kaki di tanah basah—menuju arah hutan.Ia cepat-cepat mengenakan mantel dan menyusul arah jejak itu. Kabut semakin tebal, pepohonan seakan menciutkan suara langkahnya sendiri. Tapi kemudian, samar, ia mendengar suara… dentingan logam?Ia mempercepat langkah, menuruni celah tanah sempit, dan akhirnya melihat Rehan di kejauhan. Ia sedang membongkar sesuatu di balik pohon pinus besar—sebuah kotak besi t
Happy ReadingHujan mulai turun gerimis saat Nara dan Rehan masih berdiri di teras, menatap foto itu seolah bisa mengorek informasi lebih dari selembar kertas. Nara mengerutkan kening, mencoba menenangkan detak jantungnya yang berpacu cepat.“Ini diambil dari atas bukit sana,” gumam Rehan, menunjuk arah lereng berbatu di kejauhan. “Jaraknya sekitar lima ratus meter… artinya mereka memantau sejak pagi.”“Kita harus pindah,” ucap Nara. Suaranya tenang, tapi tatapannya tajam. “Malam ini juga.”Rehan mengangguk, lalu menatap jam tangannya. “Kalau kita berangkat sekarang, kita bisa sampai ke tempat Bima menyembunyikan laptop pemecah enkripsi itu sebelum tengah malam.”“Tempat yang aman?”“Sebagus mungkin. Tapi kalau pesan ini benar, berarti jejak kita bocor. Entah dari siapa.”Mereka berkemas dalam diam. Tak banyak barang yang dibawa, hanya kebutuhan pokok, peta, dan tentu—flashdisk merah yang kini digantung di leher Rehan dalam tabung baja kecil. Sebelum meninggalkan kabin, Nara menulis s
Happy ReadingAnda bilang:Happy Reading Hujan mulai turun gerimis saat Nara dan Rehan masih berdiri di teras, menatap foto itu seolah bisa mengorek informasi lebih dari selembar kertas. Nara mengerutkan kening, mencoba menenangkan detak jantungnya yang berpacu cepat. “Ini diambil dari atas bukit sana,” gumam Rehan, menunjuk arah lereng berbatu di kejauhan. “Jaraknya sekitar lima ratus meter… artinya mereka memantau sejak pagi.” “Kita harus pindah,” ucap Nara. Suaranya tenang, tapi tatapannya tajam. “Malam ini juga.” Rehan mengangguk, lalu menatap jam tangannya. “Kalau kita berangkat sekarang, kita bisa sampai ke tempat Bima menyembunyikan laptop pemecah enkripsi itu sebelum tengah malam.” “Tempat yang aman?” “Sebagus mungkin. Tapi kalau pesan ini benar, berarti jejak kita bocor. Entah dari siapa.” Mereka berkemas dalam diam. Tak banyak barang yang dibawa, hanya kebutuhan pokok, peta, dan tentu—flashdisk merah yang kini digantung di leher Rehan dalam tabung baja kecil. Sebelum meningg
Happy ReadingSudah hampir dua minggu sejak dunia dihebohkan oleh bocornya dokumen “R.R”. Tapi kehidupan tak benar-benar berubah dalam sekejap. Dunia terlalu sibuk menakar kebenaran dengan keraguan, dan manusia… terlalu cepat melupakan.Nara kembali ke ruang kerjanya, sebuah klinik kecil di pinggiran kota. Ruangan itu hangat dan lembut, dengan bau lavender samar dan lukisan-lukisan tenang di dinding. Tapi pagi ini, suasananya lain.Ia duduk di hadapan seorang gadis remaja berusia tujuh belas tahun. Mata gadis itu sembab, tangannya gemetar, dan suara hatinya penuh luka yang belum sempat dijahit.Namanya **Lara**—nama yang dalam seminggu terakhir viral di media sosial. Ia korban pemerkosaan oleh anak pejabat, yang sayangnya, kasusnya lebih banyak dijadikan konten dibanding diselesaikan.“Aku nggak mau tidur, Kak…” suara Lara nyaris tak terdengar. “Setiap aku tutup mata, aku dengar dia lagi. Lihat dia. Bau itu… baju itu…”Nara menahan napas. Ia sudah biasa menghadapi trauma berat, tapi s
Happy Reading Minggu itu berjalan terlalu cepat bagi Nara, dan terlalu lambat bagi Rehan. Nara tenggelam dalam jadwal terapi yang padat, investigasi diam-diam tentang “C” patients, dan percakapan rahasia dengan sumber-sumber lama. Ia tidur tak lebih dari empat jam setiap malam, hidupnya digerakkan oleh urgensi—dan oleh bayang-bayang Citra yang terus menghantui pikirannya. Sementara Rehan mulai kehilangan arah di tengah dua dunia: satu dunia yang penuh angka dan target, dan satu lagi—yang lebih gelap—di mana manusia bisa hilang hanya karena dianggap "terlalu ribut." Ia butuh Nara. Tapi Nara… seakan selalu terlalu jauh. *** “Kamu lihat data CCTV yang aku kirim semalam?” Rehan mengirim pesan suara, nada suaranya terdengar resah. “Di menit 04:17, ada petugas yang masuk ke kamar Citra dan…” Belum sempat ia menyelesaikan kalimatnya, pesan itu hanya centang satu. Nara belum membukanya. Sudah dua hari terakhir ia hanya membalas pesan seperlunya—kadang singkat, kadang hanya
Happy ReadingNara berdiri mematung di depan layar. Kata-kata pada subjek email itu seperti petir yang menyambar tenang sore mereka: "C-02. Masih hidup. Lokasi: Eks-Pabrik Farmasi Ananta.”Rehan berdiri di belakangnya, membaca bersama. “C-02… itu pasien yang disebut ‘mati’ tiga minggu lalu, kan?” Nara mengangguk pelan, bibirnya menegang. “Yang disebut overdosis. Tapi aku curiga ada yang janggal dari awal.” “Kalau ini benar… artinya mereka memalsukan kematian pasien,” ujar Rehan, nadanya pelan tapi tegas. “Dan kalau satu pasien bisa dipalsukan, bisa jadi yang lain juga…” Nara memutar kursi, menghadap Rehan. “Kita harus ke sana malam ini. Sebelum jejaknya dihapus lagi.” Rehan ragu sejenak. “Kita nggak tahu siapa yang kirim email ini. Bisa jadi jebakan.” “Aku tahu,” sahut Nara cepat. “Tapi kita juga tahu, kalau kita tunggu—semuanya bisa terlambat.”Rehan menghela napas, lalu mengangguk. “Oke. Tapi kita nggak pergi tanpa persiapan.” ***Malam menjelang cepat. Langit gelap ta
Happy Reading Beberapa bulan berlalu sejak Nara membuat keputusan besar untuk berhenti bekerja sebagai psikiater. Ia memutuskan untuk menggali potensi dirinya di luar dunia medis yang selama ini ia kenal. Kehidupan barunya dimulai dengan perjalanan kembali ke tanah kelahirannya, Arga Makmur, tempat ia mulai belajar tentang pentingnya menemukan kedamaian dengan diri sendiri.Namun, semangat baru itu segera membawanya pada sebuah rencana besar yang selama ini hanya menjadi impian yang tertunda—bisnis fashion.Nara duduk di meja kerja, laptop terbuka di depannya, memeriksa daftar barang-barang yang perlu dibeli untuk toko konsep barunya. Sebuah ide yang seakan menghidupkan kembali api yang sempat padam dalam dirinya. Ia sudah mengurus perizinan dan menemukan lokasi untuk toko pertamanya—sebuah bangunan di Jakarta yang terletak di area strategis, namun dengan atmosfer yang tenang dan elegan, persis seperti yang ia inginkan.Toko itu akan berbeda dengan yang lainnya. Nara ingin menciptaka
Happy Reading Malam turun pelan-pelan seperti selimut yang lembut. Rumah Rehan kembali menjadi tempat pertemuan diam-diam yang kini bukan lagi tentang sembunyi, tapi tentang menyusun ulang arah hidup. Nara datang tanpa membawa koper, tanpa amplop surat tugas, hanya tas kecil dan wajah yang tenang—tenang dengan cara yang baru.Rehan membukakan pintu tanpa banyak kata. Ia hanya menatap mata Nara, lalu tersenyum pelan."Masuk."Nara duduk di sofa abu-abu yang kini sudah lebih sering ia kunjungi daripada kamarnya sendiri. Di meja, ada teh jahe hangat dan kue kesukaannya—Rehan tahu caranya membaca hari-hari yang berat.“Aku udah bikin daftar kemungkinan di kertas,” ucap Nara tiba-tiba, membuka map kecil dari dalam tasnya. “Tapi ternyata… yang paling masuk akal adalah ini.” Ia menyodorkan selembar surat.Rehan membacanya cepat. Matanya langsung membelalak. “Ini…”“Surat pengunduran diriku. Dari proyek Bandung… dan juga dari rumah sakit.”Keheningan turun sejenak, lebih panjang dari biasany
Happy Reading Pagi itu, matahari muncul malu-malu dari balik awan. Langit masih basah sisa hujan semalam. Di atas meja makan, dua cangkir kopi mengepul. Rehan sedang mencatat sesuatu di buku kulit hitamnya, sementara Nara sibuk menatap layar ponsel dengan alis berkerut."Sayang," panggil Rehan pelan, "kamu udah pilih tanggalnya?"Nara mengangkat wajah, matanya tampak kosong. “Tanggal apa?”“Untuk ketemu keluargaku. Kita sepakat mau mulai dari sana, kan? Kamu bilang siap kalau mereka mau bicara baik-baik…”Nara meletakkan ponselnya perlahan. “Rehan… aku dapat kabar pagi ini.”Rehan langsung berhenti menulis. “Kabar apa?”“Surat dari rumah sakit,” jawab Nara, lalu menyerahkan ponselnya pada Rehan. Di layar, terpampang jelas email resmi dari Direktur Rumah Sakit Utama Nusantara.Rehan membaca cepat. Matanya langsung membulat. “Bandung?!”Nara mengangguk pelan. “Iya. Mereka minta aku ikut tim pengembangan pusat onkologi baru di sana. Enam bulan. Mungkin bisa lebih kalau proyeknya lancar.
Happy Reading Hujan masih turun di luar jendela saat malam semakin larut. Aroma tanah basah berpadu dengan aroma kopi yang baru diseduh memenuhi ruangan. Nara duduk bersila di karpet ruang tengah, secangkir kopi hangat di tangan. Di seberangnya, Rehan menatapnya dengan tatapan yang sulit dibaca.Mereka baru saja selesai makan malam sederhana, tapi hening yang menggantung di antara mereka jauh dari sederhana.“Jadi… kamu belum bilang ke Mama kamu?” Nara memecah keheningan, suaranya pelan namun tegas.Rehan menghela napas. “Belum. Dan… dia tahu aku di sini.”Nara menunduk, menggenggam cangkirnya erat. “Apa dia bilang sesuatu?”Rehan mengangguk pelan. “Dia bilang… aku membuat kesalahan yang sama seperti Ayah dulu.”Nara mendongak, mata membulat. “Kesalahan?”“Ya. Ayahku dulu meninggalkan keluarganya demi perempuan yang tidak disetujui oleh kakek. Perempuan itu… bukan ibuku,” ucap Rehan lirih. “Dan sekarang, menurut Mama, aku mengulang cerita itu.”Keheningan kembali mengisi ruangan. Tap
Happy ReadingLangit Jakarta sore itu kelabu, seolah turut meresapi perasaan Nara yang tak karuan. Ia duduk di balkon apartemennya, memeluk lutut, matanya menatap kosong ke arah jalanan yang dipenuhi kendaraan lalu lalang. Di tangannya, ponsel dengan layar percakapan terbuka.Ia telah mengirim pesan satu jam lalu.> *"Rehan… Aku butuh kamu pulang. Kita harus bicara. Bukan sekadar tentang kita, tapi tentang semua yang belum selesai."*Tak lama kemudian, centang dua biru muncul. Tapi belum ada balasan. Nara menunggu dalam diam, perasaannya berputar-putar seperti pusaran air. Ada sesuatu dalam dirinya yang mendesak untuk segera diungkapkan. Bukan hanya karena panggilan misterius dari Aksa kemarin, tapi karena hubungan ini sudah terlalu lama digantung.Ia lelah mencintai dalam jarak dan diam. Lelah bertanya-tanya, apakah semuanya masih nyata seperti dulu.Ponselnya akhirnya bergetar. Bukan pesan—tapi panggilan video. Nama Rehan muncul di layar.Dengan tangan gemetar, ia mengangkat.Wajah
Happy ReadingJam sudah menunjukkan pukul satu siang, tapi Nara bahkan belum sempat melirik ke arah makanan. Perutnya perih, tapi pikirannya terlalu penuh untuk memperhatikan sinyal lapar yang datang dari tubuhnya. Hari ini, klinik tempatnya bekerja dipenuhi pasien sejak pagi. Ia sudah duduk di ruang konsultasi sejak pukul delapan, hanya keluar sebentar untuk mengambil segelas air. Bahkan, waktu untuk ke toilet pun ia tunda.Pasien pertama datang dengan gejala klasik gangguan bipolar: mood swing ekstrem, perasaan euforia yang tiba-tiba berganti dengan keputusasaan mendalam. Nara mendengarkan dengan sabar, mencatat setiap kata, merespons dengan lembut namun tegas. Ia tahu betapa sulitnya membuka diri, terlebih soal penyakit mental di masyarakat yang masih memandangnya sebelah mata.Pasien berikutnya bahkan lebih sulit. Seorang remaja perempuan yang menjadi korban kekerasan dalam pacaran. Tubuhnya tak terluka, tapi matanya memancarkan trauma yang dalam. Suaranya gemetar saat bercerita
Happy ReadingPagi itu, London diselimuti kabut tipis. Udara dingin menyeruak dari celah jendela kamar hotel, tapi bukan itu yang membuat Nara menggigil—melainkan kenyataan bahwa hari ini, ia harus pulang ke Indonesia.Koper-koper sudah tertata rapi di dekat pintu. Rehan duduk di tepian ranjang, menatap Nara yang masih berdiri di dekat jendela, mengenakan jaket kulit hitam dan celana jeans biru yang membalut tubuhnya dengan gaya simpel namun kuat.“Are you sure you don’t want me to come with you?” tanya Rehan, suaranya nyaris seperti bisikan.Nara menoleh, memaksakan senyum. “You can’t, Rehan. You have things to fix here. Your company needs you… your family needs you.”Rehan bangkit, mendekat, lalu menyentuh pipi Nara dengan lembut. “And you? What about *me* needing *you*?”Tatapan Nara melembut. Ia menggenggam tangan Rehan. “You do. And that’s why I’m going. So you can take care of everything here without worrying about me.”Ia mencoba terdengar kuat, tapi matanya mulai memanas. Ia t
Happy Reading Malam perayaan anniversary mereka memang telah usai, tapi kenangan dan sensasinya masih membekas kuat di hati Nara. London masih menyuguhkan pesonanya yang lain: gemerlap kota, suasana romantis, dan jejak sejarah yang tak henti memanggil untuk dijelajahi. Bagi Rehan dan Nara, ini bukan sekadar liburan, tapi perjalanan batin yang mempererat mereka lebih dalam.Mereka memang belum menikah, namun hubungan keduanya sudah seperti sepasang suami istri yang saling memahami, saling melengkapi, dan tak ragu untuk terbuka satu sama lain. Rehan begitu terbuka dalam mencintai, dan Nara—yang dulunya penuh keraguan—kini mulai mengimbangi. Ia memilih untuk membuka hatinya sepenuhnya, tanpa lagi menahan diri dari bayang-bayang masa lalu.Pagi itu, Rehan membangunkan Nara dengan ciuman lembut di kening. “Wake up, sleepyhead. We’ve got a full day ahead.”Nara membuka mata perlahan, senyum mengembang di wajahnya. “Where are we going today?” gumamnya, masih setengah mengantuk.“Today, we’r
Happy Reading Sudah satu tahun berlalu sejak hari pertama Nara dan Rehan bersama, dan hubungan mereka semakin kuat. Banyak hal yang telah mereka lalui bersama, dari tawa hingga air mata, dari kebahagiaan sederhana hingga kejutan-kejutan luar biasa yang selalu Rehan siapkan. Hari ini, mereka merayakan momen penting itu: **anniversary mereka yang pertama**.Pagi itu, Nara terbangun dengan perasaan aneh. Sesuatu terasa berbeda, meskipun ia tak tahu pasti apa. Di sampingnya, Rehan sudah bangun lebih dulu dan duduk di dekat meja, dengan mata yang tampak penuh arti. Ia menatap Nara dengan senyum yang tak bisa disembunyikan. "Happy anniversary, my love," ucap Rehan dengan lembut, suara penuh kasih.Nara mengangkat alis, sedikit bingung. "Terima kasih, Rehan... Ada yang spesial hari ini?"Rehan tertawa pelan, lalu menyodorkan sebuah kotak kecil berwarna merah hati. "I have a surprise for you. Open it," kata Rehan dengan tatapan yang penuh makna.Nara membuka kotak itu, dan di dalamnya terdap