Happy ReadingMalam itu, setelah pertemuan dengan Damar, Nara memutuskan untuk pulang lebih awal. Ia merasa terlalu banyak informasi yang harus diproses, dan pikirannya terus-menerus dihantui oleh kemungkinan-kemungkinan buruk. Ia menatap layar ponselnya yang masih menyimpan bukti tentang Rehan. Tangannya gemetar saat memegang benda itu, seolah-olah di dalamnya tersimpan nyawa yang sedang dipertaruhkannya.Ia melangkah menuju mobilnya yang terparkir di pinggir jalan. Udara malam terasa lebih dingin dari biasanya, atau mungkin itu hanya perasaannya saja. Saat Nara membuka pintu mobil, ia melihat sebuah mobil lain yang dikenalnya terparkir tidak jauh darinya. Mobil hitam dengan lampu yang redup, seakan sedang mengawasinya.Jantungnya berdegup kencang. Ia mencoba mengabaikan rasa takutnya dan segera masuk ke dalam mobil. Namun, baru saja ia menyalakan mesin, ponselnya berbunyi. Nama Rehan muncul di layar.Ia ragu sejenak, lalu mengangkatnya dengan suara setenang mungkin. "Halo?""Nara, a
Happy ReadingMalam itu kembali sunyi ketika Nara menatap dokumen-dokumen yang tersebar di pangkuannya. Meski tubuhnya masih lemah, matanya tak bisa berpaling dari foto-foto dan catatan yang seakan membisikkan bahaya. Salah satu foto memperlihatkan Rehan sedang menyerahkan sebuah koper pada pria berjubah hitam. Wajah pria itu tak terlihat jelas, tapi suasana dalam gambar itu begitu... mencurigakan. Di pojok foto, tertulis tanggal—hanya dua hari sebelum pertemuan Nara dan Damar di kafe.“Kenapa ada namaku di catatan ini?” bisiknya.Damar duduk di kursi sebelah tempat tidur, menatapnya dengan sorot waspada. “Kita belum tahu pasti. Tapi sepertinya kau bagian dari sesuatu yang lebih besar, Nara. Rehan mungkin melindungimu… atau justru memanfaatkannya.”Nara menggeleng lemah. “Tapi dia bilang dia tak ingin menyakitiku. Dia… dia bahkan menyesal.”“Menyesal bukan berarti tak bersalah,” jawab Damar, nada suaranya dingin namun jujur.Sebelum Nara bisa merespons, pintu kamar rumah sakit terbuka
Happy ReadingMalam itu kembali sunyi ketika Nara menatap dokumen-dokumen yang tersebar di pangkuannya. Meski tubuhnya masih lemah, matanya tak bisa berpaling dari foto-foto dan catatan yang seakan membisikkan bahaya. Salah satu foto memperlihatkan Rehan sedang menyerahkan sebuah koper pada pria berjubah hitam. Wajah pria itu tak terlihat jelas, tapi suasana dalam gambar itu begitu... mencurigakan. Di pojok foto, tertulis tanggal—hanya dua hari sebelum pertemuan Nara dan Damar di kafe.“Kenapa ada namaku di catatan ini?” bisiknya.Damar duduk di kursi sebelah tempat tidur, menatapnya dengan sorot waspada. “Kita belum tahu pasti. Tapi sepertinya kau bagian dari sesuatu yang lebih besar, Nara. Rehan mungkin melindungimu… atau justru memanfaatkannya.”Nara menggeleng lemah. “Tapi dia bilang dia tak ingin menyakitiku. Dia… dia bahkan menyesal.”“Menyesal bukan berarti tak bersalah,” jawab Damar, nada suaranya dingin namun jujur.Sebelum Nara bisa merespons, pintu kamar rumah sakit terbuka
Happy ReadingPagi itu langit kelabu, kabut turun tebal menutupi lereng bukit. Nara terbangun lebih awal dari biasanya, merasakan hawa tak biasa mengendap di udara. Biasanya, Rehan sudah di dapur membuat kopi atau sekadar menyusun kayu bakar. Tapi pagi ini, kabin sunyi.“Rehan?” panggilnya lirih.Tak ada jawaban.Nara menyisir setiap ruangan. Tak ada tanda-tanda Rehan. Jaketnya tak tergantung di gantungan. Sepatunya pun tak ada di rak dekat pintu. Tapi dompet dan ponselnya tertinggal di meja. Aneh.Perasaan cemas mulai naik ke tenggorokan. Ia membuka pintu belakang kabin dan melihat jejak kaki di tanah basah—menuju arah hutan.Ia cepat-cepat mengenakan mantel dan menyusul arah jejak itu. Kabut semakin tebal, pepohonan seakan menciutkan suara langkahnya sendiri. Tapi kemudian, samar, ia mendengar suara… dentingan logam?Ia mempercepat langkah, menuruni celah tanah sempit, dan akhirnya melihat Rehan di kejauhan. Ia sedang membongkar sesuatu di balik pohon pinus besar—sebuah kotak besi t
Happy ReadingHujan mulai turun gerimis saat Nara dan Rehan masih berdiri di teras, menatap foto itu seolah bisa mengorek informasi lebih dari selembar kertas. Nara mengerutkan kening, mencoba menenangkan detak jantungnya yang berpacu cepat.“Ini diambil dari atas bukit sana,” gumam Rehan, menunjuk arah lereng berbatu di kejauhan. “Jaraknya sekitar lima ratus meter… artinya mereka memantau sejak pagi.”“Kita harus pindah,” ucap Nara. Suaranya tenang, tapi tatapannya tajam. “Malam ini juga.”Rehan mengangguk, lalu menatap jam tangannya. “Kalau kita berangkat sekarang, kita bisa sampai ke tempat Bima menyembunyikan laptop pemecah enkripsi itu sebelum tengah malam.”“Tempat yang aman?”“Sebagus mungkin. Tapi kalau pesan ini benar, berarti jejak kita bocor. Entah dari siapa.”Mereka berkemas dalam diam. Tak banyak barang yang dibawa, hanya kebutuhan pokok, peta, dan tentu—flashdisk merah yang kini digantung di leher Rehan dalam tabung baja kecil. Sebelum meninggalkan kabin, Nara menulis s
Happy ReadingAnda bilang:Happy Reading Hujan mulai turun gerimis saat Nara dan Rehan masih berdiri di teras, menatap foto itu seolah bisa mengorek informasi lebih dari selembar kertas. Nara mengerutkan kening, mencoba menenangkan detak jantungnya yang berpacu cepat. “Ini diambil dari atas bukit sana,” gumam Rehan, menunjuk arah lereng berbatu di kejauhan. “Jaraknya sekitar lima ratus meter… artinya mereka memantau sejak pagi.” “Kita harus pindah,” ucap Nara. Suaranya tenang, tapi tatapannya tajam. “Malam ini juga.” Rehan mengangguk, lalu menatap jam tangannya. “Kalau kita berangkat sekarang, kita bisa sampai ke tempat Bima menyembunyikan laptop pemecah enkripsi itu sebelum tengah malam.” “Tempat yang aman?” “Sebagus mungkin. Tapi kalau pesan ini benar, berarti jejak kita bocor. Entah dari siapa.” Mereka berkemas dalam diam. Tak banyak barang yang dibawa, hanya kebutuhan pokok, peta, dan tentu—flashdisk merah yang kini digantung di leher Rehan dalam tabung baja kecil. Sebelum meningg
Happy ReadingSudah hampir dua minggu sejak dunia dihebohkan oleh bocornya dokumen “R.R”. Tapi kehidupan tak benar-benar berubah dalam sekejap. Dunia terlalu sibuk menakar kebenaran dengan keraguan, dan manusia… terlalu cepat melupakan.Nara kembali ke ruang kerjanya, sebuah klinik kecil di pinggiran kota. Ruangan itu hangat dan lembut, dengan bau lavender samar dan lukisan-lukisan tenang di dinding. Tapi pagi ini, suasananya lain.Ia duduk di hadapan seorang gadis remaja berusia tujuh belas tahun. Mata gadis itu sembab, tangannya gemetar, dan suara hatinya penuh luka yang belum sempat dijahit.Namanya **Lara**—nama yang dalam seminggu terakhir viral di media sosial. Ia korban pemerkosaan oleh anak pejabat, yang sayangnya, kasusnya lebih banyak dijadikan konten dibanding diselesaikan.“Aku nggak mau tidur, Kak…” suara Lara nyaris tak terdengar. “Setiap aku tutup mata, aku dengar dia lagi. Lihat dia. Bau itu… baju itu…”Nara menahan napas. Ia sudah biasa menghadapi trauma berat, tapi s
Happy Reading Minggu itu berjalan terlalu cepat bagi Nara, dan terlalu lambat bagi Rehan. Nara tenggelam dalam jadwal terapi yang padat, investigasi diam-diam tentang “C” patients, dan percakapan rahasia dengan sumber-sumber lama. Ia tidur tak lebih dari empat jam setiap malam, hidupnya digerakkan oleh urgensi—dan oleh bayang-bayang Citra yang terus menghantui pikirannya. Sementara Rehan mulai kehilangan arah di tengah dua dunia: satu dunia yang penuh angka dan target, dan satu lagi—yang lebih gelap—di mana manusia bisa hilang hanya karena dianggap "terlalu ribut." Ia butuh Nara. Tapi Nara… seakan selalu terlalu jauh. *** “Kamu lihat data CCTV yang aku kirim semalam?” Rehan mengirim pesan suara, nada suaranya terdengar resah. “Di menit 04:17, ada petugas yang masuk ke kamar Citra dan…” Belum sempat ia menyelesaikan kalimatnya, pesan itu hanya centang satu. Nara belum membukanya. Sudah dua hari terakhir ia hanya membalas pesan seperlunya—kadang singkat, kadang hanya
Happy ReadingSetelah kabar bahwa Rehan mungkin akan sadar segera, Nara merasa seperti ada sinar yang menyinari bagian terdalam hatinya, yang selama ini gelap dan penuh keraguan. Namun, sinar itu juga datang dengan bayang-bayang yang semakin panjang, menggoda dirinya untuk berpikir apakah ia siap menghadapi kenyataan jika Rehan benar-benar kembali. Setiap kali ia memasuki rumah sakit, ia merasakan kegelisahan yang tak pernah pergi. Ada harapan, tapi ada juga ketakutan. Selama lima bulan ini, Nara sudah cukup banyak belajar tentang dirinya sendiri, tentang apa yang sebenarnya ia inginkan, dan tentang betapa berbedanya perasaannya terhadap Rehan. Sebelumnya, ia hanya berpikir bahwa ia mencintai Rehan. Namun, seiring berjalannya waktu, Nara mulai merasakan sesuatu yang lebih kompleks—sesuatu yang jauh lebih dalam daripada sekadar cinta. Ia merasa terikat, bukan hanya oleh kenangan, tapi juga oleh harapan yang tak terucapkan.Hari itu, seperti biasanya, Nara datang ke rumah sakit setelah
Happy Reading Lima bulan telah berlalu sejak kecelakaan itu. Lima bulan sejak Nara terakhir kali memegang tangan Rehan, berbisik padanya, berharap bahwa keajaiban akan terjadi, bahwa Rehan akan terbangun dan kembali kepadanya. Namun kenyataan jauh lebih kejam daripada harapan yang ia pelihara.Pagi itu, Nara kembali melangkah ke rumah sakit, langkahnya terasa berat, seakan ada beban yang semakin menggerogoti hatinya. Setiap kali ia melewati lorong rumah sakit, rasa cemasnya seakan semakin menggila. Rehan belum juga sadar, meskipun tim medis terus memberikan harapan bahwa keadaan fisiknya perlahan membaik. Tetapi keadaan mentalnya? Itu adalah sesuatu yang tidak bisa dijelaskan oleh siapa pun.Ruang ICU tempat Rehan dirawat masih sama seperti lima bulan yang lalu. Suara mesin yang monoton, selang-selang yang terhubung dengan tubuh Rehan, dan kesunyian yang mencekam. Nara tahu, semakin ia datang ke sini, semakin ia merasa terjebak dalam lingkaran yang tidak bisa ia putuskan. Apa yang ia
Happy Reading Nara baru saja selesai rapat dengan tim *Bersuara*. Rencana besar yang sedang ia jalankan mulai menunjukkan hasil, namun tetap ada tantangan yang datang silih berganti. Malam itu, ia merasa lelah—lebih dari biasanya. Meski tubuhnya letih, pikirannya masih bergerak cepat, memikirkan bagaimana memperluas gerakan ini agar bisa menjangkau lebih banyak orang lagi.Dia menghirup udara malam yang segar dari balkon, memandang jalanan kota yang mulai sepi, saat tiba-tiba ponselnya berdering. Layar menunjukkan nama yang tidak pernah ia harapkan muncul di tengah malam seperti ini—**Ibu Rehan**.Jantung Nara berdebar keras. Tanpa berpikir panjang, ia segera mengangkat telepon tersebut.“Selamat malam, Ibu,” suara Nara terdengar sedikit bergetar meski ia berusaha untuk tenang. “Ada apa?”Terdengar isak tangis di ujung telepon, suara Ibu Rehan tercekat. “Nara... Rehan... dia kecelakaan. Dia sekarang di rumah sakit... koma.”Semua suara yang terdengar di sekitarnya seakan berhenti. Du
Happy Reading Tiga bulan sejak *Bersuara* resmi diluncurkan sebagai platform advokasi digital, pertumbuhannya melesat seperti meteor. Anggota aktif bertambah hingga tiga ribu orang, terdiri dari mahasiswa hukum, aktivis kampus, content creator, hingga jurnalis independen. Mereka bergerak cepat—membuat konten edukatif, menyebarkan laporan investigatif, dan bahkan turun langsung membantu warga dalam konflik agraria serta kasus pelecehan yang ditutupi kampus.Nara kini bukan sekadar sosok yang bangkit dari luka pribadi. Ia jadi wajah dari gelombang baru: **anak muda yang tidak takut melawan sistem, bahkan jika sistem itu dibungkus kemewahan dan kekuasaan.**Namun, semakin besar nama *Bersuara*, semakin banyak pula mata yang mengawasi.***Pada awal minggu ke-15, Nara mengadakan rapat internal bersama tim inti—kelompok 12 orang dari berbagai kota, semuanya bekerja secara daring.“Dua hari lalu, kita berhasil membantu publikasi kasus pelecehan di salah satu kampus swasta besar di Surabaya
Happy Reading Tiga minggu telah berlalu sejak Nara menyerahkan semua bukti kepada jurnalis investigatif yang bekerja secara independen. Sejak itu, berita tentang skandal Delta Five, manipulasi proyek nasional, hingga dugaan keterlibatan keluarga Rehan dalam kematian Aria tersebar luas. Nama-nama besar runtuh. Investor menarik diri. Dan satu per satu, kebenaran mulai muncul ke permukaan.Namun, di tengah kekacauan itu, Nara memilih diam.Ia meninggalkan kota tanpa kabar. Menonaktifkan semua media sosial, memutus kontak dari semua orang termasuk Rehan dan Bima. Ia butuh waktu. Butuh ruang. Butuh ketenangan untuk bertanya pada dirinya sendiri—**siapa aku sebenarnya jika tidak mencintai Rehan?**Kini, di sebuah desa kecil di pinggiran Bandung, Nara tinggal di rumah kayu sederhana milik bibinya yang sudah lama pensiun. Di sanalah, setiap pagi, ia bangun dengan suara ayam, bukan alarm. Minum kopi tanpa harus membaca notifikasi. Dan berjalan di bawah sinar matahari tanpa takut paparazzi mem
Happy Reading Hujan mengguyur atap kamar Nara malam itu, seolah ikut menekan beban yang menghantam dadanya. USB hitam yang tadi ia putar, kini tergeletak di atas meja. Tapi gema suara dalam video itu masih berputar di kepalanya: suara ayah Rehan, menyebut nama kakaknya, Aria, yang meninggal lima tahun lalu dalam kecelakaan misterius.“Ada yang disembunyikan... dan kamu tahu siapa yang harus bungkam kalau kita nggak mau semua terbongkar.”Kata-kata itu mengguncang dasar-dasar kepercayaan Nara. Ia tumbuh dalam keluarga sederhana, dan kehilangan kakaknya adalah pukulan terberat dalam hidupnya. Tapi tak pernah ia duga, kematian itu bisa jadi... **bukan kecelakaan**.Tangannya menekan layar ponsel yang kini menyala kembali. Ia menekan nama: **Bima**.Nada sambung panjang. Lalu suara berat menjawab, “Nara?”“Aku butuh ketemu. Sekarang.”***Di sebuah kafe tua pinggir jalan, mereka duduk berseberangan. Bima masih sama seperti dulu—tenang, penuh rahasia. Ia menatap Nara dengan sorot yang sul
Happy Reading Remaine tidak pernah menjadi tipe perempuan yang puas hanya dengan kemenangan kecil. Bagi sebagian orang, membuat Rehan berselingkuh dari Nara sudah cukup. Tapi bagi Remaine? Itu baru langkah pembuka. Ia duduk di balik meja kaca di ruang kerjanya, mengenakan setelan hitam yang tajam dan lipstik merah gelap yang kontras dengan kulitnya. Di layar monitornya, tampak laporan keuangan perusahaan Rehan—informasi yang ia peroleh bukan secara legal. Tapi itu bukan masalah. Karena permainan yang sedang ia mainkan memang kotor sejak awal.“Aku akan buat kamu kehilangan semuanya, Han,” gumamnya sambil menyesap espresso. “Bukan cuma Nara. Tapi juga nama baikmu. Bisnismu. Bahkan harga dirimu.”Remaine membuka satu folder lagi. Di dalamnya, ada rekaman percakapan. Beberapa email pribadi. Serta laporan transaksi mencurigakan atas nama Rehan—yang sebenarnya adalah bagian dari jebakan yang ia atur sendiri sejak berbulan-bulan lalu. Ya, jauh sebelum Rehan menyentuh tubuhnya, Remaine
Happy ReadingSudah tiga hari sejak malam itu. Tiga hari sejak Rehan bangun dari ranjang Remaine dengan kepala penuh penyesalan… dan entah kenapa, sedikit kenikmatan gelap yang tak mau hilang. Ia mencoba melanjutkan harinya seperti biasa—meeting, deadline, dan segunung laporan. Tapi bayangan Remaine, suaranya yang berbisik di telinga, dan tatapan Nara yang selalu ia ingat tiap malam sebelum tidur, membuat pikirannya terkoyak habis-habisan.Nara, di sisi lain, merasa ada yang berubah. Bukan hanya karena Rehan mulai sulit dihubungi, tapi juga karena setiap kali mereka bicara—kalaupun sempat—nada Rehan terdengar datar, seperti sedang menyimpan sesuatu yang ia sendiri belum siap akui.Pagi itu, Nara duduk sendirian di kafe tempat mereka biasa bertemu. Ia menatap ke luar jendela sambil menggenggam cangkir kopi yang sudah mendingin. Ia mencoba menghubungi Rehan dua kali sejak semalam, tapi tak ada balasan. Entah kenapa, dada Nara terasa sesak.Bersamaan dengan itu, di seberang kota, Remai
Happy ReadingLangit Jakarta malam itu terasa berat. Angin panas menyelinap lewat jendela tinggi apartemen Remaine di kawasan pusat kota, membawa aroma hujan yang belum jatuh juga. Di dalam, lampu-lampu kuning redup menciptakan bayangan yang panjang di dinding. Dan di tengah ruang tamu yang berantakan oleh botol anggur kosong dan kertas kerja, duduklah Rehan — diam, dengan rahang mengeras dan mata menatap kosong ke arah balkon.Remaine berdiri di belakangnya, menyender pada dinding dengan gelas wine di tangan, mengenakan gaun satin merah marun yang terlalu tipis untuk malam sedingin itu."Aku selalu suka versi kamu yang begini, Han," ucapnya pelan, senyum kecil muncul di sudut bibirnya. “Dingin. Brengsek. Nggak peduli.”Rehan tidak menjawab. Sudah lewat tengah malam. Ia bahkan tidak tahu kenapa kakinya membawanya ke sini, ke tempat yang seharusnya ia hindari. Tapi sejak perpisahannya dengan Nara—yang berakhir dengan pesan pendek dan panggilan tak terjawab selama tiga hari berturut-tur