Satu bulan kemudian, pernikahan antara aku dan Bang Rian dilangsungkan dengan meriah di kampungku. Ijab qobul berlangsung dengan lancar meskipun kuyakin Bang Rian sangat grogi. Terbukti dari tangannya yang dingin saat aku menyalami lelaki yang telah resmi jadi imamku itu. Orang paling banyak dikasih nasehat adalah Bang Rian. Dalam acara memberi petuah, semua yang hadir mengingatkan agar suamiku tak pernah menyakiti istri. Ya, sesayang itu semua orang padaku“Kamu ikutan memajukan yayasanku, ya, Lis. Jangan sampai yang sudah kita bangun dengan susah payah itu sampai tutup,” ujarku pada Lisda, sahabatku. “Beres, Bu Kepala. Makanya nanti sering pulang kampung untuk memantau perkembangan yayasan dan juga kebun sawit Cici.”“Aku bukan kepala yayasan lagi. Kak Sri yang akan mengurus semuanya. Dia itu sarjana dan lebih bijak untuk urusan itu semua. Kamu harus dukung kakak iparku, ya. Dan kebun, biarlah jadi urusan Bang Raka.”“Salut salut. Ya, beginilah yang namanya bos, ya. Tak usah kerj
“Maksudnya eskrim, Buya.”“Oalah, maaf Buya gak tahu. Tapi sedikit saja, ya, Nak.”Cici mengangguk senang. Bang Rian berjalan menuju kulkas yang berada di ruang tengah. Di sana isinya khusus jajanan saja, sedangkan lemari pendingin yang di dapur baru berisi bahan masakan.“Buya yang suapin, ya. Nanti kalau kamu dibiarkan makan sendiri, bisa habis semuanya.”“Iya, Buya.”Bang Rian menuntun putriku berdoa, lalu menyuapkan satu sendok es krim lembut dengan aneka rasa dalam satu wadah itu ke mulut Cici. Bocah itu langsung mengatakan kalau eskrimnya enak.“Bunda juga mau?”Aku mengangguk senang. Sebenarnya aku enggan makan es krim karena gigiku sensistif dan akan langsung ngilu jika memakan sesuatu yang cukup dingin. Tapi sepertinya tak apa kalau aku mencoba mencicipi sedikit. Gaya makan Cici kelihatan enak sekali.“Aaaah. Buka mulutnya. Aduuuh.”Bang Rian mengaduh kesakitan setelah jarinya berhasil kugigit. Salahnya sendiri, dia tak benar-benar niat mau memberiku es krim itu karena sendo
Adakah Cinta Buat ODHA? HIV (Human Immunodeficiency Virus) adalah virus yang menyerang sistem kekebalan tubuh sehingga daya tahan semakin melemah dan rentan diserang berbagai penyakit. HIV yang tidak cepat ditangani akan berkembang menjadi AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome) yang mana kondisi kini merupakan stadium akhir dari infeksi HIV dan tubuh sudah tidak mampu untuk melawan infeki yang ditimbulkan. Dan Delon adalah salah satu pasien HIV. * “Pa, kenapa hidup kita jadi begini, ya? Miskin dan aku penyakitan pula.” Aku duduk lemas di teras rumah, di samping Papa yang sedang belajar jalan. Setelah lumpuh mengambil kebebasannya bergerak, kini Papa mulai mencoba bangkit lagi. Di rumah ini, teman yang bisa diajak mengobrol hanya Papa, sedangkan Mama masih sering marah-marah. Mama belum bisa menerima kenyataan kalau kami sudah bangkrut dan anak kesayangannya ini adalah Orang dengan HIV/AIDS (ODHA). “Sebenarnya hidup yang kita rasakan sekarang adalah akibat dari perbuatan kita d
Hari ini aku ada janji akan bertemu Dina, janda yang punya satu anak lelaki. Wanita itu begitu manis meski tak begitu cantik. Dia perempuan yang sopan dan selalu menjaga jarak denganku jika sedang makan atau jalan di luar. Katanya gak enak jika dilihatin orang. Aku jadi merasa yakin kalau dia perempuan baik-baik yang menjaga maruahnya. Tidak mau terlampau mesra karena belum ada hubungan halal di antara kami.Andai dia nanti tetap takut berhubungan badan denganku tanpa pengaman setelah menikah, anak tentu tak akan jadi persoalan. Dia sudah punya anak sendiri dan aku bersedia menganggap anak itu seperti darah dagingku. Yang penting Dina setia dan sayang padaku. Menerima diriku dengan segala kekurangan dan juga kelamnya masa lalu.Aku memang sudah cerita padanya kalau pernah menikah dengan seorang perempuan cantik bernama Alina. Awalnya dia sempat cemburu kalau kami akan balikan lagi mengingat kalau aku sudah punya satu anak perempuan dari Alina. Namun, saat kukatakan kami tinggal beda k
“Gimana, Delon? Dia menerimamu, kan?” tanya Papa begitu melihatku pulang.Aku menundukkan kepala, lantas menggeleng lemah. Cukup lama tadi aku di kafe setelah ditinggalkan oleh Dina. Ada sedikit harapan kalau dia datang lagi dan mengatakan sudah berubah pikiran dan mau menerimaku apa adanya. Dia hanya bercanda mengatakan tidak mau jadi pendampingku. Itulah yang kuharapkan dan nyatanya hanya impian belaka. Wanita yang kusukai itu tidak balik lagi, tapi membawa pergi cincin yang kuberikan. Saat mau pulang dari kafe, aku ingin menge-chatnya dan berterima kasih telah jadi pelipur lara selama ini, tapi sayang sekali nomorku sudah diblokir. Dia benar-benar tak mau berkomunikasi lagi denganku.“Yang sabar, Delon. Kamu pasti bisa menemukan perempuan yang tulus.” Papa menepuk pundakku.“Kayaknya gak bakalan ada yang mau jadi istriku, Pa. Aku kapok. Dina juga baik dan pengertian, tapi untuk soal penyakit ini, dia gak mau kok. Siapa sih yang mau menerima lelaki yang punya penyakit menular dan ta
“Jangan kabur atau kulaporkan ke polisi!” ancamku, menahan pergelangan tangan perempuan yang sudah membuat kafeku riuh. “Kita buktikan dulu bagaimana duduk perkaranya, baru kamu boleh pulang,” lanjutku.Andika menampilkan rekaman CCTV yang jelas sekali kalau itu adalah kecurangan dari perempuan ini. Setelah semua makannya habis, barulah dia mengambil kecoa mati yang dibungkus tissu dari kantong jaketnya, lantas meletakan hewan berwarna coklat itu di atas piringnya yang sudah tandas.“Jadi jelas kan, teman-teman, kafe kami sangat menerapkan kebersihan yang tinggi. Bahan-bahan di dapur juga bisa dicek, semua berkualitas. Dipastikan dapur kami juga bersih, tanpa ada tikus maupun kecewa berkeliaran,” ujar Andika.“Huh, dasar tukang fitnah. Penjarakan saja dia, Pak!” seru salah satu pengunjung.“Iya penjarakan saja!” Yang lainnya serempak meneriakkan kalimat yang sama. Wanita yang tadi angkuh kini panik dengan wajah pucat pasi. Namun, aku tak tega melihatnya. Mungkin saja dia punya alasan
“Ngapain kamu ke sini, hah? Kenapa ngintilin aku sampai ke sini?”Wina turun dari rumahnya, menarik kerah bajuku dengan kasar. Ah, sejak tadi aku ingin berlari, tapi kaki tak bergerak sama sekali. Mungkin memang lebih baik tetap di sini agar dia tak mengira kalau aku ini pecundang. Aku tak ada niat jahat sama dia.“A—aku tak sengaja lewat sini dan melihatmu. Aku mengikuti karena penasaran saja. Mana tahu kamu itu komplotan penjahat.”Astaga, apa yang keluar dari mulutku? Kenapa aku malah terkesan menuduh dan mencurigai. Harusnya itu tak perlu kukatakan secara langsung.Wina membulatkan mata, mendorong bahuku dan hampir membuat diri ini terjerembab. Wanita ini kuat juga tenaganya, cukup pantas dikatakan preman.“Ini rumahmu?” tanyaku untuk mengalihkan pembicaraan. Keperhatikan sekeliling, rumah ini hampir bisa dikatakan tidak layak. Dan dari penampilannya, aku tak menyangka kalau dia mau merawat seorang lelaki tua. Entah itu orang lain atau pun orang tuanya. Aku pun belum tahu.“Iya, i
“Ada apa ini, Delon? Kok gebrak meja segala?”Andika menghampiri mejaku.“Gak ada kok.” Aku melanjutkan makan dengan santai.“Dia memang gak ada sopan santunnya. Apa perlu kupecat sekarang juga? Dia sudah berani tidak sopan padamu,” desis Andika. Dia mengepalkan tangan, menatap ke arah Wina yang kini sedang duduk di luar.Ah, memang aku merasa malu dengan reaksi gadis tadi. Namun, ini salahku juga. Aku yang datang ngedeketin dia karena penasaran dan memperkeruh suasana hatinya yang mungkin saja lagi galau. Syukurlah lagi tak ada pelanggan sehingga aku tak perlu kehilangan muka di depan mereka. Kalau sama pelayan, aku tak begitu peduli karena kami memang sudah lama saling kenal.“Sudahlah. Kamu gak usah pecat dia segala. Gak ada apa-apa kok,” tukasku.“Yakin gak ada apa-apa?”“Iya. Udah ah. Kamu jangan duduk di sini, nanti dia curiga kenapa kita akrab. Lebih baik pikirkan cara promosi agar kafe kita semakin rame. Jangan cuma siang saja,” titahku.“Beres. Aku udah punya beberapa rencana
Setelah mengantar Delima pulang, aku menyusul Mama ke hotel langganan setiap datang ke sini. Benar saja dugaanku, Mama sudah di hotel dan tidak pergi kemana-mana.“Mama mau pulang sekarang? Katanya mau nginap barang sehari dua hari,” tuturku. Kulihat Mama sudah mengemasi barang-barangnya.“Buat apa Mama di sini, kamu hanya bikin kesal saja. Punya satu anak laki-laki tapi tak berguna. Mama sudah tua, tapi kamu masih belum kepikiran untuk kasih menantu.”Aku tersenyum tipis dan menyentuh lengan Mama. Kutahu, itulah kegundahan Mama selama ini. Takut jika ajalnya duluan menjemput, sementara aku masih sendiri. Mama terkesan memaksa untuk kebahagiaan pribadi, tapi sebenarnya cemas dengan nasibku kelak di masa depan.“Aku bukan tak mau menikah, Ma. Namun, memang dasarnya belum ada yang mau.” Aku beralasan.“Mulai sekarang, jangan sok jual mahal lagi, Delon. Umurmu juga makin tua. Kamu itu dapat istri saja sudah syukur. Tak usah berharap dapat gadis yang cantik dan tanpa ada cela,” cetus Mama
Dua minggu kemudian, Mama memintaku untuk datang ke sebuah restoran yang berada di kota ini. Seperti ucapan Mama sebelumnya, dia ingin menjodohkanku dengan wanita pilihannya sendiri. Namun, aku heran kenapa Mama malah mengajak ketemuan di sini dan hanya datang sendirian tanpa ditemani Papa seperti biasanya? Padahal, kami beda kota. Apa Mama bawa calon menantunya sendiri ke sini? Atau memang orang sini? Entahlah. Mama kadang tak bisa ditebak. Papa sendiri yang jadi teman tidurnya selama ini tak bisa memahami pola pikir Mama.Ah, banyaknya pertanyaan bersarang dalam benakku tentang wanita yang memikat hati Mama. Daripada penasaran, lebih baik nanti saja kulihat siapa wanita itu. Aku memarkirkan kenderaan roda empatku di depan restoran dan langsung masuk. Dari kejauhan, kulihat Mama sedang mengobrol dengan seorang perempuan berjilbab panjang. Posisi wanita itu membelakangiku dan Mama menghadap ke arah pintu masuk. Begitu mata kami bertemu, Mama melambaikan tangan agar aku datang ke sana.
Malam harinya, kami merayakan ulang tahun Cici di restoran yang sudah kupesan sebelumnya. Hanya dihadiri kami saja tanpa ada tambahan siapa-siapa. Cici terlihat bahagia dan tak pernah lepas senyumannya ketika beberapa hadiah dia dapatkan.Seperti janjiku pada Rian, aku akan mengantar Cici pulang sebelum jam yang ditentukan. Walaupun aku adalah ayah kandungnya, tapi tetap harus menghormati peraturan yang dibuat oleh Alina dan suaminya. Biar bagaimana pun, aku tak banyak berkontribusi terhadap anak ini. Mereka lah yang merawat Cici dari kecil hingga sebesar ini.Aku membantu membawakan hadiah-hadiah untuk Cici dan meletakkannya di dekat pintu. Putriku terdengar berteriak memanggil bunda dan neneknya untuk menceritakan tentang hadiah-hadiah yang dia dapatkan.“Wah, kamu antar lebih cepat rupanya,” ujar Rian, menyambutku di teras rumahnya.“Iya, aku takutlah nanti gak diizinin ketemu sama putriku sendiri.” Aku terkekeh dan disambut tawa oleh Rian. “Aku langsung balik kalau begitu, ya, Ri
*Hari ini, Cici berulang tahun. Aku berniat merayakan hari kelahiran putriku bersama Papa dan Mama. Hari kelahiran yang pertama kali kurayakan karena selama ini kami tidak tinggal bersama. Aku ingin mengukir momen indah di memori anak gadisku tentang ayahnya ini. Jika kelak dia dewasa, dia tetap mengingatku sebagai sosok ayah yang baik. Ayah kandung yang pantas dibanggakan dan diceritakan pada teman-temannya.“Aku jemput Cici dulu, ya, Pa, Ma. Semoga saja mereka mengizinkanku membawa Cici.”“Kami ikut.” Papa dan Mama kompak menjawab.Aku menautkan alis dan melihat keseriusan di wajah keduanya. “Beneran mau ikut? Apa Papa dan Mama tak sungkan nantinya ketemu sama Bu Rahimah?” cecarku.“Jadi Bu Rahimah tinggal di sana juga?” tanya Papa.Aku mengangguk. “Semenjak Alina hamil besar dan kini sudah melahirkan anak keduanya, mantan mertuaku tinggal di sana, Pa. Mungkin mau memberikan perhatian lebih agar Alina tak merasa diabaikan oleh ibunya. Belajar dari pengalaman saat mau melahirkan Cic
Aku pulang ke kafe cukup terkejut dengan kedatangan Papa dan Mama, menunggu di bagian depan. Mungkin karena aku belum mengabari mereka sepulang dari rumah Elsa kemarin, makanya sampai menyusul ke sini. Aku menyalami keduanya dan langsung mengajak mereka masuk ke kafe yang hampir akan tutup jam segini.“Papa dan Mama kok bisa di sini? Gak ngasih kabar pula? Naik apa ke sini, Pa, Ma?” cecarku.Kami kini memang hanya punya satu kenderaan roda empat, yaitu yang sering kugunakan. Semenjak pernah merasakan lumpuh, meski sudah sembuh, Papa tidak kepengen lagi mengemudikan mobil. Jika sesekali ada urusan keluar, Papa lebih memilih naik ojek motor atau mobil. Sedangkan Mama, karena sudah lama tak pernah bawa mobil, kepercayaan diri dan keberaniannya telah hilang untuk berkendara di jalan umum. Pun aku tak mengizinkan Mama belajar lagi, takut kalau terjadi apa-apa.“Bagaimana kami mau ngasih kabar? Kamu saja tak pernah angkat telpon,” cetus Mama.Aku menggaruk-garuk kepala yang mendadak terasa
“Mas, kenapa melamun terus? Mau dibuatkan minum?” Delima mengagetkanku, membuyarkan lamunan.“Aku baik-baik saja. Gimana kerjanya? Bisa?”“Bisa, Mas. Di sini enak kok kerjanya. Teman-teman ramah dan pengunjungnya santun. Kadang kan di kafe-kafe banyak pelanggan genit yang suka godain cewek-cewek, kalau di sini tidak ada.”Aku tersenyum dan mengangguk. Keselamatan dan kenyamanan kerja para pegawai adalah tanggung jawabku. Kalau ada yang bersikap kurang ajar, mending aku kehilangan pelanggan daripada mengorbankan pelayan.“Hai cantik, cappucino-nya dua!”Dua orang laki-laki datang dan tersenyum genit ke arah Delima. Meskipun kami sedang mengobrol, sepertinya mereka langsung mengenali Delima adalah pelayan kafe ini karena memakai seragam khusus seperti pegawai yang lainnya.Baru saja Delima memuji kalau pelanggan kafeku sopan-sopan, sekarang sudah ada dua laki-laki yang kayaknya setengah mabuk dari cara duduknya dan berjalan tadi.“Sana siapkan biar aku yang antar sama mereka,” titahku p
“Yang sabar, ya, Mas. Suatu saat kamu akan dapat pengganti yang lebih baik. Mungkin Mbak Elsa bukan jodoh yang terbaik buat Mas Delon,” ujar Wina. Ucapannya kelihatan tulus. Mungkin senyumannya tadi bukan bermaksud bahagia di atas penderitaanku.“Iya, kalau gitu aku pulang dulu, ya. Kamu juga pasti butuh istirahat banyak.”“Kok cepat banget pulangnya? Padahal baru nyampe loh.”“Besok aku bisa datang lagi, yang penting sudah ketemu sama Reza. Gak enak juga dilihat tetangga kalau aku bertandang ke sini malam-malam,” tukasku.“Terima kasih kalau begitu karena sudah berkunjung. Semoga hatimu baik-baik saja, ya, Mas.”Aku mengangguk, menyentuh pipi bocah menggemaskan yang sudah tertidur, lalu pulang. tak langsung ke kafe yang merangkap tempat tinggalku. Untuk menghilangkan suntuk, aku pergi ke taman kota, duduk di bangku besi yang tersedia. Cuaca lagi bagus dan di langit sedang banyak bintang menghiasi.“Tolong! Tolong lepasin aku!”Suara teriakan wanita membuatku langsung mengedarkan pand
Adakah laki-laki paling malang di dunia ini selain aku? Tak bisakah pintu taubat mengubah nasibku? Ya Allah, aku tahu, diri ini adalah manusia bejat di masa lalu. Namun, aku sudah lama menjauhi maksiat. Apakah pendosa sepertiku tak berhak dapat jodoh di dunia ini lagi?Tak terasa, air mata menetes begitu saja. Mungkin benarlah kata orang bijak kalau kita tak pantas menggantungkan harapan pada manusia. Sepercaya apapun kita, tetap saja harus bersiap akan kecewa. Segala kemungkina buruk itu pasti ada dan kini aku mengalaminya.Elsa, wanita yang selama ini jadi idaman hatiku. Kecocokan kami hampir seratus persen. Tak ada keluhan berarti tentangnya dalam hatiku. Dia nyaris sempurna bagiku untuk dijadikan pendamping hidup. Namun, siapa yang tega menghancurkan mimpiku? Siapa yang mengirim pesan pada Elsa kalau aku punya penyakit HIV? Ini pasti ulah orang-orang terdekatku, atau para wanita yang pernah hadir dalam hidupku. Aku lumayan banyak dekat dengan wanita, lalu mereka memilih pergi kare
Setelah Wina lahiran, aku mengontrak rumah untuknya. Dia mandiri juga mengurus bayinya. Namun, meskipun begitu, aku tetap mencari orang untuk membantunya. Hari ini aku dan Elsa menjenguk Wina dan bayinya untuk memastikan semua baik-baik saja.“Aku ada kabar buruk sekaligus baik,” ujar Wina.“Apa, Win?” tanya Elsa.“Kabar buruknya, anakku sudah yatim. Namun, aku bahagia karena akhirnya terlepas dari lelaki itu tanpa harus ketakutan lagi dia kejar-kejar. Mantan suamiku sudah meninggal karena kecelakaan. Aku baru lihat berita online-nya.”Aku dan Elsa berpandangan. Jujur saja, aku juga tak tahu mau bilang selamat atau sedih. Aku prihatin karena anak yang baru lahir itu tak punya ayah lagi, tapi di lain sisi Wina akhirnya terbebas dari lelaki kejam itu.“Mungkin ini yang terbaik buat kalian, Win. Lagian, meskipun mantan suamimu masih hidup, Reza tak bisa menuntut apa-apa pada bapaknya. Kamu dan mantan suamimu hanya nikah siri dan tidak tercatat dalam dokumen negara. Kamu sebagai ibu harus