“Gimana, Delon? Dia menerimamu, kan?” tanya Papa begitu melihatku pulang.Aku menundukkan kepala, lantas menggeleng lemah. Cukup lama tadi aku di kafe setelah ditinggalkan oleh Dina. Ada sedikit harapan kalau dia datang lagi dan mengatakan sudah berubah pikiran dan mau menerimaku apa adanya. Dia hanya bercanda mengatakan tidak mau jadi pendampingku. Itulah yang kuharapkan dan nyatanya hanya impian belaka. Wanita yang kusukai itu tidak balik lagi, tapi membawa pergi cincin yang kuberikan. Saat mau pulang dari kafe, aku ingin menge-chatnya dan berterima kasih telah jadi pelipur lara selama ini, tapi sayang sekali nomorku sudah diblokir. Dia benar-benar tak mau berkomunikasi lagi denganku.“Yang sabar, Delon. Kamu pasti bisa menemukan perempuan yang tulus.” Papa menepuk pundakku.“Kayaknya gak bakalan ada yang mau jadi istriku, Pa. Aku kapok. Dina juga baik dan pengertian, tapi untuk soal penyakit ini, dia gak mau kok. Siapa sih yang mau menerima lelaki yang punya penyakit menular dan ta
“Jangan kabur atau kulaporkan ke polisi!” ancamku, menahan pergelangan tangan perempuan yang sudah membuat kafeku riuh. “Kita buktikan dulu bagaimana duduk perkaranya, baru kamu boleh pulang,” lanjutku.Andika menampilkan rekaman CCTV yang jelas sekali kalau itu adalah kecurangan dari perempuan ini. Setelah semua makannya habis, barulah dia mengambil kecoa mati yang dibungkus tissu dari kantong jaketnya, lantas meletakan hewan berwarna coklat itu di atas piringnya yang sudah tandas.“Jadi jelas kan, teman-teman, kafe kami sangat menerapkan kebersihan yang tinggi. Bahan-bahan di dapur juga bisa dicek, semua berkualitas. Dipastikan dapur kami juga bersih, tanpa ada tikus maupun kecewa berkeliaran,” ujar Andika.“Huh, dasar tukang fitnah. Penjarakan saja dia, Pak!” seru salah satu pengunjung.“Iya penjarakan saja!” Yang lainnya serempak meneriakkan kalimat yang sama. Wanita yang tadi angkuh kini panik dengan wajah pucat pasi. Namun, aku tak tega melihatnya. Mungkin saja dia punya alasan
“Ngapain kamu ke sini, hah? Kenapa ngintilin aku sampai ke sini?”Wina turun dari rumahnya, menarik kerah bajuku dengan kasar. Ah, sejak tadi aku ingin berlari, tapi kaki tak bergerak sama sekali. Mungkin memang lebih baik tetap di sini agar dia tak mengira kalau aku ini pecundang. Aku tak ada niat jahat sama dia.“A—aku tak sengaja lewat sini dan melihatmu. Aku mengikuti karena penasaran saja. Mana tahu kamu itu komplotan penjahat.”Astaga, apa yang keluar dari mulutku? Kenapa aku malah terkesan menuduh dan mencurigai. Harusnya itu tak perlu kukatakan secara langsung.Wina membulatkan mata, mendorong bahuku dan hampir membuat diri ini terjerembab. Wanita ini kuat juga tenaganya, cukup pantas dikatakan preman.“Ini rumahmu?” tanyaku untuk mengalihkan pembicaraan. Keperhatikan sekeliling, rumah ini hampir bisa dikatakan tidak layak. Dan dari penampilannya, aku tak menyangka kalau dia mau merawat seorang lelaki tua. Entah itu orang lain atau pun orang tuanya. Aku pun belum tahu.“Iya, i
“Ada apa ini, Delon? Kok gebrak meja segala?”Andika menghampiri mejaku.“Gak ada kok.” Aku melanjutkan makan dengan santai.“Dia memang gak ada sopan santunnya. Apa perlu kupecat sekarang juga? Dia sudah berani tidak sopan padamu,” desis Andika. Dia mengepalkan tangan, menatap ke arah Wina yang kini sedang duduk di luar.Ah, memang aku merasa malu dengan reaksi gadis tadi. Namun, ini salahku juga. Aku yang datang ngedeketin dia karena penasaran dan memperkeruh suasana hatinya yang mungkin saja lagi galau. Syukurlah lagi tak ada pelanggan sehingga aku tak perlu kehilangan muka di depan mereka. Kalau sama pelayan, aku tak begitu peduli karena kami memang sudah lama saling kenal.“Sudahlah. Kamu gak usah pecat dia segala. Gak ada apa-apa kok,” tukasku.“Yakin gak ada apa-apa?”“Iya. Udah ah. Kamu jangan duduk di sini, nanti dia curiga kenapa kita akrab. Lebih baik pikirkan cara promosi agar kafe kita semakin rame. Jangan cuma siang saja,” titahku.“Beres. Aku udah punya beberapa rencana
Sejak saat itu, aku mulai akrab dengan Wina. Aku suka mengobrol dengan gadis tomboy itu jika sedang istrirahat. Akhirnya aku baru tahu kalau dia asyik diajak ngobrol, ada saja bahan ceritanya. Bersamanya, aku sering tertawa karena dia humoris juga. Terkadang Andika mengingatkan kalau aku tidak terbawa perasaan pada gadis yang baru kukenal itu.“Tenang saja, Bro. Kami hanya teman,” balasku.“Sudahi sajalah penyamaranmu ini. Aku kasihan lihat kamu kerja jadi pelayan di kafe sendiri. Wina juga tak segan-segan meminta tolong sama kamu. Kalau dia tahu kamu itu owner kafe ini, pasti sikapnya lebih sopan.”Aku tertawa renyah. Sekarang aku mulai menikamti peran ini meskipun masih bisa sesuka hati pergi jika Papa atau Mama memintaku pulang. Jika sampai Wina tahu aku adalah bos kafe ini, bukan tak mungkin kalau gadis itu malah menjauh karena mengira kalau aku tidak jujur. Aku suka gadis yang apa adanya itu, sering membantunya tanpa harus dia tahu siapa aku sebenarnya.“Untuk hal satu ini, kamu
“Delon, akhir-akhir ini kamu terlihat ceria, Nak. Ada apa gerangan?”Papa tersenyum menatapku. Sepulang kerja, aku duduk di samping Papa. Kami sering saling curhat, tapi Papa paling sering mengamati perubahan sikapku. Papa begitu peka meksi aku berusaha bersikap biasa saja.“Gak ada, Pa. Hanya senang saja bisa kerja jadi pelayan,” kilahku.“Kamu ini aneh. Kalau untuk mengetahui karyawan yang jujur, rajin atau malas-alasan, wajar-wajar saja sih kamu menyamar jadi pelayan. Tapi kalau keterusan jadi pelayan, kok jadi aneh, ya? Harusnya pikrikan bagaimana bisnis kafemu berkembang, atau juga buka cabang baru. Kalau kamu semakin sukses, mungkin akan lebih mudah mendapatkan wanita yang cocok,” beber Papa.“Pa, tak semua wanita suka kekayaan. Masih ada kok perempuan yang lebih menghargai lelaki miskin yang berjuang keras,” sangkalku. Salah kalau Papa berpikir semua wanita matre dan jatuh cinta jika si lelaki kaya ra
“Kok malah bilang mau melamarku sih, Delon? Kasihan tuh pacar kamu, dia jadi mengira kalau kamu selingkuh sama aku. Sampai nangis gitu. Ayo sana kejar dia daripada makin salah paham.”Wina mencubit lenganku yang masih memandangi ke arah larinya Dina. Aku menatap mantanku itu sampai jauh hanya takut kalau dia mengabaikan putranya dan sampai tertinggal di tempat perbelanjaan ini. Gawat kalau sampai anak kecil kehilangan ibunya di tempat ramai seperti ini.Aku tersenyum dan menatap perempuan tomboy di hadapanku. “Kami tak ada hubungan lagi, Win. Dia itu mantanku, seorang janda anak satu. Dia sendiri yang memutuskanku dan katanya tak ingin bertemu lagi,” ujarku.Wina membulatkan mulut, lalu mengangguk. “Masih cantik dan modis, ya, meskipun sudah punya anak. Hmmm, kayaknya dia sudah menyesal deh dengan keputusannya hari itu. Apa salahnya kasih kesempatan kedua? Setiap orang berhak berubah, kan?” tanya gadis itu dengan ekspresi datar.“Tapi hatiku sudah terlanjur dicuri orang,” balasku, lal
Sudah tiga hari sejak menghilangnya Wina, aku tak menemukan kabar apapun. Tak ada yang bisa melacak keberadaannya sekarang. Aku seperti kembali ke titik nol, hidup tak bergairah.“Sudahlah, Bro. Jangan terlalu memikirkan karyawan baru itu. Yang penting tak ada barang-barang kita yang hilang dari kafe ini. I8tu saja sudah cukup. Lagian, aku sudah bilang kalau gadis itu bukan orang baik dan buktinya dia menghilang begitu saja tanpa ada bilang sama siapa-siapa. Pasti itu orang gak mau kerja berat. Dia takut capek dan mungkin kini sudah mendapat pekerjaan yang gampang dengan gaji besar. Kita bisa menemukan pengantinya yang lebih baik.”Andika menepuk-bepuk pundakku. Ya, setahu dia, aku uring-uringan karena berhentinya Wina sebagai karyawan saat kafe lagi ramai-ramainya. Padahal, aku sedang galau karena hatiku yang dicuri Wina dan rasanya tak enak hidup separuh hati. Senyuman gadis itu begitu natural dan selalu membayangi malam-malamku. Kuyakin dia adalah gadis tepat yang diciptakan untukk