Aku tersenyum menatap wanita yang tengah tertawa di ranjang. Kukecup penuh cinta keningnya, pipi chubby itu menyemburkan rona merah jambu. Tampak malu-malu saat dia mencubit mesra pinggangku.
Usai menggelitik perutnya, aku duduk bersandar ke kepala ranjang. Wanita yang masih bergeming di balik selimut, ikut menyenderkan kepalanya ke dadaku. Kuelus lengan putihnya yang mulus, lalu beralih menyeka peluh di dahinya.
Kami baru saja menyelesaikan sesi meneguk kenikmatan dunia yang dimulai sejak malam tadi dan berlanjut pagi ini. Wanitaku tersenyum, manis sekali.
Tangan lembutnya mengelus rahangku, berakhir dia menarik leherku. Kami kembali saling meramu cinta dalam nikmat duniawi. Setiap gerakan lembutnya sungguh memabukan.
Ah, mesranya pagi ini.
Suara dering ponsel tak lantas mengganggu aktivitas kami. Namun, saat dering yang ke lima, aku sudah tak kuasa menahan amarah. Dengan gerakan cepat aku menyambar HP di nakas setelah melepaskan pagutanku dan Tisa.
"Siapa ini?!" ketusku.
Tisa terkikik geli di sampingku. Benar-benar dia, malah senang melihatku sengsara. Padahal tubuh ini sudah panas, ingin segera didinginkan.
"Assalamu'alaikum, Mas."
Bagai tertampar aku mendengar suara lirih nan lembut dari seberang. Buru-buru aku menempelkan jari telunjuk di bibir, mengisyaratkan Tisa agar diam. Wanita itu memanyunkan bibirnya, menggemaskan sekali.
Dengan jantung berdebar, aku berusaha menahan diri pada Tisa. Tanganku dingin, karena mendadak istri menelepon di saat aku tengah berada di ranjang bersama seorang wanita.
"Iya, Dik. Ada apa?" Sebisa mungkin, aku melembutkan suara.
"Adel titip, Delia ya. Adel, mau pergi."
Alisku mengernyit mendengar sendu suaranya. Terdengar serak dan berat.
"Adik mau ke mana memangnya?" Susah payah aku menahan tangan Tisa yang mulai nakal. Menggerayangi rahang hingga dadaku.
"Adel sayang, Mas dan Delia. Tapi, Adel merindukan orang tua Adel, Mas."
Seketika jantungku berdentum keras mendengar suara Adel berubah ringan. Mataku membelalak, dengan gerakan cepat kuhentakkan tangan Tisa dari pahaku. Tubuh mendadak kaku saat meraih bokser di lantai, bergegas memakainya.
"Del, kamu kenapa? Kalau ada masalah, cerita ke mas ya."
Entah kenapa, perasaanku tidak enak saat mendengar isakan dari seberang. Lalu disambut suara ringan istri.
"Adel hanya mau pergi menemui papi sama mami, Mas. Sudah lama Adel memimpikan hari ini. Berjumpa dan tinggal bersama mereka."
Aku menggeleng kuat mendengarnya. Dadaku bergemuruh, jantung berdetak cepat. Ya Tuhan ... apa maksud wanita ini?!
Adel yatim piatu sejak usia sepuluh tahun. Bagaimana bisa dia mengatakan bahwa hari ini akan berjumpa dan tinggal bersama kedua orang tuanya?
"Adel, Sayang. Mas pulang sekarang ya, tolong tunggu, Mas. Jangan lakukan hal yang tidak-tidak, ya," tuturku lembut.
"Sebelum pulang, tolong, Mas jemput Delia di sekolah, ya. Tapi jangan bawa ke rumah dulu, bawa saja ke rumah nenek. Ah, Adel sudah dijemput, Mas."
Ya Tuhan ... apa maksud ucapan 'sudah dijemput' itu dan siapa yang menjemput Adel? Hendak ke mana dia?
"Tolong, tetap jadi ayah yang baik untuk Delia, ya. Katakan padanya, aku sangat mencintainya. Selamat tinggal, suamiku."
Suara dentuman keras menjadi akhir dari pembicaraan kami. Mataku membeliak menatap gawai. Tangan bergetar menyambar pakaian, lekas memakainya.
Dengan langkah terburu, aku keluar dari kamar hotel. Tidak peduli suara Tisa berteriak memanggil.
***
Jantung berpacu kala langkah mendekati rumah yang dipenuhi kerumunan warga. Beberapa mobil polisi berada di pekarangan rumah.
Aku berlari menuju kamar setelah menerobos warga yang menghalangi di pintu utama. Kaki terpaku melihat istri sudah tak bernyawa di langit kamar. Lehernya dililit seutas tali tambang.
Mata Adel terlihat membeliak dengan mulut terbuka. Gaun merah marun yang selalu menjadi favoritku ketika kami hendak bermesraan, karena Adel terlihat cantik saat memakainya dilumuri darah. Tangan wanita itu terdapat sayatan besar.
Aku terduduk di lantai saat seorang Polisi hendak memaksaku menjauh. Tanganku meremas pinnggiran pintu kamar. Leher terasa dicekik melihat tetesan-tesan darah melumuri lantai berkeramik putih.
"Bapak siapanya korban?"
Aku mengusap kasar wajah yang dibanjiri peluh dan air mata. Dada sesak bak dihimpit batu berkilo-kilo beratnya, melihat istri sudah tak bernyawa dalam keadaan mengenaskan.
"Sa—" Mendadak suaraku tercekat. Susah payah membasahi kerongkongan, menelan payah saliva.
"Saya suaminya, Pak," cicitku akhirnya.
"Anda—" Ucapan lelaki berseragam polisi itu, terpotong dengan suara pelan seorang gadis.
"Ayah?"
Dadaku bergemuruh mendengar suara ringan itu. Dengan cepat aku mengusap air mata, lalu menoleh ke belakang.
Gadis berseragam abu-abu, menatap bingung. Matanya menerawang setelah menatapku lama. Netra bulat itu, berhenti pada satu titik.
Wajah tanpa ekspresi Delia membuatku khawatir bukan main. Apa yang sedang dilihatnya sangat berpengaruh pada psikis gadis itu. Bergegas aku berlari memeluknya yang berdiri tak jauh dari pintu. Sebisa mungkin menutup matanya dengan dada bidangku.
"Delia yang sabar ya, Nak." Suaraku tercekat, bergetar lirih.
"Putri ayah," lirihku mengecup kepalanya berulang kali.
***
"Sayangnya, kami tidak menemukan HP korban di mana pun, Pak."
Aku tercenung mendengar ucapan Polisi yang membantu mengevakuasi jenazah Adel. Bagaimana bisa, HP istriku tidak ditemukan padahal jelas-jelas aku dan Adel sempat berteleponan sebelum kejadian naas itu.
Mengingat suara dentuman keras mengakhiri panggilan kami saat itu, membuatku yakin kalau HP-nya jatuh setelah Adel melompat dari kursi. Kalau memang kejadiannya seperti itu, tidak mungkin HP Adel jatuh di tempat yang jauh. Harusnya masih berada di kamar atau di dekat tempat dia gantung diri.
"Baik, Pak. Sampai di sini saja introgasi kami. Terima kasih atas kerja samanya." Aku menerima uluran tangan Polisi tersebut.
Tidak mungkin aku mengaku sempat berkomunikasi dengan Adel sebelum dia meninggal. Bisa panjang ini urusan. Aku sudah ingin cepat keluar dari kantor ini dan mengakhiri semua pertanyaan mereka yang membuat jantungku berdentum keras.
***
"Ya, udahlah, Mas Arya. Namanya juga udah ajal."
Mendengar kalimat ringan Tisa, aku menyentak kasar napas ini. Bisa-bisanya wanita itu berkata demikian di tengah duka yang melandaku.
Walau aku telah berselingkuh dari Adel, bukan berarti aku tidak merasa kehilangan atas kematiannya yang mendadak ini. Rasa bersalahku makin besar padanya. Bahkan di hari kematiannya pun, aku sedang bergelut bersama mantan kekasihku yang dua tahun belakangan kembali menjalin kasih denganku.
Saat ini aku duduk di ranjang kamar Tisa. Usai pemakaman, aku melarikan diri ke kontrakan wanita itu. Aku membutuhkan penenang.
Syok dan sedih masih membelenggu jiwa. Bahkan tubuhku masih bergetar. Keringan tidak kunjung usai mengaliri pelipis dan tangan. Bayangan jasad istri yang bergelantungan di langit kamar terngiang jelas tanpa bisa kuenyahkan.
Tisa membelai mesra wajah hingga dadaku dan itu berhasil membuat tubuh sedikit rileks. Senyuman manis Tisa yang memabukan serta harum mawar yang menguar dari tubuhnya, membuatku tenggelam dalam lautan api cinta kami.
Kami kembali menyelami nikmatnya surga dunia. Meneguk manisnya madu. Sejenak aku melupakan kejadian menyeramkan serta memilukan tadi.
Beruntung aku sempat menitipkan Delia di rumah neneknya sebelum pergi ke sini. Jadi tidak perlu cemas akan keadaannya. Nenek dan keluarga bundanya serta keluargaku pasti tengah menghiburnya saat ini. Sedangkan aku akan menghibur diri di sini, bersama secawan madu milik Tisa.
***
Usai mengurusi empat puluh malam meninggalnya istri, aku duduk di ruang tamu bersama Tisa. Semua tamu termasuk keluargaku dan Adel sudah pulang, jadi aku leluasa mengajak Tisa ke rumah ini. Wanita itu terus merengek memintaku memperkenalkannya dengan Delia dan mempercepat rencana pernikahan kami.
Dua minggu yang lalu, akhirnya aku dan Tisa membicarakan ujung dari hubungan kami ini. Padahal dulu, saat masih ada Adel, aku kebingungan menentukan akhir kisah status kami yang faktanya hanya sepasang kekasih gelap.
Sementara kasus kematian Adel, tidak ditindaklanjuti. Pengacaraku sudah mengurusnya hingga tuntas. Jadi, aku dapat bernapas lega.
Namun, di sisi lain, aku merasa bersalah pada Adel. Padahal, belum juga genap seratus hari dia pergi meninggalkan, tapi aku sudah merancang pernikahan kedua dengan Tisa.
"Ayah."
Aku menghentikan aksi Tisa yang hendak membuka kancing kemejaku saat melihat Delia berdiri di ambang pintu pembatas antara ruang tamu dan ruang keluarga.
"Ya, ampun! Kaget aku!" Tisa mengelus dadanya melihat Delia yang memandangi kami.
Penampilan Delia yang memakai gaun tidur berwarna putih selutut, serta rambut hitam legamnya yang terurai membuat Tisa terlonjak. Apalagi gadis itu muncul tiba-tiba di tengah remangnya lampu.
"Itu putriku," bisikku di telinga Tisa yang sedikit menggeser duduknya, memberi jarak.
"Delia, sini, Sayang." Aku memanggilnya.
Gadis itu mendekat, menatap kami bergantian. Gegas aku memperkenalkan keduanya. Dengan tenang, Delia menyambut uluran tangan Tisa usai menyebut namanya.
"Tisa. Calon mama baru kamu, Sayang." Tisa tersenyum.
Aku berdeham sebentar untuk menetralisir rasa gugup kala tidak mendapati ekspresi berarti di wajah Delia. Gadis itu tampak biasa saja mengetahui ada wanita lain yang akan menggantikan peran bundanya.
Apa itu artinya, Delia sudah menerima Tisa sebagai pengganti Adel?
"Delia Azani ya, namanya? Wah, namanya cantik loh, sama kaya orangnya." Wanita ber-dress hitam sepaha itu, mencubit gemas pipi Delia.
Aku tersenyum melihat interaksi keduanya. Bibir Delia mengembangkan senyum tipis.
"Bunda yang kasih nama itu," katanya, kemudian beralih menatapku.
"Ayah, Delia mau ke kamar."
Aku mengangguk, membiarkannya pergi. Sementara Tisa mengerucut. Dia mengadu, katanya tidak suka saat Delia menyebut-nyebut bundanya di hadapan Tisa.
"Wajarlah, Sayang. Adel, kan, bundanya. Kamu harus dewasa ya, menghadapi sikap Delia." Kuelus rambut panjang Tisa.
"Oh, ya. Delia itu, anaknya pendiam, juga pemalu. Kamu harus pengertian sama sikapnya," kataku.
"Sebentar lagi, pasti juga Delia akan nyaman sama aku. Gimana, kalau kita pertemukan saja Delia dengan kedua anakku, Mas?"
Aku mengangguk setuju. Tidak ada salahnya juga, bila Delia bertemu dengan Fian dan Renisa.
Tisa seorang janda yang dua tahun lalu kebetulan melamar kerja di perusahaanku. Dia memiliki putra berusia sembilan belas tahun, dua tahun di atas Delia. Sedangkan, putrinya Renisa berusia tiga tahun. Tisa berpisah dari suaminya karena mendapatkan kekerasan rumah tangga.
Mungkin memang, sudah jodoh kami.
Bersambung
Aku berdeham menetralisir kecanggungan yang terjadi di meja makan. Saat ini, aku, Delia serta Tisa dan kedua anaknya tengah makan malam di Restoran berbintang. Baik aku dan Tisa berharap anak-anak kami bisa saling menerima."Fian, bagaimana kuliahmu?" Aku memulai obrolan pada anak sulung Tisa.Pemuda yang baru sebulan lalu masuk perguruan tinggi itu, tersenyum."Ya, cukup melelahkan lah, Om."Mendengarnya membuatku terkekeh. Sedikit kuberikan penyemangat dan nasihat. Fian tampak antusias mendengarkan. Kini aku harus berlaku adil pada mereka bertiga. Karena sebentar lagi akan menyandang status ayah untuk Fian dan Renisa jadi mereka juga pioritasku."Delia mau ke toilet."Sesaat aku tertegun dengan gerakan tiba-tiba Delia yang berdiri dari duduk. Gadis bergaun marun itu, pergi meninggalkan meja sebelum aku sempat memberi izin."Saya juga permisi ya, Om, Ma.
"Mas, aku tidak suka loh, sama sikap Delia. Dia sering menatapku datar. Juga akhir-akhir ini, dia sering bersikap kasar padaku. Aku takut, apalagi ada Renisa. Bahaya untuk pertumbuhan Renisa, melihat Delia yang pemarah."Aku memijat pangkal hidung, rasanya pening. Sudah yang kesekian Tisa mengadu akan sikap Delia. Seminggu ini, anak itu memang terlihat berbeda. Entah ada apa dengannya.Namun, untuk sikap kasar seperti yang Tisa laporkan, jujur saja aku tidak bisa percaya. Ya, walau seminggu yang lalu, Delia berteriak padaku, tapi itu tidak cukup membuktikan bahwa Delia bersikap kasar pada Tisa."Kamu siap-siap. Hari ini, kita jalan-jalan ke bukit.""Mas, kita lagi bahas putri kamu loh, ini!" Tisa merenggut."Maksud kamu, Delia hanya putriku, begitu?" Alisku mengkerut tajam."Ih, bukan begitu. Delia juga putriku. Ah, sudahlah. Lagian, ngapain kamu ngajak jalan-jalan mendadak begini?"
Aku mengusap pelan surai hitam Delia. Gadis itu tiduran di sofa, kepala direbahkan ke pahaku. Sambil memakan keripik pisang, kami menonton TV. Menikmati hari libur.Tisa izin ke salon pagi tadi bersama teman-temannya. Sementara Renisa, dia titipkan ke orang tuanya. Fian sendiri, sibuk mengurusi tugas kuliah. Pemuda itu seperti tidak pernah absen dengan tugas kuliahnya.Usai menonton kartun kesukaan Delia, aku memindahkan channel, menonton berita."Pagi ini, ditemukan mayat seorang gadis dengan tubuh hancur. Diduga, malam tadi terjadi kecelakaan di jalan Sudirman, karena di TKP warga menemukan mobil yang sudah hancur dibeberapa bagian. Mobil tersebut, diduga milik korban."Di layar empat belas inc, terpampang sosok mayat berada di kantung jenazah. Beberapa warga terlihat membawa sesuatu di tangan dan membawanya ke kantung jenazah. Pun Polisi yang bertugas. Sayang sekali, baik jenazah dan benda yang tengah mereka angkut ke dalam kantung berwarna hitam, diberi b
Dengan jantung berdebar, aku menghentikan mobil ke sisi jalan. Tangan berkeringat mencengkeram stir mobil. Dahi pun digerayangi peluh. Susah payah aku menelan saliva, menyiapkan diri sebelum melihat sosok di samping yang kujemput di sekolah tadi."Saya mau pulang ...." Terdengar isakan dari kursi di sebelah.Bulu kudukku meremang, pegangan di stir aku eratkan. Tubuh menggigil mendengar suara tangis yang makin kencang itu. Mataku terpejam rapat, lalu menutup kedua telinga saat suara isakan berubah menjadi pekikan yang memekakkan."Saya mau pulang!""Ayah!"Jantungku berdentum keras saat suara tadi menghilang. Menyisakan aroma busuk dari kursi penumpang. Seperti bau bangkai hewan yang berhari-hari dibiarkan. Gegas aku keluar dari mobil, melewati Delia yang berdiri di dekat pintu mobil. Perut mual luar biasa gara-gara aroma menyengat itu."Ayah kenapa?" Delia memijat tengkukku ya
Mendengar suara bising, perlahan mata terbuka. Remangnya lampu tidur menyorot ruangan. Dengan mata masih berat luar biasa, aku melirik sekitar mencoba meraih saklar di dekat nakas. Jam beker masih menunjukkan pukul dua dini hari.Di sisi pintu kamar mandi, tak sengaja mata menangkap sosok bergaun marun berdiri menatap ke arahku. Aku mengucek mata sebentar, kembali mempertajam penglihatan. Seketika kesadaran kembali ke raga kala suara isakan dari depan sana terdengar lirih menggantikan suara gaduh yang terdengar dari luar kamar.Suara tangis yang amat pilu. Mendadak hati ikut tercubit, iba mendengar tangisnya.Tunggu, aku sedang bermimpi, 'kan? Sosok itu makin mendekat. Suara tangisnya makin parau dan menyesakkan dada."Delia ... Delia ...."Mata terpejam erat saat wajah yang tidak tersorot lampu menunduk hendak mendekat. Jantung berdentum, cucuran keringat di dahi dan sekujur tub
"Ucing, ucing!"Suara mungil dari ruang makan, membuat langkah tercapu mendekat. Tampak Renisa berjongkok di kolong meja makan sembari memanggil-manggil dengan suara cadel.Aku ikut berjongkok di samping gadis berambut sebahu. Lalu menoleh ke arahnya."Nisa cari apa?"Mata bulat mengerjap. "Ucing, Ayah! Lenica cali-cali, ucingnya ilang!" (Kucing, Ayah! Renisa cari-cari, kucingnya hilang!).Laporannya membuatku terkekeh geli. Jadi teringat saat Delia kecil dulu. Sama persisi seperti Renisa. Usai mengelus kepalanya penuh sayang, aku membawa gadis itu dalam gendongan lalu berjalan ke ruang tamu.Dari arah tangga, Delia turun masih dengan gaun tidur berwarna putih. Rambut hitam legam digerai indah. Bersamaan dengan itu, Fian keluar dari kamar yang berada di samping tangga. Karena kamar di lantai atas sudah terisi, kecuali kamar Delia dan aku takut membuat gadisku itu marah alhasil Fian
"Hem ... hem."Wanita dengan rambut tergerai indah hingga pinggul bersenandung riang. Dia duduk di kursi dengan membelakangi seraya menyisir rambut panjang Delia yang duduk di lantai. Gaun marun tipis melekat di tubuhnya yang ramping dan seputih salju.Bibirku melengkung melihat keduanya, apalagi Delia ikut bersenandung bersama sang Bunda. Aku mendekati mereka yang sepertinya belum menyadari keberadaanku. Pelan, aku menyentuh bahu kanan istri. Senandung tadi terhenti, menyisakan sunyi dalam kamar. Pergerakan Adel berhenti hingga sisir yang ia pegang masih berada di rambut Delia. Keduanya belum bereaksi, masih menatap ke arah jendela kaca besar yang berada di kamarku dan istri.Alis mengkerut saat keduanya tetap diam, tidak menoleh, tidak pula menyahut. Hingga kuberanikan memanggil istri dengan suara lembut seperti biasanya."Sayang ...."Adel tetap berdiam diri membuatku bingung sekaligus resa
"Sayang sekali, Pak, CCTV tidak sampai menjangkau area gerbang rumah."Napasku tersentak kasar melihat monitor yang sama sekali tidak menampakkan apa-apa selain kegelapan. Pria berjaket kulit akhirnya berdiri dari duduk setelah beberapa menit memeriksa hasil rekaman CCTV di seluruh area rumah."Untuk berjaga-jaga, saya akan menugaskan beberapa orang berjaga di rumah Anda, Pak."Aku mengangguk mengucapkan terima kasih. Setelah kedua detektif itu pergi dengan tangan kosong, aku terduduk di kursi. Memandang kosong CCTV yang hanya memperlihatkan area depan rumah yang gelap, hanya lampu taman yang menyorot remang. Setelah para detektif tidak menemukan bukti atau kejanggalan yang ditinggalkan sosok yang datang semalam, aku mengutus orang untuk memasang CCTV di depan gerbang.Belum selesai masalah dengan perubahan sikap Delia dan teror kulit kucing di jemuran, kini sudah muncul masalah baru. Bik
"Delia!" Jantungku berpacu dengan tangan terkepal. Gegas aku berlari ke balkon dan meraih tubuh kecil itu. Aku angkat tubuh itu yang terasa singan dan langsung meurunkannya kasar, hingga Delia mundur selangkah. Gila! Apa yang dipikirkan anak itu?! Berdiri di atas pagar balkon?! Demi Tuhan, aku baru saja kehilangan istriku karena gantung diri dan sekarang, putri semata wayang juga ingin melompat dari lantai dua rumah ini?! "Apa yang kamu lakukan, ha?!" Suaraku meninggi, menatapnya tajam. Delia justru balas menatap seolah dia tidak gentar dengan sentakan barusan. Aku menggusar rambut, melihat gadis itu cuman diam. Gigi gemertak menahan amarah di dada. "Kamu harus pindah kamar! Ayo!" Melihatnya diam saja, aku meraih pergelangan tangan Delia dan menyeretnya kasar dari balkon. Namun, teriakan Delia membuatku terlonjak menatapnya. "Aku
"Sayang sekali, Pak, CCTV tidak sampai menjangkau area gerbang rumah."Napasku tersentak kasar melihat monitor yang sama sekali tidak menampakkan apa-apa selain kegelapan. Pria berjaket kulit akhirnya berdiri dari duduk setelah beberapa menit memeriksa hasil rekaman CCTV di seluruh area rumah."Untuk berjaga-jaga, saya akan menugaskan beberapa orang berjaga di rumah Anda, Pak."Aku mengangguk mengucapkan terima kasih. Setelah kedua detektif itu pergi dengan tangan kosong, aku terduduk di kursi. Memandang kosong CCTV yang hanya memperlihatkan area depan rumah yang gelap, hanya lampu taman yang menyorot remang. Setelah para detektif tidak menemukan bukti atau kejanggalan yang ditinggalkan sosok yang datang semalam, aku mengutus orang untuk memasang CCTV di depan gerbang.Belum selesai masalah dengan perubahan sikap Delia dan teror kulit kucing di jemuran, kini sudah muncul masalah baru. Bik
"Hem ... hem."Wanita dengan rambut tergerai indah hingga pinggul bersenandung riang. Dia duduk di kursi dengan membelakangi seraya menyisir rambut panjang Delia yang duduk di lantai. Gaun marun tipis melekat di tubuhnya yang ramping dan seputih salju.Bibirku melengkung melihat keduanya, apalagi Delia ikut bersenandung bersama sang Bunda. Aku mendekati mereka yang sepertinya belum menyadari keberadaanku. Pelan, aku menyentuh bahu kanan istri. Senandung tadi terhenti, menyisakan sunyi dalam kamar. Pergerakan Adel berhenti hingga sisir yang ia pegang masih berada di rambut Delia. Keduanya belum bereaksi, masih menatap ke arah jendela kaca besar yang berada di kamarku dan istri.Alis mengkerut saat keduanya tetap diam, tidak menoleh, tidak pula menyahut. Hingga kuberanikan memanggil istri dengan suara lembut seperti biasanya."Sayang ...."Adel tetap berdiam diri membuatku bingung sekaligus resa
"Ucing, ucing!"Suara mungil dari ruang makan, membuat langkah tercapu mendekat. Tampak Renisa berjongkok di kolong meja makan sembari memanggil-manggil dengan suara cadel.Aku ikut berjongkok di samping gadis berambut sebahu. Lalu menoleh ke arahnya."Nisa cari apa?"Mata bulat mengerjap. "Ucing, Ayah! Lenica cali-cali, ucingnya ilang!" (Kucing, Ayah! Renisa cari-cari, kucingnya hilang!).Laporannya membuatku terkekeh geli. Jadi teringat saat Delia kecil dulu. Sama persisi seperti Renisa. Usai mengelus kepalanya penuh sayang, aku membawa gadis itu dalam gendongan lalu berjalan ke ruang tamu.Dari arah tangga, Delia turun masih dengan gaun tidur berwarna putih. Rambut hitam legam digerai indah. Bersamaan dengan itu, Fian keluar dari kamar yang berada di samping tangga. Karena kamar di lantai atas sudah terisi, kecuali kamar Delia dan aku takut membuat gadisku itu marah alhasil Fian
Mendengar suara bising, perlahan mata terbuka. Remangnya lampu tidur menyorot ruangan. Dengan mata masih berat luar biasa, aku melirik sekitar mencoba meraih saklar di dekat nakas. Jam beker masih menunjukkan pukul dua dini hari.Di sisi pintu kamar mandi, tak sengaja mata menangkap sosok bergaun marun berdiri menatap ke arahku. Aku mengucek mata sebentar, kembali mempertajam penglihatan. Seketika kesadaran kembali ke raga kala suara isakan dari depan sana terdengar lirih menggantikan suara gaduh yang terdengar dari luar kamar.Suara tangis yang amat pilu. Mendadak hati ikut tercubit, iba mendengar tangisnya.Tunggu, aku sedang bermimpi, 'kan? Sosok itu makin mendekat. Suara tangisnya makin parau dan menyesakkan dada."Delia ... Delia ...."Mata terpejam erat saat wajah yang tidak tersorot lampu menunduk hendak mendekat. Jantung berdentum, cucuran keringat di dahi dan sekujur tub
Dengan jantung berdebar, aku menghentikan mobil ke sisi jalan. Tangan berkeringat mencengkeram stir mobil. Dahi pun digerayangi peluh. Susah payah aku menelan saliva, menyiapkan diri sebelum melihat sosok di samping yang kujemput di sekolah tadi."Saya mau pulang ...." Terdengar isakan dari kursi di sebelah.Bulu kudukku meremang, pegangan di stir aku eratkan. Tubuh menggigil mendengar suara tangis yang makin kencang itu. Mataku terpejam rapat, lalu menutup kedua telinga saat suara isakan berubah menjadi pekikan yang memekakkan."Saya mau pulang!""Ayah!"Jantungku berdentum keras saat suara tadi menghilang. Menyisakan aroma busuk dari kursi penumpang. Seperti bau bangkai hewan yang berhari-hari dibiarkan. Gegas aku keluar dari mobil, melewati Delia yang berdiri di dekat pintu mobil. Perut mual luar biasa gara-gara aroma menyengat itu."Ayah kenapa?" Delia memijat tengkukku ya
Aku mengusap pelan surai hitam Delia. Gadis itu tiduran di sofa, kepala direbahkan ke pahaku. Sambil memakan keripik pisang, kami menonton TV. Menikmati hari libur.Tisa izin ke salon pagi tadi bersama teman-temannya. Sementara Renisa, dia titipkan ke orang tuanya. Fian sendiri, sibuk mengurusi tugas kuliah. Pemuda itu seperti tidak pernah absen dengan tugas kuliahnya.Usai menonton kartun kesukaan Delia, aku memindahkan channel, menonton berita."Pagi ini, ditemukan mayat seorang gadis dengan tubuh hancur. Diduga, malam tadi terjadi kecelakaan di jalan Sudirman, karena di TKP warga menemukan mobil yang sudah hancur dibeberapa bagian. Mobil tersebut, diduga milik korban."Di layar empat belas inc, terpampang sosok mayat berada di kantung jenazah. Beberapa warga terlihat membawa sesuatu di tangan dan membawanya ke kantung jenazah. Pun Polisi yang bertugas. Sayang sekali, baik jenazah dan benda yang tengah mereka angkut ke dalam kantung berwarna hitam, diberi b
"Mas, aku tidak suka loh, sama sikap Delia. Dia sering menatapku datar. Juga akhir-akhir ini, dia sering bersikap kasar padaku. Aku takut, apalagi ada Renisa. Bahaya untuk pertumbuhan Renisa, melihat Delia yang pemarah."Aku memijat pangkal hidung, rasanya pening. Sudah yang kesekian Tisa mengadu akan sikap Delia. Seminggu ini, anak itu memang terlihat berbeda. Entah ada apa dengannya.Namun, untuk sikap kasar seperti yang Tisa laporkan, jujur saja aku tidak bisa percaya. Ya, walau seminggu yang lalu, Delia berteriak padaku, tapi itu tidak cukup membuktikan bahwa Delia bersikap kasar pada Tisa."Kamu siap-siap. Hari ini, kita jalan-jalan ke bukit.""Mas, kita lagi bahas putri kamu loh, ini!" Tisa merenggut."Maksud kamu, Delia hanya putriku, begitu?" Alisku mengkerut tajam."Ih, bukan begitu. Delia juga putriku. Ah, sudahlah. Lagian, ngapain kamu ngajak jalan-jalan mendadak begini?"
Aku berdeham menetralisir kecanggungan yang terjadi di meja makan. Saat ini, aku, Delia serta Tisa dan kedua anaknya tengah makan malam di Restoran berbintang. Baik aku dan Tisa berharap anak-anak kami bisa saling menerima."Fian, bagaimana kuliahmu?" Aku memulai obrolan pada anak sulung Tisa.Pemuda yang baru sebulan lalu masuk perguruan tinggi itu, tersenyum."Ya, cukup melelahkan lah, Om."Mendengarnya membuatku terkekeh. Sedikit kuberikan penyemangat dan nasihat. Fian tampak antusias mendengarkan. Kini aku harus berlaku adil pada mereka bertiga. Karena sebentar lagi akan menyandang status ayah untuk Fian dan Renisa jadi mereka juga pioritasku."Delia mau ke toilet."Sesaat aku tertegun dengan gerakan tiba-tiba Delia yang berdiri dari duduk. Gadis bergaun marun itu, pergi meninggalkan meja sebelum aku sempat memberi izin."Saya juga permisi ya, Om, Ma.