Mendengar suara bising, perlahan mata terbuka. Remangnya lampu tidur menyorot ruangan. Dengan mata masih berat luar biasa, aku melirik sekitar mencoba meraih saklar di dekat nakas. Jam beker masih menunjukkan pukul dua dini hari.
Di sisi pintu kamar mandi, tak sengaja mata menangkap sosok bergaun marun berdiri menatap ke arahku. Aku mengucek mata sebentar, kembali mempertajam penglihatan. Seketika kesadaran kembali ke raga kala suara isakan dari depan sana terdengar lirih menggantikan suara gaduh yang terdengar dari luar kamar.
Suara tangis yang amat pilu. Mendadak hati ikut tercubit, iba mendengar tangisnya.
Tunggu, aku sedang bermimpi, 'kan? Sosok itu makin mendekat. Suara tangisnya makin parau dan menyesakkan dada.
"Delia ... Delia ...."
Mata terpejam erat saat wajah yang tidak tersorot lampu menunduk hendak mendekat. Jantung berdentum, cucuran keringat di dahi dan sekujur tubuh membuatku merasa seperti terendam di air.
Tuhan ... untuk kali ini aku memohon. Enyahkan sosok sialan itu dari hadapanku!
Baru kali ini aku menyesal tidak bersungguh-sungguh belajar agama. Sekarang, saat dibutuhkan, tak ada satu surah pun terlintas di kepala.
"Mas ...."
Aku menggeleng kuat, tak ingin membuka mata. Saat sentuhan lembut menjamah lengan, aku menepis kasar tangan itu. Kulit dingin yang terasa amat halus.
"Sakit, Mas!" Mendengar ringisan Tisa, perlahan aku membuka mata.
Napas lega kuembuskan melihat istri yang duduk di samping. Aku ikut duduk lalu memeluknya erat.
"Maaf. Mas, mimpi buruk." Semoga saja, itu benar mimpi.
****
Setelah mengetuk pintu beberapa kali, terdengar suara Delia dari dalam mempersilakan. Tampak gadis bergaun putih berbaring sembari bermain rubik.
"Ayah membatalkan gugatan pada anak-anak yang bully Delia?"
Belum juga duduk di sisi ranjang, dia sudah bertanya. Aku mengangguk, mengelus kepalanya lembut.
"Kenapa?"
Delia menghentikan aktivitasnya, fokus melihatku. Gadis dengan surai hitam legam, menatap datar.
"Memangnya, Delia tidak mendengar kabar anak-anak itu, ya?"
"Tahu."
Alisku mengkerut tipis melihat wajahnya biasa saja saat berujar.
"Olehnya, ayah cabut tuntutan itu," kataku menjelaskan.
"Tapi mereka bersalah!" tegasnya.
"Nak, mereka sudah mendapatkan ganjaran tanpa perlu kita bersusah-susah. Jadi, maafkan, ya." Aku mengelus kepala Delia, tapi ditepisnya dengan kasar. Gadis itu bangkit, aku pun melakukan hal yang sama. Gegas mencekal lengannya, membuat Delia membalikan badan.
Tanpa mendongak, matanya menatapku tajam yang berdiri menjulang di depan tubuh ringkihnya. Pupil matanya menajam.
"Mereka bersalah! Harus dihukum!" katanya pelan, tetapi tegas.
Aku menghela napas kasar mendengarnya. Pusing kepalaku menghadapi sikap keras anak ini.
"Delia, kenapa kamu jadi keras kepala begini?"
"Pergi," katanya pelan, tapi terdengar tegas.
Mendadak darahku mendidih mendapati sikap Delia yang keras dan tidak sopan begini. Dengan tangan terkepal kuat, aku meninggalkannya, lantas membanting pintu kamar Delia untuk melampiaskan amarah.
***
Tawa Renisa menggema di ruang tamu. Gadis kecil berkuncir tampak senang bermain dengan kucing gendut berbulu kuning. Diusap-usapnya bulu hewan yang berada di pangkuan.
Dari bawah, aku menangkap sosok Fian menuruni tangga. Pakaian pemuda itu sudah rapi dengan ransel di punggung.
"Hai, Nisa." Dielusnya kepala Renisa yang sedang duduk di karpet berbulu. Kemudian duduk di sofa yang berhadapan denganku.
"Fian mau keluar dulu, Yah. Ada tugas kuliah, mau dikerjakan bersama teman," lapornya seraya mengambil apel di keranjang buah yang berada di meja.
"Sebentar lagi magrib, hati-hati kamu bawa motornya," peringat Tisa yang duduk si sampingku.
Fian tersenyum lalu mengangguk. Tisa kembali merebahkan kepalanya di bahuku. Hari ini, wanitaku demam. Olehnya aku pulang cepat dari kantor. Biasanya jam delapan atau sembilan malam baru pulang, jika pekerjaan menumpuk, bisa sampai larut.
"Kenapa masih di sini? Tidak pergi?" tanya Tisa melihat Fian masih betah duduk di sofa mengunyah apel.
"Lagi menunggu seseorang."
Alisku mengkerut mendengar ucapan pemuda berjaket hitam itu. Netra elangnya beralih pada tangga, tersenyum penuh arti. Aku mengikuti arah pandang pemuda itu.
Saat melihat Delia turun, dada macam diremas rasanya. Kenapa Fian tersenyum menatap putriku?!
"Sudah. Fian berangkat," katanya seraya berdiri. Selesai menyalamiku dan Tisa, dia berlalu begitu saja.
Astaga anak satu itu. Benar-benar sulit ditebak!
Sebenarnya, dia sungguh menyimpan hati pada Delia atau bagaimana?
"Mau ke mana, Sayang?" tanyaku pada Delia yang hendak berlalu.
Dia melirik sebentar. "Dapur."
Aku menghela napas dalam. Saat Delia kembali dengan segelas jus mangga, aku memperhatikan gadis itu. Tatapannya terus mengarah pada Renisa yang sedang asik bermain bersama kucing.
"Buang kucingnya, Nisa," katanya tiba-tiba.
Tisa yang sedang memelukku dari samping, mengangkat kepala. "Jangan begitulah, Del. Biarkan adikmu main. Bukan berarti karena tidak suka, maka Renisa pun tidak boleh memiliki kucing itu."
Tatapan Delia datar memandang Tisa. Terasa remasan di lenganku mengencang. Pasti Tisa tidak nyaman dengan tatapan Delia.
Tanpa kata, gadis bergaun putih melangkah kembali ke lantai atas. Jus mangga yang masih setengah gelas, ditinggalkan begitu saja di meja.
"Tenang ya. Maklumi saja. Delia memang begitu." Aku mengelus lengan Tisa lembut, berharap dia tidak risi dengan kelakuan putriku.
***
Usai makan malam, aku beranjak ke kamar Delia. Hanya untuk memastikan keadaannya. Entah mengapa, aku merasa Delia mulai menjauh dari jangkauanku. Mungkin, karena akhir-akhir ini aku terlalu sibuk dengan pekerjaan hingga tidak memperhatikannya.
"Putri ayah sedang apa, heum?"
Delia yang sedang duduk di ranjang, tampak menatap langit-langit kamar. Kedua tangan dia tumpukan ke sisi tubuh. Dia melirik sebentar, masih tanpa senyuman.
"Ayah pergi. Delia tidak suka ayah ada di sini."
Terkesiap aku mendengar ucapannya. Apa putriku ini sedang marah? Namun, karena hal apa?
"Baiklah, ayah buat salah. Tapi, ayah tidak tahu letak salah ayah di mana. Mau, Delia beritahu pada ayah?"
Aku duduk di sampingnya, mengusap pelan rambut panjang Delia. Lagi-lagi dia hanya melirikku sebentar sebelum kembali mendongak menatap langit-langit.
Saliva tertelan kasar saat mengingat kejadian beberapa bulan silam. Di mana mayat Adel bergelantungan di langit-langit kamar ini.
Hawa dingin mendadak memenuhi ruangan. Angin berembus menerpa kain horden. Gegas aku menutup jendela kamar Delia yang masih terbuka. Lalu kembali duduk di sampingnya yang masih setia menatap langit kamar.
"Kalau ayah ada salah, ayah minta maaf sama Delia."
Dia masih diam. Makin resah saja hatiku. Berulang kali aku mencoba berbicara dengannya, tapi hasilnya nihil.
"Delia punya masalah di sekolah, heum? Ayo, sini, cerita ke ayah."
Mungkin dengan mengungkit hal lain, Delia mau buka suara. Gadis itu perlahan menatapku. Lalu menggeleng pelan. Baiklah, aku menyerah membujuknya bicara.
Aku bangkit, hendak meninggalkannya. Namun, mendadak ada sesuatu yang menarik kaki membuatku terjungkal ke depan. Sekuat tenaga menahan diri agar tidak mengumpat di depan Delia.
Saat sedang kesusahan mencoba duduk seraya mengusap lengan yang terasa perih, sesuatu berjatuhan dari atas. Terasa dingin dan cair mengenai kulit dahi dan tengkuk. Bau anyir menusuk indera penciuman. Mataku membeliak melihat darah menetes di kain celana. Perlahan mendongak memeriksa dari mana tetesan cairan merah kental itu.
"Ya Tuhan—" Mataku terpejam rapat melihat di atas sana, ada sesosok wanita bergaun marun bergelantungan di langit kamar.
Darah segar mengalir dari luka di lengan yang menganga. Terasa cairan kental berbau anyir membanjiri kepala. Tubuhku menggigil hebat merasakan cairan itu membasuh tubuh.
Tuhan ... tolonglah aku.
"Ayah." Sentuhan di bahu membuatku tersentak. Mendongak mendapati Delia menatap tanpa ekspresi.
Gegas aku meraba kepala dan sekujur tubuh. Tidak ada apa pun. Hanya keringat yang membanjiri pelipis. Ya Tuhan apa tadi itu?!
Dengan jantung berdentum hebat, aku bangkit. Mengembuskan napas dalam secara berulang. Delia masih berdiri di hadapan. Aku mengusap kasar wajah sebentar.
"Ayah mau keluar dulu, Sayang." Terbata aku pamit pada Delia.
Gadis bergaun putih mengangguk dengan mata memandang polos. Namun, aku mengurungkan niat keluar dari kamar, saat tak sengaja melihat pergelangan putih Delia terdapat luka cakaran.
"Siapa yang lakukan ini?"
Delia menatapku dalam. "Kalau Delia kasih tahu apa Ayah akan menghukum pelakunya?"
Aku tertegun mendengarnya. Apa Delia masih dendam dengan keputusanku mencabut gugatan pada anak-anak yang mem-bully-nya?
"Katakan. Ayah akan hukum orangnya!" kataku cepat.
Wajah gadis itu mendekat, dia sedikit menjinjit. Dengan ragu, aku membungkuk menyamai tinggi badannya yang sebatas dadaku.
"Kucing Renisa," gumam Delia seperti berbisik tepat di telingaku.
Setelah menjauh, Delia menatapku yang bergeming. Kemudian, tanpa berkata apa pun lagi, dia kembali duduk di ranjang memainkan rubik. Membiarkanku yang termangu.
Harus kuapakan hewan tak berdaya seperti itu?
Bersambung
"Ucing, ucing!"Suara mungil dari ruang makan, membuat langkah tercapu mendekat. Tampak Renisa berjongkok di kolong meja makan sembari memanggil-manggil dengan suara cadel.Aku ikut berjongkok di samping gadis berambut sebahu. Lalu menoleh ke arahnya."Nisa cari apa?"Mata bulat mengerjap. "Ucing, Ayah! Lenica cali-cali, ucingnya ilang!" (Kucing, Ayah! Renisa cari-cari, kucingnya hilang!).Laporannya membuatku terkekeh geli. Jadi teringat saat Delia kecil dulu. Sama persisi seperti Renisa. Usai mengelus kepalanya penuh sayang, aku membawa gadis itu dalam gendongan lalu berjalan ke ruang tamu.Dari arah tangga, Delia turun masih dengan gaun tidur berwarna putih. Rambut hitam legam digerai indah. Bersamaan dengan itu, Fian keluar dari kamar yang berada di samping tangga. Karena kamar di lantai atas sudah terisi, kecuali kamar Delia dan aku takut membuat gadisku itu marah alhasil Fian
"Hem ... hem."Wanita dengan rambut tergerai indah hingga pinggul bersenandung riang. Dia duduk di kursi dengan membelakangi seraya menyisir rambut panjang Delia yang duduk di lantai. Gaun marun tipis melekat di tubuhnya yang ramping dan seputih salju.Bibirku melengkung melihat keduanya, apalagi Delia ikut bersenandung bersama sang Bunda. Aku mendekati mereka yang sepertinya belum menyadari keberadaanku. Pelan, aku menyentuh bahu kanan istri. Senandung tadi terhenti, menyisakan sunyi dalam kamar. Pergerakan Adel berhenti hingga sisir yang ia pegang masih berada di rambut Delia. Keduanya belum bereaksi, masih menatap ke arah jendela kaca besar yang berada di kamarku dan istri.Alis mengkerut saat keduanya tetap diam, tidak menoleh, tidak pula menyahut. Hingga kuberanikan memanggil istri dengan suara lembut seperti biasanya."Sayang ...."Adel tetap berdiam diri membuatku bingung sekaligus resa
"Sayang sekali, Pak, CCTV tidak sampai menjangkau area gerbang rumah."Napasku tersentak kasar melihat monitor yang sama sekali tidak menampakkan apa-apa selain kegelapan. Pria berjaket kulit akhirnya berdiri dari duduk setelah beberapa menit memeriksa hasil rekaman CCTV di seluruh area rumah."Untuk berjaga-jaga, saya akan menugaskan beberapa orang berjaga di rumah Anda, Pak."Aku mengangguk mengucapkan terima kasih. Setelah kedua detektif itu pergi dengan tangan kosong, aku terduduk di kursi. Memandang kosong CCTV yang hanya memperlihatkan area depan rumah yang gelap, hanya lampu taman yang menyorot remang. Setelah para detektif tidak menemukan bukti atau kejanggalan yang ditinggalkan sosok yang datang semalam, aku mengutus orang untuk memasang CCTV di depan gerbang.Belum selesai masalah dengan perubahan sikap Delia dan teror kulit kucing di jemuran, kini sudah muncul masalah baru. Bik
"Delia!" Jantungku berpacu dengan tangan terkepal. Gegas aku berlari ke balkon dan meraih tubuh kecil itu. Aku angkat tubuh itu yang terasa singan dan langsung meurunkannya kasar, hingga Delia mundur selangkah. Gila! Apa yang dipikirkan anak itu?! Berdiri di atas pagar balkon?! Demi Tuhan, aku baru saja kehilangan istriku karena gantung diri dan sekarang, putri semata wayang juga ingin melompat dari lantai dua rumah ini?! "Apa yang kamu lakukan, ha?!" Suaraku meninggi, menatapnya tajam. Delia justru balas menatap seolah dia tidak gentar dengan sentakan barusan. Aku menggusar rambut, melihat gadis itu cuman diam. Gigi gemertak menahan amarah di dada. "Kamu harus pindah kamar! Ayo!" Melihatnya diam saja, aku meraih pergelangan tangan Delia dan menyeretnya kasar dari balkon. Namun, teriakan Delia membuatku terlonjak menatapnya. "Aku
Aku tersenyum menatap wanita yang tengah tertawa di ranjang. Kukecup penuh cinta keningnya, pipi chubby itu menyemburkan rona merah jambu. Tampak malu-malu saat dia mencubit mesra pinggangku.Usai menggelitik perutnya, aku duduk bersandar ke kepala ranjang. Wanita yang masih bergeming di balik selimut, ikut menyenderkan kepalanya ke dadaku. Kuelus lengan putihnya yang mulus, lalu beralih menyeka peluh di dahinya.Kami baru saja menyelesaikan sesi meneguk kenikmatan dunia yang dimulai sejak malam tadi dan berlanjut pagi ini. Wanitaku tersenyum, manis sekali.Tangan lembutnya mengelus rahangku, berakhir dia menarik leherku. Kami kembali saling meramu cinta dalam nikmat duniawi. Setiap gerakan lembutnya sungguh memabukan.Ah, mesranya pagi ini.Suara dering ponsel tak lantas mengganggu aktivitas kami. Namun, saat dering yang ke lima, aku sudah tak kuasa menahan amarah. Dengan gerakan cepat aku menyambar HP di nakas setelah melepaskan pagutanku dan Ti
Aku berdeham menetralisir kecanggungan yang terjadi di meja makan. Saat ini, aku, Delia serta Tisa dan kedua anaknya tengah makan malam di Restoran berbintang. Baik aku dan Tisa berharap anak-anak kami bisa saling menerima."Fian, bagaimana kuliahmu?" Aku memulai obrolan pada anak sulung Tisa.Pemuda yang baru sebulan lalu masuk perguruan tinggi itu, tersenyum."Ya, cukup melelahkan lah, Om."Mendengarnya membuatku terkekeh. Sedikit kuberikan penyemangat dan nasihat. Fian tampak antusias mendengarkan. Kini aku harus berlaku adil pada mereka bertiga. Karena sebentar lagi akan menyandang status ayah untuk Fian dan Renisa jadi mereka juga pioritasku."Delia mau ke toilet."Sesaat aku tertegun dengan gerakan tiba-tiba Delia yang berdiri dari duduk. Gadis bergaun marun itu, pergi meninggalkan meja sebelum aku sempat memberi izin."Saya juga permisi ya, Om, Ma.
"Mas, aku tidak suka loh, sama sikap Delia. Dia sering menatapku datar. Juga akhir-akhir ini, dia sering bersikap kasar padaku. Aku takut, apalagi ada Renisa. Bahaya untuk pertumbuhan Renisa, melihat Delia yang pemarah."Aku memijat pangkal hidung, rasanya pening. Sudah yang kesekian Tisa mengadu akan sikap Delia. Seminggu ini, anak itu memang terlihat berbeda. Entah ada apa dengannya.Namun, untuk sikap kasar seperti yang Tisa laporkan, jujur saja aku tidak bisa percaya. Ya, walau seminggu yang lalu, Delia berteriak padaku, tapi itu tidak cukup membuktikan bahwa Delia bersikap kasar pada Tisa."Kamu siap-siap. Hari ini, kita jalan-jalan ke bukit.""Mas, kita lagi bahas putri kamu loh, ini!" Tisa merenggut."Maksud kamu, Delia hanya putriku, begitu?" Alisku mengkerut tajam."Ih, bukan begitu. Delia juga putriku. Ah, sudahlah. Lagian, ngapain kamu ngajak jalan-jalan mendadak begini?"
Aku mengusap pelan surai hitam Delia. Gadis itu tiduran di sofa, kepala direbahkan ke pahaku. Sambil memakan keripik pisang, kami menonton TV. Menikmati hari libur.Tisa izin ke salon pagi tadi bersama teman-temannya. Sementara Renisa, dia titipkan ke orang tuanya. Fian sendiri, sibuk mengurusi tugas kuliah. Pemuda itu seperti tidak pernah absen dengan tugas kuliahnya.Usai menonton kartun kesukaan Delia, aku memindahkan channel, menonton berita."Pagi ini, ditemukan mayat seorang gadis dengan tubuh hancur. Diduga, malam tadi terjadi kecelakaan di jalan Sudirman, karena di TKP warga menemukan mobil yang sudah hancur dibeberapa bagian. Mobil tersebut, diduga milik korban."Di layar empat belas inc, terpampang sosok mayat berada di kantung jenazah. Beberapa warga terlihat membawa sesuatu di tangan dan membawanya ke kantung jenazah. Pun Polisi yang bertugas. Sayang sekali, baik jenazah dan benda yang tengah mereka angkut ke dalam kantung berwarna hitam, diberi b
"Delia!" Jantungku berpacu dengan tangan terkepal. Gegas aku berlari ke balkon dan meraih tubuh kecil itu. Aku angkat tubuh itu yang terasa singan dan langsung meurunkannya kasar, hingga Delia mundur selangkah. Gila! Apa yang dipikirkan anak itu?! Berdiri di atas pagar balkon?! Demi Tuhan, aku baru saja kehilangan istriku karena gantung diri dan sekarang, putri semata wayang juga ingin melompat dari lantai dua rumah ini?! "Apa yang kamu lakukan, ha?!" Suaraku meninggi, menatapnya tajam. Delia justru balas menatap seolah dia tidak gentar dengan sentakan barusan. Aku menggusar rambut, melihat gadis itu cuman diam. Gigi gemertak menahan amarah di dada. "Kamu harus pindah kamar! Ayo!" Melihatnya diam saja, aku meraih pergelangan tangan Delia dan menyeretnya kasar dari balkon. Namun, teriakan Delia membuatku terlonjak menatapnya. "Aku
"Sayang sekali, Pak, CCTV tidak sampai menjangkau area gerbang rumah."Napasku tersentak kasar melihat monitor yang sama sekali tidak menampakkan apa-apa selain kegelapan. Pria berjaket kulit akhirnya berdiri dari duduk setelah beberapa menit memeriksa hasil rekaman CCTV di seluruh area rumah."Untuk berjaga-jaga, saya akan menugaskan beberapa orang berjaga di rumah Anda, Pak."Aku mengangguk mengucapkan terima kasih. Setelah kedua detektif itu pergi dengan tangan kosong, aku terduduk di kursi. Memandang kosong CCTV yang hanya memperlihatkan area depan rumah yang gelap, hanya lampu taman yang menyorot remang. Setelah para detektif tidak menemukan bukti atau kejanggalan yang ditinggalkan sosok yang datang semalam, aku mengutus orang untuk memasang CCTV di depan gerbang.Belum selesai masalah dengan perubahan sikap Delia dan teror kulit kucing di jemuran, kini sudah muncul masalah baru. Bik
"Hem ... hem."Wanita dengan rambut tergerai indah hingga pinggul bersenandung riang. Dia duduk di kursi dengan membelakangi seraya menyisir rambut panjang Delia yang duduk di lantai. Gaun marun tipis melekat di tubuhnya yang ramping dan seputih salju.Bibirku melengkung melihat keduanya, apalagi Delia ikut bersenandung bersama sang Bunda. Aku mendekati mereka yang sepertinya belum menyadari keberadaanku. Pelan, aku menyentuh bahu kanan istri. Senandung tadi terhenti, menyisakan sunyi dalam kamar. Pergerakan Adel berhenti hingga sisir yang ia pegang masih berada di rambut Delia. Keduanya belum bereaksi, masih menatap ke arah jendela kaca besar yang berada di kamarku dan istri.Alis mengkerut saat keduanya tetap diam, tidak menoleh, tidak pula menyahut. Hingga kuberanikan memanggil istri dengan suara lembut seperti biasanya."Sayang ...."Adel tetap berdiam diri membuatku bingung sekaligus resa
"Ucing, ucing!"Suara mungil dari ruang makan, membuat langkah tercapu mendekat. Tampak Renisa berjongkok di kolong meja makan sembari memanggil-manggil dengan suara cadel.Aku ikut berjongkok di samping gadis berambut sebahu. Lalu menoleh ke arahnya."Nisa cari apa?"Mata bulat mengerjap. "Ucing, Ayah! Lenica cali-cali, ucingnya ilang!" (Kucing, Ayah! Renisa cari-cari, kucingnya hilang!).Laporannya membuatku terkekeh geli. Jadi teringat saat Delia kecil dulu. Sama persisi seperti Renisa. Usai mengelus kepalanya penuh sayang, aku membawa gadis itu dalam gendongan lalu berjalan ke ruang tamu.Dari arah tangga, Delia turun masih dengan gaun tidur berwarna putih. Rambut hitam legam digerai indah. Bersamaan dengan itu, Fian keluar dari kamar yang berada di samping tangga. Karena kamar di lantai atas sudah terisi, kecuali kamar Delia dan aku takut membuat gadisku itu marah alhasil Fian
Mendengar suara bising, perlahan mata terbuka. Remangnya lampu tidur menyorot ruangan. Dengan mata masih berat luar biasa, aku melirik sekitar mencoba meraih saklar di dekat nakas. Jam beker masih menunjukkan pukul dua dini hari.Di sisi pintu kamar mandi, tak sengaja mata menangkap sosok bergaun marun berdiri menatap ke arahku. Aku mengucek mata sebentar, kembali mempertajam penglihatan. Seketika kesadaran kembali ke raga kala suara isakan dari depan sana terdengar lirih menggantikan suara gaduh yang terdengar dari luar kamar.Suara tangis yang amat pilu. Mendadak hati ikut tercubit, iba mendengar tangisnya.Tunggu, aku sedang bermimpi, 'kan? Sosok itu makin mendekat. Suara tangisnya makin parau dan menyesakkan dada."Delia ... Delia ...."Mata terpejam erat saat wajah yang tidak tersorot lampu menunduk hendak mendekat. Jantung berdentum, cucuran keringat di dahi dan sekujur tub
Dengan jantung berdebar, aku menghentikan mobil ke sisi jalan. Tangan berkeringat mencengkeram stir mobil. Dahi pun digerayangi peluh. Susah payah aku menelan saliva, menyiapkan diri sebelum melihat sosok di samping yang kujemput di sekolah tadi."Saya mau pulang ...." Terdengar isakan dari kursi di sebelah.Bulu kudukku meremang, pegangan di stir aku eratkan. Tubuh menggigil mendengar suara tangis yang makin kencang itu. Mataku terpejam rapat, lalu menutup kedua telinga saat suara isakan berubah menjadi pekikan yang memekakkan."Saya mau pulang!""Ayah!"Jantungku berdentum keras saat suara tadi menghilang. Menyisakan aroma busuk dari kursi penumpang. Seperti bau bangkai hewan yang berhari-hari dibiarkan. Gegas aku keluar dari mobil, melewati Delia yang berdiri di dekat pintu mobil. Perut mual luar biasa gara-gara aroma menyengat itu."Ayah kenapa?" Delia memijat tengkukku ya
Aku mengusap pelan surai hitam Delia. Gadis itu tiduran di sofa, kepala direbahkan ke pahaku. Sambil memakan keripik pisang, kami menonton TV. Menikmati hari libur.Tisa izin ke salon pagi tadi bersama teman-temannya. Sementara Renisa, dia titipkan ke orang tuanya. Fian sendiri, sibuk mengurusi tugas kuliah. Pemuda itu seperti tidak pernah absen dengan tugas kuliahnya.Usai menonton kartun kesukaan Delia, aku memindahkan channel, menonton berita."Pagi ini, ditemukan mayat seorang gadis dengan tubuh hancur. Diduga, malam tadi terjadi kecelakaan di jalan Sudirman, karena di TKP warga menemukan mobil yang sudah hancur dibeberapa bagian. Mobil tersebut, diduga milik korban."Di layar empat belas inc, terpampang sosok mayat berada di kantung jenazah. Beberapa warga terlihat membawa sesuatu di tangan dan membawanya ke kantung jenazah. Pun Polisi yang bertugas. Sayang sekali, baik jenazah dan benda yang tengah mereka angkut ke dalam kantung berwarna hitam, diberi b
"Mas, aku tidak suka loh, sama sikap Delia. Dia sering menatapku datar. Juga akhir-akhir ini, dia sering bersikap kasar padaku. Aku takut, apalagi ada Renisa. Bahaya untuk pertumbuhan Renisa, melihat Delia yang pemarah."Aku memijat pangkal hidung, rasanya pening. Sudah yang kesekian Tisa mengadu akan sikap Delia. Seminggu ini, anak itu memang terlihat berbeda. Entah ada apa dengannya.Namun, untuk sikap kasar seperti yang Tisa laporkan, jujur saja aku tidak bisa percaya. Ya, walau seminggu yang lalu, Delia berteriak padaku, tapi itu tidak cukup membuktikan bahwa Delia bersikap kasar pada Tisa."Kamu siap-siap. Hari ini, kita jalan-jalan ke bukit.""Mas, kita lagi bahas putri kamu loh, ini!" Tisa merenggut."Maksud kamu, Delia hanya putriku, begitu?" Alisku mengkerut tajam."Ih, bukan begitu. Delia juga putriku. Ah, sudahlah. Lagian, ngapain kamu ngajak jalan-jalan mendadak begini?"
Aku berdeham menetralisir kecanggungan yang terjadi di meja makan. Saat ini, aku, Delia serta Tisa dan kedua anaknya tengah makan malam di Restoran berbintang. Baik aku dan Tisa berharap anak-anak kami bisa saling menerima."Fian, bagaimana kuliahmu?" Aku memulai obrolan pada anak sulung Tisa.Pemuda yang baru sebulan lalu masuk perguruan tinggi itu, tersenyum."Ya, cukup melelahkan lah, Om."Mendengarnya membuatku terkekeh. Sedikit kuberikan penyemangat dan nasihat. Fian tampak antusias mendengarkan. Kini aku harus berlaku adil pada mereka bertiga. Karena sebentar lagi akan menyandang status ayah untuk Fian dan Renisa jadi mereka juga pioritasku."Delia mau ke toilet."Sesaat aku tertegun dengan gerakan tiba-tiba Delia yang berdiri dari duduk. Gadis bergaun marun itu, pergi meninggalkan meja sebelum aku sempat memberi izin."Saya juga permisi ya, Om, Ma.