Beranda / Horor / Putriku, Delia / 4. Jemput Delia

Share

4. Jemput Delia

last update Terakhir Diperbarui: 2021-04-01 04:20:01

Aku mengusap pelan surai hitam Delia. Gadis itu tiduran di sofa, kepala direbahkan ke pahaku. Sambil memakan keripik pisang, kami menonton TV. Menikmati hari libur.

Tisa izin ke salon pagi tadi bersama teman-temannya. Sementara Renisa, dia titipkan ke orang tuanya. Fian sendiri, sibuk mengurusi tugas kuliah. Pemuda itu seperti tidak pernah absen dengan tugas kuliahnya.

Usai menonton kartun kesukaan Delia, aku memindahkan channel, menonton berita.

"Pagi ini, ditemukan mayat seorang gadis dengan tubuh hancur. Diduga, malam tadi terjadi kecelakaan di jalan Sudirman, karena di TKP warga menemukan mobil yang sudah hancur dibeberapa bagian. Mobil tersebut, diduga milik korban."

Di layar empat belas inc, terpampang sosok mayat berada di kantung jenazah. Beberapa warga terlihat membawa sesuatu di tangan dan membawanya ke kantung jenazah. Pun Polisi yang bertugas. Sayang sekali, baik jenazah dan benda yang tengah mereka angkut ke dalam kantung berwarna hitam, diberi blur.

"Ratna," gumam Delia membuatku tercengang.

Pandanganku jatuh pada layar TV yang sedang ditatap Delia. Tampak sepasang suami istri berusaha menerobos garis Polisi. 

"Delia kenal?" tanyaku ragu.

Delia tampak diam dalam pangkuan. Apa dia sudah tidur? Saat aku menunduk, mengintipnya, mata gadis itu sudah tertutup. Napasnya mengalun teratur.

Apa Delia hanya mengigau?

***

"Mas ...."

"Hmm." Aku melirik sejenak pada Tisa yang berbaring miring seraya mengelus lengan kecil Renisa.

"Kamu tahu tidak, tadi pas di salon aku dapat kabar dari teman-temanku. Katanya, salah satu putri tetangga mereka, diculik. Sudah dua hari tidak ada kabar."

Aku menatap Tisa sepenuhnya usai mematikan laptop. Mendadak resah mendengar kabar seperti ini. Pikiranku langsung tertuju pada Delia.

"Parahnya, anak itu satu sekolahan dengan Delia, Mas."

Jantungku terasa diremas mendengarnya. Ya Tuhan ... semoga saja Delia tidak mengalami hal serupa dan gadis yang diculik itu, semoga cepat ditemukan.

"Apa anak itu dari keluarga berada?"

Tisa menggeleng. "Katanya sih, ayahnya hanya seorang supir angkot. Tapi anak itu, cantik. Ah, aku ada fotonya. Dikirim di WhatsApp sama temanku. Mas, mau lihat?"

Tanganku meraih gawai yang disodorkan Tisa. Kepala mencoba menerka-nerka. Mendengar dari cerita Tisa tentang latar belakang keluarga anak itu, tidak mungkin motif penjahatnya untuk meminta uang tebusan. Lalu, untuk apa?

Aku meraih gawai di nakas saat benda itu berdering. Sementara mata masih mengamati wajah gadis berseragam putih abu-abu yang berada di gawai istri.

"Maaf, Pak. Sepertinya, Bapak harus menghentikan niat Bapak menggugat keluarga pelaku atas tindakan pembulian terhadap putri Bapak."

Alis mengkerut tajam mendengar ucapan Pengacara terpercayaku. Tidak biasanya dia meminta agar mempertimbangkan kembali keputusan yang sudah kuambil.

"Kenapa mendadak begini? Apa Anda ingin berhenti dari posisi Anda saat ini?" Satu alisku terangkat.

"Maaf, Pak. Bukan itu maksud saya. Begini saja, besok saya akan datang ke rumah Bapak."

"Tidak perlu. Bicara saja di sini!" cegatku.

Terdengar helaan napas dari seberang. "Begini, Pak. Tiga dari lima pelaku pembulian, saat ini sedang mengalami musibah."

Lelaki dari seberang menceritakan detail musibah yang sedang menimpa anak-anak pelaku pembulian terhadap Delia. Katanya, satu di antara mereka meninggal akibat kecelakaan. Terlindas truk dan anggota tubuhnya berhamburan saat ditemukan oleh warga. Duanya lagi diculik dan sampai sekarang belum ada kabar terbaru dari pihak berwajib. Sedang dua pelaku lainnya, masih dalam keadaan aman.

Tercengang aku mendengarnya. Ya Tuhan ... kenapa jadi begini?! Aku mengusap kasar wajah. Elusan di lengan, membuatku menoleh sebentar ke arah Tisa.

"Jadi ... apa, Bapak tetap ingin melanjutkan ini? Sebenarnya, sidang tetap bisa dilanjutkan. Keluarga pelaku akan menerima denda yang cukup besar demi meloloskan putri mereka dan membayar biaya pengobatan mental untuk Delia."

Setelah membuang napas gusar, aku berucap, "Cabut tuntutan untuk tiga anak itu. Sementara duanya lagi ...."

Aku menggantung ucapan cukup lama. Berpikir. Sampai kemudian mengambil keputusan agar Pak Dedi—Pengacara—menghentikan kasus ini, tapi tetap mengawasi dua pelaku yang tersisa.

"Ada apa, Mas?" tanya Tisa. Aku menggendong Renisa kembali ke kamarnya sebelum kembali merebahkan diri di samping Tisa.

Malam ini aku membutuhkannya demi menghilangkan beban di kepala.

***

"Delia yakin mau ke sekolah?" Aku menatap cemas gadis yang sudah berseragam lengkap itu.

Senin ini, Delia meminta kembali bersekolah setelah empat hari sekolah memberinya izin. Padahal aku sudah menawari agar dia pindah sekolah saja. Namun, Delia menolak.

"Ayah tidak perlu khawatir," katanya sebelum masuk ke mobil.

Aku mengembuskan napas. Sebelum menyusul Delia, langkahku terhenti saat dari samping, Fian mengklakson motornya dari samping mobil. Sejajar dengan jendela mobil di mana Delia duduk. 

Dia sedikit membungkuk menatap Delia, setelah menyapaku.

"Semoga harimu menyenangkan, adikku!" teriaknya di balik helm yang kacanya terbuka, kemudian melesat pergi.

Aku memijat tengkuk sebelum masuk ke mobil. Melirik Delia yang diam memandangi langit dari kaca mobil yang terbuka.

***

"Nanti ayah jemput, ya. Tunggu ayah, jangan ke mana-mana." 

Aku mengusap kepala Delia. Gadis itu mengangguk. Rasanya masih tak rela melepasnya tanpa pengawasan.

Apa aku sewa Bodyguard saja ya, untuk mengawasi, Delia? Tapi, Delia pasti tidak akan suka. Aku takut, itu hanya akan membuatnya merasa dikekang.

"Hari ini akan lebih baik dari yang kemarin. Ayah jangan khawatir." Senyum Delia sedikitnya mengobati kecemasanku.

Tak bisa dipungkiri, Delia memang segalaku. Meski aku telah mengkhianati mendiang ibunya, bukan berarti tega membuat Delia terluka sama seperti aku melukai ibunya. 

***

Mobil melaju memecah jalanan. Di samping, Tisa tidak henti bersuara berusaha menenangkan Renisa yang terus menangis. Mendadak anak itu demam, aku yang sedang berada di kantor pun bergegas menjemput mereka di rumah setelah Tisa menelepon dengan suara cemasnya.

Sesampainya di rumah sakit, Renisa dibawa ke IGD sebelum dipindahkan ke ruang perawatan. Aku berdiri di samping Tisa yang menangis di samping putrinya yang terbaring lemas. Renisa sudah mulai tenang dan tertidur setelah dipindahkan ke ruang perawatan anak. Namun, demamnya masih tinggi. Tadi saja saat kudapi di rumah, anak itu kejang-kejang.

"Tenang ya, dia akan baik-baik saja."

***

"Bi, Delia sudah pulang?" Sore tadi, aku lupa menjemput Delia karena terlalu sibuk dengan Renisa.

"Tunggu sebentar, Tuan. Bibi cek ke kamarnya dulu."

Napas kusentak kasar mendengar balasan wanita paruh baya. Bisa-bisanya dia tidak memperhatikan putriku, apa sudah pulang atau tidak!

Jariku mengetuk besi brankar, tempat Renisa terlelap. Lalu melirik Tisa yang tidur di sampingnya dalam keadaan duduk.

"Kamar Non Delia kosong, Tuan. Bibi cek kamar mandi juga, tidak ada, Non Delianya."

Aku meneguk saliva mendengar suara cemas Bibi. Gegas aku membangunkan Tisa setelah mematikan telepon. Setelah pamit ke Tisa, segera kupacu langkah menuju parkiran rumah sakit.

Ya Tuhan ... sekarang sudah menunjukkan pukul delapan malam. Bagaimana bisa aku lupa pada Delia?!

***

Pandanganku menyapu gelapnya sekolah. Lampu mobil menyorot gerbang. Di sana, tampak seorang gadis berjongkok di depan gerbang.

Mataku membelalak, bergegas turun.

"Ya Tuhan ... Delia?! Maaf, Sayang."

Gadis itu mendongak, menampakkan wajah pucat seperti susu yang sedikit tertutupi rambut. Segera kurengkuh tubuh itu, membawanya ke mobil seraya mengulang kata maaf. Delia diam saja sambil menunduk. Sebagian wajahnya tertutupi rambut.

Dia pasti marah padaku.

Saat melewati halte bus, tidak sengaja aku melihat seorang gadis berseragam SMA duduk di sana. Kedua tangannya menyangga di sisi tubuh. Rambut hitam panjang tergerai. Sekilas gadis itu mirip Delia.

Saat hendak melewati halte, mataku membeliak setelah meyadari sesuatu. Ya Tuhan ... itu Delia?!

Lantas, siapa yang tadi kujemput?

Bersambung

Bab terkait

  • Putriku, Delia   5. Kutukan

    Dengan jantung berdebar, aku menghentikan mobil ke sisi jalan. Tangan berkeringat mencengkeram stir mobil. Dahi pun digerayangi peluh. Susah payah aku menelan saliva, menyiapkan diri sebelum melihat sosok di samping yang kujemput di sekolah tadi."Saya mau pulang ...." Terdengar isakan dari kursi di sebelah.Bulu kudukku meremang, pegangan di stir aku eratkan. Tubuh menggigil mendengar suara tangis yang makin kencang itu. Mataku terpejam rapat, lalu menutup kedua telinga saat suara isakan berubah menjadi pekikan yang memekakkan."Saya mau pulang!""Ayah!"Jantungku berdentum keras saat suara tadi menghilang. Menyisakan aroma busuk dari kursi penumpang. Seperti bau bangkai hewan yang berhari-hari dibiarkan. Gegas aku keluar dari mobil, melewati Delia yang berdiri di dekat pintu mobil. Perut mual luar biasa gara-gara aroma menyengat itu."Ayah kenapa?" Delia memijat tengkukku ya

    Terakhir Diperbarui : 2021-04-30
  • Putriku, Delia   6. Hukuman

    Mendengar suara bising, perlahan mata terbuka. Remangnya lampu tidur menyorot ruangan. Dengan mata masih berat luar biasa, aku melirik sekitar mencoba meraih saklar di dekat nakas. Jam beker masih menunjukkan pukul dua dini hari.Di sisi pintu kamar mandi, tak sengaja mata menangkap sosok bergaun marun berdiri menatap ke arahku. Aku mengucek mata sebentar, kembali mempertajam penglihatan. Seketika kesadaran kembali ke raga kala suara isakan dari depan sana terdengar lirih menggantikan suara gaduh yang terdengar dari luar kamar.Suara tangis yang amat pilu. Mendadak hati ikut tercubit, iba mendengar tangisnya.Tunggu, aku sedang bermimpi, 'kan? Sosok itu makin mendekat. Suara tangisnya makin parau dan menyesakkan dada."Delia ... Delia ...."Mata terpejam erat saat wajah yang tidak tersorot lampu menunduk hendak mendekat. Jantung berdentum, cucuran keringat di dahi dan sekujur tub

    Terakhir Diperbarui : 2021-05-11
  • Putriku, Delia   7. Kucing Renisa, Manis ya!

    "Ucing, ucing!"Suara mungil dari ruang makan, membuat langkah tercapu mendekat. Tampak Renisa berjongkok di kolong meja makan sembari memanggil-manggil dengan suara cadel.Aku ikut berjongkok di samping gadis berambut sebahu. Lalu menoleh ke arahnya."Nisa cari apa?"Mata bulat mengerjap. "Ucing, Ayah! Lenica cali-cali, ucingnya ilang!" (Kucing, Ayah! Renisa cari-cari, kucingnya hilang!).Laporannya membuatku terkekeh geli. Jadi teringat saat Delia kecil dulu. Sama persisi seperti Renisa. Usai mengelus kepalanya penuh sayang, aku membawa gadis itu dalam gendongan lalu berjalan ke ruang tamu.Dari arah tangga, Delia turun masih dengan gaun tidur berwarna putih. Rambut hitam legam digerai indah. Bersamaan dengan itu, Fian keluar dari kamar yang berada di samping tangga. Karena kamar di lantai atas sudah terisi, kecuali kamar Delia dan aku takut membuat gadisku itu marah alhasil Fian

    Terakhir Diperbarui : 2021-05-21
  • Putriku, Delia   8. Benang Merah

    "Hem ... hem."Wanita dengan rambut tergerai indah hingga pinggul bersenandung riang. Dia duduk di kursi dengan membelakangi seraya menyisir rambut panjang Delia yang duduk di lantai. Gaun marun tipis melekat di tubuhnya yang ramping dan seputih salju.Bibirku melengkung melihat keduanya, apalagi Delia ikut bersenandung bersama sang Bunda. Aku mendekati mereka yang sepertinya belum menyadari keberadaanku. Pelan, aku menyentuh bahu kanan istri. Senandung tadi terhenti, menyisakan sunyi dalam kamar. Pergerakan Adel berhenti hingga sisir yang ia pegang masih berada di rambut Delia. Keduanya belum bereaksi, masih menatap ke arah jendela kaca besar yang berada di kamarku dan istri.Alis mengkerut saat keduanya tetap diam, tidak menoleh, tidak pula menyahut. Hingga kuberanikan memanggil istri dengan suara lembut seperti biasanya."Sayang ...."Adel tetap berdiam diri membuatku bingung sekaligus resa

    Terakhir Diperbarui : 2021-06-03
  • Putriku, Delia   9. Wanita Bergaun Marun

    "Sayang sekali, Pak, CCTV tidak sampai menjangkau area gerbang rumah."Napasku tersentak kasar melihat monitor yang sama sekali tidak menampakkan apa-apa selain kegelapan. Pria berjaket kulit akhirnya berdiri dari duduk setelah beberapa menit memeriksa hasil rekaman CCTV di seluruh area rumah."Untuk berjaga-jaga, saya akan menugaskan beberapa orang berjaga di rumah Anda, Pak."Aku mengangguk mengucapkan terima kasih. Setelah kedua detektif itu pergi dengan tangan kosong, aku terduduk di kursi. Memandang kosong CCTV yang hanya memperlihatkan area depan rumah yang gelap, hanya lampu taman yang menyorot remang. Setelah para detektif tidak menemukan bukti atau kejanggalan yang ditinggalkan sosok yang datang semalam, aku mengutus orang untuk memasang CCTV di depan gerbang.Belum selesai masalah dengan perubahan sikap Delia dan teror kulit kucing di jemuran, kini sudah muncul masalah baru. Bik

    Terakhir Diperbarui : 2021-06-06
  • Putriku, Delia   10. Mau Ikut Bunda

    "Delia!" Jantungku berpacu dengan tangan terkepal. Gegas aku berlari ke balkon dan meraih tubuh kecil itu. Aku angkat tubuh itu yang terasa singan dan langsung meurunkannya kasar, hingga Delia mundur selangkah. Gila! Apa yang dipikirkan anak itu?! Berdiri di atas pagar balkon?! Demi Tuhan, aku baru saja kehilangan istriku karena gantung diri dan sekarang, putri semata wayang juga ingin melompat dari lantai dua rumah ini?! "Apa yang kamu lakukan, ha?!" Suaraku meninggi, menatapnya tajam. Delia justru balas menatap seolah dia tidak gentar dengan sentakan barusan. Aku menggusar rambut, melihat gadis itu cuman diam. Gigi gemertak menahan amarah di dada. "Kamu harus pindah kamar! Ayo!" Melihatnya diam saja, aku meraih pergelangan tangan Delia dan menyeretnya kasar dari balkon. Namun, teriakan Delia membuatku terlonjak menatapnya. "Aku

    Terakhir Diperbarui : 2021-10-04
  • Putriku, Delia   1. Kematian Istri

    Aku tersenyum menatap wanita yang tengah tertawa di ranjang. Kukecup penuh cinta keningnya, pipi chubby itu menyemburkan rona merah jambu. Tampak malu-malu saat dia mencubit mesra pinggangku.Usai menggelitik perutnya, aku duduk bersandar ke kepala ranjang. Wanita yang masih bergeming di balik selimut, ikut menyenderkan kepalanya ke dadaku. Kuelus lengan putihnya yang mulus, lalu beralih menyeka peluh di dahinya.Kami baru saja menyelesaikan sesi meneguk kenikmatan dunia yang dimulai sejak malam tadi dan berlanjut pagi ini. Wanitaku tersenyum, manis sekali.Tangan lembutnya mengelus rahangku, berakhir dia menarik leherku. Kami kembali saling meramu cinta dalam nikmat duniawi. Setiap gerakan lembutnya sungguh memabukan.Ah, mesranya pagi ini.Suara dering ponsel tak lantas mengganggu aktivitas kami. Namun, saat dering yang ke lima, aku sudah tak kuasa menahan amarah. Dengan gerakan cepat aku menyambar HP di nakas setelah melepaskan pagutanku dan Ti

    Terakhir Diperbarui : 2021-03-21
  • Putriku, Delia   2. Pernikahan Kedua

    Aku berdeham menetralisir kecanggungan yang terjadi di meja makan. Saat ini, aku, Delia serta Tisa dan kedua anaknya tengah makan malam di Restoran berbintang. Baik aku dan Tisa berharap anak-anak kami bisa saling menerima."Fian, bagaimana kuliahmu?" Aku memulai obrolan pada anak sulung Tisa.Pemuda yang baru sebulan lalu masuk perguruan tinggi itu, tersenyum."Ya, cukup melelahkan lah, Om."Mendengarnya membuatku terkekeh. Sedikit kuberikan penyemangat dan nasihat. Fian tampak antusias mendengarkan. Kini aku harus berlaku adil pada mereka bertiga. Karena sebentar lagi akan menyandang status ayah untuk Fian dan Renisa jadi mereka juga pioritasku."Delia mau ke toilet."Sesaat aku tertegun dengan gerakan tiba-tiba Delia yang berdiri dari duduk. Gadis bergaun marun itu, pergi meninggalkan meja sebelum aku sempat memberi izin."Saya juga permisi ya, Om, Ma.

    Terakhir Diperbarui : 2021-03-24

Bab terbaru

  • Putriku, Delia   10. Mau Ikut Bunda

    "Delia!" Jantungku berpacu dengan tangan terkepal. Gegas aku berlari ke balkon dan meraih tubuh kecil itu. Aku angkat tubuh itu yang terasa singan dan langsung meurunkannya kasar, hingga Delia mundur selangkah. Gila! Apa yang dipikirkan anak itu?! Berdiri di atas pagar balkon?! Demi Tuhan, aku baru saja kehilangan istriku karena gantung diri dan sekarang, putri semata wayang juga ingin melompat dari lantai dua rumah ini?! "Apa yang kamu lakukan, ha?!" Suaraku meninggi, menatapnya tajam. Delia justru balas menatap seolah dia tidak gentar dengan sentakan barusan. Aku menggusar rambut, melihat gadis itu cuman diam. Gigi gemertak menahan amarah di dada. "Kamu harus pindah kamar! Ayo!" Melihatnya diam saja, aku meraih pergelangan tangan Delia dan menyeretnya kasar dari balkon. Namun, teriakan Delia membuatku terlonjak menatapnya. "Aku

  • Putriku, Delia   9. Wanita Bergaun Marun

    "Sayang sekali, Pak, CCTV tidak sampai menjangkau area gerbang rumah."Napasku tersentak kasar melihat monitor yang sama sekali tidak menampakkan apa-apa selain kegelapan. Pria berjaket kulit akhirnya berdiri dari duduk setelah beberapa menit memeriksa hasil rekaman CCTV di seluruh area rumah."Untuk berjaga-jaga, saya akan menugaskan beberapa orang berjaga di rumah Anda, Pak."Aku mengangguk mengucapkan terima kasih. Setelah kedua detektif itu pergi dengan tangan kosong, aku terduduk di kursi. Memandang kosong CCTV yang hanya memperlihatkan area depan rumah yang gelap, hanya lampu taman yang menyorot remang. Setelah para detektif tidak menemukan bukti atau kejanggalan yang ditinggalkan sosok yang datang semalam, aku mengutus orang untuk memasang CCTV di depan gerbang.Belum selesai masalah dengan perubahan sikap Delia dan teror kulit kucing di jemuran, kini sudah muncul masalah baru. Bik

  • Putriku, Delia   8. Benang Merah

    "Hem ... hem."Wanita dengan rambut tergerai indah hingga pinggul bersenandung riang. Dia duduk di kursi dengan membelakangi seraya menyisir rambut panjang Delia yang duduk di lantai. Gaun marun tipis melekat di tubuhnya yang ramping dan seputih salju.Bibirku melengkung melihat keduanya, apalagi Delia ikut bersenandung bersama sang Bunda. Aku mendekati mereka yang sepertinya belum menyadari keberadaanku. Pelan, aku menyentuh bahu kanan istri. Senandung tadi terhenti, menyisakan sunyi dalam kamar. Pergerakan Adel berhenti hingga sisir yang ia pegang masih berada di rambut Delia. Keduanya belum bereaksi, masih menatap ke arah jendela kaca besar yang berada di kamarku dan istri.Alis mengkerut saat keduanya tetap diam, tidak menoleh, tidak pula menyahut. Hingga kuberanikan memanggil istri dengan suara lembut seperti biasanya."Sayang ...."Adel tetap berdiam diri membuatku bingung sekaligus resa

  • Putriku, Delia   7. Kucing Renisa, Manis ya!

    "Ucing, ucing!"Suara mungil dari ruang makan, membuat langkah tercapu mendekat. Tampak Renisa berjongkok di kolong meja makan sembari memanggil-manggil dengan suara cadel.Aku ikut berjongkok di samping gadis berambut sebahu. Lalu menoleh ke arahnya."Nisa cari apa?"Mata bulat mengerjap. "Ucing, Ayah! Lenica cali-cali, ucingnya ilang!" (Kucing, Ayah! Renisa cari-cari, kucingnya hilang!).Laporannya membuatku terkekeh geli. Jadi teringat saat Delia kecil dulu. Sama persisi seperti Renisa. Usai mengelus kepalanya penuh sayang, aku membawa gadis itu dalam gendongan lalu berjalan ke ruang tamu.Dari arah tangga, Delia turun masih dengan gaun tidur berwarna putih. Rambut hitam legam digerai indah. Bersamaan dengan itu, Fian keluar dari kamar yang berada di samping tangga. Karena kamar di lantai atas sudah terisi, kecuali kamar Delia dan aku takut membuat gadisku itu marah alhasil Fian

  • Putriku, Delia   6. Hukuman

    Mendengar suara bising, perlahan mata terbuka. Remangnya lampu tidur menyorot ruangan. Dengan mata masih berat luar biasa, aku melirik sekitar mencoba meraih saklar di dekat nakas. Jam beker masih menunjukkan pukul dua dini hari.Di sisi pintu kamar mandi, tak sengaja mata menangkap sosok bergaun marun berdiri menatap ke arahku. Aku mengucek mata sebentar, kembali mempertajam penglihatan. Seketika kesadaran kembali ke raga kala suara isakan dari depan sana terdengar lirih menggantikan suara gaduh yang terdengar dari luar kamar.Suara tangis yang amat pilu. Mendadak hati ikut tercubit, iba mendengar tangisnya.Tunggu, aku sedang bermimpi, 'kan? Sosok itu makin mendekat. Suara tangisnya makin parau dan menyesakkan dada."Delia ... Delia ...."Mata terpejam erat saat wajah yang tidak tersorot lampu menunduk hendak mendekat. Jantung berdentum, cucuran keringat di dahi dan sekujur tub

  • Putriku, Delia   5. Kutukan

    Dengan jantung berdebar, aku menghentikan mobil ke sisi jalan. Tangan berkeringat mencengkeram stir mobil. Dahi pun digerayangi peluh. Susah payah aku menelan saliva, menyiapkan diri sebelum melihat sosok di samping yang kujemput di sekolah tadi."Saya mau pulang ...." Terdengar isakan dari kursi di sebelah.Bulu kudukku meremang, pegangan di stir aku eratkan. Tubuh menggigil mendengar suara tangis yang makin kencang itu. Mataku terpejam rapat, lalu menutup kedua telinga saat suara isakan berubah menjadi pekikan yang memekakkan."Saya mau pulang!""Ayah!"Jantungku berdentum keras saat suara tadi menghilang. Menyisakan aroma busuk dari kursi penumpang. Seperti bau bangkai hewan yang berhari-hari dibiarkan. Gegas aku keluar dari mobil, melewati Delia yang berdiri di dekat pintu mobil. Perut mual luar biasa gara-gara aroma menyengat itu."Ayah kenapa?" Delia memijat tengkukku ya

  • Putriku, Delia   4. Jemput Delia

    Aku mengusap pelan surai hitam Delia. Gadis itu tiduran di sofa, kepala direbahkan ke pahaku. Sambil memakan keripik pisang, kami menonton TV. Menikmati hari libur.Tisa izin ke salon pagi tadi bersama teman-temannya. Sementara Renisa, dia titipkan ke orang tuanya. Fian sendiri, sibuk mengurusi tugas kuliah. Pemuda itu seperti tidak pernah absen dengan tugas kuliahnya.Usai menonton kartun kesukaan Delia, aku memindahkan channel, menonton berita."Pagi ini, ditemukan mayat seorang gadis dengan tubuh hancur. Diduga, malam tadi terjadi kecelakaan di jalan Sudirman, karena di TKP warga menemukan mobil yang sudah hancur dibeberapa bagian. Mobil tersebut, diduga milik korban."Di layar empat belas inc, terpampang sosok mayat berada di kantung jenazah. Beberapa warga terlihat membawa sesuatu di tangan dan membawanya ke kantung jenazah. Pun Polisi yang bertugas. Sayang sekali, baik jenazah dan benda yang tengah mereka angkut ke dalam kantung berwarna hitam, diberi b

  • Putriku, Delia   3. Ketertarikan Fian

    "Mas, aku tidak suka loh, sama sikap Delia. Dia sering menatapku datar. Juga akhir-akhir ini, dia sering bersikap kasar padaku. Aku takut, apalagi ada Renisa. Bahaya untuk pertumbuhan Renisa, melihat Delia yang pemarah."Aku memijat pangkal hidung, rasanya pening. Sudah yang kesekian Tisa mengadu akan sikap Delia. Seminggu ini, anak itu memang terlihat berbeda. Entah ada apa dengannya.Namun, untuk sikap kasar seperti yang Tisa laporkan, jujur saja aku tidak bisa percaya. Ya, walau seminggu yang lalu, Delia berteriak padaku, tapi itu tidak cukup membuktikan bahwa Delia bersikap kasar pada Tisa."Kamu siap-siap. Hari ini, kita jalan-jalan ke bukit.""Mas, kita lagi bahas putri kamu loh, ini!" Tisa merenggut."Maksud kamu, Delia hanya putriku, begitu?" Alisku mengkerut tajam."Ih, bukan begitu. Delia juga putriku. Ah, sudahlah. Lagian, ngapain kamu ngajak jalan-jalan mendadak begini?"

  • Putriku, Delia   2. Pernikahan Kedua

    Aku berdeham menetralisir kecanggungan yang terjadi di meja makan. Saat ini, aku, Delia serta Tisa dan kedua anaknya tengah makan malam di Restoran berbintang. Baik aku dan Tisa berharap anak-anak kami bisa saling menerima."Fian, bagaimana kuliahmu?" Aku memulai obrolan pada anak sulung Tisa.Pemuda yang baru sebulan lalu masuk perguruan tinggi itu, tersenyum."Ya, cukup melelahkan lah, Om."Mendengarnya membuatku terkekeh. Sedikit kuberikan penyemangat dan nasihat. Fian tampak antusias mendengarkan. Kini aku harus berlaku adil pada mereka bertiga. Karena sebentar lagi akan menyandang status ayah untuk Fian dan Renisa jadi mereka juga pioritasku."Delia mau ke toilet."Sesaat aku tertegun dengan gerakan tiba-tiba Delia yang berdiri dari duduk. Gadis bergaun marun itu, pergi meninggalkan meja sebelum aku sempat memberi izin."Saya juga permisi ya, Om, Ma.

DMCA.com Protection Status