"Baiklah, sampai bertemu besok di restoran, Eve. Seseorang sudah menunggumu di sana." Ina mengedikkan kepala, menunjuk seseorang yang berdiri di sisi mobil hitam, tepat di sebelah kanan gerbang universitas tempat mereka belajar. Gadis itu terkekeh merdu sebelum melambaikan tangannya, berbelok ke sebelah kiri, berlawanan arah dengan posisi si pria bertubuh menjulang tinggi itu.Dengan spontan Evelyn menoleh pada arah yang ditunjuk oleh Ina, seketika kedua mata indahnya membeliak saat menemukan satu presensi tak asing. Seorang pria yang sedang ia hindari. "Damian?" secara refleks Evelyn menyebut nama si pria, begitu lirih. Karena ingin menghindar, ia memilih untuk membelokkan langkah dan pura-pura tak melihatnya.Namun, bukan Damian jika dirinya mudah dikelabui. Melihat gelagat Evelyn, pria itu segera bergerak dari tempatnya, kemudian melangkah mendekati posisi wanita itu dengan cepat. "Tunggu, Eve. Kau kira kau akan ke mana?" dan tentu saja Damian berhasil mencekal pergelangan tangan
Langkah kaki panjang itu tampak gontai kala memasuki hunian mewah tempat dirinya tinggal. Wajah tampan itu tak lagi cerah ceria, ia kehilangan cahayanya akhir-akhir ini. Perasaan Damian sedang kacau sekarang, terlebih saat ia kembali mengingat bahwa dirinya gagal membuat Evelyn membatalkan rencana pernikahannya, pun meninggalkan calon suaminya, seperti apa yang ia lakukan pada Kiara."Masih memiliki muka untuk pulang ternyata."Suara dingin yang baru saja terdengar sukses memaku langkah kaki bersepatu pantofel si pria keturunan Jerman. Damian berhenti lalu menoleh ke asal suara, ada Benedict yang duduk di sofa, baru saja mengempaskan sebuah majalah di atas meja kaca dengan kasar. Apakah sesuatu telah terjadi?"Apa maksudmu?""Bukankah harusnya aku yang bertanya begitu?" Benedict, sang ayah justru kembali bertanya. Dari raut wajah yang ayahnya tampakkan, Damian bisa membaca kekesalan yang menumpuk di sana. Dan hal itu cukup membuat Damian malas untuk menanggapinya, terlebih dengan sua
Menghabiskan waktu bersama merupakan hal yang begitu berharga bagi sebuah keluarga, termasuk bagi Evelyn. Ruang keluarga itu diisi oleh semua anggota keluarga yang tinggal serumah; ada Evelyn beserta si kecil Luna yang tidur berbantalkan paha wanita itu, juga Arjuna dan istrinya yang duduk bersisian seraya menikmati camilan keripik kentang.Namun, kumpul bersama hanyalah sekedar kumpul bersama. Meskipun Evelyn sebisa mungkin mencoba untuk masuk ke dalam obrolan mereka, nyatanya pikiran wanita itu justru melanglang buana pada kejadian tadi siang. Ya, pada pertemuannya dengan pria berambut pirang berdarah Jerman. Entah bagaimana, ucapan Damian terus saja berputar di kepalanya, berulang-ulang bagaikan kaset rusak.'Aku pergi, bukan untuk lari. Kita melakukan kesalahan yang sama, harusnya kita menanggungnya bersama, Eve. Aku mencintaimu.'Tanpa sadar Evelyn memejamkan erat kedua matanya, menahan gejolak sesak yang perlahan seakan meremas dadanya. Sudah terlambat. Takdir memang tak pernah
Suara ketukan di pintu yang tiba-tiba terdengar membuyarkan konsentrasi Damian pada barisan kata dan angka dalam monitor laptopnya. Di balik lensa kacamata, pria itu melirik ke arah pintu ruangan. Ada siluet yang tampak pada kaca buram, sepertinya perempuan."Masuk!" Damian berucap cukup lantang, mempersilakan seseorang di depan pintunya untuk masuk ke dalam ruangannya.Dan sosok itu ternyata Sasmitha, wanita yang melahirkan pria itu ke dunia. Meskipun cukup terkejut, namun Damian tetap berusaha bersikap sewajarnya."Mama datang membawakanmu makan siang, Sayang." Wajah yang masih cantik nan elok dipandang itu menciptakan senyuman ceria saat melangkah masuk mendekati sang putra.Sedangkan Damian hanya menaikkan salah satu sudut bibirnya sebelum kembali menjatuhkan atensi pada layar monitor yang menyala, seakan mengabaikan kehadiran ibunya. "Tumben sekali.""Mama hanya merasa khawatir, anak lelaki Mama satu-satunya tidak pulang ke rumah." Saat mengatakannya, Sasmitha sudah berdiri di de
Kiara berdiri di depan gerbang tinggi itu, dengan syal yang melilit di leher guna melawan hawa dingin. Ada bimbang bercampur pedih pada raut wajah pasinya ketika menatap sepasang ibu dan anak yang tampak tersenyum bahagia di dalam sana. Mereka sedang menyiram bunga di taman kecil di depan hunian nan megah. Mereka ... Evelyn dan Luna.Ya, Kiara memang sengaja mendatangi Evelyn. Ia ingin meminta tolong pada wanita yang dicintai mantan calon suaminya. Sungguh, ia tak terpikirkan nama lain selain wanita itu. Pikirannya buntu, seiring tubuhnya yang melemah akibat patah hati yang ia rasa. Ia sakit dan tubuhnya semakin kurus karena tak berselera makan.Berbekal dengan ingatan ketika beberapa waktu lalu ia sempat membuntuti Damian saat pria itu mengantarkan Evelyn pulang dari kampus, ia datang ke alamat di mana si wanita tinggal. Dan di sinilah ia, berdiri mematung seraya mengumpulkan keyakinan untuk membunyikan lonceng yang di pasang di sisi gerbang, sebab pos satpam di sana tampak kosong."
[Bisakah kita bertemu? Ada sesuatu yang harus kubicarakan denganmu.]Pesan itu masuk beberapa menit yang lalu, sukses membuat senyum tipis terukir di bibir merah kecokelatan pria itu. Dadanya bertalu tanpa tahu malu, akan bertemu dengan Evelyn membuatnya merasa begitu bahagia.Yah, meskipun ia memiliki firasat bahwa apa yang akan Evelyn bicarakan dengannya akan berakhir luka. Agaknya hanya akan ada kemustahilan jika Evelyn memberikan kesempatan untuknya.[Wanderlust Coffee Shop pukul 7 malam.]Damian segera mengirim balasan pesan. Baru saja ponsel ia letakkan di atas permukaan meja, bel apartemennya berdenting keras. Ia beranjak dari tempat duduknya, mengayunkan langkah kakinya menuju pintu. Dan ... pria itu terkejut karena ternyata sang ibu-lah yang berdiri di sana, di balik pintunya. Ada plastik besar yang dijinjing di tangan kiri. Kernyit di dahi itu tak mampu Damian sembunyikan ketika mereka saling menatap. "Untuk apa datang ke sini?""Bukankah harusnya kau berkata, 'silakan masu
Sepasang mata itu memang tertuju pada layar kaca, namun tidak dengan pikirannya. Galau, sebuah rasa yang memenuhi hati Evelyn. Wajah tampan nan frustrasi itu selalu muncul dalam pikiran, seakan tak mau hilang.'Aku akan berusaha mengikuti keinginanmu dan mendoakan pernikahanmu. Semoga kau berbahagia dengan Aksa.'Mata indah itu terpejam, kalimat yang pernah Damian ucapkan waktu itu seakan menancap di sanubari. Perih. Meskipun itu adalah keinginannya, namun ia pula yang merasakan kepedihan. Entahlah, kadang hati dan pikirannya memang tak sejalan."Jadi, bagaimana, Kak?" Pertanyaan Luna menyentak lamunan Evelyn. Wanita beranak satu itu menoleh pada balita yang duduk di sampingnya dengan raut wajah bertanya."Eh? Apa?"Sontak saja wajah menggemaskan itu berubah masam, sejenak berhenti menyuap keripik kentang ke dalam mulut. "Kakak melamun!""Maafkan Kakak. Kakak hanya sedang terpikirkan sesuatu." Evelyn mencoba fokus pada Luna, sedikit membagi senyum simpul. "Kau bilang apa tadi? Bisa k
Hari pernikahan itu tinggal hitungan jari, tentu seluruh anggota keluarga mulai sibuk mempersiapkan segala sesuatu untuk hari sakral itu, tak terkecuali sang calon mempelai wanita.Evelyn berada di dalam kamar seorang diri, sedang menata baju-bajunya untuk ia masukkan ke dalam koper besar. Ia memang akan segera pindah dari rumah Arjuna setelah ia resmi menikah nanti, untuk tinggal bersama sang suami.Namun, gerakan tangan berjari lentik itu terhenti saat ketukan di pintunya menyapa telinga. Tanpa perlu beranjak dari tempatnya, ia berucap cukup lantang pada seseorang di balik pintu kamarnya. "Masuk."Daun pintu terbuka. Adalah Karenina yang berdiri di baliknya. Wanita yang tengah berbadan dua itu tersenyum ke arahnya. "Eve, apa aku mengganggumu?""Tidak sama sekali, Kak." Evelyn membalas senyum itu. "Ada apa?""Tidak apa-apa, aku hanya sedang merasa kesepian. Paman dan Bibi melarangku membantu mereka." Karenina menjawabnya sambil memutus ruang kemudian duduk di sisi Evelyn, di tepian r
Damian Alexander adalah seseorang yang lebih dahulu keluar dari pintu restoran tempat dirinya dan sang ayah mengisi perut siang ini. Setelah mereka angkat kaki dari rumah Burhan Adhitama, Bennedict Alexander memang berinisiatif mengajak putranya untuk mampir makan siang terlebih dahulu. Sebagai ayah, tentu Bennedict merasa khawatir melihat tubuh sang putra semakin kurus setiap harinya.Dan di sinilah mereka, di area parkir restoran yang cukup luas di tengah terik sang surya. Si pria muda berdarah Jerman itu masuk ke dalam mobil hitam yang ia sewa selama tinggal di Surabaya dengan tanpa kata. Melihat putranya telah berada di balik kemudi, Bennedict segera memberikan perintah pada seseorang yang sedari tadi mengikuti di belakang punggungnya."Tunggu di mobil, saya akan segera kembali."Perintah diterima, pria tinggi berjas abu-abu itu mengangguk patuh. "Baik, Tuan."Selanjutnya Bennedict bergegas menuju mobil putranya. Ia membuka pintu penumpang bagian depan, ikut masuk ke dalam mobil k
Kacamata hitam itu ia lepas kasar lalu diselipkan pada saku jas. Selanjutnya hela napas rendah terembus ketika ia mencoba bersikap tenang. Ya, ia harus tetap mampu mengontrol emosinya kendati ia cukup merasa kesal ketika melihat tingkah si putra semata wayang di depan sana.Pria matang itu adalah Bennedict Alexander. Ia datang dan mengikuti Damian sesuai janjinya; ia akan membantu putranya untuk meraih kebahagiaan. Dan kebahagian cetak biru dirinya itu adalah bersatu dengan Evelyn beserta Luna, maka sebagai seorang ayah tentu ia akan mengusahakannya dengan cara apa pun agar mampu mewujudkan impian sang putra.Sejujurnya Bennedict memiliki alasan yang kuat selain karena kasih sayangnya sebagai seorang ayah sehingga repot-repot datang ke Surabaya. Ia merasa bersalah. Ia sadar bahwa setelah kematian Darren Alexander, ia memperlakukan Damian dengan semaunya. Kasarnya, ia ingin menebus kesalahannya pada si putra bungsunya itu.Langkah panjang itu memutus jarak dengan tenang, lalu berdiri d
"Kau harus selalu mengingat apa kata Psikolog padamu." Obrolan itu mengalir di sela perjalanan menuju ke tempat parkir. Satu sesi konseling telah terlewati, dan kini mereka hendak kembali ke rumah."Iya." Pria berwajah oriental itu mengangguk, menyelaraskan langkah kaki dengan sang ibu, melewati jalan paving berpayungkan teduhnya pohon Tabebuya di sekitarnya."Jangan hanya diingat, kau harus melakukannya juga, Aksa." Lian Wijaya menyempatkan dirinya menatap sisi wajah tampan nan tirus itu, lengkap dengan ekspresi serius.Namun, putranya itu justru terkekeh kemudian berhenti melangkah demi memberikan atensi penuh pada wajah ibunya. "Baiklah, Mama. Aku akan melakukannya. Jangan khawatir begitu.""Kau satu-satunya putra Mama, Aksa. Mama hanya khawatir.""Aku tahu." Anggukan kepala Aksa berikan sebelum menyimpan kedua tangan di saku celana, bibir tipisnya mengukir senyum simpul. "Maaf karena aku sudah membuat Mama khawatir begini. Aku akan segera sembuh, seperti apa yang Psikolog katakan
"Kau sangat menyedihkan, Aksa!" kalimat itu lolos dari mulutnya ketika melihat pantulan dirinya sendiri di dalam cermin.Tatapan mata sehitam jelaga itu tak lagi berkharisma. Bagian bawah matanya yang menghitam menjadi bukti bahwa akhir-akhir ini pria itu tak pernah mendapati tidur yang nyenyak. Aksa Wijaya tampak kurus setelah gagal menikah. Dan kondisinya semakin memprihatinkan setelah menerima telepon dari Evelyn beberapa hari lalu.Suara ketukan di pintu kamarnya membuat atensi Aksa teralihkan. Sosok ibunyalah yang muncul dari balik daun pintu, menatap khawatir padanya."Mama," lirihnya.Lian Wijaya, ibunda Aksa mengalihkan tatapan mata pada nakas di sisi ranjang anaknya. Semangkuk sup jamur dan segelas air putih di atas nampan yang ia letakkan di sana pagi tadi tampak sedikit pun tak tersentuh. Sorot mata tua nan sipit itu seketika berubah sendu ketika mulai memutus jarak pada pria yang masih setia berdiri di depan cermin almarinya. "Kenapa sarapanmu masih utuh, Aksa?""Aku sedan
Setelah pesawat yang ia naiki mendarat di Bandara pagi ini, Damian segera menuju ke alamat rumah sakit yang ayahnya katakan di telepon. Ya, mau tidak mau pria itu pulang ke Jakarta. Bukan karena rasa takut, ia hanya merasa bersalah pada perempuan yang nyaris akan menjadi istrinya itu.Kedua orang tuanya sudah ada di kursi tunggu yang terletak di depan ruang perawatan Kiara Laurencia ketika langkah kaki panjang si pria menjejak di sana. Ada sosok ibunda si pasien yang duduk di sisi Sasmitha Alexander; ibunya. Dari raut wajah senja itu, Damian mampu melihat kabut duka yang pekat.Apakah ... kondisi Kiara begitu parah?Meski anak-anak mereka tak jadi menikah, namun ibu Kiara masih berhubungan baik dengan keluarga Damian. Pun keluarga pria itu pun memperlakukan mantan calon besannya serupa, mereka sudah bagaikan keluarga. "Damian, akhirnya kau datang." Sasmitha yang akhirnya lebih dulu menyadari kedatangan sang putra segera menyapa.Bennedict yang melihat wajah Damian kembali babak belur
Hal terakhir yang Damian ingat adalah pukulan Hiashi yang begitu kuat, selanjutnya kegelapan yang menyergap penglihatannya. Kini kepalanya terasa berdenyut-denyut, sangat tidak nyaman, menyakitkan. Bukan, bukan karena tinjuan si pria baya yang membuatnya kehilangan kesadaran. Ia tidak selemah itu. Hanya saja, tubuhnya memang sedang tidak dalam stamina yang baik hari ini, dan kebetulan pukulan terakhir dari ayah wanita yang ia cintai itu mengarah tepat di kepala. Ia goyah, dan ia tidak mengingat apa pun lagi setelahnya.Selanjutnya pria itu perlahan membuka mata, detik selanjutnya cahaya perlahan masuk ke retina matanya dan ... ia tersenyum. Meskipun samar, ia dapat mengenali sosok itu, sosok wanita berambut panjang yang duduk di sisi ranjang tempatnya berbaring dalam ruangan yang asing, kamar tamu jika tebakannya benar. Suara isak yang terdengar menguatkan dugaan si pria bahwa wanita itu tengah menangis. Ya, menangisi dirinya. Ada rasa hangat yang perlahan merambat di dada ketika me
Evelyn memang tergolong wanita yang rajin. Meski udara masih terasa dingin menggigit, ia sudah tampak beraktivitas di luar rumah. Ada sapu di tangannya, ia sedang membersihkan daun-daun kering yang berguguran di halaman."Masih pukul 6, apakah Aksa sudah bangun?" Wanita itu berujar pada diri sendiri, sejenak menghentikan gerakannya.Sekian detik berlalu, akhirnya Evelyn memutuskan untuk menelepon. Ia mengambil ponsel di saku celana, mencari kontak pria yang ingin ia hubungi kemudian menempelkannya di salah satu daun telinga.Dan tak lama kemudian terdengar suara dari ujung telepon sana, suara berat yang tak asing di telinga Evelyn."Hm." Hanya satu dehaman. Ya, hanya sebuah dehaman, namun hal itu cukup membuat jantung Evelyn berguncang, berdetak menyakitkan. Rasa bersalah itu kembali datang menyerang."Aksa, bagaiman—""Kukira kau sudah tak lagi mengingatku." Aksa sengaja memotong ucapan Evelyn. Meski dikatakan dengan nada biasa, namun tak mampu menutupi kegetiran di dalamnya.Di saat
Cinta memang mampu membuat orang waras menjadi gila. Damian tak pernah merasa tenang sebelum bisa memiliki Evelyn, pun sang putri. Setidaknya ... ia harus sesegera mungkin menemui mereka, terutama si wanita pemilik hatinya. Ia ingin meminta penjelasan atas ucapan wanita itu tempo hari, perkataan yang sukses membuat hatinya hancur berkeping.Meskipun sang ayah berkata akan membantunya mendapatkan kedua perempuan yang ia cintai di dunia, namun ia bukanlah pria manja yang hanya menunggu bala bantuan tanpa usaha. Ia akan berjuang dengan tenaga dan tangannya sendiri.Malam itu juga Damian putuskan untuk mendatangi Arjuna di kediamannya. Tepat setelah menepikan mobil, ia bergegas turun kemudian menghampiri satpam yang berjaga di dekat gerbang hunian megah itu."Selamat malam, bisakah saya bertemu dengan Tuan Arjuna?" pria bertubuh tegap nan menjulang tinggi itu bertanya di balik pintu gerbang ketika dua satpam mulai datang mendekat atas kehadirannya."Selamat malam, Tuan. Apakah Anda sudah
Suasana hangat itu sudah tidak lagi Evelyn rasakan. Meskipun kini mereka tengah berkumpul di meja makan, namun hanya berteman keheningan. Setiap anggota keluarga sibuk dengan hidangan pun pikirannya masing-masing.Jujur saja Evelyn merasa tak nyaman dengan kondisi yang seperti ini. Arjuna kentara masih menyimpan kebencian padanya. Meskipun duduk di meja yang sama, pria berambut gondrong itu sedikit pun tak melihat ke arahnya, seakan kehadirannya tak pernah ada."Kak Juna tidak ingin mencicipi capcaynya? Aku sendiri yang memasaknya, loh." Evelyn mencoba membuka obrolan pada akhirnya. Ia hanya ingin mencairkan kebekuan di antara mereka.Capcay adalah makanan kesukaan pria itu. Tentu saja ia berharap jika Arjuna akan memberikan respons atas ucapannya, pun sedikit apresiasi atas sajian makanan yang ia buat khusus untuknya.Namun, ekspektasi memang sering kali tak sesuai fakta. Arjuna nyatanya tak sedikit pun mengindahkan ucapan Evelyn. Ia acuh tak acuh dan justru menyendokkan lauk lain ke