El merentangkan tangan, merasakan rerumputan hijau yang lembap itu menyentuh kulit tangannya. Menghirup aromanya, merasakan hangatnya matahari yang muncul malu-malu dari balik awan, dan matanya menyipit.
Dongeng yang pernah ia bayangkan itu masih tersimpan rapi di kepala. Tapi, sekarang El tidak mau itu menjadi dongeng. Negeri di atas pelangi atau apa pun itu, El akan mewujudkannya. Di sini. Bersama wanita yang mengenakan dress putih selutut yang sekarang sedang berjalan mendekat ke arahnya.
Wajah itu muncul begitu saja dengan rambut hitam yang nyaris terjatuh mengenai muka El. Gadis itu tersenyum lebar. Mata mereka bertemu dan dada El berdesir. “Terlalu luas,” katanya sambil mengangkat kepala ke sekeliling mereka kemudian duduk di samping El dengan kaki yang diluruskan.
&nb
Dia Elden Clay. Laki-laki yang sekarang sedang duduk di bawah payung besar dengan kacamata hitam yang bertengger sempurna di batang hidungnya yang tinggi. Di saat semua staf tengah berjuang melawan teriknya matahari di lokasi shooting itu, El malah dengan nyaman berselonjor, meluruskan kakinya yang panjang di atas kursi santai. “Air,” perintahnya sambil menyilangkan kedua tangan di atas dada. Poni pirangnya bergerak-gerak ditiup angin. Tak sampai satu menit, sebotol air mineral muncul begitu saja di depan wajahnya. El menggerak-gerakkan telunjuk di depan wajah penata rias yang menyodorkan botol itu. Gadis muda itu nyengir, paham kalau air yang dimaksud oleh El bukan sekedar air bening biasa. “Mas Elden mau minum apa? Jus?” tanyanya pelan. El yang sejak tadi memasang wajah tanpa minat segera duduk, menegakkan punggung, kemudian melepas kacamata hitamnya. “Harlan nggak bilang sama lo kalau gue nggak minum air mineral dalam botol plastik?”
Apa ini? Kenapa El merasa hidupnya akan segera berubah dalam satu hari? Ia masih sangat muda dan sekarang ... seseorang harus menjadi anaknya? El hampir saja membuat Harlan menabrakkan van yang mereka kendarai ke pembatas jalan dalam perjalanan ke kantor ‘Hadian Munir and Partner’ tadi. El mengomel tanpa henti, mengacak-acak rambut sampai kunciran di belakang kepalanya terlepas, menghempas-hempaskan tubuhnya ke jok, dan menarik kerah kemeja Harlan hingga membuat dua kancingnya terlepas. “El! Bisa tenang sebentar enggak sih?” El menggeram. “Tenang gimana? Sebentar lagi gue bakal punya peliharaan! Lo tahu kan, gue bahkan nggak pernah ngelihat seekor anak nyamuk pun di apartemen. Dan sekarang gue harus ngurusin anak manusia? Limabelas tahun dan dia perempuan!” Harlan memperbaiki kemejanya yang sudah tak keruan sambil mulai konsentrasi lagi ke jalanan. Ia tahu ia hanya seorang manajer. Tapi, mati muda karena kecelakaan lalu lintas sama sekal
Abigail masih bersandar di tembok saat pintu apartemen El terbuka. Gadis itu belum mengatakan hal lain kecuali soal Elden-Clay-aneh di kantor Hadian Munir tadi. Headset hitam yang menempel di telinganya terlihat begitu menyebalkan di mata El. El sama sekali tidak berniat memberikan sambutan atau apa pun. Setelah masuk dan mengganti bot kulitnya dengan slipper, ia langsung melesat ke dalam dengan langkah yang sengaja dihentak-hentakkan. Harlan hanya geleng-geleng kepala melihat kelakuan El. “Ayo, masuk.” Harlan tersenyum lebar. Abigail tidak menjawab. Selain karena kedua telinganya tertutup, tangannya yang sibuk bermain rubik membuat Harlan sama sekali tidak mendapatkan respon apa pun darinya. Harlan tidak menyerah. Ia malah tersenyum semakin lebar dan mengulurkan tangan, menawarkan bantuan untuk membawakan tas Abigail. “Nggak usah. Gue bisa sendiri.” Balas Abigail ringkas. Tanpa disuruh, ia langsung menduduki sofa putih kesayangan El di ruang tengah.
El menyeret sepasang kakinya yang telanjang dengan mata setengah terpejam ke ruang tengah. Ia merasa sesuatu yang asing dan lengket menempel di telapak kakinya. Detik itu juga El segera berjinjit. Sayang, karena kesadarannya belum kembali sepenuhnya, ia berdiri sempoyongan hingga tubuhnya mundur beberapa langkah. Kepalanya kemudian membentur pintu kamar. “Aaaw!!!” El mengusap kuncirannya yang hampir lepas itu kuat-kuat. Benturan itu membuat kepalanya lumayan sakit dan berhasil membuat nyawa El terkumpul sempurna. Saat matanya membulat penuh, mulut El juga menganga lebar. Di tengah terang benderang lampu, ia bisa melihat jelas dua cup mi instan yang berkuah kuning dan menjijikkan tergeletak di atas meja. Karpet bulu yang menjadi alas meja bergeser tak keruan. Sementara cushion sudah jatuh berserakan.Lalu, ada … jejak-jejak kaki besar berwarna cokelat yang mengotori lantai kesayangannya. Lantai marmer yang dipilih oleh El sendiri tiga tahun lalu. Lantai yang harganya lebih
“El, udah jam 12 siang. Shooting dimulai setengah jam lagi dan kamu masih di sini?” Harlan memandangi El yang sedang berbaring di ranjang, membelakanginya. Dua jam yang lalu Harlan menyangka sesuatu yang buruk terjadi saat El menelepon dan berteriak-teriak panik. Harlan sudah membayangkan seorang ABG labil masuk ke apartemen dan melakukan tindakan asusila padanya atau mungkin barang-barang kesayangan El hilang karena perampok. Nyatanya, bocah itu mengamuk karena menemukan ruang tengahnya berantakan, karpet yang terkena tumpahan susu, kakinya yang lengket, dan jejak kaki menjijikkan di mana-mana.“Gue udah menduga bakal kayak gini. Seharusnya dari awal anak itu nggak usah tinggal di sini! Sekarang apa? Dia bahkan menghilang setelah membuat kekacauan di rumah gue! Karpet itu....”“Karpetnya kan udah dibawa ke laundry. Sofa dan lantai juga udah dibersihkan.”El memutar kepala dan tetap memeluk bantal juga guling. “Ini masih hari pertama, Lan. Gimana besok? Atau besoknya lagi? Jangan-jang
Aby sengaja berjalan dengan langkah super cepat begitu ia menyadari anak laki-laki aneh berseragam SMA itu masih berada di balik punggungnya. Cowok itu bersiul riang sambil menggoyang-goyangkan plastik putih di tangannya ke sana-sini. Langkah kakinya berirama. Satu, dua, satu, dua. Terdengar lambat, tapi tetap bisa menyamai langkah Aby. Mungkin karena kakinya yang kelewat panjang. “Beneran kamu enggak mau susunya?” tanya suara itu lagi. Anak itu begitu menjengkelkan. Dia laki-laki tapi kenapa cerewet sekali? Di halte bus tadi ia bahkan mendadak muncul di depan wajah Aby dan langsung mengulurkan kantong berisi makanan, seolah Aby adalah anak jalanan yang sedang kelaparan dan menunggu seseorang datang menolongnya. Aby memasukkan kedua tangannya ke dalam saku jaket, berbalik sekilas, dan memberikan tatapan sinis pada anak kurang kerjaan itu. Aby sempat berusaha membaca badge nama di dada kirinya, namun karena durasi pandang yang terlalu cepat itu ia hanya bisa mel
Tombol itu ditekan El kuat-kuat. Berulang-ulang hingga laki-laki yang memegang pedang di layar televisi itu terkapar di bawah kaki karakter pria kekar yang dimainkan El. El menarik napas panjang lalu melemparkan stik di tangannya ke atas meja. Ia kemudian berbaring di sofa, membolak-balikkan tubuh terus menerus selama lima menit. El lalu bangkit, menyeret langkah dengan malas, dan mengambil sebatang cokelat dari dalam lemari es. Ia duduk di atas meja makan sambil menggoyang-goyangkan kakinya yang berbalut slipper. Suara benda keras yang dipatahkan dan dikunyah-kunyah bercampur decap di mulutnya. Setelah memutuskan untuk pergi dari lokasi shooting tadi, El sungguh-sungguh pulang. Ia tidak pernah melarikan diri dari pekerjaan seperti ini. Sehingga ia sama sekali tidak tahu tempat apa yang bisa dikunjungi untuk melepaskan penatnya. Lagi pula, El ingin sendiri. Pergi ke tempat ramai akan membuat gadis-gadis labil mengejarnya dan, tentu saja, malah membuat kepala El
El memijat batang hidungnya yang tinggi setelah meletakkan kembali tablet ke atas meja kerjanya. Email dari sebuah rumah produksi baru saja ia buka. Tawaran film layar lebar lagi. Yang ketiga dalam bulan ini. Dua judul yang sebelumnya ditolak mentah-mentah oleh El karena tidak sesuai dengan image-nya. Tapi, email barusan membuat El sedikit goyah. Kali ini Sutarjo Pramudya, seorang sutradara muda yang beberapa bulan lalu mendapatkan penghargaan dari sebuah ajang bergengsi di luar negeri. Film pendek debutannya menang dalam kategori ‘Penyutradaraan Terbaik’. El sudah menonton film itu dan sepertinya masa depan sutradara tersebut cukup menjanjikan. Sejujurnya, meskipun belum bisa memberi keputusan, El menyukai ide cerita yang mereka tawarkan. El melirik jam dinding yang tergantung di depan pintu. Sudah lewat tengah malam. Harlan sudah pulang setelah mengantar makanan ke dalam kamar Aby. El sendiri sama sekali belum keluar dari kamar dan tidak berminat menemui anak
El merentangkan tangan, merasakan rerumputan hijau yang lembap itu menyentuh kulit tangannya. Menghirup aromanya, merasakan hangatnya matahari yang muncul malu-malu dari balik awan, dan matanya menyipit. Dongeng yang pernah ia bayangkan itu masih tersimpan rapi di kepala. Tapi, sekarang El tidak mau itu menjadi dongeng. Negeri di atas pelangi atau apa pun itu, El akan mewujudkannya. Di sini. Bersama wanita yang mengenakan dress putih selutut yang sekarang sedang berjalan mendekat ke arahnya. Wajah itu muncul begitu saja dengan rambut hitam yang nyaris terjatuh mengenai muka El. Gadis itu tersenyum lebar. Mata mereka bertemu dan dada El berdesir. “Terlalu luas,” katanya sambil mengangkat kepala ke sekeliling mereka kemudian duduk di samping El dengan kaki yang diluruskan.&nb
Aby merapatkan capuchon jaketnya saat ia melintasi kerumunan itu. Sudah seminggu sejak terakhir kali ia melihat El secara langsung. Dan tadi, untuk pertama kalinya, ia melihat El lagi. Wajah lelah itu, lingkaran di sekeliling matanya yang menghitam membuat mata Aby membasah. Semua orang membicarakan mereka. Semua orang memberitakan El dengan anak kandung dari masa lalunya. Kilatan blitz masih membuat mata El menyipit. Wartawan-wartawan belum berhenti memberikan berbagai pertanyaan pada El. Beberapa orang di antara mereka bahkan melontarkan tudingan dan menuduh El sedang mencari sensasi. Kali ini, air mata Aby sungguh-sungguh membasahi wajahnya. Ia sudah membuat laki-laki itu melalui banyak hal karena dirinya. Aby ingin memeluk El dan menepuk-nepuknya seperti yang dilakukan pria itu padanya. Aby masih ingin membuatkan te
Aroma rerumputan basah itu langsung menerpa hidung El lembut saat ia tiba di tempat itu. Suara kicauan burung dan desauan angin menyapa senyum El yang melebar. El merentangkan tangan dan menikmati setiap hembusan napas yang ia hela. Dan kepalanya perlahan mulai membayangkan banyak hal. Bukit kecil berpadang rumput dengan sebuah rumah kecil di depannya. Jendela-jendela kayu yang terbuka membawa aroma pepohonan. Bersama wanita itu di sini, berbaring di atas rerumputan. Mendengarkan musik yang sama dengan jemari yang saling bertaut. Saling pandang, tersenyum satu sama lain seperti dalam dongeng. Lalu, di sana, di antara bunga-bunga yang mereka tanam dan mereka siram bersama setiap hari, kaki-kaki mungil itu berlari-lari. Tertawa riang sambil sesekali memanggil mereka berdua. 
“El. Mungkin dia sama El sekarang. Kamu tenang dulu, Ann.” Joanna tampak tidak peduli dan masih sibuk mengenakan kardigan hitamnya. Ia bahkan terlalu lemah untuk berjalan, tapi ia malah nekat meminta Philip mengantarnya mencari Aby. “Enggak mungkin, Phil. Aku kenal dia dengan baik. Dalam keadaan kayak gini dia nggak akan mungkin ada di sini atau bersama El. Dia pasti pergi ke tempat yang mungkin sulit ditemukan. Dalam keadaan kayak gitu gimana aku bisa ngebiarin dia sendirian. Aku harus cari dia, Phil.” “Ann.” Joanna mencoba berdiri sambil menopang tubuhnya di ujung ranjang. Ia baru saja menurunkan kedua kakinya saat mendadak tubuhnya hampir merosot dan terjatuh. Ia memang sakit, tapi ia tidak berpikir ia selemah ini. Joann
Tubuh Joanna merosot ke lantai ketika mendengar apa yang dikatakan dokter di depannya itu. Hasil tes dua hari yang lalu tidak berubah sama sekali. Ia menangis sejadi-jadinya di dalam ruang periksa itu. Selama seminggu lamanya Joanna menyendiri. Memikirkan banyak hal. Memikirkan dirinya, juga sesuatu yang hidup dalam dirinya. Dia merasa begitu ketakutan, tapi ini adalah kesalahan yang sudah ia buat dan tidak ada yang bisa memperbaikinya lagi. “Rahim kamu lemah. Dan kehamilan ini mungkin akan sangat beresiko, Ann. Saya tidak menyarankan untuk meneruskannya. Kamu bisa mundur kalau kamu nggak sanggup.” Joanna tidak menggeleng. Juga tidak mengatakan akan melanjutkan semua ini. Tapi, membayangkan wajah laki-laki itu di depan matanya, ia merasa akan sangat kej
El tersenyum menatap catatan yang ia buat di ponselnya itu. Carissa juga tak bisa menahan senyumnya. Sejak tadi El bercerita dengan begitu antusias. Tentang hari minggu yang mereka habiskan bersama. Tentang telur enak yang dibuatkan Aby untuknya. Tentang nilai-nilai sempurna Aby di sekolah. Juga tentang game yang mereka mainkan tadi malam. Melihat El yang seperti ini, rasanya Carissa benar-benar melihatnya sebagai seorang manusia seutuhnya. Bukan sebagai Elden Clay si aktor itu. Bukan sebagai senior yang ia hormati. Laki-laki yang sekarang duduk di sebelahnya itu tidak lebih dari seorang manusia biasa, seorang ayah yang sedang menceritakan tentang putri kesayangannya pada teman. Tentang seorang ayah yang sedang mencari tahu hal menarik apa yang kira-kira akan membuat putrinya senang. “Kamar warna pink dengan sprei bergambar Princess Disney ini memang harus ya?” tanya El. 
El baru saja keluar dengan kepala basah dan handuk di tangan saat matanya menemukan dua stik game console yang berserakan di atas karpet dan dua botol susu cokelat yang sudah kosong di atas meja. Alih-alih merasa risih, El malah tersenyum dan berjalan mendekat dengan kedua tangan yang masih sibuk mengeringkan rambut. Ia kemudian duduk dan bersandar di sofa. Malam tadi, sepulang bekerja, El mendapati Aby sedang tertunduk di ruang tengah dengan rubik yang sudah selesai di tangannya. “Bete?” Aby mengangkat kepala dan hampir saja menjatuhkan benda di tangannya. Ia lalu tersenyum pada El. Sebuah senyuman yang sungguh-sungguh tulus. “Mau keluar?” tawar El. Masih pukul delapan dan ia yakin masih banyak tempat yang
“Hei, Aladdin! Aku adalah jin yang akan mengabulkan segala permintaanmu.” “Hah? Beneran?” “Yoi! Beneran!” “Kalau gitu, aku pengen ganteng.” Haddad, anak laki-laki berbadan besar dan berkulit hitam yang berperan sebagai jin itu tampak mencibir. “Kalau aku bisa bikin orang jadi ganteng, pasti udah aku gantengin duluan mukaku!” “Huuuuuu!!!” Seisi kelas langsung berteriak bersamaan. Aby juga. Entah kenapa hari ini segala sesuatu yang ia lihat selalu bisa membuatnya tertawa. Bahkan Sarah yang duduk di sampingnya sama sekali tidak paham kenapa Aby bisa se
Pagi ini terasa asing bagi Aby. Bukan karena ia sedang berada di tempat lain, tapi sejak pertama kali Aby keluar dari kamarnya, ia sudah menemukan El di ruang tengah. Aby mengira El sedang sibuk dengan game console atau mungkin sedang menonton siaran televisi favoritnya. Alih-alih melihat El bersantai, Aby malah mendapati laki-laki itu sibuk merapikan tumpukan CD dan piringan hitam dari lemari besar di sebelah sofa. Benar-benar pemandangan yang langka. “Udah bangun?” tanya El saat menyadari ada sepasang mata memerhatikannya. Mood El benar-benar terlihat baik hari ini. Aby sangat yakin kalau ini adalah kali pertama El merapikan barang-barangnya sendiri karena setiap hari selalu ada tukang bersih-bersih yang datang. “Ya.” Aby merasa canggung sampai-sampai ia pikir ia harus segera melesat ke sekolah meskipun ini hari minggu. “Sibuk?” El tampak menggulung lengan kemeja putihnnya sebatas siku. “Enggak.” “Bisa bantu?” A