El menyeret sepasang kakinya yang telanjang dengan mata setengah terpejam ke ruang tengah. Ia merasa sesuatu yang asing dan lengket menempel di telapak kakinya. Detik itu juga El segera berjinjit. Sayang, karena kesadarannya belum kembali sepenuhnya, ia berdiri sempoyongan hingga tubuhnya mundur beberapa langkah. Kepalanya kemudian membentur pintu kamar.
“Aaaw!!!” El mengusap kuncirannya yang hampir lepas itu kuat-kuat. Benturan itu membuat kepalanya lumayan sakit dan berhasil membuat nyawa El terkumpul sempurna. Saat matanya membulat penuh, mulut El juga menganga lebar. Di tengah terang benderang lampu, ia bisa melihat jelas dua cup mi instan yang berkuah kuning dan menjijikkan tergeletak di atas meja. Karpet bulu yang menjadi alas meja bergeser tak keruan. Sementara cushion sudah jatuh berserakan.
Lalu, ada … jejak-jejak kaki besar berwarna cokelat yang mengotori lantai kesayangannya. Lantai marmer yang dipilih oleh El sendiri tiga tahun lalu. Lantai yang harganya lebih mahal dari mobil Harlan. Lantai yang sekarang kotor karena….
El langsung mengangkat kakinya yang lengket dan menyadari kalau jejak telapak kaki itu adalah jejak kakinya sendiri. Kakinya yang menginjak ... tumpahan susu dari botol cokelat yang tergeletak pasrah di dekat jendela, di atas ... karpet bulu-bulu itu. Air cokelat menjijikkan itu mengalir seperti sungai hingga ke depan pintu kamar El.
“Aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaarggghhhh!”
Pagi itu segera menjadi pagi terburuk selama El hidup di apartemen ini.
v
Sudah hampir pukul enam pagi. Ruangan ini masih gelap dan sepi. Laki-laki aneh itu sepertinya belum bangun dan manajernya yang selalu tersenyum juga tidak tampak. Setelah terbangun malam tadi, Aby sama sekali tidak bisa tidur. Ia terus memandangi langit-langit dengan kedua telinga yang tersumbat headset. Membolak-balik tubuhnya tanpa henti sampai tadi. Sampai rasa pening dan lapar membuatnya terpaksa bangkit dari sofa paling empuk yang pernah didudukinya itu.
Aby mendesah berat saat ia tak menemukan apa pun di dalam lemari es yang jauh lebih tinggi darinya itu selain cokelat, roti, dan air putih. Buat apa kulkas sebesar ini kalau sebungkus mi instan pun tidak ada?
Aby memijat tengkuknya sambil memikirkan benda apa yang bisa ia masukkan ke mulutnya untuk membuat rasa sakit dan berisik di perutnya itu menghilang. Tidak tidur semalaman dan tidak makan apa pun membuat tubuhnya mulai berontak. Setelah menenggak kandas air putih di dalam gelas kristal itu, ia lalu mengambil dompet dan menyambar jaket merahnya.
Matanya langsung menyipit begitu ia keluar dan menginjakkan kakinya di pelataran apartemen itu. Cahaya matahari yang masih kekuningan hangat menerpa wajahnya. Aby buru-buru memasang capuchon jaket ke kepalanya. Aby tak begitu suka cahaya dan juga warna terang.
Aby celingukan dan sadar kalau sepagi ini banyak sekali orang yang beraktivitas. Karwayan kantor yang berjalan tergesa-gesa dengan tumpukan dokumen di tangan kanan dan tas selempang yang dipasang asal-asalan nyaris menabraknya. Satpam yang masih setengah mengantuk di pos penjagaan tampak memandangi Aby penuh selidik, membuat Aby mempercepat langkahnya.
Apartemen yang asing. Seorang laki-laki berambut pirang yang asing. Jalanan yang asing. Aby butuh waktu hampir dua puluh menit untuk menemukan sebuah swalayan 24 jam di ujung jalan. Setelah membeli dua cup mi instan dan sebotol besar susu cokelat, ia segera kembali ke apartemen El. 282828. Harlan memberi tahu password itu padanya kemarin sore.
Setelah menuang air panas pada dua cup mi instan, Aby lalu meletakkannya di atas meja, mengambil botol susu, membukanya dengan cepat, dan meneguk seperempat isinya hanya dalam waktu beberapa detik saja. Aby kemudian membuka tirai dan membuang padangannya dari lantai lima itu ke bawah. Ke jalanan yang mulai ramai dilewati oleh orang-orang.
Wajah Aby yang datar dan dingin sempat membentuk senyuman beberapa detik saat melihat laki-laki bertopi hitam hampir menabrak tiang listrik karena sibuk bermain ponsel. Segerombolan anak sekolah berseragam putih abu-abu kemudian melintas. Mereka terlihat mengobrol seru, saling dorong, kemudian tertawa. Aby menarik napas panjang. Kapan terakhir kali Aby pergi ke sekolah? Mungkin setahun yang lalu, saat awal tahun ajaran. Itu hanya satu bulan sejak Aby masuk SMA. Aby tidak punya teman-teman yang bisa membuatnya tertawa sekeras itu. Selain duduk sendirian di pojok kelas dengan teman-teman yang selalu menganggapnya aneh, guru-guru dan pelajaran yang tak disukai, Aby tidak punya ingatan lain tentang sekolah. Baginya, sekolah hanyalah tempat orang tua menitipkan anak-anak karena mereka tidak punya waktu untuk mengurusnya sendiri. Aby tidak membenci sekolah. Tapi, tidak harus pergi ke sekolah membuat Aby merasa lebih baik.
Aby hendak berbalik ke meja untuk memastikan minya sudah cukup lunak untuk dimakan. Aroma bumbu sudah menyebar hampir ke seluruh ruangan dan memaksa sel-sel di kepala Aby untuk bergerak lebih cepat menyantapnya. Gadis itu baru saja mengalihkan pandangannya ke meja saat ia menangkap sosok yang terlihat begitu familier di bawah sana. Seorang wanita berblazer cokelat muda yang tampak mondar-mandir seperti seseorang yang takut tertangkap basah ada di tempat itu. Kalau saja wanita itu tidak melihat ke jendela tempat Aby berdiri dan menemukan matanya, Aby mungkin tak akan seterkejut ini. Sepersekian detik, dan itu sudah cukup bagi Aby untuk menyadari kalau wanita itu adalah ... Joanna.
“Mama…” desis Aby tertahan. Kecurigaan Aby bertambah saat wanita itu buru-buru menunduk dan melangkah dengan cepat, menghilang dari pandangan Aby. Seperti kesetanan, Aby sudah tak sempat berpikir tentang apa pun lagi. Ia tak peduli dengan botol susu yang terjatuh di bawah kakinya. Ia juga tidak peduli lagi dengan mi yang mengembang dua kali lipat dari ukuran sebelumnya. Aby segera mengambil ponsel dan berlari keluar, masih dengan tubuh berbalut jaket merah yang belum sempat dilepasnya.
Dengan slipper putih, kaki kecilnya berlari. Melewati gerbang dan tatapan curiga satpam. Aby langsung menuju jalan kecil di sisi kanan apartemen. Jalanan itu ramai. Napasnya tersengal, membuat dadanya naik turun. Aby berhenti, memegangi lututnya, celingukan, dan memanjangkan lehernya ke sana-sini. Sayangnya, ia tetap tak menemukan sosok itu.
Dalam keadaan panik dan kebingungan, hal terakhir yang bisa ia lakukan adalah menekan tombol dua di ponsel. Tombol panggilan cepat mamanya. Lima kali ia mencoba panggilan itu, tapi tak ada suara mamanya di sana. Hanya operator yang semakin meyakinkan Aby kalau yang ia lihat tadi memang mamanya. Tapi, bagaimana bisa wanita itu ada di sini? Bukankah seminggu setelah mengantarkan Aby ke Rumah Cinta, mamanya sudah berangkat ke Selandia Baru bersama Philip? Aby percaya itu. Ia bahkan melihat paspor dan tiket pesawat itu dengan mata kepalanya sendiri. Lantas, apa yang baru ia lihat tadi?
Dengan perasaan penasaran yang tak menentu, setengah jam setelah ia memasukkan lagi ponsel itu ke dalam saku jaketnya, ia masih berputar-putar di jalanan sekitar apartemen. Sampai Aby merasa lututnya sakit sekali, barulah ia memutuskan untuk duduk di bangku halte di pinggir jalan.
Matahari mulai tinggi. Kejadian itu benar-benar membuat Aby tidak sempat berpikir tentang apa pun selain mamanya. Jaket yang lumayan tebal itu bahkan masih menempel di tubuhnya dan capuchon itu masih menutupi kepala dan sebagian wajahnya.
Aby menunduk kemudian berdecak. Ia pasti sudah hilang akal tadi. Setelah berlari-lari kesetanan dari lantai lima, sekarang ia bahkan baru sadar kalau ia sudah kehilangan slipper sebelah kanan yang tadi dipakainya. Kaki kanannya menghitam, kotor oleh debu.
Sebenarnya apa yang sedang dilakukan wanita itu padanya? Setelah memutuskan untuk meninggalkan Aby, apa sekarang mamanya sedang mencoba bermain kucing-kucingan? Untuk apa ia muncul lagi di depan mata Aby setelah memutuskan memilih orang lain yang bukan dirinya? Apa mamanya sedang pamer pada Aby kalau hidupnya sekarang sudah lebih baik? Apa mamanya sedang berusaha menunjukkan pada Aby bahwa ketiadaannya membuat hidupnya lebih bahagia?
v
“Aku kan sudah bilang kamu jangan keluar! Ngapain lagi kamu cari-cari Aby? Kalau tadi Aby menemukan kamu, semua bisa gawat. Kamu tahu itu, kan?” Laki-laki berkacamata dengan rambut klimis itu tampak berkacak pinggang di depan BMW merahnya. Ia tampak sangat marah, sementara wanita di depannya tertunduk dengan mata merah dan wajah pucat.
“Aku cuman mastiin, apa Aby benar-benar sudah sampai ke rumah El.”
Laki-laki itu mendengus. “Sekali lagi kamu berbuat ceroboh seperti ini, kamu tahu apa yang akan terjadi, Anna,” ancamnya dengan suara pelan yang tetap terdengar menakutkan. Joanna tidak menyahut lagi. Tangannya kemudian bergerak pelan membuka pintu mobil. Ia masih sempat mengitarkan pandangannya selama beberapa detik sebelum duduk di jok belakang. Ia tidak tahu apakah keputusannya ini sudah benar.
v
“Aaaah ... telat lagi,” gumamnya sambil menatap sekantong plastik berisi roti dan susu di tangan. Ia celingukan dan langsung kecewa saat tak menemukan dua bocah gelandangan yang tadi duduk di emperan toko. Toko itu sudah buka dan mereka pasti diusir oleh pemiliknya.
Cowok tinggi berseragam SMA itu langsung memutar tubuhnya. Sudah hampir pukul sembilan. Kalau tetap nekat pergi ke sekolah, ia pasti akan diusir oleh satpam. Ini adalah kali kelima ia terlambat oleh sebab yang sama.
“Bang Askar!” Seorang bocah dengan pakaian kumal dan ukulele di tangan melambai padanya. Cowok dengan badge nama bertuliskan ‘ASKAR DZAKWAN’ di dada kirinya itu segera menoleh, balas melambai, kemudian tersenyum lebar. “Telat lagi?”
Askar mengangguk sambil mengacak pelan kepala plontos Gana. “Udah sarapan?” Askar mengacungkan kantong plastik tadi dan langsung disambut anggukan cepat Gana.
“Udah. Hari ini emak masak,” jawabnya sambil tersenyum. “Gana ngamen dulu ya, Bang!” pamitnya. “Nanti sore jangan lupa datang!”
Askar mengangguk sambil mengacungkan jempol pada Gana. Anak berusia sepuluh tahun itu bukan satu-satunya pengamen dan anak jalanan yang dikenal Askar. Di sekitar sekolah yang kebetulan dekat dengan lampu merah, Askar sangat mudah menjumpai mereka. Ada yang sedang mengamen, berjualan asongan, sampai mengemis. Askar bukannya tidak peduli pada mereka, tapi mengembalikan mereka semua ke sekolah bukanlah hal yang mudah. Selain masalah biaya, semangat mereka untuk belajar sepertinya sudah hilang sejak lama, sejak mereka semua menghirup debu dan panasnya jalanan. Bagi mereka, hidup ini hanya tentang uang. Dan, saat ini, hanya jalanan yang bisa memberikan mereka makan, bukan sekolah.
Setahun sejak Askar pindah dari Medan ke Jakarta, kehidupan jalananlah yang terasa paling menarik baginya. Berawal dari kamera butut, alat yang ia pakai untuk mengabadikan wajah-wajah legam berdebu, Askar berkenalan dengan mereka. Gana yang ibunya lumpuh, Dinda yang mati-matian membiayai adiknya sekolah, sampai Akil yang berambisi untuk jadi kaya tanpa harus sekolah.
Kalau saja Askar punya banyak uang, ia pasti akan menyekolahkan dan memberi mereka makan. Tapi, untuk saat ini, yang bisa dilakukannya hanyalah datang ke gubuk bobrok di kampung pinggir kota, mengajak mereka bercerita, mengajari membaca, bermain, dan menjadikan mereka model untuk foto-fotonya. Sesekali membawakan mereka makanan kalau Askar baru mendapat bayaran dari memotret. Sesederhana apa pun, bagi Askar semua itu adalah penghilang lukanya. Setidaknya, selain nenek, ia masih punya banyak teman yang ia pedulikan dan peduli padanya.
Askar celingukan sambil memikirkan tempat mana yang bisa ia tuju sampai jam sekolah selesai. Ia tidak mungkin pulang ke rumah. Neneknya akan marah jika tahu cucu tunggalnya itu terlambat akibat membelikan makanan untuk gelandangan yang tertidur di depan ruko. Sebenarnya, Askar bisa saja pergi hunting foto, tapi kameranya ada di rumah. Membawa kamera ke sekolah adalah hal paling mustahil. Selain peraturan sekolah yang tidak membenarkan siswa membawa barang-barang yang tidak berhubungan dengan pelajaran (di sekolah Askar tidak ada ekstrakurikuler fotografi), nenek juga melarangnya.
Askar kemudian berjalan pelan sambil berpikir apakah ia bisa ikut Gana mengamen. Lalu, sepasang matanya menemukan warna merah mencolok pada halte bus di depannya. Seorang gadis dengan sebelah kaki telanjang yang sedang menatap kosong ke jalanan.
Askar berdiri dua meter dari halte. Gadis itu tampak tak terusik saat Askar terus memerhatikannya tanpa henti. Entah karena jarak mereka yang terlalu jauh atau gadis itu terlalu larut dalam pikirannya sendiri hingga tidak sadar ada seseorang yang sedang berjalan mendekat ke arahnya.
Kedua ujung bibir Askar tertarik ke samping perlahan. Ia sudah berdiri, persis di depan gadis itu. Gadis yang sama sekali belum menyadari kehadirannya.
Dari jarak sedekat ini, Askar benar-benar dapat menggambarkan gadis itu dengan mudah. Wajah tirus pucat. Rambut hitam sebahu yang tertutup capuchon merah. Hidung kecil dan sepasang mata yang bening. Seorang gadis yang terlihat sama persis seperti seorang tokoh dalam dongeng yang pernah dibacanya.
Little Red Riding Hood?
***“El, udah jam 12 siang. Shooting dimulai setengah jam lagi dan kamu masih di sini?” Harlan memandangi El yang sedang berbaring di ranjang, membelakanginya. Dua jam yang lalu Harlan menyangka sesuatu yang buruk terjadi saat El menelepon dan berteriak-teriak panik. Harlan sudah membayangkan seorang ABG labil masuk ke apartemen dan melakukan tindakan asusila padanya atau mungkin barang-barang kesayangan El hilang karena perampok. Nyatanya, bocah itu mengamuk karena menemukan ruang tengahnya berantakan, karpet yang terkena tumpahan susu, kakinya yang lengket, dan jejak kaki menjijikkan di mana-mana.“Gue udah menduga bakal kayak gini. Seharusnya dari awal anak itu nggak usah tinggal di sini! Sekarang apa? Dia bahkan menghilang setelah membuat kekacauan di rumah gue! Karpet itu....”“Karpetnya kan udah dibawa ke laundry. Sofa dan lantai juga udah dibersihkan.”El memutar kepala dan tetap memeluk bantal juga guling. “Ini masih hari pertama, Lan. Gimana besok? Atau besoknya lagi? Jangan-jang
Aby sengaja berjalan dengan langkah super cepat begitu ia menyadari anak laki-laki aneh berseragam SMA itu masih berada di balik punggungnya. Cowok itu bersiul riang sambil menggoyang-goyangkan plastik putih di tangannya ke sana-sini. Langkah kakinya berirama. Satu, dua, satu, dua. Terdengar lambat, tapi tetap bisa menyamai langkah Aby. Mungkin karena kakinya yang kelewat panjang. “Beneran kamu enggak mau susunya?” tanya suara itu lagi. Anak itu begitu menjengkelkan. Dia laki-laki tapi kenapa cerewet sekali? Di halte bus tadi ia bahkan mendadak muncul di depan wajah Aby dan langsung mengulurkan kantong berisi makanan, seolah Aby adalah anak jalanan yang sedang kelaparan dan menunggu seseorang datang menolongnya. Aby memasukkan kedua tangannya ke dalam saku jaket, berbalik sekilas, dan memberikan tatapan sinis pada anak kurang kerjaan itu. Aby sempat berusaha membaca badge nama di dada kirinya, namun karena durasi pandang yang terlalu cepat itu ia hanya bisa mel
Tombol itu ditekan El kuat-kuat. Berulang-ulang hingga laki-laki yang memegang pedang di layar televisi itu terkapar di bawah kaki karakter pria kekar yang dimainkan El. El menarik napas panjang lalu melemparkan stik di tangannya ke atas meja. Ia kemudian berbaring di sofa, membolak-balikkan tubuh terus menerus selama lima menit. El lalu bangkit, menyeret langkah dengan malas, dan mengambil sebatang cokelat dari dalam lemari es. Ia duduk di atas meja makan sambil menggoyang-goyangkan kakinya yang berbalut slipper. Suara benda keras yang dipatahkan dan dikunyah-kunyah bercampur decap di mulutnya. Setelah memutuskan untuk pergi dari lokasi shooting tadi, El sungguh-sungguh pulang. Ia tidak pernah melarikan diri dari pekerjaan seperti ini. Sehingga ia sama sekali tidak tahu tempat apa yang bisa dikunjungi untuk melepaskan penatnya. Lagi pula, El ingin sendiri. Pergi ke tempat ramai akan membuat gadis-gadis labil mengejarnya dan, tentu saja, malah membuat kepala El
El memijat batang hidungnya yang tinggi setelah meletakkan kembali tablet ke atas meja kerjanya. Email dari sebuah rumah produksi baru saja ia buka. Tawaran film layar lebar lagi. Yang ketiga dalam bulan ini. Dua judul yang sebelumnya ditolak mentah-mentah oleh El karena tidak sesuai dengan image-nya. Tapi, email barusan membuat El sedikit goyah. Kali ini Sutarjo Pramudya, seorang sutradara muda yang beberapa bulan lalu mendapatkan penghargaan dari sebuah ajang bergengsi di luar negeri. Film pendek debutannya menang dalam kategori ‘Penyutradaraan Terbaik’. El sudah menonton film itu dan sepertinya masa depan sutradara tersebut cukup menjanjikan. Sejujurnya, meskipun belum bisa memberi keputusan, El menyukai ide cerita yang mereka tawarkan. El melirik jam dinding yang tergantung di depan pintu. Sudah lewat tengah malam. Harlan sudah pulang setelah mengantar makanan ke dalam kamar Aby. El sendiri sama sekali belum keluar dari kamar dan tidak berminat menemui anak
Laki-laki itu masuk ke kamar Aby dengan senyuman lebar. Kemejanya yang disetrika kelewat rapi membuat lipatannya kentara dan tampak tajam sekali. Dan, entah mengapa warna peach itu terlihat berkilauan di mata Aby. Ia duduk di pinggir ranjang tanpa meminta izin, kemudian meletakkan nampan berisi bubur ayam hangat dan susu cokelat yang masih berasap. “Kamu cuman minum susu cokelat, kan?” Aby tidak menjawab. Kepalanya masih berdenyut-denyut. Laki-laki terlihat terlalu ramah dan itu menakutkan bagi Aby. “Bisa makan sendiri? Atau....” “Enggak usah. Aku bisa sendiri kok,” tahan Aby ketika melihat tangan Harlan hampir menyentuh ujung sendok. Harlan tersenyum. “Aku mau antar El dulu ke lokasi shooting. Obatnya jangan lupa diminum, ya? El pesan jangan ke mana-mana dulu. Kamu tau kan El nggak suka kalau kamu pergi seenaknya?” Aby mengangguk sekali kemudian mengambil gelas berisi susu dan meneguknya untuk menyembunyikan rasa
Musik klasik itu mengalun lembut melalui piano yang dimainkan di atas stage kecil yang berjarak tujuh meter dari meja El. Pianis pria yang mengenakan suit hitam lengkap dengan sepatu kilatnya itu memainkan salah satu gubahan Beethoven dengan jari-jarinya yang lihai. El sejak tadi duduk di bangkunya dengan gelisah. Tak menyentuh sedikit pun minuman di depannya. Beberapa artis junior yang berada di ruangan yang sama dengannya itu tampak terus-terusan memerhatikan El. El memang tak terlalu dekat artis lain. Itu sebabnya ke mana pun El pergi, ia selalu saja menjadi pusat perhatian. El tahu sebagian di antara mereka mengagumi El sebagai aktor, tapi tetap saja tatapan-tatapan itu membuatnya risih. “Hai, Elden!” Orang yang sejak tadi ia tunggu di acara itu akhirnya muncul juga. Sutarjo Pramudya. Sutradara itu menyebut acara ini sebagai perayaan kesuksesan film pertamanya kemarin. El sudah menebak kalau di akhir acara ini laki-laki itu pasti akan membombardir El untuk memb
Saat pertama kali mengangsurkan kotak itu pada Aby, sejujurnya Harlan merasa sedikit cemas. Ia pikir Aby akan meletakkan kotak berisi seragam dan perlengkapan sekolah itu di ruang tengah begitu saja. Tapi, saat gadis itu melongok ke dalam dan membawa kotak itu masuk ke kamarnya, Harlan merasa lega. Diam-diam ia mengikuti langkah gadis itu. Aby tampak sedikit terkejut ketika mendapati Harlan berdiri di balik punggungnya saat ia baru saja meletakkan kotak pemberian Harlan di atas ranjang. Karena gadis itu tidak mengatakan apa-apa setelah melihatnya, Harlan segera mengatakan sesuatu untuk memecah keheningan. “Di kamar ini masih banyak barang-barangku.” Aby hanya menoleh sekilas kemudian duduk di kursi kecil yang entah sejak kapan ada di dekat jendela. “Biasanya kamar ini aku pakai kalau jadwal El sedang padat. Dia sering lupa banyak hal dan kalau sudah capek akan susah dibangunkan. Makanya, aku tidur di sini.” “Aaah. Ya, nggak apa-apa,” j
Dasar bodoh. Aby tersenyum samar sebelum ia masuk ke dalam ruang kelas. Askar. Cowok itu melompat-lompat dan melambai-lambai dengan bodohnya di tangga tadi. Untung saja dia tidak terpeleset. Kalau iya, mungkin saja guru sangar dengan kumis tebal ala Pak Raden di samping Aby ini akan segera menghukumnya. Ruang kelas dengan AC yang dipasang kelewat dingin itu mendadak hening dari keriuhan. Pak Darwin berdeham kuat setelah menutup pintu. Sementara Aby mengikutinya dengan tangan menggenggam erat tali ranselnya. “Selamat pagi, anak-anak!” “Selamat pagi, Pak!” sahut anak-anak serempak, seolah kata-kata itu sudah lebih dari sejuta kali mereka lafalkan. Sejauh mata memandang, hanya ada wajah-wajah asing. Aaah ... sejujurnya Aby benci berada dalam posisi seperti ini. “Ayo, Aby. Perkenalkan dirimu.” Aby menatap Pak Darwin dan seisi kelas dengan kikuk. Ia mencoba untuk tidak menatap lurus-lurus ke wajah seluruh penghuni ruangan itu. Aby
El merentangkan tangan, merasakan rerumputan hijau yang lembap itu menyentuh kulit tangannya. Menghirup aromanya, merasakan hangatnya matahari yang muncul malu-malu dari balik awan, dan matanya menyipit. Dongeng yang pernah ia bayangkan itu masih tersimpan rapi di kepala. Tapi, sekarang El tidak mau itu menjadi dongeng. Negeri di atas pelangi atau apa pun itu, El akan mewujudkannya. Di sini. Bersama wanita yang mengenakan dress putih selutut yang sekarang sedang berjalan mendekat ke arahnya. Wajah itu muncul begitu saja dengan rambut hitam yang nyaris terjatuh mengenai muka El. Gadis itu tersenyum lebar. Mata mereka bertemu dan dada El berdesir. “Terlalu luas,” katanya sambil mengangkat kepala ke sekeliling mereka kemudian duduk di samping El dengan kaki yang diluruskan.&nb
Aby merapatkan capuchon jaketnya saat ia melintasi kerumunan itu. Sudah seminggu sejak terakhir kali ia melihat El secara langsung. Dan tadi, untuk pertama kalinya, ia melihat El lagi. Wajah lelah itu, lingkaran di sekeliling matanya yang menghitam membuat mata Aby membasah. Semua orang membicarakan mereka. Semua orang memberitakan El dengan anak kandung dari masa lalunya. Kilatan blitz masih membuat mata El menyipit. Wartawan-wartawan belum berhenti memberikan berbagai pertanyaan pada El. Beberapa orang di antara mereka bahkan melontarkan tudingan dan menuduh El sedang mencari sensasi. Kali ini, air mata Aby sungguh-sungguh membasahi wajahnya. Ia sudah membuat laki-laki itu melalui banyak hal karena dirinya. Aby ingin memeluk El dan menepuk-nepuknya seperti yang dilakukan pria itu padanya. Aby masih ingin membuatkan te
Aroma rerumputan basah itu langsung menerpa hidung El lembut saat ia tiba di tempat itu. Suara kicauan burung dan desauan angin menyapa senyum El yang melebar. El merentangkan tangan dan menikmati setiap hembusan napas yang ia hela. Dan kepalanya perlahan mulai membayangkan banyak hal. Bukit kecil berpadang rumput dengan sebuah rumah kecil di depannya. Jendela-jendela kayu yang terbuka membawa aroma pepohonan. Bersama wanita itu di sini, berbaring di atas rerumputan. Mendengarkan musik yang sama dengan jemari yang saling bertaut. Saling pandang, tersenyum satu sama lain seperti dalam dongeng. Lalu, di sana, di antara bunga-bunga yang mereka tanam dan mereka siram bersama setiap hari, kaki-kaki mungil itu berlari-lari. Tertawa riang sambil sesekali memanggil mereka berdua. 
“El. Mungkin dia sama El sekarang. Kamu tenang dulu, Ann.” Joanna tampak tidak peduli dan masih sibuk mengenakan kardigan hitamnya. Ia bahkan terlalu lemah untuk berjalan, tapi ia malah nekat meminta Philip mengantarnya mencari Aby. “Enggak mungkin, Phil. Aku kenal dia dengan baik. Dalam keadaan kayak gini dia nggak akan mungkin ada di sini atau bersama El. Dia pasti pergi ke tempat yang mungkin sulit ditemukan. Dalam keadaan kayak gitu gimana aku bisa ngebiarin dia sendirian. Aku harus cari dia, Phil.” “Ann.” Joanna mencoba berdiri sambil menopang tubuhnya di ujung ranjang. Ia baru saja menurunkan kedua kakinya saat mendadak tubuhnya hampir merosot dan terjatuh. Ia memang sakit, tapi ia tidak berpikir ia selemah ini. Joann
Tubuh Joanna merosot ke lantai ketika mendengar apa yang dikatakan dokter di depannya itu. Hasil tes dua hari yang lalu tidak berubah sama sekali. Ia menangis sejadi-jadinya di dalam ruang periksa itu. Selama seminggu lamanya Joanna menyendiri. Memikirkan banyak hal. Memikirkan dirinya, juga sesuatu yang hidup dalam dirinya. Dia merasa begitu ketakutan, tapi ini adalah kesalahan yang sudah ia buat dan tidak ada yang bisa memperbaikinya lagi. “Rahim kamu lemah. Dan kehamilan ini mungkin akan sangat beresiko, Ann. Saya tidak menyarankan untuk meneruskannya. Kamu bisa mundur kalau kamu nggak sanggup.” Joanna tidak menggeleng. Juga tidak mengatakan akan melanjutkan semua ini. Tapi, membayangkan wajah laki-laki itu di depan matanya, ia merasa akan sangat kej
El tersenyum menatap catatan yang ia buat di ponselnya itu. Carissa juga tak bisa menahan senyumnya. Sejak tadi El bercerita dengan begitu antusias. Tentang hari minggu yang mereka habiskan bersama. Tentang telur enak yang dibuatkan Aby untuknya. Tentang nilai-nilai sempurna Aby di sekolah. Juga tentang game yang mereka mainkan tadi malam. Melihat El yang seperti ini, rasanya Carissa benar-benar melihatnya sebagai seorang manusia seutuhnya. Bukan sebagai Elden Clay si aktor itu. Bukan sebagai senior yang ia hormati. Laki-laki yang sekarang duduk di sebelahnya itu tidak lebih dari seorang manusia biasa, seorang ayah yang sedang menceritakan tentang putri kesayangannya pada teman. Tentang seorang ayah yang sedang mencari tahu hal menarik apa yang kira-kira akan membuat putrinya senang. “Kamar warna pink dengan sprei bergambar Princess Disney ini memang harus ya?” tanya El. 
El baru saja keluar dengan kepala basah dan handuk di tangan saat matanya menemukan dua stik game console yang berserakan di atas karpet dan dua botol susu cokelat yang sudah kosong di atas meja. Alih-alih merasa risih, El malah tersenyum dan berjalan mendekat dengan kedua tangan yang masih sibuk mengeringkan rambut. Ia kemudian duduk dan bersandar di sofa. Malam tadi, sepulang bekerja, El mendapati Aby sedang tertunduk di ruang tengah dengan rubik yang sudah selesai di tangannya. “Bete?” Aby mengangkat kepala dan hampir saja menjatuhkan benda di tangannya. Ia lalu tersenyum pada El. Sebuah senyuman yang sungguh-sungguh tulus. “Mau keluar?” tawar El. Masih pukul delapan dan ia yakin masih banyak tempat yang
“Hei, Aladdin! Aku adalah jin yang akan mengabulkan segala permintaanmu.” “Hah? Beneran?” “Yoi! Beneran!” “Kalau gitu, aku pengen ganteng.” Haddad, anak laki-laki berbadan besar dan berkulit hitam yang berperan sebagai jin itu tampak mencibir. “Kalau aku bisa bikin orang jadi ganteng, pasti udah aku gantengin duluan mukaku!” “Huuuuuu!!!” Seisi kelas langsung berteriak bersamaan. Aby juga. Entah kenapa hari ini segala sesuatu yang ia lihat selalu bisa membuatnya tertawa. Bahkan Sarah yang duduk di sampingnya sama sekali tidak paham kenapa Aby bisa se
Pagi ini terasa asing bagi Aby. Bukan karena ia sedang berada di tempat lain, tapi sejak pertama kali Aby keluar dari kamarnya, ia sudah menemukan El di ruang tengah. Aby mengira El sedang sibuk dengan game console atau mungkin sedang menonton siaran televisi favoritnya. Alih-alih melihat El bersantai, Aby malah mendapati laki-laki itu sibuk merapikan tumpukan CD dan piringan hitam dari lemari besar di sebelah sofa. Benar-benar pemandangan yang langka. “Udah bangun?” tanya El saat menyadari ada sepasang mata memerhatikannya. Mood El benar-benar terlihat baik hari ini. Aby sangat yakin kalau ini adalah kali pertama El merapikan barang-barangnya sendiri karena setiap hari selalu ada tukang bersih-bersih yang datang. “Ya.” Aby merasa canggung sampai-sampai ia pikir ia harus segera melesat ke sekolah meskipun ini hari minggu. “Sibuk?” El tampak menggulung lengan kemeja putihnnya sebatas siku. “Enggak.” “Bisa bantu?” A