Dasar bodoh. Aby tersenyum samar sebelum ia masuk ke dalam ruang kelas. Askar. Cowok itu melompat-lompat dan melambai-lambai dengan bodohnya di tangga tadi. Untung saja dia tidak terpeleset. Kalau iya, mungkin saja guru sangar dengan kumis tebal ala Pak Raden di samping Aby ini akan segera menghukumnya. Ruang kelas dengan AC yang dipasang kelewat dingin itu mendadak hening dari keriuhan. Pak Darwin berdeham kuat setelah menutup pintu. Sementara Aby mengikutinya dengan tangan menggenggam erat tali ranselnya. “Selamat pagi, anak-anak!” “Selamat pagi, Pak!” sahut anak-anak serempak, seolah kata-kata itu sudah lebih dari sejuta kali mereka lafalkan. Sejauh mata memandang, hanya ada wajah-wajah asing. Aaah ... sejujurnya Aby benci berada dalam posisi seperti ini. “Ayo, Aby. Perkenalkan dirimu.” Aby menatap Pak Darwin dan seisi kelas dengan kikuk. Ia mencoba untuk tidak menatap lurus-lurus ke wajah seluruh penghuni ruangan itu. Aby
Lagu itu mengalun lembut di telinga Aby. Lagu yang sudah ratusan kali dia putar di mp3 player-nya. Satu-satunya lagu yang ada di dalam benda hitam itu. Satu-satunya lagu yang dimasukkan mamanya ke sana. Mungkin mamanya tidak pernah tahu, kalau setelah lagu itu, Aby sama sekali tak pernah menambahkan lagu lain ke dalamnya. Mungkin mamanya juga tidak tahu kalau Aby selalu memasang headset hitam pada telinga bukan karena ia suka mendengarkan musik. Tapi, ia tidak suka keramaian yang menyakitkan di sekitarnya. Mamanya juga mungkin tidak tahu kalau rubik dan puzzle itu dimainkan Aby bukan karena dua hal itu membuatnya senang. Tapi, dengan dua benda itu, kepalanya bisa memikirkan hal lain selain tentang hidup dan mamanya. Mamanya yang entah ada di mana sekarang. “Hei! Ngelamun?” Seseorang menyentuh pundak Aby pelan. Aby mengira itu Sarah. Ternyata bukan. “Belum pulang?” “Belum. Nunggu bus.” Aby sengaja melepas headset, kemudian memasukkannya ke dalam tas. “Ng
Aby menutup buku matematika setelah menyelesaikan hampir dua puluh soal sejak pulang sekolah tadi. Ini masih pukul tiga siang dan tak ada hal lain yang bisa dia lakukan. Semua tugas sekolah—termasuk pelajaran Sejarah yang paling tak disukai Aby—sudah selesai dia kerjakan. Ternyata, sekolah tak seburuk yang Aby kira. Mungkin semua itu karena teman-teman barunya tak tahu soal Aby. Gadis itu benar-benar bersyukur hidupnya sekarang jauh lebih tenang. Setelah meregangkan otot punggung yang pegal, Aby lantas duduk di bangku kecil di depan jendela kamar sambil melihat ke jalanan di bawah. Banyak sekali orang yang lalu lalang. Mulai dari yang berjalan kaki sampai yang mengendarai sepeda motor. Bahkan, mobil-mobil pun masih nekat melintas. Aby menatap lama pada pria yang membawa gadis kecil dalam gendongan. Sesekali kedua tangan kekar laki-laki itu melempar pelan tubuh si anak ke atas kemudian menangkapnya lagi ke dalam pelukan, lalu mereka berdua tertawa. Aby sama sekali tidak bisa
“Waaaah. Gimana caranya ngerjain fisika secepat itu?” Sarah tampak takjub memandangi Aby yang sibuk dengan buku kerja fisikanya. Ini jam istirahat. Tapi, karena sibuk memerhatikan Aby yang sedang serius, Sarah jadi ikut-ikutan tidak ke kantin. “Ini kan udah diketahui semua. Tinggal masukin ke rumus aja kok.” Aby menghentikan gerakan pensilnya untuk melihat wajah Sarah sebentar. Sedetik kemudian, ia kembali mencoret-coret bukunya. “Wah, keren. Harusnya kamu masuk sepuluh satu, By. Pak Hardi juga kemaren bilang kalau nilai matematika kamu paling bagus di kelas.” Aby hanya tersenyum sekilas. Ia tidak ingat sejak kapan ia bisa serius mengerjakan soal-soal pelajaran eksakta yang dibenci sebagian besar teman-temannya. Yang jelas, Aby hanya merasa tenang karena pikiran-pikiran tidak enak itu bisa enyah untuk sementara waktu, digantikan deretan angka-angka. “Nggak haus?” tanya Sarah sambil celingukan memegang kerongkongan. Mungkin karena mereka baru mas
El hampir tersentak kaget saat earphone itu tahu-tahu sudah menempel di telinganya. El menoleh pada gadis yang sedang berbaring di sebelahnya, di atas rerumputan, di bawah langit yang sama dengannya. Gadis itu tersenyum manis sekali dengan cd player di tangannya. El bisa melihat sebelah earphone yang lain menempel di telinga kirinya. “Mau dengerin lagu bagus?” “Lagu apa?” “Lagu tentang sebuah tempat untuk dirimu sendiri. A place where you won’t get into any trouble.” Kening El berkerut. “Memangnya ada tempat semacam itu?” “There must be. It’s not place you can’t get to by a boat, or a train. It’s far, far away. Behind the moon, beyond the rain[1].” El menunggu sebentar sampai musik itu mengalun lembut ke telinganya.Somewhere over the rainbowWay up highThere’s a land that I heard of Once in a lullabySomewhere over the rainbowSkies are blueAnd the dreams that you dare to dreamReally do come trueSomeday I’ll wish upon a
Akil tertawa keras saat berhasil merebut selembar foto dari tangan Ardo. Hari ini Askar baru saja selesai mencetak foto-foto yang mereka ambil bersama tempo hari. Lembaran berwarna-warni itu langsung diserbu oleh anak-anak. Aby yang tengah membantu Risa mengerjakan soal matematika sampai terkaget-kaget karena kehebohan yang mereka buat. “Yang ini bener, Kak?” Risa menunjukkan buku tulisnya yang sangat tipis itu pada Aby. Aby mengambilnya dan langsung menemukan kesalahan yang dibuat bocah itu. “Bukan gini. Yang ini dikali dulu baru dibagi.” Risa mengamati ujung telunjuk Aby yang bergerak-gerak di atas kertas. “Oh, jadi nggak boleh langsung dijumlahin?” “Enggak.” Risa tampak kebingungan selama beberapa detik. “Ngerti?” Kening Risa berkerut-kerut, kemudian ia mengangguk dengan mantap dan mengacungkan jempolnya ke arah Aby. “Oke, Kak Aby! Aku udah ngerti. Aku mau ngerjain sendiri dulu. Nanti Kakak yang per
“Memangnya nggak bisa kalau aku tetap sama Mama?” suara Aby melemah. Ia menatap nanar passport dan tiket pesawat yang tergeletak di atas ranjang itu. Joanna sengaja membuang muka. Sejujurnya, hatinya sendiri bergejolak. Ia tidak ingin meninggalkan putrinya itu. Tapi, hanya ini yang bisa menyelamatkan Abigail, juga menyelamatkan dirinya sendiri. Perlahan, ia mengangkat kepala kemudian menatap Aby dingin. “Mama udah bilang kan kalau ada sesuatu yang harus Mama urus dengan Philip? Kamu masih nggak ngerti?” “Jadi, kenapa Mama nitipin aku ke Rumah Cinta? Untuk apa Mama minta mereka mencarikan orang tua asuh buatku?” “Memangnya kamu mau hidup terus-terusan kayak gini?” “Ma….” Suara Aby mulai terdengar bergetar. Tatapan memohon itu sama sekali tak meluluhkan Joanna. “Kamu tau kan hidup kita sulit? Mama sudah capek, By. Jadi, kasih Mama waktu untuk diri Mama sendiri.” Aby mengatupkan rahangnya rapat-rapat sambil mendongak
El hampir gila rasanya. Sikap gadis itu berubah akhir-akhir ini. Bahkan ia mulai menghindari El. Setelah acara kelulusan di sekolahnya pagi tadi, El mencoba mendatangi kampusnya. Tapi, dia sama sekali tidak ada. “Lho, gue malah mau nanya ke elo. Udah dua minggu lebih dia nggak masuk kuliah lagi.” Itu yang dikatakan Rey saat El menemuinya di kantin, tempat di mana biasanya gadis itu berada. Dengan berbagai dugaan dan kebingungan di kepalanya, El tetap menunggu gadis itu di gerbang. Hingga satpam mengusir, barulah El pergi dari tempat itu. Hari kedua, El masih datang. Bertanya pada tiap mahasiswa yang ia temui. El tidak peduli apakah mereka mengenal gadis itu atau tidak. Yang jelas, ia hanya melakukan apa yang ia bisa untuk bertemu dengannya lagi. Hari itu hujan turun dengan sangat deras. El benar-benar gila. El sungguh merindu
El merentangkan tangan, merasakan rerumputan hijau yang lembap itu menyentuh kulit tangannya. Menghirup aromanya, merasakan hangatnya matahari yang muncul malu-malu dari balik awan, dan matanya menyipit. Dongeng yang pernah ia bayangkan itu masih tersimpan rapi di kepala. Tapi, sekarang El tidak mau itu menjadi dongeng. Negeri di atas pelangi atau apa pun itu, El akan mewujudkannya. Di sini. Bersama wanita yang mengenakan dress putih selutut yang sekarang sedang berjalan mendekat ke arahnya. Wajah itu muncul begitu saja dengan rambut hitam yang nyaris terjatuh mengenai muka El. Gadis itu tersenyum lebar. Mata mereka bertemu dan dada El berdesir. “Terlalu luas,” katanya sambil mengangkat kepala ke sekeliling mereka kemudian duduk di samping El dengan kaki yang diluruskan.&nb
Aby merapatkan capuchon jaketnya saat ia melintasi kerumunan itu. Sudah seminggu sejak terakhir kali ia melihat El secara langsung. Dan tadi, untuk pertama kalinya, ia melihat El lagi. Wajah lelah itu, lingkaran di sekeliling matanya yang menghitam membuat mata Aby membasah. Semua orang membicarakan mereka. Semua orang memberitakan El dengan anak kandung dari masa lalunya. Kilatan blitz masih membuat mata El menyipit. Wartawan-wartawan belum berhenti memberikan berbagai pertanyaan pada El. Beberapa orang di antara mereka bahkan melontarkan tudingan dan menuduh El sedang mencari sensasi. Kali ini, air mata Aby sungguh-sungguh membasahi wajahnya. Ia sudah membuat laki-laki itu melalui banyak hal karena dirinya. Aby ingin memeluk El dan menepuk-nepuknya seperti yang dilakukan pria itu padanya. Aby masih ingin membuatkan te
Aroma rerumputan basah itu langsung menerpa hidung El lembut saat ia tiba di tempat itu. Suara kicauan burung dan desauan angin menyapa senyum El yang melebar. El merentangkan tangan dan menikmati setiap hembusan napas yang ia hela. Dan kepalanya perlahan mulai membayangkan banyak hal. Bukit kecil berpadang rumput dengan sebuah rumah kecil di depannya. Jendela-jendela kayu yang terbuka membawa aroma pepohonan. Bersama wanita itu di sini, berbaring di atas rerumputan. Mendengarkan musik yang sama dengan jemari yang saling bertaut. Saling pandang, tersenyum satu sama lain seperti dalam dongeng. Lalu, di sana, di antara bunga-bunga yang mereka tanam dan mereka siram bersama setiap hari, kaki-kaki mungil itu berlari-lari. Tertawa riang sambil sesekali memanggil mereka berdua. 
“El. Mungkin dia sama El sekarang. Kamu tenang dulu, Ann.” Joanna tampak tidak peduli dan masih sibuk mengenakan kardigan hitamnya. Ia bahkan terlalu lemah untuk berjalan, tapi ia malah nekat meminta Philip mengantarnya mencari Aby. “Enggak mungkin, Phil. Aku kenal dia dengan baik. Dalam keadaan kayak gini dia nggak akan mungkin ada di sini atau bersama El. Dia pasti pergi ke tempat yang mungkin sulit ditemukan. Dalam keadaan kayak gitu gimana aku bisa ngebiarin dia sendirian. Aku harus cari dia, Phil.” “Ann.” Joanna mencoba berdiri sambil menopang tubuhnya di ujung ranjang. Ia baru saja menurunkan kedua kakinya saat mendadak tubuhnya hampir merosot dan terjatuh. Ia memang sakit, tapi ia tidak berpikir ia selemah ini. Joann
Tubuh Joanna merosot ke lantai ketika mendengar apa yang dikatakan dokter di depannya itu. Hasil tes dua hari yang lalu tidak berubah sama sekali. Ia menangis sejadi-jadinya di dalam ruang periksa itu. Selama seminggu lamanya Joanna menyendiri. Memikirkan banyak hal. Memikirkan dirinya, juga sesuatu yang hidup dalam dirinya. Dia merasa begitu ketakutan, tapi ini adalah kesalahan yang sudah ia buat dan tidak ada yang bisa memperbaikinya lagi. “Rahim kamu lemah. Dan kehamilan ini mungkin akan sangat beresiko, Ann. Saya tidak menyarankan untuk meneruskannya. Kamu bisa mundur kalau kamu nggak sanggup.” Joanna tidak menggeleng. Juga tidak mengatakan akan melanjutkan semua ini. Tapi, membayangkan wajah laki-laki itu di depan matanya, ia merasa akan sangat kej
El tersenyum menatap catatan yang ia buat di ponselnya itu. Carissa juga tak bisa menahan senyumnya. Sejak tadi El bercerita dengan begitu antusias. Tentang hari minggu yang mereka habiskan bersama. Tentang telur enak yang dibuatkan Aby untuknya. Tentang nilai-nilai sempurna Aby di sekolah. Juga tentang game yang mereka mainkan tadi malam. Melihat El yang seperti ini, rasanya Carissa benar-benar melihatnya sebagai seorang manusia seutuhnya. Bukan sebagai Elden Clay si aktor itu. Bukan sebagai senior yang ia hormati. Laki-laki yang sekarang duduk di sebelahnya itu tidak lebih dari seorang manusia biasa, seorang ayah yang sedang menceritakan tentang putri kesayangannya pada teman. Tentang seorang ayah yang sedang mencari tahu hal menarik apa yang kira-kira akan membuat putrinya senang. “Kamar warna pink dengan sprei bergambar Princess Disney ini memang harus ya?” tanya El. 
El baru saja keluar dengan kepala basah dan handuk di tangan saat matanya menemukan dua stik game console yang berserakan di atas karpet dan dua botol susu cokelat yang sudah kosong di atas meja. Alih-alih merasa risih, El malah tersenyum dan berjalan mendekat dengan kedua tangan yang masih sibuk mengeringkan rambut. Ia kemudian duduk dan bersandar di sofa. Malam tadi, sepulang bekerja, El mendapati Aby sedang tertunduk di ruang tengah dengan rubik yang sudah selesai di tangannya. “Bete?” Aby mengangkat kepala dan hampir saja menjatuhkan benda di tangannya. Ia lalu tersenyum pada El. Sebuah senyuman yang sungguh-sungguh tulus. “Mau keluar?” tawar El. Masih pukul delapan dan ia yakin masih banyak tempat yang
“Hei, Aladdin! Aku adalah jin yang akan mengabulkan segala permintaanmu.” “Hah? Beneran?” “Yoi! Beneran!” “Kalau gitu, aku pengen ganteng.” Haddad, anak laki-laki berbadan besar dan berkulit hitam yang berperan sebagai jin itu tampak mencibir. “Kalau aku bisa bikin orang jadi ganteng, pasti udah aku gantengin duluan mukaku!” “Huuuuuu!!!” Seisi kelas langsung berteriak bersamaan. Aby juga. Entah kenapa hari ini segala sesuatu yang ia lihat selalu bisa membuatnya tertawa. Bahkan Sarah yang duduk di sampingnya sama sekali tidak paham kenapa Aby bisa se
Pagi ini terasa asing bagi Aby. Bukan karena ia sedang berada di tempat lain, tapi sejak pertama kali Aby keluar dari kamarnya, ia sudah menemukan El di ruang tengah. Aby mengira El sedang sibuk dengan game console atau mungkin sedang menonton siaran televisi favoritnya. Alih-alih melihat El bersantai, Aby malah mendapati laki-laki itu sibuk merapikan tumpukan CD dan piringan hitam dari lemari besar di sebelah sofa. Benar-benar pemandangan yang langka. “Udah bangun?” tanya El saat menyadari ada sepasang mata memerhatikannya. Mood El benar-benar terlihat baik hari ini. Aby sangat yakin kalau ini adalah kali pertama El merapikan barang-barangnya sendiri karena setiap hari selalu ada tukang bersih-bersih yang datang. “Ya.” Aby merasa canggung sampai-sampai ia pikir ia harus segera melesat ke sekolah meskipun ini hari minggu. “Sibuk?” El tampak menggulung lengan kemeja putihnnya sebatas siku. “Enggak.” “Bisa bantu?” A