Di sisi lain, Kirana segera ikut membujuk, "Dian cuma bermaksud baik meskipun hasilnya buruk. Lihatlah, Andin sudah memukulnya sampai seperti ini. Masa kamu tega menghukumnya lagi?"Tatapan Kresna jatuh pada wajah Dianti yang separuh bengkak. Dia tiba-tiba teringat kembali kondisi Dianti tiga tahun lalu saat baru kembali ke kediaman ini. Dia begitu kurus hingga hanya terlihat kulit membungkus tulang.Dianti adalah putri mereka yang telah hilang selama 15 tahun. Dalam 15 tahun itu, dia hidup menderita. Benar juga, bagaimana mungkin dia tega menghukumnya?Usai menarik napas dalam-dalam, Kresna akhirnya mengalihkan pandangannya ke arah Abimana. Tanpa banyak bicara, dia langsung menendang Abimana dengan keras sembari berujar, "Dasar bocah nakal! Semua masalah ini berawal dari ulahmu!"Namun, kali ini Abimana tampaknya sudah siap. Dia menghindar dari tendangan itu dengan lincah. Kresna yang gagal mengenai sasarannya langsung bersiap untuk menendang lagi.Namun, Abimana segera bersembunyi di
Andini tidak pingsan untuk waktu yang lama. Setengah jam kemudian, dia sudah membuka matanya. Dia sepenuhnya sadar dan tahu di mana dirinya sekarang. Dia juga mengingat jelas asalan dirinya berada di sini.Adegan saat Kirana mengambil batu dan menghantam kepalanya dengan kuat masih teringat jelas di benak Andini. Begitu jelas sehingga hatinya terasa sangat pedih setiap kali dia mengingat Kirana. Rasa sakit ini bahkan membuat napasnya tercekat.Namun, bukankah Andini sudah mengetahui hal ini sejak awal? Bagi Keluarga Biantara, dia tidak akan pernah sebanding dengan Dianti, darah daging mereka yang sebenarnya.Mereka terus berkata bahwa Andini akan selalu menjadi putri mereka. Namun, sejak hari pertama Dianti kembali ke Kediaman Adipati, mereka telah mengusir Andini dari hati mereka.Andini sudah lama mereka tinggalkan. Selama hari-harinya di penatu istana, fakta ini berulang kali menghantamnya, membuat jiwa dan raganya tersiksa hingga pada akhirnya dia mulai terbiasa.Gadis ini sudah me
Saat ini kepala keduanya sama-sama dibalut kain kasa. Hal ini membuat penampilan mereka terlihat sedikit aneh.Laras tertawa geli, tetapi dia tetap mengeluh, "Nona bisa-bisanya bercanda di saat seperti ini."Andini mengangkat bahunya dan berucap, "Aku nggak bisa menemui Nenek dengan keadaan seperti ini. Kita kembali ke Paviliun Ayana dulu, lalu datang lagi lusa mendatang."Sebenarnya Andini tidak yakin di mana lukanya berada. Yang pasti pukulan Kirana mengakibatkan kepalanya harus dibalut. Jika dia menemui Ainun dengan penampilan begini, sang nenek hanya akan sedih dan cemas.Andini hanya berharap Kirana tidak memukul keningnya. Jadi, setelah kain kasanya dilepas besok, Ainun tidak akan melihat jejak luka di kepalanya. Dengan begitu, dia pun bisa lebih cepat pergi mengunjungi Ainun.Usai bicara, Andini hendak langsung keluar. Namun, Laras menghentikannya dan berkata, "Nona, Nyonya Kirana masih di luar."Andini tertegun sejenak. Kesedihan tiba-tiba merayapi hatinya, tetapi dia sengaja m
Laras jelas tidak menyangka akan melihat gigi di dalam kantong kain itu. Dia terlihat terkejut.Andini membungkuk dan mengambil gigi kecil itu. Fragmen memori masa lalu yang tak terhitung jumlahnya seketika meluap di kepalanya. Dia mengingat gigi ini.Saat Andini berumur sekitar lima tahun, dia memaksa untuk ikut bermain bersama Abimana dan Rangga. Gadis kecil itu meniru mereka melompat dari bebatuan buatan yang tinggi.Untungnya, Abimana dan Rangga menangkapnya tepat waktu sehingga dia tidak cedera serius. Hanya saja, ada satu giginya yang tanggal.Semua orang ketakutan dan buru-buru membawanya pergi. Gigi kecil itu lalu terlupakan di samping bebatuan.Nayshila yang seumuran dengan Andini mengetahui kejadian ini. Dia sengaja datang dan menakut-nakutinya bahwa orang yang kehilangan gigi tanggalnya akan diculik hantu.Andini ketakutan setengah mati hingga mulai menangis dan tidak ingin tidur di malam hari. Dia takut diculik hantu saat tidur.Kebetulan hari itu hujan turun disertai guntu
Sosok Kirana yang hampir basah kuyup membuat Abimana tersentak dan ingin langsung membawa ibunya pergi. Katanya, "Kenapa Ibu harus menyiksa diri sendiri begini? Apa Ibu nggak bisa tunggu sampai besok saja?""Lepaskan!" marah Kirana sambil menepis tangan Abimana. Dia menarik napas dalam-dalam dan melanjutkan, "Masalah ini nggak ada kaitannya dengan kalian, pergilah!"Dianti memeluk Kirana dan berucap dengan terisak-isak, "Bu, jangan begini, ini semua salahku, aku yang salah. Ibu pulang saja sama Kak Abi! Dian akan gantikan Ibu meminta maaf sama Kak Andin!"Pelayan Dianti yang bernama Ratih buru-buru datang untuk memayungi nonanya. Dia juga mengulurkan tangannya dan mendorong Laras.Laras yang mendadak didorong langsung terhuyung-huyung dan jatuh ke tanah. Payung yang dipegangnya pun rusak. Mungkin karena hujan terlalu deras, Kirana dan yang lainnya sama sekali tidak menyadarinya.Merasa ibunya tidak mempan dibujuk, Abimana bergegas maju dan mengetuk pintu dengan kuat. Dia berseru marah,
Andini yang dahulu diperlakukan layaknya permata Keluarga Adipati, Andini yang disayangi dan dimanja, Andini yang juga mengasihi mereka lebih dari nyawanya sendiri. Mereka telah membunuhnya!Gigi kecil itu jatuh ke tanah, lalu berguling dua kali dan mendarat di petak bunga di samping. Andini menatap Kirana lekat-lekat, seolah-olah sedang memberitahunya bahwa gigi itu adalah milik Andini Biantara, bukan miliknya. Andini yang itu sudah lama mati.Lidah Kirana kelu. Saat ini dia bahkan lupa untuk menangis. Dia memandangi wajah Andini, lalu emosi di matanya perlahan-lahan runtuh dan akhirnya hancur berkeping-keping.Di sisi lain, Andini selalu terlihat tenang. Begitu tenang sehingga terkesan seakan-akan tidak memiliki emosi yang seharusnya dimiliki manusia.Abimana berpikir jika Andini mau bertengkar hebat dengannya, meluapkan semua keluh kesahnya dengan jujur, dan mengonfrontasi kekacauan yang menjerat keluarga mereka dengan terbuka, mungkin hasilnya akan lebih baik. Setidaknya, situasiny
Hati Kirana serasa ditusuk pisau tajam. Dia menarik napas dalam-dalam sebelum berkata, "Ini paviliun nenekmu. Kalau tinggal di sini, kamu akan mengganggunya. Karena kamu sudah siuman, segeralah kembali ke paviliunmu sendiri!"Andini tahu bahwa tujuan Kirana memainkan sandiwara di sini adalah untuk menyampaikan kata-kata tadi.Sejujurnya, Andini juga sudah membuat keputusan. Bahkan jika itu demi neneknya, dia tetap tidak bisa menyeret Abimana ke dalam kehancuran.Andini tidak tega membiarkan Ainun melihat cucu perempuan kesayangannya mengirim penerus laki-laki satu-satunya di Keluarga Adipati ke dalam jalan buntu. Apalagi membiarkan sang nenek melihat Keluarga Adipati terpuruk.Hanya saja, kata-kata yang terucap dari bibir Kirana tadi tetap membuat hati Andini tidak nyaman. Biarpun dia sudah membekukan hatinya terhadap Kirana dan Keluarga Adipati, dia tetap terluka.Andini menunduk dan menarik napas dalam-dalam, berusaha meredam sesak di dadanya. Saat dia kembali mendongak, sorot matany
Ketika Andini bangun keesokan harinya, luka di kepalanya terasa lebih menyakitkan dari kemarin. Rasa sakit itu begitu hebat hingga membuat sekujur tubuhnya lemas dan tidak berdaya.Sebaliknya, Laras justru terlihat penuh semangat. Setelah membantu Andini mandi, dia pergi menghidangkan sarapan untuk gadis itu.Andini menyembunyikan rasa lemas di tubuhnya agar Laras tidak khawatir. Setelah menanyakan kondisi Ainun dan mendengar bahwa wanita itu baik-baik saja, dia baru merasa tenang dan mulai sarapan.Dari sudut matanya, Andini melirik Laras. Gadis itu terlihat ragu-ragu untuk bicara.Melihat ini, Andini menaruh peralatan makannya dan berkata, "Kalau ada yang ingin kamu sampaikan, langsung saja bicara."Laras mendekat dan berucap pada Andini, "Nona, hampa dengar Tuan Abimana dan Nona Dianti berlutut di aula leluhur semalaman. Tapi, pagi ini Nona Dianti nggak kuat lagi dan jatuh pingsan."Ternyata begitu. Andini mengambil peralatan makannya lagi sambil berujar, "Tubuhnya rapuh juga."Dian
Keesokan hari saat Andini bangun, sosok Surya sudah tak terlihat. Sementara itu, Endah tengah sibuk di dapur.Dengan kaki yang masih pincang, Andini berjalan ke ambang pintu, menatap Endah dengan heran, "Bibi Endah, kok hari ini bangunnya pagi sekali?"Matahari bahkan belum sepenuhnya terbit!Endah menyiapkan air untuk Andini mencuci muka, lalu menjawab, "Arjuna sudah pergi ke gunung sejak fajar bersama Anom. Aku hari ini nggak ada pekerjaan di ladang, jadi mampir ke sini untuk bantu-bantu sebentar."Saat berbicara, sudut bibir Endah menyiratkan senyuman kecil.Mengingat kejadian kemarin, Andini pun merasa perlu meminta maaf. "Maaf ya, Bi Endah. Kemarin aku asal bicara cuma untuk menakut-nakuti Anom."Endah buru-buru mengangguk. "Iya, aku tahu. Anak bandel itu memang perlu ditakut-takuti! Setelah pulang kemarin, dia nangis-nangis sambil janji nggak akan berjudi lagi.""Pagi ini juga semangat banget bangunnya. Kalau dia bisa meninggalkan kebiasaan buruk itu, lalu ikut Arjuna berburu, it
Rangga pernah menculik Andini dan akhirnya membuat Andini terjatuh ke Sungai Mentari. Dendam itu masih terus disimpan Laras di dalam hati sampai sekarang.Meskipun statusnya hanyalah seorang pelayan biasa dan tak bisa berbuat apa-apa pada Rangga, jangan harap dia bersedia mengikuti Rangga!Selesai bicara, Laras pun membalikkan badan dan melangkah ke arah Kalingga. Kalingga masih tidak mengatakan apa-apa. Setelah mendengar kata-kata Laras barusan, seulas senyuman tipis tidak bisa disembunyikan dari wajahnya.Senyuman ringan itu, sekalipun sangat tipis, tetap menyakitkan mata Rangga. Dia tidak mengerti. Kenapa Andini tidak mau bersamanya, bahkan pelayannya pun menolaknya?Rangga sontak melangkah maju, hendak menarik tangan Laras. Namun, baru satu langkah diambil, terdengar suara Kalingga yang datar. "Rangga."Hanya satu panggilan pelan, tetapi makna ancamannya sangat jelas. Apabila Rangga benar-benar menahan Laras, Kalingga pasti akan bertindak.Rangga pun berhenti. Aura yang dipancarkan
Jabal mencari tiga kuda terbaik dari kediaman dan berangkat malam itu juga menuju lokasi yang berjarak lebih dari 50 kilometer.Perjalanan tidak sepenuhnya mulus. Mayat perempuan itu ditemukan di sebuah desa kecil. Ketika mereka tiba, matahari sudah bersinar terik.Di luar desa, anak buah mereka sudah menunggu. Begitu turun dari kuda, Kalingga segera masuk ke desa. "Di mana?""Masih di tepi sungai," kata anak buah itu sambil menurunkan suaranya. "Jenderal Rangga juga ada di sana."Mendengar itu, Kalingga sempat tercengang sejenak. Dia mengikuti arah yang ditunjuk. Benar saja, di tepi sungai tak jauh dari sana, terlihat Rangga sedang membuka kain putih penutup mayat. Wajahnya memperlihatkan ekspresi jijik.Melihat itu, Kalingga merasa lega. Dari ekspresi Rangga, seharusnya itu bukan Andini. Namun, detik berikutnya, hatinya kembali diliputi amarah. Informasi itu datang dari bawahannya sendiri, kenapa Rangga bisa lebih dulu sampai di sini?Di belakang, Laras yang melihat mayat tertutup ka
Tingkah mereka yang berpura-pura mabuk tadi memang tak terlihat mencurigakan. Namun, akting setelah mereka "sadar" barusan sungguh buruk. Beberapa dari mereka bahkan langsung terbangun, padahal tidak disiram.Andini mengernyit pelan saat memikirkan hal ini, lalu secara refleks menoleh ke arah jendela. Di sana, dia melihat sosok tinggi besar itu berjalan ke arah barat, menuju ke bawah atap.Dia tak ingin berpikiran buruk tentang orang lain, tetapi saat itu di halaman hanya ada dia seorang yang bukan dari kalangan mereka. Mereka semua pura-pura mabuk, jelas-jelas untuk diperlihatkan kepadanya.Kenapa? Sedang mengujinya? Apakah karena sebelumnya dia secara tidak sengaja menunjukkan sedikit kemampuan bela dirinya?Namun, jika Surya hanya pemburu biasa, bagaimana mungkin dia bisa terpikir menggunakan cara semacam ini? Jangan-jangan identitasnya pun tidak sesederhana itu?Begitu benih kecurigaan tertanam, hal itu mulai tumbuh liar dalam hati. Andini berusaha keras mengingat semua kejadian se
Andini sama sekali tidak menyadari apa yang terjadi di belakangnya. Begitu keluar dari pagar bambu, kaki kirinya terasa sakit lagi. Langkahnya semakin pincang. Sebelum berjalan jauh, dia sudah mulai memanggil, "Bi Endah! Bi Endah!"Dia sama sekali tidak tahu, sebelum dia membuka mulut, sebilah belati nyaris menyentuh leher putihnya dari belakang, hanya sedikit lagi sudah akan menggorok tenggorokannya.Namun, saat dia memanggil nama Endah, belati itu tiba-tiba ditarik mundur, lalu pemiliknya buru-buru kembali ke dalam halaman.Tak lama kemudian, lampu di rumah Endah kembali menyala. Wanita itu bertanya, "Ada apa? Ada apa ini?"Andini memandang Endah dengan wajah penuh rasa bersalah. "Kak Arjuna dan teman-temannya mabuk semua, mereka tidur di luar. Aku khawatir mereka masuk angin kalau tidur di luar. Bisa Bibi bantu aku?"Di dalam pagar, para pria yang mendengarnya saling melirik, masing-masing mulai merasa bersalah."Aduh, ya sudah, aku ke sana sekarang!" sahut Endah cepat-cepat. Tak la
Kata "orang kasar" benar-benar mewujud saat ini. Andini sempat terpaku menatap mereka.Surya membelakangi Andini, tentu saja tidak menyadarinya. Namun, pria yang duduk di depannya melihat tatapan Andini, lalu melirik ke arah Surya dan mengangkat dagunya sedikit.Surya pun menoleh. Ketika melihat Andini sedang tersenyum sendiri ke arah mereka, Surya seperti baru menyadari sesuatu. Dia mendorong pria di sampingnya. "Tenang sedikit."Baru saat itu, rombongan pria itu menyadari bahwa masih ada seorang perempuan di sini. Mereka buru-buru minta maaf."Maaf ya, Nona. Kami ini orang-orang kasar, mulut kami kadang suka seenaknya!""Iya, Nona. Kalau tadi ada kata-kata yang nggak enak didengar, anggap saja kami cuma kentut!""Kamu yang kentutnya paling bau, hahahaha!""Sialan kamu!"Suasana kembali ceria, penuh tawa dan canda. Andini memandangi para pria itu. Meskipun kasar dan berisik, kehangatan dan keharmonisan ini adalah sesuatu yang belum pernah dia lihat sebelumnya.Andini pun tersenyum lem
Surya pertama kali turun ke medan perang saat usianya baru enam belas tahun.Sebagai seorang pangeran, ibunya tidak memiliki latar belakang yang kuat. Dia tahu dalam perebutan takhta, dirinya tak mungkin bisa menyaingi para kakaknya. Jika terus tinggal di ibu kota, mungkin suatu hari nanti dia akan menjadi mangsa di tangan orang lain.Karena itu, dia mengajukan diri untuk menjadi prajurit garis depan di bawah komando jenderal besar saat itu.Tahun itu, suku Tru sering mengganggu perbatasan. Rakyat Negara Darsa sangat menderita karena kekacauan itu.Dia memacu kuda di barisan paling depan, menyerbu ke medan perang. Pedang besarnya berayun liar. Saat bilah tajam itu menebas tubuh musuh, dia bahkan bisa mendengar jelas suara tulang yang terbelah.Darah hangat memercik ke wajahnya, dunia seolah-olah berubah merah seketika. Dia mendengar detak jantungnya sendiri begitu keras, tetapi tak bisa membedakan apakah itu karena takut atau justru karena gairah.Di medan perang yang kejam, di mana hi
Sambil bicara, Surya menoleh ke arah para pria kekar di belakang Anom, lalu berkata, "Kalian lakukan sendiri. Di sana ada kapak dan parang."Setelah itu, dia pun berbalik dan berjalan ke samping. Beberapa pria itu langsung maju dan menangkap Anom.Anom ketakutan setengah mati, berteriak dan menangis sambil terus memohon ampun. Namun, kekuatan para pria itu terlalu besar. Tangan Anom ditarik dan ditekan ke tanah.Kapak pun diangkat tinggi-tinggi, memantulkan kilatan dingin cahaya, lalu dihantamkan dengan keras."Argh!" Anom menjerit. Bagian selangkangannya langsung terasa hangat, seluruh tubuhnya jatuh lemas ke tanah. Namun ... ternyata tangannya masih utuh.Salah satu pria berkata dengan dingin, "Kalau masih berani ulangi lagi, kami nggak akan biarkan begitu mudah!"Pria lain mengeluarkan kantong uang dari balik bajunya dan menyerahkannya kepada Surya. "Ini, Kak.""Terima kasih. Kalian makan saja dulu sebelum pergi," ucap Surya."Siap! Nanti teman kita akan bawa daging dan arak ke sini
Endah masih terus menangis. Surya tidak tahu harus bagaimana menenangkannya. Meskipun sosoknya besar dan kekar, dia justru tampak kewalahan saat berdiri di samping Endah.Akhirnya, Andini yang menenangkan Endah untuk beberapa saat. Suasana hati Endah pun membaik. Melihat waktu sudah tidak pagi lagi dan dia masih harus turun ke ladang, Endah pun tidak berlama-lama di situ.Setelah mengantar Endah pergi, Surya menuju ke sisi barat halaman dan mulai sibuk bekerja. Dia berencana membangun atap untuk berteduh. Soalnya kalau hujan turun, dia tidak punya tempat untuk tidur.Melihat Surya sesibuk seperti itu, Andini akhirnya tak tahan untuk bertanya, "Kak Arjuna, kamu benar-benar percaya kalau Anom ambil uang itu buat bayar utang?"Uang itu bukan hasil kerja Andini, jadi dia merasa tidak berhak ikut campur. Namun, dia juga tidak tega melihat penyelamatnya ditipu.Tangan Surya tak berhenti bekerja, suaranya terdengar dalam dan tenang. "Dia pergi judi."Mendengar itu, Andini terkejut. "Kalau beg