Rama tidak menyangka bahwa dirinya bisa mendapatkan kepercayaan sebesar ini dari Andini.Saat itu juga, dia mengangguk dengan penuh keyakinan. "Baik, Nona tenang saja. Dalam 3 hari, hamba pasti menyelesaikan tugas ini dengan baik. Nggak akan ada sepeser pun yang hilang."Mendengar itu, Andini tersenyum. "Bagus."Rama segera memberi hormat dan pergi untuk bersiap.Hati Andini justru terasa semakin dingin. Kata-kata Malika barusan masih terngiang-ngiang di benaknya.Terutama kalimat bintang kesialan dan tidak ada solusi untuk ditangkal. Itu bak pisau tajam yang terus mengiris hatinya secara perlahan.Orang-orang yang paling dekat dengannya pergi satu per satu. Malika mengatakan semua itu gara-gara dirinya.Dada Andini terasa seperti tercabik-cabik, sakitnya begitu menusuk. Dia mengepalkan tangannya erat-erat, menarik napas dalam-dalam, lalu melangkah menuju taman.Pohon plum merah itu kini sudah tidak lagi gundul seperti saat sebelum dia menikah. Tunas-tunas hijau telah bermunculan, rant
Laras akhirnya melihat goresan panjang di batang pohon itu. Dia segera bangkit berdiri dan meraih lengan baju Rama dengan panik. "Pohon plum merah ini ditanam oleh Wakil Jenderal Byakta. Nona nggak mungkin merusaknya! Rama, bagaimana ini? Nona pasti diculik!"Goresan itu pasti ditinggalkan saat nonanya berjuang melawan penculik!Rama juga sangat cemas, tetapi dia segera menenangkan diri. "Begini saja, kamu pergi ke Keluarga Maheswara untuk memberi tahu mereka, aku akan pergi ke Kediaman Adipati untuk mencari Tuan Abimana."Meskipun Andini sudah putus hubungan dengan Keluarga Adipati, dalam situasi seperti ini, Rama yakin Abimana masih akan turun tangan untuk membantu!Sedangkan untuk Keluarga Maheswara, meskipun Andini sudah bercerai dengan Kalingga, mereka seharusnya tidak akan berdiam diri.Kalau tidak, dengan status mereka berdua saja, bagaimana mungkin mereka bisa menyelamatkan Andini?Mendengar itu, Laras mengangguk berkali-kali. Dia segera menyeka air mata, lalu bergegas keluar d
Namun, tubuh Rangga tiba-tiba oleng ke samping dan jatuh pingsan.Malika terkejut dan langsung berteriak panik, "Cepat! Cepat panggil tabib! Rangga! Rangga! Jangan menakuti Ibu seperti ini!"Pelayan di luar segera masuk dan mengangkat tubuh Rangga untuk membawanya keluar. Malika masih menangis tersedu-sedu sambil mengikuti mereka pergi.Lukman menatap darah yang menempel di cambuk itu, hatinya ikut terasa perih. Pandangannya lantas tertuju pada Laras yang masih berdiri di samping.Lukman hanya bisa menghela napas panjang dan berkata, "Bukannya aku nggak ingin mencampuri urusan ini, tapi kamu sendiri melihat apa yang baru saja terjadi. Lebih baik kamu pulang dulu."Setelah mengatakan itu, Lukman pun pergi, meninggalkan Laras yang masih berdiri di tempat dan menangis dengan penuh kesedihan.Dia tidak menyangka Rangga begitu keras kepala. Rangga bahkan lebih rela dihajar sampai pingsan daripada mengungkapkan di mana Andini berada.Namun, jika memang Rangga yang membawa Andini pergi, sehar
Tiga hari kemudian, Andini duduk di bawah atap teras. Pelayan di sebelah kiri sedang mengupas kuaci untuknya, sementara pelayan di sebelah kanan sedang memotong semangka untuknya.Sudah tiga hari berlalu, tetapi hingga sekarang dia belum juga melihat Rangga. Namun, setidaknya dia sudah cukup mengenal kedua pelayan ini.Mereka adalah saudara sepupu. Yang di sebelah kiri bernama Gita, yang di sebelah kanan bernama Ningsih.Keduanya bukan berasal dari ibu kota. Kampung halaman mereka jauh di perbatasan. Dulu, Rangga menyelamatkan mereka dari medan perang. Semua keluarga mereka tewas akibat peperangan, jadi mereka ikut Rangga ke ibu kota.Bagi mereka, Rangga adalah penyelamat hidup. Maka dari itu, mereka sangat setia kepadanya dan menuruti semua perintahnya tanpa ragu.Tentu saja, mereka juga sangat hormat kepada Andini. Selama 3 hari ini, mereka merawat Andini dengan penuh perhatian dan selalu patuh. Satu-satunya hal yang tidak mau mereka lakukan adalah memberitahunya di mana dia berada.
Andini tidak tahu bagaimana Gita dan Ningsih menyampaikan pesan kepadanya, tetapi jelas bahwa Rangga telah salah paham.Alisnya yang indah berkerut tajam, suaranya terdengar rendah. "Apa yang sebenarnya ingin kamu lakukan? Kenapa kamu mengurungku di tempat ini?”Senyuman di wajah Rangga sempat membeku sesaat, tetapi kemudian dia tetap mempertahankan ekspresi lembutnya. Cahaya lilin yang terpantul di matanya yang dalam membuatnya tampak bercahaya."Ini bukan kurungan. Aku hanya ingin ... memberi kita berdua sebuah kesempatan." Kesempatan untuk memulai kembali.Ekspresi Andini justru semakin dingin. Dia menatap Rangga dengan tatapan penuh ejekan. "Kesempatan? Tiga tahun lalu, Jenderal Rangga sama sekali nggak memberiku kesempatan."Tiga tahun lalu, mereka semua berdiri di sisi Dianti, bahkan tatapan galak Rangga saat itu membuatnya tidak punya ruang untuk membela diri.Jika Rangga mencampakkannya 3 tahun lalu, kenapa 3 tahun kemudian Rangga mengurungnya seperti ini?Mendengar Andini meny
Bekas luka-luka itu seakan-akan menjadi bukti bisu betapa dalamnya Rangga peduli padanya.Mata Andini tanpa sadar mulai dipenuhi air mata. Tangannya terangkat, menyentuh luka di dada Rangga dengan lembut. Ujung jarinya sedingin bilah pedang.Tiba-tiba, dia bertanya pelan, "Sakit nggak?"Alis Rangga tiba-tiba berkedut. Sakit? Kata-kata ini dulu pernah Andini tanyakan kepada Byakta. Rangga sendiri yang menyaksikan bagaimana setelah itu, Andini dan Byakta berpelukan erat.Kini, rasa sesak yang tidak bisa dijelaskan memenuhi dadanya, membuatnya tak bisa mengucapkan satu kata pun.Saat dia masih tenggelam dalam pikirannya, Andini tiba-tiba mendongak menatapnya. Air mata akhirnya jatuh di pipinya. Suara lembutnya terdengar. "Byakta pasti sangat kesakitan."Andini melihat dengan mata kepala sendiri seberapa besar luka di tubuh Byakta, tepat di area ini. Para prajurit berkata, itu adalah luka yang Byakta dapatkan saat menangkis serangan pedang yang seharusnya mengenai Rangga.Andini membayangk
"Pada akhirnya, aku tetap harus berterima kasih pada Jenderal Rangga karena masih mengingat hubungan masa kecil kita. Kalau nggak, mungkin saat ini aku masih menjadi budak di penatu istana. Aku berterima kasih atas kebaikan dan kemurahan hatimu.""Tapi, tolong jangan katakan kalau keputusan yang telah kamu pertimbangkan matang-matang ini adalah demi aku. Aku nggak sanggup menerimanya."Empat kata terakhir itu bagaikan palu berat yang menghantam keras dada Rangga. Dia melangkah mundur, lalu tersandung kursi di belakangnya dan hampir saja terjatuh.Mungkin karena suara itu cukup keras, Gita dan Ningsih yang menunggu di luar langsung bergegas masuk.Rangga lantas membentak mereka, "Siapa yang menyuruh kalian masuk? Keluar!"Siapa sangka, Gita dan Ningsih malah berlutut bersamaan. "Nyonya, mohon maafkan Jenderal! Beliau benar-benar peduli pada Nyonya! Begitu mendengar Nyonya ingin bertemu, beliau datang tanpa menghiraukan lukanya!""Siapa yang mengizinkan kalian bicara? Keluar!" Rangga kem
Rangga akhirnya pergi, langkahnya goyah seperti seorang prajurit yang kalah perang. Sementara itu, Andini duduk sendirian di dalam ruangan, menatap cahaya lilin yang berkedip. Hingga fajar menyingsing, dia sama sekali tidak mengantuk.Andini berpikir, setelah pertengkaran semalam, Rangga setidaknya akan sadar bahwa dirinya benar-benar tidak ingin terlibat dengannya lagi. Siapa sangka, ketika Gita dan Ningsih datang untuk melayaninya, mereka masih saja memanggilnya nyonya tanpa ragu sedikit pun.Bahkan pada hari kelima, Rangga malah langsung pindah ke kediaman ini. Saat melihat para pelayan membawa setumpuk buku masuk ke halaman, Andini mengerutkan keningnya.Dia mengikuti mereka ke dalam ruang kerja. Di sana, beberapa pelayan tampak sedang menyusun buku di rak, sementara seorang pelayan meletakkan beberapa dokumen di atas meja.Andini meliriknya sekilas, semuanya tentang urusan militer. Hatinya seketika mencelos. Apa Rangga tidak perlu kembali ke barak?Para pelayan yang menyadari keha
Penjahat yang satu lagi adalah seorang duda tua di desa, bernama Dierja. Dia adalah orang yang dulu mengajari Anom berjudi.Lucunya, saat warga desa datang menghadapinya, Dierja masih berani menunjukkan kakinya yang terjepit perangkap hewan dan mengaku kalau itu akibat kecelakaan saat pergi mencari Ihatra dan ayahnya di hutan.Niatnya sebenarnya adalah untuk memeras keluarga Diah. Kalau gagal, setidaknya dia bisa mengemis sedikit uang dari kepala desa. Namun tak disangkanya, para warga langsung mengikatnya dan menyeretnya ke hadapan Surya.Mengenai kelanjutannya, Andini sendiri tidak tahu. Dia hanya tahu, keesokan paginya saat bangun tidur, Dierja sudah diseret dan dikirim ke kantor pemerintahan. Sementara itu, Anom sudah dibawa Surya ke ladang sejak pagi.Dulu, Endah selalu memanjakan anaknya dan tidak pernah membiarkan Anom menyentuh pekerjaan ladang. Namun hari ini, di bawah pengawasan langsung dari Surya, Anom dipaksa bekerja keras di bawah terik matahari selama empat jam penuh seb
"Dasar nggak peka," ujar Endah tiba-tiba.Surya mengerutkan alis. "Apa maksudnya?"Barulah Endah menurunkan suaranya dan berkata, "Kaki kiri gadis itu terluka, kenapa kamu nggak langsung gendong saja?"Surya tidak merasa dirinya salah. Dia hanya menjawab dengan tenang, "Dia bilang bisa jalan, cukup minta aku bantu topang sedikit.""Itulah kenapa aku bilang kamu ini nggak peka!" Endah menggeleng tak berdaya, lalu menghela napas, "Dasar si Anom ... sampai melakukan hal seperti ini. Arjuna, tolong bantu aku kasih dia pelajaran, ya."Tatapan Arjuna seketika berubah dingin. "Takutnya Bibi nggak tega.""Nggak ada yang perlu ditakuti," Endah menghela napas panjang. "Kamu benar. Lebih baik aku lihat dia dihukum sekarang, daripada nanti harus memungut kepalanya di lapangan eksekusi.""Mm." Arjuna mengangguk ringan, menandakan bahwa dia menerima permintaan untuk mendidik Anom.Tak lama kemudian, rombongan mereka pun kembali ke halaman rumah berpagar bambu.Mereka melihat Anom sudah berlutut di t
Andini benar-benar tidak punya tenaga untuk membuka jebakan hewan itu. Namun, setelah dia mengutak-atik sebentar, dia menyadari bahwa jebakan itu diikat dengan rantai besi tipis dan ujung rantainya terimpit di bawah sebuah batu besar.Dengan sisa tenaga yang dia punya, Andini berjuang keras menarik rantai itu keluar dari bawah batu dan akhirnya berhasil membawa jebakan yang masih menjepit kakinya. Dia pun terpincang-pincang keluar dari hutan.Meskipun tidak tahu persis arah jalan pulang, dia masih ingat dari mana dia datang tadi. Namun, sebelum berjalan jauh, dia justru melihat sosok seseorang berlari ke arahnya dari kejauhan.Sesaat, Andini merasa bimbang. Dia hampir mengira itu adalah Byakta. Dia terlalu merindukan Byakta.Namun, dia segera tersadar bahwa sosok yang dulu selalu menemani di saat terpuruk dan tak berdaya, tidak akan pernah kembali.Jadi, Andini langsung mengenali sosok yang datang itu, menepis perasaan duka dalam hatinya, memaksakan senyuman, dan berseru pelan, "Kak Ar
Anom bersikeras. "Ma ... mana aku tahu dia ke mana!"Surya menatapnya dengan sorot mata yang semakin suram. "Bi Endah hanya tanya soal sup ayam, nggak pernah bilang hilangnya gadis itu ada hubungannya denganmu. Tapi, kamu langsung panik sendiri. Itu namanya mengaku sebelum ditanya."Mendengar itu, Anom semakin gelisah. "Aku nggak salah! Jangan fitnah aku! Aku nggak punya dendam sama dia, kenapa harus mencelakainya?"Justru karena sikapnya yang begitu, semakin terlihat bahwa dia memang merahasiakan sesuatu.Endah juga marah. Dia langsung mengambil sapu dari balik pintu dan menghajarnya tanpa ampun, "Dasar anak setan! Kau bawa gadis itu ke mana, cepat bilang!"Anom menjerit-jerit, berlari ke sana sini untuk menghindari amukan Endah. Namun, dia tetap saja bersikeras. "Aku nggak tahu! Aku benar-benar nggak tahu!"Tanpa sadar, dia berlari ke arah Surya yang langsung menangkapnya dan menekan tengkuknya ke tanah. Seketika, Anom tak bisa bergerak.Suara Surya rendah dan dingin, mengandung kema
Dalam keadaan linglung, Andini teringat saat dulu dirinya ditangkap oleh Panji dan dibawa masuk ke gua.Waktu itu, dia juga berlari sekuat tenaga ke dalam hutan, hingga akhirnya tidak tahu sudah berapa lama dia terjebak di sana. Pada akhirnya, Rangga yang menggendongnya keluar dari hutan itu.Andini tak ingin mengulang nasib yang sama. Jadi, sambil terus berlari, dia juga memperhatikan keadaan di belakangnya. Melihat Anom masih belum menyerah mengejar, dia mulai panik.Malam kian larut. Hanya dalam waktu singkat setelah menerobos masuk ke hutan, Andini sudah tidak bisa melihat apa-apa saking gelapnya. Hal yang paling dia khawatirkan akhirnya terjadi.Krek! Suara tajam menggema. Kakinya terjepit jebakan hewan!"Anom! Jangan ke sini lagi!" teriak Andini panik. "Di sini banyak jebakan! Aku juga kena!"Mendengar itu, suara langkah kaki Anom pun terhenti. Mungkin karena teringat pada temannya yang juga cedera, Anom akhirnya memutuskan untuk tidak lanjut mengejar, lalu berbalik dan pergi.Di
Tepat saat itu, terdengar suara samar-samar dari arah halaman.Andini tersentak, segera bangkit dan mengintip ke luar. Dia pun melihat bayangan seseorang yang mondar-mandir di halaman."Siapa di sana?""Aku."Suara itu terdengar cukup familier.Andini mencoba menebak, "Anom?""Benar!" sahut Anom, lalu berjalan ke depan pintu sambil berkata, "Ibuku masak sup ayam malam ini. Tapi gara-gara kejadian Bi Diah, jadi lupa. Tadi baru dipanaskan lagi, terus aku disuruh antar ke sini."Memang benar, Endah sering membuatkan sup ayam untuknya setiap beberapa hari sekali. Andini tidak terlalu curiga, jadi berkata, "Taruh saja di depan pintu, nanti aku ambil.""Baik!" Jawaban Anom cepat dan ringan.Tak lama kemudian, Andini melihat Anom keluar dari halaman. Dia bangkit, tertatih-tatih menuju pintu.Begitu membuka pintu, memang benar ada semangkuk sup ayam di atas lantai. Dia perlahan berjongkok, hendak mengambil mangkuk itu.Tepat saat itu, dari sudut halaman, tiba-tiba muncul bayangan. Sebelum Andi
Saat Surya kembali ke Desa Teluk Horta, matahari sudah terbenam. Dari kejauhan, dia langsung melihat halaman rumahnya dikerumuni oleh banyak orang.Hatinya langsung mencelos, tak tahu apa yang sedang terjadi. Seseorang melihatnya dan langsung berteriak, "Itu dia! Dia sudah kembali!"Semua orang pun serentak menoleh ke arah Surya.Begitu memasuki halaman, Surya langsung melihat Diah terbaring di tengah halaman. Di samping, Andini sedang berlutut.Terlihat dia memegang sebatang jarum sulam dan sedang menusukkannya ke tubuh Diah, yang matanya tampak sayu, antara sadar dan tidak."Ada apa ini?" Suara Surya terdengar dalam.Endah segera melangkah ke depan, menjelaskan, "Ihatra bertengkar sama ayahnya, terus kabur ke dalam hutan. Ayahnya takut terjadi apa-apa, jadi ikut masuk hutan juga.""Diah menunggu di rumah sampai langit hampir gelap. Dia panik dan langsung pingsan. Untungnya gadis ini menguasai ilmu medis. Baru dua tusukan jarum saja, Diah langsung siuman."Mendengar itu, tatapan Surya
Melihat punggung Surya yang semakin menjauh, Endah hanya bisa menghela napas, lalu berbalik dan berkata kepada Andini, "Aku rebus dulu ayamnya, nanti aku balik lagi ke sini."Usai berkata begitu, dia pun pergi.Andini duduk di dalam rumah, memandangi punggung Endah yang perlahan menghilang. Dia juga melihat dengan jelas bahwa Anom belum pergi.Anak itu masih berdiri di tempatnya, menatap Andini dari balik jendela. Saat Andini memandang balik ke arahnya, Anom buru-buru mengalihkan pandangan dan berseru, "Bu, tunggu aku!"Setelah itu, dia pun berbalik dan pergi. Namun, sorot mata Anom tak luput dari pandangan Andini.Tatapan yang dilontarkan padanya mengandung kebencian. Perasaan itu terlalu familier bagi Andini. Dulu ketika Dianti diam-diam memandangnya, sorot mata itu sama persis.Dua jam kemudian, Surya akhirnya tiba di kota kecil. Dia menjual hasil buruannya ke rumah makan yang sudah akrab dengannya, lalu berkeliling sesaat dan masuk ke sebuah gang kecil. Kemudian, dia mendorong pint
Keesokan hari saat Andini bangun, sosok Surya sudah tak terlihat. Sementara itu, Endah tengah sibuk di dapur.Dengan kaki yang masih pincang, Andini berjalan ke ambang pintu, menatap Endah dengan heran, "Bibi Endah, kok hari ini bangunnya pagi sekali?"Matahari bahkan belum sepenuhnya terbit!Endah menyiapkan air untuk Andini mencuci muka, lalu menjawab, "Arjuna sudah pergi ke gunung sejak fajar bersama Anom. Aku hari ini nggak ada pekerjaan di ladang, jadi mampir ke sini untuk bantu-bantu sebentar."Saat berbicara, sudut bibir Endah menyiratkan senyuman kecil.Mengingat kejadian kemarin, Andini pun merasa perlu meminta maaf. "Maaf ya, Bi Endah. Kemarin aku asal bicara cuma untuk menakut-nakuti Anom."Endah buru-buru mengangguk. "Iya, aku tahu. Anak bandel itu memang perlu ditakut-takuti! Setelah pulang kemarin, dia nangis-nangis sambil janji nggak akan berjudi lagi.""Pagi ini juga semangat banget bangunnya. Kalau dia bisa meninggalkan kebiasaan buruk itu, lalu ikut Arjuna berburu, it