Perkataan Nayshila barusan, memberi Dianti dorongan besar dan membuatnya merasa bahwa dia tidak sendirian menghadapi "interogasi" dari orang-orang ini.Seketika, setetes air mata pun jatuh dari matanya. Dia Penasihat Agung Rendra dengan penuh kepiluan. "Hari itu kejadiannya begitu mendadak .... Aku benar-benar ketakutan. Bagaimana tepatnya aku membunuh Panji, aku juga nggak tahu. Yang kuingat, waktu sadar, aku sudah memegang tusuk konde dan Panji dia, dia ...."Seolah terlalu takut untuk melanjutkan, Dianti hanya bisa terus menyeka air matanya. Kirana yang melihatnya pun langsung merasa sangat iba. Dia segera menarik Dianti ke pelukannya dan menenangkan, "Sudah, sudah .... Anak baik, nggak apa-apa, semuanya sudah berlalu ...."Malika juga tampak cemas dan alisnya berkerut dalam. "Cukup, tak nggak usah dibahas lagi! Semua sudah selesai, kita semua juga sempat sangat ketakutan."Kalimat itu jelas merupakan peringatan halus kepada Rendra, bahwa dalam peristiwa ini merekalah yang menjadi k
"Sembarangan!" Dianti buru-buru membantah, "Aku ... aku nggak pernah bertemu dengan Panji!"Namun, kepanikan di matanya terlihat jelas oleh semua orang.Saat berikutnya, Kalingga langsung berucap dengan suara dingin, "Tentang masalah ini, pemilik dan pelayan kedai bisa menjadi saksi. Mereka sudah ada di luar aula, siap dipanggil masuk kapan saja."Mendengar itu, mata Dianti langsung membelalak dan air matanya semakin deras.Bahkan, Kirana pun menatapnya dengan curiga, "Dian, sebenarnya yang dikatakan Andin benar atau nggak?"Saksi sudah ada di luar, Dianti tidak bisa mengelak lagi. Saat itu juga, dia hanya bisa menangis sambil memohon, "Ibu, aku ... aku diancam oleh Panji! Memang benar aku pernah bertemu dengannya, tapi aku nggak pernah menyetujui apa pun!"Begitu ucapan itu dilontarkan, tidak ada satu orang pun yang percaya. Bahkan, Nayshila yang biasanya selalu berdiri di pihaknya, tak bisa menahan diri untuk mengernyit.Dengan suara rendah, dia berkata, "Soal kamu menyetujuinya atau
Andini tidak membantah soal ini.Namun, sebelum Andini sempat berbicara, Kalingga sudah lebih dulu bersuara, "Malam sebelum kejadian, aku memang menyuruh Jabal untuk menakut-nakuti Astuti. Tapi, tujuanku hanya agar dia mau bicara jujur. Kalau Dianti merasa tersinggung, aku minta maaf."Kata-kata ini terdengar sopan, tetapi nada suaranya sama sekali tidak menunjukkan penyesalan. Bahkan, tatapan yang dia berikan kepada Dianti dipenuhi dengan kebengisan.Dianti seperti merasa menemukan titik balik. Dia segera menoleh menatap Kirana. "Ibu, dengar sendiri, 'kan? Mereka menjebakku! Mereka semua ingin menjebakku!"Namun, setelah mendengar pengakuan Astuti tadi, Kirana sekalipun menatapnya dengan tatapan yang asing.Saat ini, suara rendah dan dingin tiba-tiba terdengar dari luar aula. "Aku ingin tahu siapa yang menjebakmu!"Suara yang suram itu membawa tekanan luar biasa yang langsung membuat suasana di dalam ruangan semakin menegangkan.Tampak Rangga berjalan cepat masuk ke aula dan auranya d
Sementara itu, Andini, Kalingga, Abimana, Rangga .... Mereka bekerja sama untuk mendorongnya ke jurang!Saat ini, Dianti menyadari bahwa ketakutan terbesarnya selama ini telah menjadi kenyataan .... Dia selalu takut bahwa Keluarga Adipati akan membuangnya dan membencinya!Kini, sepertinya dia benar-benar telah dibenci oleh semua orang ....Melihat Dianti yang tetap diam, Andini perlahan bangkit dan berjalan mendekatinya, "Kalau kamu nggak mau bicara, biar aku yang membantumu.""Kamu sudah lama bersekongkol dengan Panji, ingin menjebakku bersamanya. Kebetulan 3 hari lalu ada biksu besar yang khotbah di Kuil Amnan. Kalian berpikir itu adalah kesempatan yang sempurna.""Jadi, kalian menyewa para pembunuh bayaran untuk menculik semua wanita di kediaman Keluarga Maheswara.""Tentu saja, target kalian sebenarnya hanya aku. Menculik semua wanita Keluarga Maheswara hanya tipu muslihatmu agar bisa mengelabui semua orang sebagai korban!""Panji dikenal mesum. Makanya, anak buahnya mengira dengan
Tak seorang pun menyangka bahwa Dianti tiba-tiba akan menyerang. Namun, Dianti tidak pernah belajar bela diri. Dengan kemampuannya, dia jelas bukan tandingan Andini.Andini mengerutkan alisnya sedikit dan secara refleks mundur 2 langkah, bersiap untuk menendang. Sebelum dia sempat melakukannya, tiba-tiba ada kekuatan besar yang menariknya ke belakang.Kalingga maju dan menghantam bahu Dianti dengan telapak tangannya. Seketika, Dianti terhempas jauh dan jatuh.Terdengar suara besi yang nyaring, sebuah belati kecil jatuh ke lantai.Andini terkejut. Dia tidak menyangka saat menerjang ke arahnya, Dianti ternyata menyembunyikan belati di tangannya!Namun, dia segera tersadar dan menatap Kalingga dengan tercengang. Semua orang di ruangan pun ikut terkejut!Yang pertama karena Dianti berani mencoba membunuh Andini di depan banyak orang. Yang kedua karena ... Kalingga berdiri!Andini menatap pria yang kini berdiri di hadapannya untuk melindunginya. Matanya dipenuhi ketidakpercayaan.Dia pikir
Tanpa sadar, kedua tangan Rangga mengepal begitu erat hingga terdengar suara retakan kecil. Namun, saat ini tak ada seorang pun yang memperhatikannya.Rendra juga menitikkan air mata haru, "Tak kusangka hari ini aku bisa menyaksikan kebahagiaan sebesar ini. Bagus, sangat bagus! Ini luar biasa!"Rendra berutang budi pada Kalingga. Dia tentu berharap yang terbaik untuknya. Sekarang, melihat Kalingga benar-benar berdiri kembali, bagaimana mungkin dia tidak merasa terharu?Bahkan, Kresna dan Kirana pun terperangah di tempat. Mereka tak bisa membayangkan bagaimana bisa seseorang yang telah divonis lumpuh oleh seluruh tabib istana, kini bisa berdiri kembali!Saat ini, terdengar tawa ringan dan sumbang. "Haha ... hahaha ...."Itu suara Dianti. Dia masih terbaring di tanah setelah dipukul tadi, bahkan belum sempat bangkit.Ketika melihat Kalingga benar-benar berdiri, dia menyadari bahwa dirinya telah kalah. Andini benar-benar berhasil menyembuhkan Kalingga. Sementara itu, dia dicampakkan oleh
Abimana tidak bergerak. Kedua tangannya terkulai, membiarkan Dianti memeluknya. Di sisi lain, Kresna dan Kirana yang melihat pemandangan itu tak dapat menahan air mata mereka.Andini berdiri di belakang Kalingga, menatap dingin pemandangan kakak adik yang berpelukan itu. Jika mengatakan dia tidak merasakan apa-apa, itu pasti bohong.Dia tahu, Dianti hanya putri palsu. Dia juga tahu, Abimana adalah kakaknya. Bahkan, semua kasih sayang serta perhatian yang diberikan Keluarga Biantara kepada Dianti, adalah sesuatu yang seharusnya menjadi miliknya.Karena itu, saat melihat Dianti dengan bangganya merebut semua yang dulu adalah miliknya, hati Andini mencelos. Tatapannya semakin dingin dan menusuk.Untungnya, dia tidak peduli lagi. Sesuatu yang bisa direbut dengan mudah sejak awal sudah bukan sesuatu yang berharga. Jika memang tidak berharga, untuk apa dia menginginkannya?Namun, di saat itu juga, Kirana tiba-tiba berbalik menghadap orang-orang, lalu perlahan berlutut.Semua orang terkejut m
Kresna juga menyeka air matanya. "Ayah tahu, kamu nggak ingin bertemu kami. Asalkan kamu bersedia memaafkan Dian, kami sekeluarga nggak akan pernah muncul di hadapanmu lagi!""Andin, Dianti baru 3 tahun bersama Ibu. Seharusnya dia selalu berada di sisi Ibu, menerima kasih sayang dan perlindungan Ibu. Sekarang, bisakah kamu anggap ini sebagai cara untuk membantu Ibu melunasi utang? Tolong maafkan dia, ya? Ibu akan bersujud padamu."Setelah berkata demikian, Kirana benar-benar bersujud di hadapan semua orang.Malika terkejut dan segera maju untuk membantunya berdiri. "Apa yang kamu lakukan?""Dia sedang memaksa Andin." Suara dingin Kalingga tiba-tiba terdengar. Tatapannya yang tajam penuh dengan amarah. "Kalian berdua telah membesarkan Andin selama 15 tahun. Meskipun sudah putus hubungan dan Andin telah menderita selama 3 tahun terakhir, di mata orang lain, kalian tetap berjasa karena membesarkannya selama 15 tahun.""Sekarang kalian menggunakan jasa itu untuk menekan Andin agar memaafka
Dalam keadaan linglung, Andini teringat saat dulu dirinya ditangkap oleh Panji dan dibawa masuk ke gua.Waktu itu, dia juga berlari sekuat tenaga ke dalam hutan, hingga akhirnya tidak tahu sudah berapa lama dia terjebak di sana. Pada akhirnya, Rangga yang menggendongnya keluar dari hutan itu.Andini tak ingin mengulang nasib yang sama. Jadi, sambil terus berlari, dia juga memperhatikan keadaan di belakangnya. Melihat Anom masih belum menyerah mengejar, dia mulai panik.Malam kian larut. Hanya dalam waktu singkat setelah menerobos masuk ke hutan, Andini sudah tidak bisa melihat apa-apa saking gelapnya. Hal yang paling dia khawatirkan akhirnya terjadi.Krek! Suara tajam menggema. Kakinya terjepit jebakan hewan!"Anom! Jangan ke sini lagi!" teriak Andini panik. "Di sini banyak jebakan! Aku juga kena!"Mendengar itu, suara langkah kaki Anom pun terhenti. Mungkin karena teringat pada temannya yang juga cedera, Anom akhirnya memutuskan untuk tidak lanjut mengejar, lalu berbalik dan pergi.Di
Tepat saat itu, terdengar suara samar-samar dari arah halaman.Andini tersentak, segera bangkit dan mengintip ke luar. Dia pun melihat bayangan seseorang yang mondar-mandir di halaman."Siapa di sana?""Aku."Suara itu terdengar cukup familier.Andini mencoba menebak, "Anom?""Benar!" sahut Anom, lalu berjalan ke depan pintu sambil berkata, "Ibuku masak sup ayam malam ini. Tapi gara-gara kejadian Bi Diah, jadi lupa. Tadi baru dipanaskan lagi, terus aku disuruh antar ke sini."Memang benar, Endah sering membuatkan sup ayam untuknya setiap beberapa hari sekali. Andini tidak terlalu curiga, jadi berkata, "Taruh saja di depan pintu, nanti aku ambil.""Baik!" Jawaban Anom cepat dan ringan.Tak lama kemudian, Andini melihat Anom keluar dari halaman. Dia bangkit, tertatih-tatih menuju pintu.Begitu membuka pintu, memang benar ada semangkuk sup ayam di atas lantai. Dia perlahan berjongkok, hendak mengambil mangkuk itu.Tepat saat itu, dari sudut halaman, tiba-tiba muncul bayangan. Sebelum Andi
Saat Surya kembali ke Desa Teluk Horta, matahari sudah terbenam. Dari kejauhan, dia langsung melihat halaman rumahnya dikerumuni oleh banyak orang.Hatinya langsung mencelos, tak tahu apa yang sedang terjadi. Seseorang melihatnya dan langsung berteriak, "Itu dia! Dia sudah kembali!"Semua orang pun serentak menoleh ke arah Surya.Begitu memasuki halaman, Surya langsung melihat Diah terbaring di tengah halaman. Di samping, Andini sedang berlutut.Terlihat dia memegang sebatang jarum sulam dan sedang menusukkannya ke tubuh Diah, yang matanya tampak sayu, antara sadar dan tidak."Ada apa ini?" Suara Surya terdengar dalam.Endah segera melangkah ke depan, menjelaskan, "Ihatra bertengkar sama ayahnya, terus kabur ke dalam hutan. Ayahnya takut terjadi apa-apa, jadi ikut masuk hutan juga.""Diah menunggu di rumah sampai langit hampir gelap. Dia panik dan langsung pingsan. Untungnya gadis ini menguasai ilmu medis. Baru dua tusukan jarum saja, Diah langsung siuman."Mendengar itu, tatapan Surya
Melihat punggung Surya yang semakin menjauh, Endah hanya bisa menghela napas, lalu berbalik dan berkata kepada Andini, "Aku rebus dulu ayamnya, nanti aku balik lagi ke sini."Usai berkata begitu, dia pun pergi.Andini duduk di dalam rumah, memandangi punggung Endah yang perlahan menghilang. Dia juga melihat dengan jelas bahwa Anom belum pergi.Anak itu masih berdiri di tempatnya, menatap Andini dari balik jendela. Saat Andini memandang balik ke arahnya, Anom buru-buru mengalihkan pandangan dan berseru, "Bu, tunggu aku!"Setelah itu, dia pun berbalik dan pergi. Namun, sorot mata Anom tak luput dari pandangan Andini.Tatapan yang dilontarkan padanya mengandung kebencian. Perasaan itu terlalu familier bagi Andini. Dulu ketika Dianti diam-diam memandangnya, sorot mata itu sama persis.Dua jam kemudian, Surya akhirnya tiba di kota kecil. Dia menjual hasil buruannya ke rumah makan yang sudah akrab dengannya, lalu berkeliling sesaat dan masuk ke sebuah gang kecil. Kemudian, dia mendorong pint
Keesokan hari saat Andini bangun, sosok Surya sudah tak terlihat. Sementara itu, Endah tengah sibuk di dapur.Dengan kaki yang masih pincang, Andini berjalan ke ambang pintu, menatap Endah dengan heran, "Bibi Endah, kok hari ini bangunnya pagi sekali?"Matahari bahkan belum sepenuhnya terbit!Endah menyiapkan air untuk Andini mencuci muka, lalu menjawab, "Arjuna sudah pergi ke gunung sejak fajar bersama Anom. Aku hari ini nggak ada pekerjaan di ladang, jadi mampir ke sini untuk bantu-bantu sebentar."Saat berbicara, sudut bibir Endah menyiratkan senyuman kecil.Mengingat kejadian kemarin, Andini pun merasa perlu meminta maaf. "Maaf ya, Bi Endah. Kemarin aku asal bicara cuma untuk menakut-nakuti Anom."Endah buru-buru mengangguk. "Iya, aku tahu. Anak bandel itu memang perlu ditakut-takuti! Setelah pulang kemarin, dia nangis-nangis sambil janji nggak akan berjudi lagi.""Pagi ini juga semangat banget bangunnya. Kalau dia bisa meninggalkan kebiasaan buruk itu, lalu ikut Arjuna berburu, it
Rangga pernah menculik Andini dan akhirnya membuat Andini terjatuh ke Sungai Mentari. Dendam itu masih terus disimpan Laras di dalam hati sampai sekarang.Meskipun statusnya hanyalah seorang pelayan biasa dan tak bisa berbuat apa-apa pada Rangga, jangan harap dia bersedia mengikuti Rangga!Selesai bicara, Laras pun membalikkan badan dan melangkah ke arah Kalingga. Kalingga masih tidak mengatakan apa-apa. Setelah mendengar kata-kata Laras barusan, seulas senyuman tipis tidak bisa disembunyikan dari wajahnya.Senyuman ringan itu, sekalipun sangat tipis, tetap menyakitkan mata Rangga. Dia tidak mengerti. Kenapa Andini tidak mau bersamanya, bahkan pelayannya pun menolaknya?Rangga sontak melangkah maju, hendak menarik tangan Laras. Namun, baru satu langkah diambil, terdengar suara Kalingga yang datar. "Rangga."Hanya satu panggilan pelan, tetapi makna ancamannya sangat jelas. Apabila Rangga benar-benar menahan Laras, Kalingga pasti akan bertindak.Rangga pun berhenti. Aura yang dipancarkan
Jabal mencari tiga kuda terbaik dari kediaman dan berangkat malam itu juga menuju lokasi yang berjarak lebih dari 50 kilometer.Perjalanan tidak sepenuhnya mulus. Mayat perempuan itu ditemukan di sebuah desa kecil. Ketika mereka tiba, matahari sudah bersinar terik.Di luar desa, anak buah mereka sudah menunggu. Begitu turun dari kuda, Kalingga segera masuk ke desa. "Di mana?""Masih di tepi sungai," kata anak buah itu sambil menurunkan suaranya. "Jenderal Rangga juga ada di sana."Mendengar itu, Kalingga sempat tercengang sejenak. Dia mengikuti arah yang ditunjuk. Benar saja, di tepi sungai tak jauh dari sana, terlihat Rangga sedang membuka kain putih penutup mayat. Wajahnya memperlihatkan ekspresi jijik.Melihat itu, Kalingga merasa lega. Dari ekspresi Rangga, seharusnya itu bukan Andini. Namun, detik berikutnya, hatinya kembali diliputi amarah. Informasi itu datang dari bawahannya sendiri, kenapa Rangga bisa lebih dulu sampai di sini?Di belakang, Laras yang melihat mayat tertutup ka
Tingkah mereka yang berpura-pura mabuk tadi memang tak terlihat mencurigakan. Namun, akting setelah mereka "sadar" barusan sungguh buruk. Beberapa dari mereka bahkan langsung terbangun, padahal tidak disiram.Andini mengernyit pelan saat memikirkan hal ini, lalu secara refleks menoleh ke arah jendela. Di sana, dia melihat sosok tinggi besar itu berjalan ke arah barat, menuju ke bawah atap.Dia tak ingin berpikiran buruk tentang orang lain, tetapi saat itu di halaman hanya ada dia seorang yang bukan dari kalangan mereka. Mereka semua pura-pura mabuk, jelas-jelas untuk diperlihatkan kepadanya.Kenapa? Sedang mengujinya? Apakah karena sebelumnya dia secara tidak sengaja menunjukkan sedikit kemampuan bela dirinya?Namun, jika Surya hanya pemburu biasa, bagaimana mungkin dia bisa terpikir menggunakan cara semacam ini? Jangan-jangan identitasnya pun tidak sesederhana itu?Begitu benih kecurigaan tertanam, hal itu mulai tumbuh liar dalam hati. Andini berusaha keras mengingat semua kejadian se
Andini sama sekali tidak menyadari apa yang terjadi di belakangnya. Begitu keluar dari pagar bambu, kaki kirinya terasa sakit lagi. Langkahnya semakin pincang. Sebelum berjalan jauh, dia sudah mulai memanggil, "Bi Endah! Bi Endah!"Dia sama sekali tidak tahu, sebelum dia membuka mulut, sebilah belati nyaris menyentuh leher putihnya dari belakang, hanya sedikit lagi sudah akan menggorok tenggorokannya.Namun, saat dia memanggil nama Endah, belati itu tiba-tiba ditarik mundur, lalu pemiliknya buru-buru kembali ke dalam halaman.Tak lama kemudian, lampu di rumah Endah kembali menyala. Wanita itu bertanya, "Ada apa? Ada apa ini?"Andini memandang Endah dengan wajah penuh rasa bersalah. "Kak Arjuna dan teman-temannya mabuk semua, mereka tidur di luar. Aku khawatir mereka masuk angin kalau tidur di luar. Bisa Bibi bantu aku?"Di dalam pagar, para pria yang mendengarnya saling melirik, masing-masing mulai merasa bersalah."Aduh, ya sudah, aku ke sana sekarang!" sahut Endah cepat-cepat. Tak la