Mendengar kata-kata itu, Andini dan Gayatri langsung terkejut."Kamu bicara omong kosong apa?" Gayatri hampir saja menendangnya lagi, tetapi akal sehatnya menahan dirinya untuk tidak melakukannya.Dimas pasti mengetahui sesuatu, makanya berbicara seperti ini!Andini juga mengernyit, menekan rasa panik yang mulai menguasai hatinya, lalu bertanya dengan suara dalam, "Bagaimana kamu tahu?""Tentu saja dari ayahku!" Melihat kedua wanita itu mulai panik, wajah Dimas mulai menunjukkan ekspresi puas. "Kaisar sudah menerima kabar sejak tadi malam. Byakta memimpin pasukan menyerbu pegunungan, tapi mengalami kekalahan telak. Seluruh pasukan tewas!"Kata-kata terakhir itu diucapkan Dimas dengan sangat jelas, seperti batu besar yang menghantam dada Andini. Seketika, dia merasa sesak, seolah-olah ketiga kata itu merampas seluruh udara di sekitarnya.Gayatri akhirnya kehilangan kesabaran. Tanpa peduli pada apa pun, dia langsung menerjang Dimas. "Beraninya kamu bicara omong kosong! Beraninya kamu men
Usai berbicara, Akbar membawa Rangga masuk ke sebuah ruangan. Di dalamnya, bau amis darah begitu pekat. Di atas tempat tidur terbaring seseorang, Cahya.Saat ini, dia belum tidur. Mendengar suara langkah kaki, dia langsung menoleh. Saat melihat Rangga, matanya sontak membelalak. Pupilnya yang semula redup tampak bersinar kembali.Tanpa memedulikan luka di tubuhnya, dia berusaha bangkit dari tempat tidur, hampir merangkak ke hadapan Rangga. Dengan suara gemetar yang dipenuhi kepiluan, dia berseru, "Hormat kepada Jenderal!"Tatapan Rangga tertuju pada lengan kiri Cahya. Seiring gerakan Cahya yang kasar, lengan bajunya ikut bergoyang dan tampak kosong. Lengan kirinya telah putus.Wajah Rangga menggelap, tekanan di sekelilingnya semakin berat. Dia membungkuk, membantu Cahya berdiri, lalu berkata dengan dingin, "Katakan."Cahya sudah lama mengikuti Rangga, tentu saja dia memahami perintahnya. Tanpa ragu, dia mulai melaporkan, "Sepuluh hari lalu, saya bersama pasukan tiba di Kabupaten Horta.
Pegunungan Enam terletak di sebelah timur Kabupaten Horta, Yolasa. Pegunungan ini membentang dengan puncak-puncak yang berlapis-lapis. Dari kejauhan, tampak seperti memiliki enam puncak sehingga diberi nama demikian.Medan di pegunungan ini berbahaya, membuat musuh sulit menyerang. Ditambah dengan gunung yang saling terhubung, para bandit di sini dapat melarikan diri ke gunung lain dengan mudah. Itu sebabnya, mereka bisa merajalela selama bertahun-tahun.Tentu saja, faktor lainnya adalah adanya kerja sama antara pejabat dan para bandit.Malam semakin larut. Namun, di dalam perkampungan bandit, suasana justru semakin meriah. Para bandit menyalakan api unggun, minum arak, dan makan daging dengan penuh kegembiraan.Tiba-tiba, salah seorang bandit berkata, "Kak, menurutmu Tuan Akbar benar-benar akan membawa 10.000 tahil kali ini?"Kepala bandit yang sedang memegang paha kambing di tangan kiri dan kendi arak di tangan kanan, menatap ke arah pria yang dikurung dalam sangkar di kejauhan, lalu
Serang!Dalam sekejap, sosok-sosok di kegelapan menyerbu. Kilatan senjata berpendar di malam yang mencekam, menyerang para bandit itu.Para bandit sama sekali tidak menduga bahwa saat mereka sedang asyik minum dan bersenang-senang, musuh justru telah menerobos masuk. Mereka sempat panik, tetapi sebagai orang-orang yang terbiasa hidup di ujung tanduk, mereka segera memantapkan diri begitu pemimpin mereka berteriak keras. Seketika, senjata-senjata dikeluarkan dan pertempuran sengit pun pecah.Rangga dengan gesit menyelinap menuju sangkar tahanan. Pedangnya langsung menebas rantai gembok yang mengunci pintu sangkar.Sementara itu, pemimpin bandit yang memperhatikan situasi langsung mengangkat goloknya dan menyerang Rangga dari belakang.Merasakan niat membunuh yang mengarah padanya, Rangga segera menghindar ke samping, lalu mengayunkan pedangnya untuk membalas serangan.Di luar dugaan, keahlian bertarung pemimpin bandit ternyata tidak kalah darinya. Segera, mereka terlibat dalam pertarung
Setelah termangu sejenak, Rangga mengangkat pedangnya dan menebas perampok itu hingga tewas.Ketika dia menoleh kembali, Byakta masih berdiri di sana, dengan lubang besar di dadanya. Darah terus mengalir tanpa henti.Mata mereka bertemu. Byakta justru menyunggingkan senyuman, seolah-olah ingin menenangkan Rangga. Namun, saat dia mencoba berbicara, yang keluar hanyalah semburan darah segar."Byakta!" seru Rangga dengan kaget, segera berlari menghampirinya.Byakta telah kehilangan kekuatan untuk berdiri. Tubuhnya oleng dan jatuh ke belakang. Untungnya, Rangga berhasil menangkapnya tepat sebelum tubuhnya mengenai tanah.Namun ... darah masih terus mengalir dari dadanya, membanjiri tangan Rangga. Rangga yang panik pun melemparkan pedangnya. Dengan kedua tangannya yang bergetar, dia menekan cedera Byakta sekuat tenaga."Nggak apa-apa! Aku akan membawamu turun gunung! Prajurit, cepat kemari!" Jalan gunung terlalu curam dan berbahaya. Dia tak bisa membawa Byakta turun sendirian.Namun, pasuka
Saat turun gunung, langit sudah terang. Cahaya keemasan dari timur begitu menyilaukan hingga orang-orang kesulitan membuka mata.Rangga refleks memandang ke arah cahaya, matanya terasa perih. Alisnya berkerut, menambah kesan dingin dan suram pada sosoknya.Anak buahnya bahkan tidak berani bersuara, hanya diam-diam menyerahkan kuda dan baju zirah yang mereka sembunyikan di hutan.Rangga naik ke punggung kudanya, menarik tali kekang, lalu menuju ke barat menuju Kabupaten Horta.Kudanya berjalan pelan. Dari atas kuda, dia menatap bayangannya yang memanjang di tanah dan bergetar hebat.Dia belum pernah merasa segoyah ini sebelumnya. Setiap kali pulang dari kemenangan, sosoknya selalu yang paling tegap.Sebaliknya, Darman selalu gelisah di atas kudanya, sering bermain-main dengan Cahya. Bayangan mereka berdua sering bertautan, kadang bahkan menabrak kuda Rangga dan membuat kekacauan.Di antara mereka bertiga, Byakta yang paling tenang. Dia paling senior, paling berpengalaman. Bayangannya pu
Andini sebenarnya sudah melihat rombongan itu dari kejauhan. Dia telah menunggang kuda tanpa henti selama beberapa hari, hampir tak berani beristirahat.Begitu mengetahui bahwa Rangga telah memimpin pasukan ke gunung untuk menyelamatkan Byakta semalam, dia pun segera menyusul!Namun ... saat rombongan itu benar-benar muncul dalam pandangannya, tiba-tiba dia tidak berani melangkah lebih jauh.Takut bahwa jika semakin dekat, dia akan melihat pemandangan yang berulang kali dia tolak dalam benaknya, tetapi terus muncul tanpa kendali.Andini hanya berani berdiri di tempat, menunggu rombongan mendekat. Dia berpikir, Byakta pasti akan melihatnya, lalu segera menghampirinya.Tanpa diduga, rombongan itu justru berhenti. Andini tertegun, matanya tertuju ke barisan terdepan.Di sana, tampak seseorang berdiri membelakangi cahaya matahari. Darah yang menodai tubuhnya tampak mencolok di bawah cahaya matahari pagi.Itu ... Rangga? Andini hampir tidak bisa mengenalinya. Di ingatannya, Rangga selalu ga
"Byakta ...." Andini memanggil dengan pelan, seolah-olah takut membangunkannya. Padahal, yang sebenarnya dia inginkan adalah membangunkan Byakta!Jadi, suaranya pun sedikit lebih keras, "Byakta, ini aku. Aku datang mencarimu."Namun, sosok di atas punggung kuda itu sama sekali tidak bereaksi.Andini semakin panik dan kembali berseru. Dia bahkan mulai mengguncang tubuh Byakta. "Byakta! Bangun! Jangan menakutiku!"Namun ... Byakta tidak akan pernah bangun lagi. Selamanya tidak akan bangun lagi ....Tubuh Byakta hampir jatuh akibat guncangan yang dilakukan Andini. Saat itulah, sepasang tangan tiba-tiba merengkuhnya dari belakang, menariknya ke dalam dekapan. "Dia sudah mati!"Andini tidak percaya. Dia berusaha melepaskan diri, ingin terus memanggil Byakta, ingin membangunkannya!Namun, orang di belakangnya tetap menahannya. "Dia sudah mati! Byakta sudah mati!"Mati ...? Seluruh tubuh Andini seketika membeku. Dia melihat tubuh Byakta yang hampir terjatuh dari kuda dan prajurit di samping b
Andini tahu Kirana datang untuk menghiburnya. Hanya saja, Andini malah menganggap ucapan Kirana tidak enak didengar. Semua ini takdir? Apa Kirana merasa Byakta pantas mati?Andini mengernyit, tetapi dia tidak mampu berdebat dengan mereka lagi. Andini menarik napas dalam-dalam, lalu berkata, "Aku sudah putus hubungan dengan Keluarga Adipati. Apa pun yang terjadi padaku nggak ada hubungannya dengan kalian. Aku harap ke depannya kalian jangan datang lagi."Selesai bicara, Andini langsung berjalan masuk ke kediaman. Abimana marah-marah, "Andini! Jangan nggak tahu diri! Biasanya Ibu jarang keluar, dia datang karena mengkhawatirkanmu!"Langkah Andini terhenti. Dia mengepalkan tangannya dengan erat, lalu bertanya, "Bagaimana dengan kamu?"Mendengar ucapan Andini, Abimana terdiam. Dia tidak memahami maksud Andini.Andini tiba-tiba berbalik dan lanjut bertanya seraya menatap Abimana, "Kenapa kamu datang kemari? Kamu memperhatikanku atau merasa bersalah?"Sebenarnya Andini tidak memahami satu ha
Yudha hanya ingin membawa Byakta pulang bersama keluarganya tanpa Rangga dan Andini. Mulai saat ini, para bangsawan dari ibu kota tidak berhubungan dengan Keluarga Muhadir lagi.Rangga mengangguk. Dia bisa memahami pemikiran Yudha. Tentu saja, Rangga tidak memaksakan kehendaknya.Andini juga mengerti. Dia menarik napas dalam-dalam, lalu menghampiri Ajeng dan melepaskan gelang gioknya. Andini berucap, "Aku nggak pantas terima gelang ini ...."Sebelum Andini menyelesaikan ucapannya, Ajeng menahan tangan Andini. Ajeng tampak kelelahan, tetapi dia tetap tersenyum kepada Andini dan menimpali, "Gelang ini sudah menjadi milikmu. Kalau kamu kembalikan padaku, Byakta pasti sedih."Andini memandang Ajeng dengan ekspresi kaget. Jika Ajeng masih meminta Andini menyimpan gelang ini, berarti Keluarga Muhadir masih mengakui Andini.Andini tidak menyangka sekarang Keluarga Muhadir masih menerimanya. Dia merasa sangat sedih. Andini memeluk Ajeng dengan erat. Dia merasa bersyukur dan juga bersalah.Ajen
Andini yang menyebabkan Yudha dan Ajeng kehilangan putranya. Dia juga menyebabkan Gayatri kehilangan kakaknya. Semua ini salah Andini.Tangisan Gayatri makin menjadi-jadi. Dia berujar, "Tapi, Kak Byakta pasti marah kalau lihat aku salahkan kamu ...."Ucapan Gayatri membuat hati Andini terasa sakit. Andini kewalahan melihat Gayatri yang menangis histeris.Gayatri tetap berusaha berbicara, "Sebelum pergi, kakakku bilang padaku dia nggak pernah begitu menyayangi seorang wanita selama hidupnya. Dia cuma ingin kamu aman dan bahagia. Biarpun harus mengorbankan nyawanya, dia juga rela."Gayatri menambahkan, "Andini, kakakku benar-benar mengorbankan nyawanya. Jadi, kamu harus aman dan bahagia! Kalau nggak, aku nggak akan ampuni kamu!"Ini adalah keinginan terakhir Byakta. Gayatri tidak bisa bicara lagi. Dia terus menangis. Gayatri tidak mengerti kenapa di dunia ini ada orang yang begitu bodoh hingga rela mengorbankan nyawanya demi keselamatan dan kebahagiaan orang lain.Namun, Gayatri tidak be
Andini tertegun. Semalam dia mendengar bandit mengatakan jika bukan karena Rangga mengutus orang untuk mengikuti Andini, mereka juga tidak akan menyangka orang yang berada di dalam peti mati adalah Byakta. Pembunuhan semalam juga tidak akan terjadi.Mungkin sekarang Andini sudah keluar dari Yolasa. Seharusnya Andini tidak menyalahkan Rangga. Bagaimanapun, Rangga hanya berniat melindungi Andini. Dia tidak menyangka semalam bandit akan muncul.Lagi pula, masalah kali ini terjadi karena bandit terlalu brutal. Mereka membantai penduduk desa, bahkan mereka tidak melepaskan bayi.Jika bukan karena masalah itu, Kaisar tidak akan buru-buru mengutus prajurit. Semua ini juga tidak akan terjadi.Namun, nasi sudah menjadi bubur. Byakta dan para prajurit telah mati. Andini tidak bisa mengatakan dirinya tidak menyalahkan Rangga.Andini diam-diam menyalahkan semua orang yang berkaitan dengan masalah ini. Akan tetapi, dia tetap menyalahkan dirinya sendiri. Jadi, Andini hanya terdiam dan menunduk.Andi
Suara langkah kaki makin mendekat. Andini langsung mundur, lalu berteriak, "Jangan mendekat!"Namun, Rangga tidak menghentikan langkahnya. Andini yang panik segera mengayunkan pedangnya. Rangga tidak menyangka Andini berniat menyakitinya. Dia buru-buru mundur.Pedang Andini menggores lengan baju Rangga. Andini merasakan serangannya kurang tepat, jadi dia mengayunkan pedangnya lagi.Siapa sangka, Rangga menggenggam pergelangan tangan Andini. Sebelum Andini sempat merespons, Rangga menarik Andini ke dalam pelukannya sambil menghibur, "Jangan takut, ini aku."Andini yang hendak memberontak langsung menghentikan gerakannya begitu mendengar suara Rangga. Tubuh Andini menegang. Dia bertanya, "Rangga?"Rangga menyahut, "Iya, ini aku. Sekarang kamu sudah aman."Andini hanya merasa tenang sesaat. Dia segera menyeka darah di wajahnya dengan baju Rangga, lalu mendorongnya dan bergegas berjalan ke luar hutan.Andini kaget saat melihat penutup peti terbuka. Dia buru-buru naik ke kereta kuda. Andini
Rangga hanya menghabiskan waktu sehari untuk membereskan masalah di Kabupaten Horta. Bandit yang ditangkap Rangga tidak bisa bertahan lama. Bandit langsung mengakui semuanya.Rangga juga mengancam Akbar sehingga Akbar yang ketakutan setengah mati tidak berani menutupi kebenarannya lagi. Masalah ini memang sangat rumit.Rangga menyuruh Cahya untuk menyelidiki masalah ini dengan teliti. Cahya sudah kehilangan lengan kirinya. Ke depannya dia tidak bisa berperang lagi. Jika Cahya bisa menyelesaikan masalah ini, dia bisa mendapatkan jabatan di pemerintahan.Biarpun hanya menjadi bupati di Kabupaten Horta, itu lebih baik daripada pulang dengan tubuh cacat dan menjadi petani.Rangga buru-buru pergi dengan menunggangi kudanya tanpa minum sedikit pun. Dia sangat panik. Sosok Andini yang pergi menjauh terus terlintas di benak Rangga. Jadi, Rangga tidak bisa menunggu lagi.Rangga terus mengejar Andini tanpa beristirahat. Begitu sampai, dia baru tahu semua orang yang diutusnya untuk melindungi And
Tenaga bandit sangat kuat. Andini merasa tangannya hampir patah. Dia berusaha menahan rasa sakit dan mencoba menggerakkan tangannya.Pedang di perut bandit juga mulai bergerak. Bandit berteriak kesakitan. Genggamannya di tangan Andini makin erat.Andini yang merasa kesakitan berteriak. Namun, teriakan Andini bukan hanya karena rasa sakit. Akhirnya, Andini berhasil memutar pedang itu.Sepertinya usus bandit itu putus, dia memuntahkan darah. Bandit itu tumbang. Andini tetap menggenggam pedang dengan erat.Wajah Andini ternodai darah sehingga dia kesulitan untuk membuka matanya. Kemudian, terdengar suara langkah kaki dan suara bandit lain lagi. "Madun! Harjo!"Andini sangat panik, tetapi dia masih bisa berpikir rasional. Andini tidak boleh terus berada di sini. Hanya saja, Andini sudah kehabisan tenaga dan tangannya terasa sakit. Bahkan, dia tidak mampu menyeka darah di wajahnya.Alhasil, Andini ditendang oleh bandit hingga terjatuh ke tanah. Bandit hendak menusuk Andini setelah melihat k
Andini terkejut saat melihat bandit yang wajahnya ternodai darah prajurit. Andini langsung mundur. Siapa sangka, dia tersandung ranting pohon dan terjatuh ke tanah.Bandit tertawa melihat kondisi Andini. Di dalam kegelapan malam, bau amis darah membuat Andini pusing.Andini yang tampak ketakutan bertanya sembari terisak, "Apa ... kamu nggak akan bunuh aku ... kalau aku ikut kamu?"Bandit makin bangga ketika melihat Andini sangat ketakutan. Dia menyahut, "Tentu saja. Yang penting kamu bersikap patuh."Andini mengangguk dan menimpali, "Aku sangat patuh. Tapi ... sepertinya aku terkilir."Bandit melihat pergelangan kaki Andini. Dia tidak curiga karena tadi Andini memang tersandung. Bandit mengamati Andini lagi. Melihat ekspresi Andini yang ketakutan, bandit menganggap Andini hanya wanita yang lemah. Andini sama sekali tidak membawa senjata, mana mungkin dia bisa membuat masalah?Bandit menghampiri Andini sambil mengangkat alis. Dia hendak memapah Andini. Sementara itu, Andini mengulurkan
Karena terkejut, prajurit itu mundur beberapa langkah ke belakang.Prajurit lain melangkah maju. Saat melihat apa yang terjadi, dia mengerutkan alisnya dan berkata, "Sekarang sudah masuk musim semi. Ular, serangga, dan binatang kecil lain mulai keluar mencari makan. Ini bukan masalah besar."Mendengar itu, yang lainnya pun mengangguk, lalu menyarungkan pedang mereka kembali.Andini juga menghela napas lega. Pandangannya tertuju pada kepala ular yang terpenggal di tepi jalan.Di bawah cahaya bulan, kepala ular yang kecil itu masih bergerak, seolah-olah berusaha bertahan. Entah kenapa, Andini merasa ini adalah pertanda buruk. Kegelisahan mulai merayap ke hatinya.Semoga saja semuanya akan berjalan lancar di perjalanan ini.Para prajurit sudah terbiasa dengan perjalanan panjang. Mereka hanya tidur 4 jam setiap malam, tetapi tetap memperhatikan Andini selama perjalanan.Namun, kegelisahan yang muncul malam itu terus membekas di hati Andini. Dia sama sekali tidak bisa tenang.Seakan-akan me