Serang!Dalam sekejap, sosok-sosok di kegelapan menyerbu. Kilatan senjata berpendar di malam yang mencekam, menyerang para bandit itu.Para bandit sama sekali tidak menduga bahwa saat mereka sedang asyik minum dan bersenang-senang, musuh justru telah menerobos masuk. Mereka sempat panik, tetapi sebagai orang-orang yang terbiasa hidup di ujung tanduk, mereka segera memantapkan diri begitu pemimpin mereka berteriak keras. Seketika, senjata-senjata dikeluarkan dan pertempuran sengit pun pecah.Rangga dengan gesit menyelinap menuju sangkar tahanan. Pedangnya langsung menebas rantai gembok yang mengunci pintu sangkar.Sementara itu, pemimpin bandit yang memperhatikan situasi langsung mengangkat goloknya dan menyerang Rangga dari belakang.Merasakan niat membunuh yang mengarah padanya, Rangga segera menghindar ke samping, lalu mengayunkan pedangnya untuk membalas serangan.Di luar dugaan, keahlian bertarung pemimpin bandit ternyata tidak kalah darinya. Segera, mereka terlibat dalam pertarung
Setelah termangu sejenak, Rangga mengangkat pedangnya dan menebas perampok itu hingga tewas.Ketika dia menoleh kembali, Byakta masih berdiri di sana, dengan lubang besar di dadanya. Darah terus mengalir tanpa henti.Mata mereka bertemu. Byakta justru menyunggingkan senyuman, seolah-olah ingin menenangkan Rangga. Namun, saat dia mencoba berbicara, yang keluar hanyalah semburan darah segar."Byakta!" seru Rangga dengan kaget, segera berlari menghampirinya.Byakta telah kehilangan kekuatan untuk berdiri. Tubuhnya oleng dan jatuh ke belakang. Untungnya, Rangga berhasil menangkapnya tepat sebelum tubuhnya mengenai tanah.Namun ... darah masih terus mengalir dari dadanya, membanjiri tangan Rangga. Rangga yang panik pun melemparkan pedangnya. Dengan kedua tangannya yang bergetar, dia menekan cedera Byakta sekuat tenaga."Nggak apa-apa! Aku akan membawamu turun gunung! Prajurit, cepat kemari!" Jalan gunung terlalu curam dan berbahaya. Dia tak bisa membawa Byakta turun sendirian.Namun, pasuka
Saat turun gunung, langit sudah terang. Cahaya keemasan dari timur begitu menyilaukan hingga orang-orang kesulitan membuka mata.Rangga refleks memandang ke arah cahaya, matanya terasa perih. Alisnya berkerut, menambah kesan dingin dan suram pada sosoknya.Anak buahnya bahkan tidak berani bersuara, hanya diam-diam menyerahkan kuda dan baju zirah yang mereka sembunyikan di hutan.Rangga naik ke punggung kudanya, menarik tali kekang, lalu menuju ke barat menuju Kabupaten Horta.Kudanya berjalan pelan. Dari atas kuda, dia menatap bayangannya yang memanjang di tanah dan bergetar hebat.Dia belum pernah merasa segoyah ini sebelumnya. Setiap kali pulang dari kemenangan, sosoknya selalu yang paling tegap.Sebaliknya, Darman selalu gelisah di atas kudanya, sering bermain-main dengan Cahya. Bayangan mereka berdua sering bertautan, kadang bahkan menabrak kuda Rangga dan membuat kekacauan.Di antara mereka bertiga, Byakta yang paling tenang. Dia paling senior, paling berpengalaman. Bayangannya pu
Andini sebenarnya sudah melihat rombongan itu dari kejauhan. Dia telah menunggang kuda tanpa henti selama beberapa hari, hampir tak berani beristirahat.Begitu mengetahui bahwa Rangga telah memimpin pasukan ke gunung untuk menyelamatkan Byakta semalam, dia pun segera menyusul!Namun ... saat rombongan itu benar-benar muncul dalam pandangannya, tiba-tiba dia tidak berani melangkah lebih jauh.Takut bahwa jika semakin dekat, dia akan melihat pemandangan yang berulang kali dia tolak dalam benaknya, tetapi terus muncul tanpa kendali.Andini hanya berani berdiri di tempat, menunggu rombongan mendekat. Dia berpikir, Byakta pasti akan melihatnya, lalu segera menghampirinya.Tanpa diduga, rombongan itu justru berhenti. Andini tertegun, matanya tertuju ke barisan terdepan.Di sana, tampak seseorang berdiri membelakangi cahaya matahari. Darah yang menodai tubuhnya tampak mencolok di bawah cahaya matahari pagi.Itu ... Rangga? Andini hampir tidak bisa mengenalinya. Di ingatannya, Rangga selalu ga
"Byakta ...." Andini memanggil dengan pelan, seolah-olah takut membangunkannya. Padahal, yang sebenarnya dia inginkan adalah membangunkan Byakta!Jadi, suaranya pun sedikit lebih keras, "Byakta, ini aku. Aku datang mencarimu."Namun, sosok di atas punggung kuda itu sama sekali tidak bereaksi.Andini semakin panik dan kembali berseru. Dia bahkan mulai mengguncang tubuh Byakta. "Byakta! Bangun! Jangan menakutiku!"Namun ... Byakta tidak akan pernah bangun lagi. Selamanya tidak akan bangun lagi ....Tubuh Byakta hampir jatuh akibat guncangan yang dilakukan Andini. Saat itulah, sepasang tangan tiba-tiba merengkuhnya dari belakang, menariknya ke dalam dekapan. "Dia sudah mati!"Andini tidak percaya. Dia berusaha melepaskan diri, ingin terus memanggil Byakta, ingin membangunkannya!Namun, orang di belakangnya tetap menahannya. "Dia sudah mati! Byakta sudah mati!"Mati ...? Seluruh tubuh Andini seketika membeku. Dia melihat tubuh Byakta yang hampir terjatuh dari kuda dan prajurit di samping b
Di ruang penyimpanan jenazah di kantor pemerintahan, lebih dari 10 tubuh terbujur kaku dan berjajar rapi.Saat Rangga tiba, Andini sedang membersihkan darah yang mengering di wajah Byakta. Orang yang melapor kepadanya tadi mengatakan bahwa Andini mengamuk.Namun, yang Rangga lihat berbeda. Andini tidak mengamuk, bahkan sangat tenang. Wanita itu menyiapkan sebaskom air di sisinya, perlahan mengusap noda darah di wajah Byakta dengan saputangan yang basah.Segera, wajah Byakta akhirnya bersih dari noda darah. Andini pun membilas saputangannya, lalu mulai membersihkan tangan Byakta."Aku nggak bisa membiarkan ayah dan ibunya melihatnya dalam keadaan seperti ini," ujar Andini dengan lirih.Rangga tahu kata-kata itu ditujukan untuknya. Alisnya sedikit berkerut, nadanya dingin saat berbicara, "Ini bukan keputusan yang bijak."Seorang prajurit gugur di medan perang demi negara adalah hal yang berjasa. Saat seseorang mengenakan baju perang, mereka telah bersiap menghadapi kemungkinan seperti in
Andini membawa baskom berisi air yang telah bercampur darah, lalu melangkah keluar dari ruang penyimpanan jenazah.Dia berjalan menuju halaman belakang, menuangkan air merah itu ke tanah di dekat hamparan bunga. Setelah itu, dia beranjak ke sumur yang tak jauh dari sana, menimba seember air untuk membersihkan baskomnya.Sejak awal hingga akhir, Andini tak sekali pun menoleh ke belakang. Karena dia tahu Rangga ada di belakangnya.Rangga pun sadar, Andini pasti telah menyadarinya. Jika tidak, dia tak mungkin setenang ini, tanpa sedikit pun gerakan melirik ke arahnya.Rangga tidak berbicara, hanya berdiri di samping untuk menunggu. Menunggu sampai Andini selesai membilas baskom, mencuci bersih saputangan yang tadi dia gunakan, lalu berbalik untuk kembali.Rangga berpikir, begitu Andini berbalik, wanita ini tidak mungkin terus mengabaikannya, 'kan?Namun, yang terjadi justru sebaliknya. Andini benar-benar melewatinya begitu saja. Bahkan saat tatapannya menyapu Rangga, dia tidak menunjukkan
Dua jam kemudian, Rangga duduk di meja kerjanya. Lilin yang sejak awal sudah redup kini hampir habis, nyala apinya bergetar hebat.Dari luar, suara laporan yang rendah terdengar. "Jenderal, Nona Andini sudah berangkat."Wanita itu benar-benar tidak bisa menunggu sedetik pun."Ya." Rangga merespons dengan datar. Cahaya api yang bergetar menerangi wajahnya yang dingin dan suram, menambah kesan yang menakutkan.Di benaknya, hanya ada bayangan Andini yang melangkah pergi darinya barusan. Begitu tegas tanpa sedikit pun keraguan.Sejak kapan wanita itu begitu tidak peduli padanya? Tatapan Rangga menjadi suram. Dia sungguh tidak mengerti. Dulu, Andini paling suka menempel padanya ....Secara tak sadar, tatapan Rangga tertuju pada jari telunjuk kanannya. Di sana, ada bekas luka panjang, hasil sabetan pedang orang suku Tru di medan perang pada 2 tahun lalu.Jika bukan karena reaksi Rangga cepat, mungkin seluruh telapak tangannya sudah tertebas. Kini, peristiwa 2 tahun lalu itu terasa begitu lam
Surya benar-benar dibuat bingung oleh Andini. "Andini? Bukannya kamu adik Byakta?"Andini sempat terkejut, tapi segera sadar, ternyata selama ini Surya mengira dirinya adalah Gayatri. Dia pun tersenyum tipis dan berkata, "Aku tunangan Byakta."Di bawah cahaya remang malam, mata Surya yang tajam tampak memantulkan seberkas keterkejutan. Dia segera melangkah maju dan membantu Andini bangkit berdiri, lalu bertanya, "Jadi, Byakta tewas di tangan para perampok itu?"Andini mengangguk perlahan dan dia mendengar kemarahan yang tersirat dalam nada bicara Surya.Para perampok sialan itu .... Mereka telah membunuh sahabatnya dan mencemarkan nama baiknya serta Pasukan Harimau!Seolah teringat sesuatu, Surya kembali bertanya, "Kalau begitu, apa hubunganmu dengan Kalingga?"Andini terdiam sejenak, lalu teringat bahwa dia memang pernah memperlihatkan kemampuan bela diri di hadapan Surya. Dia pun menghela napas dan menjawab, "Kalingga ... dulunya adalah suamiku."Begitu kalimat itu meluncur dari bibi
"Aku nggak berniat membunuhmu." Suara Andini bergetar, entah karena sakit atau karena hati yang hancur. Air matanya pun berderai, "Aku cuma ingin membalaskan dendam tunanganku!"Kening Surya mengernyit tajam. "Tunanganmu?"Dalam sekejap, berbagai wajah melintas dalam ingatannya. Namun, saking banyaknya orang yang pernah dia bunuh, Surya benar-benar tidak bisa mengingat siapa tunangan Andini yang dimaksudnya.Andini tahu, malam ini dia tidak akan bisa membalas dendam. Akan tetapi, itu tidak membuatnya gentar."Aku tahu kamu penyelamat hidupku, tapi kamu juga punya hubungan dengan perampok dari Yolasa! Mereka membunuh orang tanpa ampun, menjarah, membantai desa, dan melakukan semua kejahatan! Kamu menyebut mereka saudaramu, itu cukup membuktikan bahwa kamu pun bukan orang baik!"Barulah saat itu Surya paham, Andini telah mengira dirinya sebagai perampok. Dia pun melepaskan cengkeramannya dan mundur dua langkah.Andini ikut bangkit dan duduk. Kedua matanya memerah, air mata terus menetes
Melihat kejadian itu, Endah segera berseru, "Aduh, tunggu sebentar! Biar kuambilkan kain untuk bersihkan bajumu!" Usai bicara, dia langsung keluar rumah.Anom yang tampaknya juga tidak nyaman berada di dekat Surya, ikut keluar bersama ibunya.Surya melirik ke arah Darya dan berkata singkat, "Di lemari ada baju. Ganti saja."Ruangan milik Surya ini merangkap sebagai kamar tidur dan ruang tengah. Lemari bajunya juga berada tidak jauh dari meja makan.Seakan paham maksud tersirat dari Surya, Darya langsung berjalan ke lemari. Dia mengambil sebuah baju kerja dan tanpa ragu menggantinya langsung di hadapan Andini.Tepat di dadanya, tato kepala harimau terlihat jelas.Andini yang awalnya gelisah dan penuh curiga, seolah mendapatkan kepastian. Hatinya yang tadi dilanda kekacauan mulai terasa tenang perlahan. Dia kembali duduk dan mulai makan dengan lahap. Saat Endah masuk kembali ke rumah, wajah Andini sudah kembali normal seolah tak terjadi apa-apa.Darya menerima handuk dan mengelap tubuhny
Surya ikut menoleh saat mendengar suara Endah. Dia juga merasa wajah Andini tampak tidak beres dan tanpa sadar berkata, "Aku akan pinjam gerobak sapi, nanti sore kita ke kota cari tabib, ya."Namun, Andini tak menjawab. Sebaliknya, tubuhnya justru mulai gemetar pelan.Wajah Byakta yang penuh darah terus bertautan di pikirannya dengan bayangan Surya yang menyelamatkannya malam itu. Hal itu membuatnya kini benar-benar kehilangan arah. Dia bahkan tidak sanggup mengeluarkan sepatah kata pun.Namun, tepat pada saat itu, dari luar pagar bambu terdengar suara seseorang memanggil, "Kakak!"Suaranya terdengar asing dan Andini pun tak mengenali pria itu. Dia tidak yakin apakah orang ini adalah salah satu yang pernah duduk minum bersama Surya di halaman tempo hari. Lagi pula, waktu itu memang banyak yang datang dan dia tidak sempat menghafal wajah-wajah mereka.Akan tetapi, jika pria itu memanggil Surya dengan sebutan "Kakak", maka jelas dia adalah bagian dari kelompoknya. Surya pun berjalan mend
Penjahat yang satu lagi adalah seorang duda tua di desa, bernama Dierja. Dia adalah orang yang dulu mengajari Anom berjudi.Lucunya, saat warga desa datang menghadapinya, Dierja masih berani menunjukkan kakinya yang terjepit perangkap hewan dan mengaku kalau itu akibat kecelakaan saat pergi mencari Ihatra dan ayahnya di hutan.Niatnya sebenarnya adalah untuk memeras keluarga Diah. Kalau gagal, setidaknya dia bisa mengemis sedikit uang dari kepala desa. Namun tak disangkanya, para warga langsung mengikatnya dan menyeretnya ke hadapan Surya.Mengenai kelanjutannya, Andini sendiri tidak tahu. Dia hanya tahu, keesokan paginya saat bangun tidur, Dierja sudah diseret dan dikirim ke kantor pemerintahan. Sementara itu, Anom sudah dibawa Surya ke ladang sejak pagi.Dulu, Endah selalu memanjakan anaknya dan tidak pernah membiarkan Anom menyentuh pekerjaan ladang. Namun hari ini, di bawah pengawasan langsung dari Surya, Anom dipaksa bekerja keras di bawah terik matahari selama empat jam penuh seb
"Dasar nggak peka," ujar Endah tiba-tiba.Surya mengerutkan alis. "Apa maksudnya?"Barulah Endah menurunkan suaranya dan berkata, "Kaki kiri gadis itu terluka, kenapa kamu nggak langsung gendong saja?"Surya tidak merasa dirinya salah. Dia hanya menjawab dengan tenang, "Dia bilang bisa jalan, cukup minta aku bantu topang sedikit.""Itulah kenapa aku bilang kamu ini nggak peka!" Endah menggeleng tak berdaya, lalu menghela napas, "Dasar si Anom ... sampai melakukan hal seperti ini. Arjuna, tolong bantu aku kasih dia pelajaran, ya."Tatapan Arjuna seketika berubah dingin. "Takutnya Bibi nggak tega.""Nggak ada yang perlu ditakuti," Endah menghela napas panjang. "Kamu benar. Lebih baik aku lihat dia dihukum sekarang, daripada nanti harus memungut kepalanya di lapangan eksekusi.""Mm." Arjuna mengangguk ringan, menandakan bahwa dia menerima permintaan untuk mendidik Anom.Tak lama kemudian, rombongan mereka pun kembali ke halaman rumah berpagar bambu.Mereka melihat Anom sudah berlutut di t
Andini benar-benar tidak punya tenaga untuk membuka jebakan hewan itu. Namun, setelah dia mengutak-atik sebentar, dia menyadari bahwa jebakan itu diikat dengan rantai besi tipis dan ujung rantainya terimpit di bawah sebuah batu besar.Dengan sisa tenaga yang dia punya, Andini berjuang keras menarik rantai itu keluar dari bawah batu dan akhirnya berhasil membawa jebakan yang masih menjepit kakinya. Dia pun terpincang-pincang keluar dari hutan.Meskipun tidak tahu persis arah jalan pulang, dia masih ingat dari mana dia datang tadi. Namun, sebelum berjalan jauh, dia justru melihat sosok seseorang berlari ke arahnya dari kejauhan.Sesaat, Andini merasa bimbang. Dia hampir mengira itu adalah Byakta. Dia terlalu merindukan Byakta.Namun, dia segera tersadar bahwa sosok yang dulu selalu menemani di saat terpuruk dan tak berdaya, tidak akan pernah kembali.Jadi, Andini langsung mengenali sosok yang datang itu, menepis perasaan duka dalam hatinya, memaksakan senyuman, dan berseru pelan, "Kak Ar
Anom bersikeras. "Ma ... mana aku tahu dia ke mana!"Surya menatapnya dengan sorot mata yang semakin suram. "Bi Endah hanya tanya soal sup ayam, nggak pernah bilang hilangnya gadis itu ada hubungannya denganmu. Tapi, kamu langsung panik sendiri. Itu namanya mengaku sebelum ditanya."Mendengar itu, Anom semakin gelisah. "Aku nggak salah! Jangan fitnah aku! Aku nggak punya dendam sama dia, kenapa harus mencelakainya?"Justru karena sikapnya yang begitu, semakin terlihat bahwa dia memang merahasiakan sesuatu.Endah juga marah. Dia langsung mengambil sapu dari balik pintu dan menghajarnya tanpa ampun, "Dasar anak setan! Kau bawa gadis itu ke mana, cepat bilang!"Anom menjerit-jerit, berlari ke sana sini untuk menghindari amukan Endah. Namun, dia tetap saja bersikeras. "Aku nggak tahu! Aku benar-benar nggak tahu!"Tanpa sadar, dia berlari ke arah Surya yang langsung menangkapnya dan menekan tengkuknya ke tanah. Seketika, Anom tak bisa bergerak.Suara Surya rendah dan dingin, mengandung kema
Dalam keadaan linglung, Andini teringat saat dulu dirinya ditangkap oleh Panji dan dibawa masuk ke gua.Waktu itu, dia juga berlari sekuat tenaga ke dalam hutan, hingga akhirnya tidak tahu sudah berapa lama dia terjebak di sana. Pada akhirnya, Rangga yang menggendongnya keluar dari hutan itu.Andini tak ingin mengulang nasib yang sama. Jadi, sambil terus berlari, dia juga memperhatikan keadaan di belakangnya. Melihat Anom masih belum menyerah mengejar, dia mulai panik.Malam kian larut. Hanya dalam waktu singkat setelah menerobos masuk ke hutan, Andini sudah tidak bisa melihat apa-apa saking gelapnya. Hal yang paling dia khawatirkan akhirnya terjadi.Krek! Suara tajam menggema. Kakinya terjepit jebakan hewan!"Anom! Jangan ke sini lagi!" teriak Andini panik. "Di sini banyak jebakan! Aku juga kena!"Mendengar itu, suara langkah kaki Anom pun terhenti. Mungkin karena teringat pada temannya yang juga cedera, Anom akhirnya memutuskan untuk tidak lanjut mengejar, lalu berbalik dan pergi.Di