Pegunungan Enam terletak di sebelah timur Kabupaten Horta, Yolasa. Pegunungan ini membentang dengan puncak-puncak yang berlapis-lapis. Dari kejauhan, tampak seperti memiliki enam puncak sehingga diberi nama demikian.Medan di pegunungan ini berbahaya, membuat musuh sulit menyerang. Ditambah dengan gunung yang saling terhubung, para bandit di sini dapat melarikan diri ke gunung lain dengan mudah. Itu sebabnya, mereka bisa merajalela selama bertahun-tahun.Tentu saja, faktor lainnya adalah adanya kerja sama antara pejabat dan para bandit.Malam semakin larut. Namun, di dalam perkampungan bandit, suasana justru semakin meriah. Para bandit menyalakan api unggun, minum arak, dan makan daging dengan penuh kegembiraan.Tiba-tiba, salah seorang bandit berkata, "Kak, menurutmu Tuan Akbar benar-benar akan membawa 10.000 tahil kali ini?"Kepala bandit yang sedang memegang paha kambing di tangan kiri dan kendi arak di tangan kanan, menatap ke arah pria yang dikurung dalam sangkar di kejauhan, lalu
Serang!Dalam sekejap, sosok-sosok di kegelapan menyerbu. Kilatan senjata berpendar di malam yang mencekam, menyerang para bandit itu.Para bandit sama sekali tidak menduga bahwa saat mereka sedang asyik minum dan bersenang-senang, musuh justru telah menerobos masuk. Mereka sempat panik, tetapi sebagai orang-orang yang terbiasa hidup di ujung tanduk, mereka segera memantapkan diri begitu pemimpin mereka berteriak keras. Seketika, senjata-senjata dikeluarkan dan pertempuran sengit pun pecah.Rangga dengan gesit menyelinap menuju sangkar tahanan. Pedangnya langsung menebas rantai gembok yang mengunci pintu sangkar.Sementara itu, pemimpin bandit yang memperhatikan situasi langsung mengangkat goloknya dan menyerang Rangga dari belakang.Merasakan niat membunuh yang mengarah padanya, Rangga segera menghindar ke samping, lalu mengayunkan pedangnya untuk membalas serangan.Di luar dugaan, keahlian bertarung pemimpin bandit ternyata tidak kalah darinya. Segera, mereka terlibat dalam pertarung
Setelah termangu sejenak, Rangga mengangkat pedangnya dan menebas perampok itu hingga tewas.Ketika dia menoleh kembali, Byakta masih berdiri di sana, dengan lubang besar di dadanya. Darah terus mengalir tanpa henti.Mata mereka bertemu. Byakta justru menyunggingkan senyuman, seolah-olah ingin menenangkan Rangga. Namun, saat dia mencoba berbicara, yang keluar hanyalah semburan darah segar."Byakta!" seru Rangga dengan kaget, segera berlari menghampirinya.Byakta telah kehilangan kekuatan untuk berdiri. Tubuhnya oleng dan jatuh ke belakang. Untungnya, Rangga berhasil menangkapnya tepat sebelum tubuhnya mengenai tanah.Namun ... darah masih terus mengalir dari dadanya, membanjiri tangan Rangga. Rangga yang panik pun melemparkan pedangnya. Dengan kedua tangannya yang bergetar, dia menekan cedera Byakta sekuat tenaga."Nggak apa-apa! Aku akan membawamu turun gunung! Prajurit, cepat kemari!" Jalan gunung terlalu curam dan berbahaya. Dia tak bisa membawa Byakta turun sendirian.Namun, pasuka
Saat turun gunung, langit sudah terang. Cahaya keemasan dari timur begitu menyilaukan hingga orang-orang kesulitan membuka mata.Rangga refleks memandang ke arah cahaya, matanya terasa perih. Alisnya berkerut, menambah kesan dingin dan suram pada sosoknya.Anak buahnya bahkan tidak berani bersuara, hanya diam-diam menyerahkan kuda dan baju zirah yang mereka sembunyikan di hutan.Rangga naik ke punggung kudanya, menarik tali kekang, lalu menuju ke barat menuju Kabupaten Horta.Kudanya berjalan pelan. Dari atas kuda, dia menatap bayangannya yang memanjang di tanah dan bergetar hebat.Dia belum pernah merasa segoyah ini sebelumnya. Setiap kali pulang dari kemenangan, sosoknya selalu yang paling tegap.Sebaliknya, Darman selalu gelisah di atas kudanya, sering bermain-main dengan Cahya. Bayangan mereka berdua sering bertautan, kadang bahkan menabrak kuda Rangga dan membuat kekacauan.Di antara mereka bertiga, Byakta yang paling tenang. Dia paling senior, paling berpengalaman. Bayangannya pu
Andini sebenarnya sudah melihat rombongan itu dari kejauhan. Dia telah menunggang kuda tanpa henti selama beberapa hari, hampir tak berani beristirahat.Begitu mengetahui bahwa Rangga telah memimpin pasukan ke gunung untuk menyelamatkan Byakta semalam, dia pun segera menyusul!Namun ... saat rombongan itu benar-benar muncul dalam pandangannya, tiba-tiba dia tidak berani melangkah lebih jauh.Takut bahwa jika semakin dekat, dia akan melihat pemandangan yang berulang kali dia tolak dalam benaknya, tetapi terus muncul tanpa kendali.Andini hanya berani berdiri di tempat, menunggu rombongan mendekat. Dia berpikir, Byakta pasti akan melihatnya, lalu segera menghampirinya.Tanpa diduga, rombongan itu justru berhenti. Andini tertegun, matanya tertuju ke barisan terdepan.Di sana, tampak seseorang berdiri membelakangi cahaya matahari. Darah yang menodai tubuhnya tampak mencolok di bawah cahaya matahari pagi.Itu ... Rangga? Andini hampir tidak bisa mengenalinya. Di ingatannya, Rangga selalu ga
"Byakta ...." Andini memanggil dengan pelan, seolah-olah takut membangunkannya. Padahal, yang sebenarnya dia inginkan adalah membangunkan Byakta!Jadi, suaranya pun sedikit lebih keras, "Byakta, ini aku. Aku datang mencarimu."Namun, sosok di atas punggung kuda itu sama sekali tidak bereaksi.Andini semakin panik dan kembali berseru. Dia bahkan mulai mengguncang tubuh Byakta. "Byakta! Bangun! Jangan menakutiku!"Namun ... Byakta tidak akan pernah bangun lagi. Selamanya tidak akan bangun lagi ....Tubuh Byakta hampir jatuh akibat guncangan yang dilakukan Andini. Saat itulah, sepasang tangan tiba-tiba merengkuhnya dari belakang, menariknya ke dalam dekapan. "Dia sudah mati!"Andini tidak percaya. Dia berusaha melepaskan diri, ingin terus memanggil Byakta, ingin membangunkannya!Namun, orang di belakangnya tetap menahannya. "Dia sudah mati! Byakta sudah mati!"Mati ...? Seluruh tubuh Andini seketika membeku. Dia melihat tubuh Byakta yang hampir terjatuh dari kuda dan prajurit di samping b
Di ruang penyimpanan jenazah di kantor pemerintahan, lebih dari 10 tubuh terbujur kaku dan berjajar rapi.Saat Rangga tiba, Andini sedang membersihkan darah yang mengering di wajah Byakta. Orang yang melapor kepadanya tadi mengatakan bahwa Andini mengamuk.Namun, yang Rangga lihat berbeda. Andini tidak mengamuk, bahkan sangat tenang. Wanita itu menyiapkan sebaskom air di sisinya, perlahan mengusap noda darah di wajah Byakta dengan saputangan yang basah.Segera, wajah Byakta akhirnya bersih dari noda darah. Andini pun membilas saputangannya, lalu mulai membersihkan tangan Byakta."Aku nggak bisa membiarkan ayah dan ibunya melihatnya dalam keadaan seperti ini," ujar Andini dengan lirih.Rangga tahu kata-kata itu ditujukan untuknya. Alisnya sedikit berkerut, nadanya dingin saat berbicara, "Ini bukan keputusan yang bijak."Seorang prajurit gugur di medan perang demi negara adalah hal yang berjasa. Saat seseorang mengenakan baju perang, mereka telah bersiap menghadapi kemungkinan seperti in
Andini membawa baskom berisi air yang telah bercampur darah, lalu melangkah keluar dari ruang penyimpanan jenazah.Dia berjalan menuju halaman belakang, menuangkan air merah itu ke tanah di dekat hamparan bunga. Setelah itu, dia beranjak ke sumur yang tak jauh dari sana, menimba seember air untuk membersihkan baskomnya.Sejak awal hingga akhir, Andini tak sekali pun menoleh ke belakang. Karena dia tahu Rangga ada di belakangnya.Rangga pun sadar, Andini pasti telah menyadarinya. Jika tidak, dia tak mungkin setenang ini, tanpa sedikit pun gerakan melirik ke arahnya.Rangga tidak berbicara, hanya berdiri di samping untuk menunggu. Menunggu sampai Andini selesai membilas baskom, mencuci bersih saputangan yang tadi dia gunakan, lalu berbalik untuk kembali.Rangga berpikir, begitu Andini berbalik, wanita ini tidak mungkin terus mengabaikannya, 'kan?Namun, yang terjadi justru sebaliknya. Andini benar-benar melewatinya begitu saja. Bahkan saat tatapannya menyapu Rangga, dia tidak menunjukkan
Penjahat yang satu lagi adalah seorang duda tua di desa, bernama Dierja. Dia adalah orang yang dulu mengajari Anom berjudi.Lucunya, saat warga desa datang menghadapinya, Dierja masih berani menunjukkan kakinya yang terjepit perangkap hewan dan mengaku kalau itu akibat kecelakaan saat pergi mencari Ihatra dan ayahnya di hutan.Niatnya sebenarnya adalah untuk memeras keluarga Diah. Kalau gagal, setidaknya dia bisa mengemis sedikit uang dari kepala desa. Namun tak disangkanya, para warga langsung mengikatnya dan menyeretnya ke hadapan Surya.Mengenai kelanjutannya, Andini sendiri tidak tahu. Dia hanya tahu, keesokan paginya saat bangun tidur, Dierja sudah diseret dan dikirim ke kantor pemerintahan. Sementara itu, Anom sudah dibawa Surya ke ladang sejak pagi.Dulu, Endah selalu memanjakan anaknya dan tidak pernah membiarkan Anom menyentuh pekerjaan ladang. Namun hari ini, di bawah pengawasan langsung dari Surya, Anom dipaksa bekerja keras di bawah terik matahari selama empat jam penuh seb
"Dasar nggak peka," ujar Endah tiba-tiba.Surya mengerutkan alis. "Apa maksudnya?"Barulah Endah menurunkan suaranya dan berkata, "Kaki kiri gadis itu terluka, kenapa kamu nggak langsung gendong saja?"Surya tidak merasa dirinya salah. Dia hanya menjawab dengan tenang, "Dia bilang bisa jalan, cukup minta aku bantu topang sedikit.""Itulah kenapa aku bilang kamu ini nggak peka!" Endah menggeleng tak berdaya, lalu menghela napas, "Dasar si Anom ... sampai melakukan hal seperti ini. Arjuna, tolong bantu aku kasih dia pelajaran, ya."Tatapan Arjuna seketika berubah dingin. "Takutnya Bibi nggak tega.""Nggak ada yang perlu ditakuti," Endah menghela napas panjang. "Kamu benar. Lebih baik aku lihat dia dihukum sekarang, daripada nanti harus memungut kepalanya di lapangan eksekusi.""Mm." Arjuna mengangguk ringan, menandakan bahwa dia menerima permintaan untuk mendidik Anom.Tak lama kemudian, rombongan mereka pun kembali ke halaman rumah berpagar bambu.Mereka melihat Anom sudah berlutut di t
Andini benar-benar tidak punya tenaga untuk membuka jebakan hewan itu. Namun, setelah dia mengutak-atik sebentar, dia menyadari bahwa jebakan itu diikat dengan rantai besi tipis dan ujung rantainya terimpit di bawah sebuah batu besar.Dengan sisa tenaga yang dia punya, Andini berjuang keras menarik rantai itu keluar dari bawah batu dan akhirnya berhasil membawa jebakan yang masih menjepit kakinya. Dia pun terpincang-pincang keluar dari hutan.Meskipun tidak tahu persis arah jalan pulang, dia masih ingat dari mana dia datang tadi. Namun, sebelum berjalan jauh, dia justru melihat sosok seseorang berlari ke arahnya dari kejauhan.Sesaat, Andini merasa bimbang. Dia hampir mengira itu adalah Byakta. Dia terlalu merindukan Byakta.Namun, dia segera tersadar bahwa sosok yang dulu selalu menemani di saat terpuruk dan tak berdaya, tidak akan pernah kembali.Jadi, Andini langsung mengenali sosok yang datang itu, menepis perasaan duka dalam hatinya, memaksakan senyuman, dan berseru pelan, "Kak Ar
Anom bersikeras. "Ma ... mana aku tahu dia ke mana!"Surya menatapnya dengan sorot mata yang semakin suram. "Bi Endah hanya tanya soal sup ayam, nggak pernah bilang hilangnya gadis itu ada hubungannya denganmu. Tapi, kamu langsung panik sendiri. Itu namanya mengaku sebelum ditanya."Mendengar itu, Anom semakin gelisah. "Aku nggak salah! Jangan fitnah aku! Aku nggak punya dendam sama dia, kenapa harus mencelakainya?"Justru karena sikapnya yang begitu, semakin terlihat bahwa dia memang merahasiakan sesuatu.Endah juga marah. Dia langsung mengambil sapu dari balik pintu dan menghajarnya tanpa ampun, "Dasar anak setan! Kau bawa gadis itu ke mana, cepat bilang!"Anom menjerit-jerit, berlari ke sana sini untuk menghindari amukan Endah. Namun, dia tetap saja bersikeras. "Aku nggak tahu! Aku benar-benar nggak tahu!"Tanpa sadar, dia berlari ke arah Surya yang langsung menangkapnya dan menekan tengkuknya ke tanah. Seketika, Anom tak bisa bergerak.Suara Surya rendah dan dingin, mengandung kema
Dalam keadaan linglung, Andini teringat saat dulu dirinya ditangkap oleh Panji dan dibawa masuk ke gua.Waktu itu, dia juga berlari sekuat tenaga ke dalam hutan, hingga akhirnya tidak tahu sudah berapa lama dia terjebak di sana. Pada akhirnya, Rangga yang menggendongnya keluar dari hutan itu.Andini tak ingin mengulang nasib yang sama. Jadi, sambil terus berlari, dia juga memperhatikan keadaan di belakangnya. Melihat Anom masih belum menyerah mengejar, dia mulai panik.Malam kian larut. Hanya dalam waktu singkat setelah menerobos masuk ke hutan, Andini sudah tidak bisa melihat apa-apa saking gelapnya. Hal yang paling dia khawatirkan akhirnya terjadi.Krek! Suara tajam menggema. Kakinya terjepit jebakan hewan!"Anom! Jangan ke sini lagi!" teriak Andini panik. "Di sini banyak jebakan! Aku juga kena!"Mendengar itu, suara langkah kaki Anom pun terhenti. Mungkin karena teringat pada temannya yang juga cedera, Anom akhirnya memutuskan untuk tidak lanjut mengejar, lalu berbalik dan pergi.Di
Tepat saat itu, terdengar suara samar-samar dari arah halaman.Andini tersentak, segera bangkit dan mengintip ke luar. Dia pun melihat bayangan seseorang yang mondar-mandir di halaman."Siapa di sana?""Aku."Suara itu terdengar cukup familier.Andini mencoba menebak, "Anom?""Benar!" sahut Anom, lalu berjalan ke depan pintu sambil berkata, "Ibuku masak sup ayam malam ini. Tapi gara-gara kejadian Bi Diah, jadi lupa. Tadi baru dipanaskan lagi, terus aku disuruh antar ke sini."Memang benar, Endah sering membuatkan sup ayam untuknya setiap beberapa hari sekali. Andini tidak terlalu curiga, jadi berkata, "Taruh saja di depan pintu, nanti aku ambil.""Baik!" Jawaban Anom cepat dan ringan.Tak lama kemudian, Andini melihat Anom keluar dari halaman. Dia bangkit, tertatih-tatih menuju pintu.Begitu membuka pintu, memang benar ada semangkuk sup ayam di atas lantai. Dia perlahan berjongkok, hendak mengambil mangkuk itu.Tepat saat itu, dari sudut halaman, tiba-tiba muncul bayangan. Sebelum Andi
Saat Surya kembali ke Desa Teluk Horta, matahari sudah terbenam. Dari kejauhan, dia langsung melihat halaman rumahnya dikerumuni oleh banyak orang.Hatinya langsung mencelos, tak tahu apa yang sedang terjadi. Seseorang melihatnya dan langsung berteriak, "Itu dia! Dia sudah kembali!"Semua orang pun serentak menoleh ke arah Surya.Begitu memasuki halaman, Surya langsung melihat Diah terbaring di tengah halaman. Di samping, Andini sedang berlutut.Terlihat dia memegang sebatang jarum sulam dan sedang menusukkannya ke tubuh Diah, yang matanya tampak sayu, antara sadar dan tidak."Ada apa ini?" Suara Surya terdengar dalam.Endah segera melangkah ke depan, menjelaskan, "Ihatra bertengkar sama ayahnya, terus kabur ke dalam hutan. Ayahnya takut terjadi apa-apa, jadi ikut masuk hutan juga.""Diah menunggu di rumah sampai langit hampir gelap. Dia panik dan langsung pingsan. Untungnya gadis ini menguasai ilmu medis. Baru dua tusukan jarum saja, Diah langsung siuman."Mendengar itu, tatapan Surya
Melihat punggung Surya yang semakin menjauh, Endah hanya bisa menghela napas, lalu berbalik dan berkata kepada Andini, "Aku rebus dulu ayamnya, nanti aku balik lagi ke sini."Usai berkata begitu, dia pun pergi.Andini duduk di dalam rumah, memandangi punggung Endah yang perlahan menghilang. Dia juga melihat dengan jelas bahwa Anom belum pergi.Anak itu masih berdiri di tempatnya, menatap Andini dari balik jendela. Saat Andini memandang balik ke arahnya, Anom buru-buru mengalihkan pandangan dan berseru, "Bu, tunggu aku!"Setelah itu, dia pun berbalik dan pergi. Namun, sorot mata Anom tak luput dari pandangan Andini.Tatapan yang dilontarkan padanya mengandung kebencian. Perasaan itu terlalu familier bagi Andini. Dulu ketika Dianti diam-diam memandangnya, sorot mata itu sama persis.Dua jam kemudian, Surya akhirnya tiba di kota kecil. Dia menjual hasil buruannya ke rumah makan yang sudah akrab dengannya, lalu berkeliling sesaat dan masuk ke sebuah gang kecil. Kemudian, dia mendorong pint
Keesokan hari saat Andini bangun, sosok Surya sudah tak terlihat. Sementara itu, Endah tengah sibuk di dapur.Dengan kaki yang masih pincang, Andini berjalan ke ambang pintu, menatap Endah dengan heran, "Bibi Endah, kok hari ini bangunnya pagi sekali?"Matahari bahkan belum sepenuhnya terbit!Endah menyiapkan air untuk Andini mencuci muka, lalu menjawab, "Arjuna sudah pergi ke gunung sejak fajar bersama Anom. Aku hari ini nggak ada pekerjaan di ladang, jadi mampir ke sini untuk bantu-bantu sebentar."Saat berbicara, sudut bibir Endah menyiratkan senyuman kecil.Mengingat kejadian kemarin, Andini pun merasa perlu meminta maaf. "Maaf ya, Bi Endah. Kemarin aku asal bicara cuma untuk menakut-nakuti Anom."Endah buru-buru mengangguk. "Iya, aku tahu. Anak bandel itu memang perlu ditakut-takuti! Setelah pulang kemarin, dia nangis-nangis sambil janji nggak akan berjudi lagi.""Pagi ini juga semangat banget bangunnya. Kalau dia bisa meninggalkan kebiasaan buruk itu, lalu ikut Arjuna berburu, it