Bisa dibilang bahwa Andini dan Rangga adalah teman masa kecil, sekalipun Rangga tidak menyukainya ataupun tidak pernah menganggapnya penting.Lantas, bagaimana jika itu adalah orang asing? Dengan sifat Rangga, dia tidak mungkin melakukan hal sehina itu kepada wanita yang tidak dikenalnya, 'kan?Lantas, kenapa Rangga melakukan hal ini padanya? Kenapa kebencian mereka selalu diarahkan padanya?Tamparan itu membuat wajah Rangga menoleh, bahkan sudut bibirnya sedikit berdarah.Abimana terkejut. Sejak kecil, Rangga sangat unggul. Dia tidak pernah dipukul oleh orang tuanya, tetapi Andini malah ....Abimana khawatir Rangga akan marah dan bertindak kasar, jadi dia buru-buru berdiri di depan Andini. "Andin, jangan marah. Kami melakukan semua ini demi kebaikanmu ....""Demi kebaikanku?" Andini menoleh menatap Abimana sambil tersenyum sinis.Saat melihat Abimana mengangguk berulang kali, dia beralih menatap Rangga. "Gimana denganmu? Kamu juga merasa ini demi kebaikanku?"Rangga hanya diam dengan
Semua orang terkejut. Rangga adalah yang pertama bereaksi. Dia mengernyit dan bertanya dengan suara rendah, "Kapan itu terjadi?"Bulu mata Kirana basah karena air mata. Dia menggeleng. "Berita ini baru saja disampaikan dari istana. Katanya, pelakunya adalah para perampok di Kabupaten Horta!"Kabupaten Horta?Abimana bertanya dengan heran, "Kabupaten Horta berjarak lebih dari 10 hari perjalanan dari ibu kota. Selain itu, Pangeran Baskoro berangkat ke Lembah Raja Obat pagi tadi. Seharusnya mengarah ke selatan. Gimana bisa dia bertemu dengan para perampok dari Kabupaten Horta?"Para perampok itu bukan perampok biasa!Mendengar ini, jantung Andini berdegup kencang. "Pangeran Baskoro pergi ke Lembah Raja Obat? Pernikahan sudah di depan mata, untuk apa dia pergi ke sana?"Lembah Raja Obat terletak di dekat perbatasan, tetapi sangat jauh dari ibu kota, jadi membutuhkan lebih dari sebulan perjalanan. Kalaupun Baskoro menggunakan kuda tercepat, perjalanan pulang pergi membutuhkan waktu dua bula
Andini menekan kata-katanya, membuat hati Dianti bergetar. Dianti segera menarik lengan baju Kirana. "Ibu, kalau Kakak bilang lelah, kita sebaiknya pergi dulu. Biarkan Kakak istirahat."Juga supaya dia bisa menenangkan diri. Dia takut jika Kirana tetap di sini, Andini akan mengungkapkan bahwa dia yang memaksanya minum arak!Meskipun pada akhirnya Kirana pasti akan tahu soal ini, setidaknya jangan sekarang. Setidaknya, tunggu sampai Abimana kembali ....Tentu saja, Kirana tidak tahu isi hati Dianti. Namun, saat melihat wajah Andini yang merah, dia mengira itu karena kemarahan terhadap Abimana.Karena Andini sedang marah, ini memang bukan waktu yang tepat untuk berbicara. Lagi pula, Kirana sendiri juga marah pada Abimana hingga dadanya terasa sakit. Akhirnya, dia hanya bisa mengangguk dan berkata, "Ya sudah, kamu istirahat yang baik. Ibu akan datang lagi besok ... atau dua hari lagi."Setelah itu, Kirana membawa Dianti pergi. Namun, baru beberapa langkah mereka berjalan, suara dingin And
"Nona!" Laras terkejut dan panik, buru-buru menghampiri untuk menopang Andini. Matanya mulai berkaca-kaca. "Nona, apa yang terjadi?"Entah apa yang dilakukan Abimana hingga menyebabkan Andini menjadi seperti ini!Tubuh Andini gemetar hebat. Sensasi yang begitu familier ini membuat hatinya dingin."Ini efek obatnya." Suaranya lemah. Tiba-tiba, dia teringat saat dirinya pernah berada dalam pelukan Byakta. Tubuhnya juga bergetar hebat seperti ini.Bahkan, di saat terakhir ketika pikirannya kacau, dia hampir saja mengulurkan tangan untuk melepas sabuk Byakta ....Untungnya, Byakta menahan tangannya di saat yang krusial. Setelah efek obat itu berlalu, Andini akhirnya kembali sadar.Andini mengira efek obat itu sudah habis. Siapa sangka, sekarang efek itu muncul kembali!Laras mulai panik. "Apa yang harus kita lakukan? Apa saya harus memanggil tabib?"Andini segera menggeleng. Tidak boleh. Di bawah pengaruh obat ini, dia akan kehilangan kendali atas dirinya sendiri. Meskipun tabib sudah tua,
Andini baru saja menguasai aib Baskoro, memastikan pria ini tidak akan berani bertindak sembarangan padanya di masa depan. Tanpa disangka ....Mungkin karena efek obat, kepala Andini mulai terasa berat. Pada akhirnya, dia tidak mampu bertahan lagi dan pingsan.Ketika terbangun kembali, hari telah berganti. Andini terbaring di atas ranjang, tubuhnya sudah mengenakan pakaian bersih."Nona sudah bangun!" seru Laras yang berdiri di samping ranjang dengan senang. Hanya saja, kantong matanya terlihat sangat hitam karena berjaga sepanjang malam.Andini bangkit, merasa tubuhnya sangat lemah. Laras membantunya untuk duduk, lalu merapikan pakaiannya sambil berujar, "Nona, saya sudah diam-diam tanya pada tabib. Dia bilang kita harus cari orang yang memberikan obat itu supaya bisa mendapat penawarnya. Kalau nggak, hasilnya akan berbahaya."Andini mengernyit. "Tuan Abimana sudah pulang belum?"Laras menggeleng. "Belum. Sejak masuk istana semalam, dia belum pulang."Namun, obat itu dibeli oleh Abima
Bak tersengat listrik, keduanya segera menarik kembali tangan mereka. Byakta bahkan mundur beberapa langkah. Wajahnya yang berkulit sawo matang memerah dengan jelas.Di sampingnya, Laras hampir saja memelotot karena terkejut. Sementara itu, Andini yang teringat dengan sikapnya yang tak terkendali kemarin, tak dapat menahan rasa malu dan hanya menunduk. Dia tidak tahu harus berkata apa.Suasana mendadak menjadi hening. Padahal hanya beberapa detik, tetapi rasanya seperti berlangsung selama berjam-jam.Akhirnya, Byakta yang memecahkan kesunyian lebih dulu. Dia berujar, "Um ... ada urusan penting yang harus aku selesaikan di militer. Aku pamit dulu." Usai berbicara, Byakta membungkuk untuk memberi hormat kepada Andini.Di sisi lain, Andini membalas hormatnya dengan sopan, lalu diam-diam mengantar kepergiannya dengan pandangan mata.Tidak disangka, Laras mendekat dan berucap sambil tersenyum jahil, "Nona, kamu lihat tadi? Telinga Tuan Byakta merah banget!"Laras terus menahan tawa. Dia tak
Usai Haira berbicara, sebuah tamparan mendarat keras lagi di wajah Andini dan membuatnya terhuyung-huyung.Andini memegang pipinya, sementara matanya terpaku pada Haira yang terlihat begitu emosional dan putus asa. Ribuan perasaan, mulai dari rasa sakit, marah, hingga kepedihan, bergolak dalam hatinya. Namun ....Andini perlahan menunduk dan berlutut tanpa perlawanan. Emosi Haira tidak sedikit pun mereda. Dia menunjuk Andini sambil memaki dengan penuh amarah, "Kamu ini cuma anak haram dari wanita hina!"Haira menambahkan, "Awalnya, aku cuma merasa kasihan sehingga setuju menjodohkanmu dengan Bas. Tapi lihatlah dirimu! Kamu berani-beraninya merendahkannya! Kalau bukan karena kamu, mana mungkin dia tiba-tiba meninggalkan ibu kota dan pergi ke Lembah Raja Obat?"Alis Andini berkerut rapat. Dia tahu, Haira pasti sudah mengetahui bahwa dirinya pernah mengancam Baskoro. Namun, ancamannya bukan karena dia merendahkan Baskoro.Andini melakukannya semata-mata untuk melindungi dirinya sendiri, a
Sepanjang waktu itu, Andini tidak mengucapkan sepatah kata pun. Dia bisa memahami perasaan Haira. Keberadaan Baskoro masih belum diketahui sampai sekarang. Sebagai seorang ibu, dia pasti merasa sangat emosional dan ingin melampiaskan kemarahannya pada orang lain.Terlebih lagi, Haira adalah seorang selir agung. Orang-orang yang berada di posisi tinggi seperti dirinya memang tidak pernah memandang nyawa rakyat jelata sebagai sesuatu yang berharga. Bagi mereka, nyawa Andini sama sekali tidak penting.Baskoro memukulinya hingga hampir mati? Bagi mereka, itu hanya sekadar pukulan. Bahkan jika Andini benar-benar mati, tidak ada seorang pun yang peduli.Andini tetap berlutut di tempatnya. Wajahnya tidak menunjukkan perubahan apa pun. Akan tetapi, matanya yang menatap ujung gaunnya sendiri memancarkan emosi yang sulit diungkapkan.Kenapa nyawanya dianggap hina? Kenapa kematian wanita-wanita yang disiksa hingga mati oleh Baskoro tidak berarti apa-apa?Sesaat, amarah dalam hati Andini memuncak
Keesokan hari saat Andini bangun, sosok Surya sudah tak terlihat. Sementara itu, Endah tengah sibuk di dapur.Dengan kaki yang masih pincang, Andini berjalan ke ambang pintu, menatap Endah dengan heran, "Bibi Endah, kok hari ini bangunnya pagi sekali?"Matahari bahkan belum sepenuhnya terbit!Endah menyiapkan air untuk Andini mencuci muka, lalu menjawab, "Arjuna sudah pergi ke gunung sejak fajar bersama Anom. Aku hari ini nggak ada pekerjaan di ladang, jadi mampir ke sini untuk bantu-bantu sebentar."Saat berbicara, sudut bibir Endah menyiratkan senyuman kecil.Mengingat kejadian kemarin, Andini pun merasa perlu meminta maaf. "Maaf ya, Bi Endah. Kemarin aku asal bicara cuma untuk menakut-nakuti Anom."Endah buru-buru mengangguk. "Iya, aku tahu. Anak bandel itu memang perlu ditakut-takuti! Setelah pulang kemarin, dia nangis-nangis sambil janji nggak akan berjudi lagi.""Pagi ini juga semangat banget bangunnya. Kalau dia bisa meninggalkan kebiasaan buruk itu, lalu ikut Arjuna berburu, it
Rangga pernah menculik Andini dan akhirnya membuat Andini terjatuh ke Sungai Mentari. Dendam itu masih terus disimpan Laras di dalam hati sampai sekarang.Meskipun statusnya hanyalah seorang pelayan biasa dan tak bisa berbuat apa-apa pada Rangga, jangan harap dia bersedia mengikuti Rangga!Selesai bicara, Laras pun membalikkan badan dan melangkah ke arah Kalingga. Kalingga masih tidak mengatakan apa-apa. Setelah mendengar kata-kata Laras barusan, seulas senyuman tipis tidak bisa disembunyikan dari wajahnya.Senyuman ringan itu, sekalipun sangat tipis, tetap menyakitkan mata Rangga. Dia tidak mengerti. Kenapa Andini tidak mau bersamanya, bahkan pelayannya pun menolaknya?Rangga sontak melangkah maju, hendak menarik tangan Laras. Namun, baru satu langkah diambil, terdengar suara Kalingga yang datar. "Rangga."Hanya satu panggilan pelan, tetapi makna ancamannya sangat jelas. Apabila Rangga benar-benar menahan Laras, Kalingga pasti akan bertindak.Rangga pun berhenti. Aura yang dipancarkan
Jabal mencari tiga kuda terbaik dari kediaman dan berangkat malam itu juga menuju lokasi yang berjarak lebih dari 50 kilometer.Perjalanan tidak sepenuhnya mulus. Mayat perempuan itu ditemukan di sebuah desa kecil. Ketika mereka tiba, matahari sudah bersinar terik.Di luar desa, anak buah mereka sudah menunggu. Begitu turun dari kuda, Kalingga segera masuk ke desa. "Di mana?""Masih di tepi sungai," kata anak buah itu sambil menurunkan suaranya. "Jenderal Rangga juga ada di sana."Mendengar itu, Kalingga sempat tercengang sejenak. Dia mengikuti arah yang ditunjuk. Benar saja, di tepi sungai tak jauh dari sana, terlihat Rangga sedang membuka kain putih penutup mayat. Wajahnya memperlihatkan ekspresi jijik.Melihat itu, Kalingga merasa lega. Dari ekspresi Rangga, seharusnya itu bukan Andini. Namun, detik berikutnya, hatinya kembali diliputi amarah. Informasi itu datang dari bawahannya sendiri, kenapa Rangga bisa lebih dulu sampai di sini?Di belakang, Laras yang melihat mayat tertutup ka
Tingkah mereka yang berpura-pura mabuk tadi memang tak terlihat mencurigakan. Namun, akting setelah mereka "sadar" barusan sungguh buruk. Beberapa dari mereka bahkan langsung terbangun, padahal tidak disiram.Andini mengernyit pelan saat memikirkan hal ini, lalu secara refleks menoleh ke arah jendela. Di sana, dia melihat sosok tinggi besar itu berjalan ke arah barat, menuju ke bawah atap.Dia tak ingin berpikiran buruk tentang orang lain, tetapi saat itu di halaman hanya ada dia seorang yang bukan dari kalangan mereka. Mereka semua pura-pura mabuk, jelas-jelas untuk diperlihatkan kepadanya.Kenapa? Sedang mengujinya? Apakah karena sebelumnya dia secara tidak sengaja menunjukkan sedikit kemampuan bela dirinya?Namun, jika Surya hanya pemburu biasa, bagaimana mungkin dia bisa terpikir menggunakan cara semacam ini? Jangan-jangan identitasnya pun tidak sesederhana itu?Begitu benih kecurigaan tertanam, hal itu mulai tumbuh liar dalam hati. Andini berusaha keras mengingat semua kejadian se
Andini sama sekali tidak menyadari apa yang terjadi di belakangnya. Begitu keluar dari pagar bambu, kaki kirinya terasa sakit lagi. Langkahnya semakin pincang. Sebelum berjalan jauh, dia sudah mulai memanggil, "Bi Endah! Bi Endah!"Dia sama sekali tidak tahu, sebelum dia membuka mulut, sebilah belati nyaris menyentuh leher putihnya dari belakang, hanya sedikit lagi sudah akan menggorok tenggorokannya.Namun, saat dia memanggil nama Endah, belati itu tiba-tiba ditarik mundur, lalu pemiliknya buru-buru kembali ke dalam halaman.Tak lama kemudian, lampu di rumah Endah kembali menyala. Wanita itu bertanya, "Ada apa? Ada apa ini?"Andini memandang Endah dengan wajah penuh rasa bersalah. "Kak Arjuna dan teman-temannya mabuk semua, mereka tidur di luar. Aku khawatir mereka masuk angin kalau tidur di luar. Bisa Bibi bantu aku?"Di dalam pagar, para pria yang mendengarnya saling melirik, masing-masing mulai merasa bersalah."Aduh, ya sudah, aku ke sana sekarang!" sahut Endah cepat-cepat. Tak la
Kata "orang kasar" benar-benar mewujud saat ini. Andini sempat terpaku menatap mereka.Surya membelakangi Andini, tentu saja tidak menyadarinya. Namun, pria yang duduk di depannya melihat tatapan Andini, lalu melirik ke arah Surya dan mengangkat dagunya sedikit.Surya pun menoleh. Ketika melihat Andini sedang tersenyum sendiri ke arah mereka, Surya seperti baru menyadari sesuatu. Dia mendorong pria di sampingnya. "Tenang sedikit."Baru saat itu, rombongan pria itu menyadari bahwa masih ada seorang perempuan di sini. Mereka buru-buru minta maaf."Maaf ya, Nona. Kami ini orang-orang kasar, mulut kami kadang suka seenaknya!""Iya, Nona. Kalau tadi ada kata-kata yang nggak enak didengar, anggap saja kami cuma kentut!""Kamu yang kentutnya paling bau, hahahaha!""Sialan kamu!"Suasana kembali ceria, penuh tawa dan canda. Andini memandangi para pria itu. Meskipun kasar dan berisik, kehangatan dan keharmonisan ini adalah sesuatu yang belum pernah dia lihat sebelumnya.Andini pun tersenyum lem
Surya pertama kali turun ke medan perang saat usianya baru enam belas tahun.Sebagai seorang pangeran, ibunya tidak memiliki latar belakang yang kuat. Dia tahu dalam perebutan takhta, dirinya tak mungkin bisa menyaingi para kakaknya. Jika terus tinggal di ibu kota, mungkin suatu hari nanti dia akan menjadi mangsa di tangan orang lain.Karena itu, dia mengajukan diri untuk menjadi prajurit garis depan di bawah komando jenderal besar saat itu.Tahun itu, suku Tru sering mengganggu perbatasan. Rakyat Negara Darsa sangat menderita karena kekacauan itu.Dia memacu kuda di barisan paling depan, menyerbu ke medan perang. Pedang besarnya berayun liar. Saat bilah tajam itu menebas tubuh musuh, dia bahkan bisa mendengar jelas suara tulang yang terbelah.Darah hangat memercik ke wajahnya, dunia seolah-olah berubah merah seketika. Dia mendengar detak jantungnya sendiri begitu keras, tetapi tak bisa membedakan apakah itu karena takut atau justru karena gairah.Di medan perang yang kejam, di mana hi
Sambil bicara, Surya menoleh ke arah para pria kekar di belakang Anom, lalu berkata, "Kalian lakukan sendiri. Di sana ada kapak dan parang."Setelah itu, dia pun berbalik dan berjalan ke samping. Beberapa pria itu langsung maju dan menangkap Anom.Anom ketakutan setengah mati, berteriak dan menangis sambil terus memohon ampun. Namun, kekuatan para pria itu terlalu besar. Tangan Anom ditarik dan ditekan ke tanah.Kapak pun diangkat tinggi-tinggi, memantulkan kilatan dingin cahaya, lalu dihantamkan dengan keras."Argh!" Anom menjerit. Bagian selangkangannya langsung terasa hangat, seluruh tubuhnya jatuh lemas ke tanah. Namun ... ternyata tangannya masih utuh.Salah satu pria berkata dengan dingin, "Kalau masih berani ulangi lagi, kami nggak akan biarkan begitu mudah!"Pria lain mengeluarkan kantong uang dari balik bajunya dan menyerahkannya kepada Surya. "Ini, Kak.""Terima kasih. Kalian makan saja dulu sebelum pergi," ucap Surya."Siap! Nanti teman kita akan bawa daging dan arak ke sini
Endah masih terus menangis. Surya tidak tahu harus bagaimana menenangkannya. Meskipun sosoknya besar dan kekar, dia justru tampak kewalahan saat berdiri di samping Endah.Akhirnya, Andini yang menenangkan Endah untuk beberapa saat. Suasana hati Endah pun membaik. Melihat waktu sudah tidak pagi lagi dan dia masih harus turun ke ladang, Endah pun tidak berlama-lama di situ.Setelah mengantar Endah pergi, Surya menuju ke sisi barat halaman dan mulai sibuk bekerja. Dia berencana membangun atap untuk berteduh. Soalnya kalau hujan turun, dia tidak punya tempat untuk tidur.Melihat Surya sesibuk seperti itu, Andini akhirnya tak tahan untuk bertanya, "Kak Arjuna, kamu benar-benar percaya kalau Anom ambil uang itu buat bayar utang?"Uang itu bukan hasil kerja Andini, jadi dia merasa tidak berhak ikut campur. Namun, dia juga tidak tega melihat penyelamatnya ditipu.Tangan Surya tak berhenti bekerja, suaranya terdengar dalam dan tenang. "Dia pergi judi."Mendengar itu, Andini terkejut. "Kalau beg