Tersebutlah seorang bocah ajaib, putra perawan suci bernama Dasimah yang mengandung tanpa berhubungan badan dengan sebarang lelaki. Dasimah diasingkan selama masa mengandungnya yang singkat dan ajaib. Persalinannya lancar, atau demikianlah yang Dasimah yakini. Ia tidak sepenuhnya sadar selama masa persalinannya.
Setelah mengandung selama tak lebih dari tujuh hari, Dasimah menjadi ibu bagi seorang putra yang mengenalkan dirinya sebagai Arya Tarachandra, ia mengaku sebagai putra titisan. Untuk mengetahui bagaimana Dasimah sampai bisa jadi perawan terpilih, kita akan berkunjung ke suatu hari bersejarah dalam hidup Dasimah, Sri Wedari, dan Arya Tarachandra sendiri ....
Hari itu hujan rintik-rintik sedang mengguyur Dukuh Telagasari. Gerimis ini sudah berlangsung sejak pagi, dan tidak kunjung berubah menjadi hujan lebat hingga sore menjelang. Di beranda gubuk mereka, Dasimah sudah tidak bisa lagi menahan diri lebih lama. Tidak ada apa pun di dapur mereka yang bisa dimasak saat ini. Ditolehnya sang ibu, Sri Wedari, yang duduk termenung di atas dingklik.
"Aku akan ke hutan, memetik umbi-umbian untuk kita berdua," ujar Dasimah, bukan meminta izin, tapi berpamitan.
Sri Wedari mendiamkan diri. Hendak dilarangnya Dasimah pergi dalam cuaca hujan begini, dia khawatir mereka berdua tidak akan bisa tidur tenang karena perut kosong malam nanti. Mau diizinkan saja anak gadisnya itu pergi, hatinya pun cemas.
Dasimah sudah sering ke hutan, tapi selalu saat cuaca sedang bagus. Kalau saja hari sedang cerah, Sri Wedari tentu akan mengiyakan tanpa pikir-pikir. Larut dalam bimbangnya, Sri Wedari tidak menyadari ketika Dasimah sudah pun mengambil caping dan berjalan cepat keluar gubuk.
"Jangan lama-lama, Dasimah. Ambil seperlunya saja dan segeralah pulang!" seru Sri Wedari dari dalam gubuk. Entah terdengar oleh putrinya itu, entah tidak.
Dasimah sudah saja masuk ke dalam hutan tak lama setelah meninggalkan gubuk dengan tergesa-gesa. Bakul yang dibawanya mulai diisi dengan pucuk-pucuk muda. Saat wadah itu sudah terisi hampir setengah, dan Dasimah baru saja memutuskan untuk menyudahi pekerjaannya, lamat-lamat dia mendengar suara erangan.
Bukan erang menakutkan, tetapi lebih kepada erang kesakitan. Lemah saja, tapi entah mengapa bisa sampai terdengar ke telinga perawan itu, seolah memang sudah ditakdirkan.
Dasimah sejenak membeku. Ini bukan kali pertama ia masuk hutan seorang diri. Hutan ini sudah bagai rumah kedua baginya. Ia hapal setiap pohon, setiap semak, setiap belukar berduri, dan bahkan kini ia tahu dengan tepat dari mana erang kesakitan itu berasal.
Dasimah membeku bukan karena ketakutan. Ia tidak takut pada hutan. Saat ini Dasimah membeku karena merasa erangan itu memang ditujukan buatnya, seolah memerintahnya untuk datang.
Erang itu terdengar lagi.
"Tidak, aku harus pulang. Tolong jangan halangi ...."
Dasimah berucap sendiri. Dipeluknya bakul lebih erat ke dada dan berjalan menjauh dari sumber erangan yang sudah diketahui arah asalnya itu. Dasimah hanya mampu berjalan sejauh tiga langkah, karena kebaikan di dalam dirinya berkata lain, karena ia tak kuasa melawan perintah tak kasat mata dari erang misterius itu.
'Bagaimana kalau ada seseorang yang benar-benar butuh ditolong?' batin Dasimah. Ia mencoba mengenakkan perasaan sendiri, kalau dirinya memutuskan untuk memeriksa bukan karena perintah tak kasat mata itu, tapi karena hati nurani.
Berpikir kalau bisa jadi di sana ada seseorang yang sedang benar-benar butuh ditolong, Dasimah berbalik dan berjalan cepat menuju telaga yang berjarak belasan tombak dari tempatnya memetik umbi-umbian. Dasimah yakin dari arah telaga di sanalah erang kesakitan itu datang.
Benar saja. Di tepi telaga, diombang-ambingkan dengan lembut oleh riak permukaan air telaga, Dasimah menemukan sesosok tua serba putih menggeletak setengah terapung di celah-celah bebatuan. Rambut dan janggut sosok tua itu panjang menjuntai dan sudah putih seutuhnya. Kini tampak serupa liukan asap putih di dalam air. Begitu pun dengan pakaiannya yang juga putih, mengambang ringan di dalam air telaga nan jernih.
Nasib baik sepertinya masih berpihak pada siapa pun adanya sosok di dalam telaga itu, kepalanya tidak tenggelam penuh ke dalam air, tapi disangga batu-batu kecil yang menghampar di seluruh tepian telaga. Batu-batu itu menyangga wajah si orang tua tetap di atas air, membuatnya tetap bisa bernapas.
Dasimah sejenak kembali membeku. Saat erangan itu keluar lagidari mulut si orang tua, perempuan itu meletakkan bakulnya ke tanah lalu dengan segera menghampiri sosok di tepi telaga.
"Ki, apa yang menimpamu sampai bisa terapung di telaga ini?"
Pertanyaan Dasimah tidak mendapat sebarang jawaban. Tanpa pikir panjang, ia menarik kedua lengan lelaki tua serba putih itu dan menyeretnya lebih ke tepi, keluar dari celah-celah bebatuan. Saat sudah ditolong keluar dari air, sosok tua itu membuka matanya. Dia menyorot Dasimah dengan pandangan teduh.
"Selamatkan negeri ini dari kegelapan, Cah Ayu ...."
Dasimah mengerutkan kening. Ia sama sekali tidak tahu apa yang diracaukan sosok tua itu. Saat tangan si orang tua mengangsur padanya, saat itulah Dasimah sadar kalau di tangannya si orang tua memegang sebuah cawan bertutup. Cawan itu terbuah dari perak. Ajaib sekali tutupnya tidak tercecer di air.
"Benda apa ini, Ki?" Dasimah bertanya. Sampai tangan orang tua itu sudah terulur tepat ke depannya, ia masih belum berani mengambil benda berupa cawan tersebut.
"Terimalah, Cah Ayu, selamatkan negeri ini dari kegelapan," ulang sosok tua itu.
Meski tidak paham maksud ucapan orang, Dasimah mengulurkan tangan juga untuk menyambut cawan perak itu. Yang Dasimah anehkan, tangannya seolah bergerak sendiri, mendahului perintah otaknya. Tepat ketika kedua tangan Dasimah sudah menangkup cawan perak tersebut, seketika sosok putih yang ditolongnya keluar dari telaga itu berubah menjadi asap putih dengan serta merta.
Dasimah terkesiap. Untuk pertama kalinya sejak mengakrabi hutan ini, Dasimah ketakutan. Kakinya gemetar dan dia jatuh terduduk. Matanya terbelalak menyaksikan bagaimana asap putih yang menjelma dari sosok tua serba putih tadi bergerak meliuk-liuk sebentar di udara sebelum menukik tajam lalu menembus masuk ke dalam cawan perak di dalam tangannya.
Dasimah merasakan sengatan di telapak tangannya. Perempuan muda itu terpekik dan menjatuhkan cawan dari genggaman. Aneh sekali, kali ini tutup cawan itu terbuka begitu menggeletak jatuh di tanah, padahal saat tenggelam di dalam telaga tidak begitu. Dasimah menyaksikan dengan pucat ketika asap panjang yang tadinya masuk ke dalam cawan kini kembali bebas, meliuk-liuk sebentar di udara sebelum menukik turun menuju perutnya.
Sekali lagi Dasimah terpekik sebelum pingsan sepenuhnya, tepat ketika seluruh asap putih dari cawan perak itu masuk ke dalam dirinya.
Andai saja Dasimah bukan perawan suci terpilih, andai saja ia sudah tak lagi suci meski belum dikawini siapa pun, tangannya tidak mungkin tersengat saat memegang cawan perak ketika asap putih itu masuk ke sana. Kalau saja Dasimah bukan lagi perawan, asap itu akan tetap di dalam cawan, menunggu seorang perawan suci menyentuhnya untuk lalu membebaskan asap jelmaan orang tua serba putih itu.
Namun, seperti yang sudah kita ketahui, Dasimah adalah perawan suci sehingga ia merasakan sengatan saat asap itu masuk ke dalam cawan. Maka ia membuat asap itu bebas dari cawan dan memilih untuk masuk ke dalam tubuhnya.
***
- Berlanjut ke Bab 3 -
Di gubuknya, Sri Wedari tidak bisa duduk tenang lagi. Hari sudah sepenuhnya gelap, namun Dasimah tak kunjung pulang dari mencari umbi-umbian, padahal hujan sudah berhenti sejak senja turun. Wanita tua itu hilang sabar. Cemasnya sudah sampai ubun-ubun.Tidak menunggu lama, diraihnya obor dari tiang beranda gubuknya dan pergi tergesa-gesa. Sri Wedari tidak cukup berani untuk masuk hutan sendirian di tengah gelap malam begini rupa. Jadi ia memaksa beberapa pemuda dukuh untuk mengawaninya mencari Dasimah."Gila, tengah malam buta begini hendak ke hutan. Apa tidak bisa menunggu sampai esok pagi saja?""Ibunya Dasimah memang sudah gila sejak dulu.""Iya, kalau dia waras, pasti sudah sejak lama dia membiarkan salah satu dari kita mengawini Dasimah. Jadi mereka berdua tidak perlu pontang-panting setengah mati bekerja menghidupi diri.""Jangan-jangan Sri Wedari memang tidak mau Dasimah kawin dan dia ditinggal membusuk sendiria
Pada sisi Barat kaki Bukit Raya, terdapat sebuah telaga kecil berair jernih. Dari atasnya, air terjun setinggi pohon jati mencurah pelan dan lamat-lamat, menimbulkan bunyi gemericik sepanjang waktu. Suasana terasa sejuk bahkan di kala matahari sedang ganas-ganasnya. Ke sanalah Sri Wedari membawa Dasimah, konon untuk menjalani hukumannya.Hari itu juga, sebuah gubuk kecil dibangun warga dukuh di dekat telaga, atas keinginan Sri Wedari. Untuk permintaannya itu, Sri Wedari akan membayar dengan bekerja tanpa upah di sawah warga yang membantunya membuatkan gubuk pengasingan buat Dasimah.“Mengapa harus di sana, Sri Wedari? Dasimah akan menjalani hukuman di tempat biasa!” protes kepala dukuh saat Sri Wedari mengutarakan keinginannya.“Maksudmu, di kaki bukit sebelah Utara yang jauhnya hampir setengah harian perjalanan dari gubukku?” Sri Wedari melotot garang. “Di mana hati nuranimu, Jamitro! Kau buta tidak m
Dasimah yakin dirinya tidak salah mendengar. Sosok orang tua serba putih yang memperkenalkan dirinya sebagai Sanatana itu memberi tahu bahwa dirinyalah yang kini menumpang hidup di rahimnya. Terdengar begitu sulit untuk diterima akal sehat.“Apa aku sedang bermimpi?” Dasimah berkata lirih seolah bertanya pada dirinya sendiri.Jelmaan Sanatana itu tersenyum lagi. “Tidak, Cah Ayu. Kau tidak sedang bermimpi," jawabnya.“Saat ini aku memang belum nyata. Kau melihatku sebagai penjelmaan diriku sebelum menitis ke dalam rahimmu.”“Aku tidak mengerti, Ki ....”"Pada saatnya nanti kau akan mengerti dengan sendirinya, Cah Ayu. Sekarang, dengarkan aku baik-baik.”Dasimah berhenti bersuara. Seolah ada kuasa tak terlihat yang membungkam mulutnya dan membuat telinganya kian awas, saat sosok jelmaan di depannya bersabda.“Seratus tahun yang lalu, a
Bergegas, Sri Wedari turun dari dipan tempatnya tidur. Dengan tersaruk-saruk, wanita tua itu berusaha keluar dari gubuk. Suluh yang menyala kecil di tiang gubuknya bahkan tak mampu menerangi diri sendiri.Berdiri di tepi gubuknya, Sri Wedari mendongak langit. Rawung ternyata sudah menelan bulan seluruhnya. Yang tersisa hanya cincin samar di gelapnya langit.“Usir Rawung itu!”“Usir!”“Usir!”Teriakan warga makin riuh. Kentongan dipukul kian ribut. Bebunyian segala macam benda meningkahi di sela-sela keributan itu. Sri Wedari meraba-raba dan menemukan kentongan miliknya sendiri. Sejenak kemudian, ia mulai mengikuti warga dukuh lainnya untuk bersama-sama mengusir Rawung, dan memaksa raksasa marah itu memuntahkan kembali bulan yang sudah ditelannya.Warga dukuh percaya, Rawung takut pada ribut kentongan dan bubunyian. Jadi, Sri Wedari mulai ikut berteriak di sela-sela hajarannya pad
Perempuan itu kembali mencoba untuk meraih dan mengangkat bayinya, saat tiba-tiba si bayi mulai menendang-nendang pasungan Dasimah. Gerakan menendang-nendang si bayi pada pasungan seolah disengaja. Dasimah kembali dibuat tak percaya jika tidak menyaksikan sendiri. Tendangan si bayi sepertinya memiliki tenaga tambahan. Pada satu ketika, setelah kaki kecilnya menendang beberapa kali, kunci pasungan Dasimah tiba-tiba terbuka. Perempuan itu terbelalak besar. Tak menunggu, segera disingkirkannya pasangan kayu pasungan sebelah atas agar ia bisa membebaskan kakinya. Dasimah merasa merdeka. Ia lega karena baru saja terlepas dari pasungan yang membelenggunya selama tujuh hari itu. Dasimah mengusap-usap kedua kakinya yang selama tujuh hari ini dipaksa terjulur kaku. Ia lega karena tidak merasakan sebarang sakit pada sepsang kakinya. Matanya lalu bersitatap dengan mata si bayi. Terbayang di kepala Dasimah akan kejadian malam pertama ia dipasung di gubuk, ketika sosok je
Nagri Jaya Dwipa, Delapan Tahun Sebelumnya .... Saat ini adalah hari pertama bulan ketiga di Nagri Jaya Dwipa. Gerimis tipis menyelimuti setiap sudut istana yang menjadi pusat pemerintahan nagri itu. Musim penghujan memang sedang melanda seluruh penjuru. Di balairung istana Diraja Nagri Jaya Dwipa, Raja Rajendra Sanjaya terlihat murung. “Panggil Lopita Zora dan suruh dia menghadapku segera!” Raja Rajendra Sanjaya yang tampak gelisah dan kurang tidur, memberi perintah pada pengawalnya. Yang diperintah segera saja mencari orang bernama Lopita Zora. Sosok molek seorang wanita muncul tak lama kemudian di balirung istana. Raja itu segera saja berucap, “Kupikir kau sudah tahu mengapa aku memanggilmu ke sini, Lopita Zora. Wanita cantik molek yang dipanggil Lopita Zora, tersenyum penuh misteri. Dengan gerakan menggoda, ia mengibaskan sejumput rambut yang menutupi wajahnya. “Paduka, apakah ada kaitannya dengan aura wajahm
Dengan demikian, seluruh warga Dukuh Telagasari pun gempar mendengar pengumuman tersebut. Para orang tua berlari ke sana kemari, memanggil serta mencari anak laki-laki mereka yang telah berusia tujuh belas tahun atau lebih. Rata-rata mereka sedang bekerja di sawah, atau pun sedang mencari pakan untuk ternak. Perintahnya sudah jelas, agar para pemuda itu menghentikan kegiatan dan segera menghadap Patih Jayaprana. Dalam sekejap, lapangan tempat Jayaprana berada telah dipenuhi oleh puluhan pemuda yang akan menjadi calon prajurit Nagri Jaya Dwipa nantinya. Pandangan sang patih dengan tajam menyapu seluruh kerumunan pemuda di hadapannya. “Masih ada satu orang lagi yang belum datang! Segera ca
“Kau tidak lihat kembang ranum yang siap memanjakan kita siang ini?” tanya kepala prajurit yang taadi dipanggil sebagai Ki Wira. Pandangan Tumanggala pun melirik ke arah Utari yang masih menangisi mayat suaminya bersama sang putri. “Benar juga katamu, Ki. Sudah lama sejak terakhir kali aku bersenang-senang dengan seorang wanita.” Tumanggala menyeringai penuh nafsu. “Ayo kita seret saja dia ke gubuk itu!” Otaknya yang telah kotor bisa menebak secara pasti apa yang diinginkan oleh kepala pasukannya. Kaki tangan Patih Jayaprana itu bergegas menghampiri Utari yang tak berdaya. Keduanya mencengkeram pergelangan tangan wanita malang itu di kiri dan kanan. “Bunuh saja kami! Bunuh!” pekik Utari saat merasakan pergelangan tangan kedua pasukan itu di tubuhnya. “Tenang saja, cantik. Setelah kita bersenang-senang, permintaanmu akan kukabulkan.” Ki Wira tertawa besar. “Jangan ganggu ibuku!” teriak Pujar
"Apa, bu? Patih Jayaprana mencari aku?" Arya pun menghampiri ibunya. Arya sepertinya tidak takut akan cerita kejamnya mahapatih Nagri Jaya Dwipa tersebut."Jangan macam-macam, Arya! Ibu tidak mau kau celaka. Ibu tahu siapa Patih Jayaprana itu, orang keji dan tanpa belas kasihan pada orang lain," sambung Dasimah."Lalu, bagaimana jika mereka datang kemari, Bu?""Jangan sampai mereka mengetahui kalau anak yang mengalahkan Sagara Caraka itu dirimu!""Mere
Arya terperangah mendengar jawaban si gadis. Selama ini, ia tak pernah melihat gadis tersebut berada di Telagasari. Dukuh kecil itu tak memiliki banyak warga. Arya sangat hapal wajah-wajah warga Dukuh Telagasari, walaupun tak mengetahui seluruh nama mereka.Benarkah si gadis juga berasal dari dukuhnya? Bisa jadi benar. Arya yang belum lama hadir di dukuh itu tentu saja tidak tahu menahu tentang orang-orang yang datang dan pergi sebelum kelahirannya yang ajaib dan menggemparkan.“Jadi, Nisanak orang Telagasari? Kenapa aku tak pernah melihatmu selama ini?” tanya Arya balik kepada si Gadis.“Tentu saja kau tak tahu dan mengenal siapa aku. Usiamu saja masih bocah. Sedangkan kejadian memilukan itu terjadi delapan tahun yang lalu.”
Buukk!Buukk!Dua jotos kembali beradu. Arya terjajar satu tindak ke belakang. Siapa pun lawannya dalam memperebutkan rusa itu, Arya yakin kalau ia bukanlah pendekar biasa.Sekarang Arya mengawasi sosok asing bercaping di depannya. Wajah orang sejauh ini masih tersembunyi di bawah caping lebar yang dikenakan. Yang bisa dilihat Arya hanya pakaian ungunya saja dan sembulan sesuatu di balik punggung. Jika bukan pedang, pastilah itu senjata mustika jenis lainnya milik si pendekar asing ini.“Kisanak, mohon mundur. Aku yakin kalau akulah yang melihat rusa ini lebih dulu.” Arya berujar sopan.“Matamu rabun, bocah! Apa kau tidak melihat kalau tombakkulah yang menancap lebih dulu di leher rusa itu daripada panahmu.”Arya sejenak terkesiap. Itu adalah suara lembut seorang wanita. Ia telah salah mengira dan memanggil pendekar itu dengan kisanak.“Ah, maaf, Nisanak, meskipun begitu,
"Arya, kau dari mana saja?"Dasimah mencegat Arya saat putranya itu muncul di pekarangan, wajahnya pucat. Dia lalu melirik pada pakaian sang putra yang basah sebagian.“Dari pantai, Ibu,” jawab Arya singkat lalu menyalami ibunya. Ia tidak ingin membuat ibunya makin khawatir, sengaja tidak diceritakannya kalau dia baru saja bertarung dengan segerombol perompak ganas di pantai.“Dari pantai? Jadi omongan warga kalau kau yang bertarung dengan Sagara Caraka itu benar?”Percuma saja. Selalu begitu. Meski Arya tak pernah memberitahukan pada sang ibu setiap kali dia berkelahi dengan orang jahat, sang ibu selalu saja tahu. Arya tersenyum menanggapi kekhawatiran ibunya. Seperti selalu, ternyata kabar sudah lebih dulu tiba di rumahnya sebelum ia sendiri sampai di sana. Benar-benar cepat sekali kemampuan warga dukuhnya dalam hal meneruskan kabar berita.“Arya, kali ini Ibu benar-benar meminta kamu b
Tak punya pilihan lain, dia melepaskan rantai gada itu dan melompat jumpalitan di udara untuk menyelamatkan diri. Gada itu melesat sejengkal di bawah kakinya dan menghatam telak salah satu anak buah sang rampok.Pemadangan itu sedikit menciutkan nyali Sagara Caraka. Di lantai perahu besar, anak buahnya yang terkena sambaran gada terbaring megap-megap dengan dada hancur. Anak buahnya yang lain berdiri dengan lutut gemetar menyaksikan nasib salah satu teman mereka.“Bocah Edan! Katakan siapa kau sebenarnya?"Si bocah yang masih berdiri tenang pada tali pengikat layar menatap lurus pada Sagara Caraka. “Kalau kalian tidak segera enyah dari pantai ini, sesaat lagi kau boleh menganggapku malaikat maut.”“Cuih! Omong besar!”Sagara Caraka menggembor marah. Dia menendang lantai perahu lagi dan sosoknya serta merta melesat kembali menuju bocah di atas tali. Di tengah perjalanan, ketua rampok dan bajak
"Jarah, lalu tenggelamkan mereka semua sampai mampus!"Perahu-perahu nelayan itu sedang nahas hari ini. Padahal mereka hampir saja mencapai pantai. Sayangnya, seperti kabar yang beredar, bahwa perahu besar menakutkan dengan bendera hitam bergambar tengkorak bersilang itu bisa muncul kapan saja dari dalam laut. Mencuat keluar begitu saja tanpa tanda-tanda.Persis hantu.Wuuusss!Buumm!Detik itu juga, Laut Utara yang semula tenang mendadak bergolak karena ledakan besar itu. Sebuah perahu nelayan langsung terjungkal setelah dihantam satu batu besar. Isinya, beberapa tong ikan berikut empat orang nelayan terlontar berhamburan di udara, sebelum terjun bebas ke dalam laut."Jahanam! Siapa yang melontarkan batu, hah?!" Sagara Caraka naik berang dan memaki anak buahnya. "Dasar tolol! Jarah dulu hasil tangkapan mereka, baru kemudian tenggelamkan dengan batu!" hardiknya dengan murka.Sekejapan saja, perahu-perahu kec
Si nenek kini sudah berdiri di depan Pujaratih, wajahnya tampak puas. Senyum mengembang dari raut wajahnya yang telah tampak renta, melihat perkembangan cucu angkat sekaligus muridnya itu.Pujaratih segera membungkuk hormat di hadapan Nini Kipas Pelangi. “Apa ini artinya saya sudah boleh meninggalkan Lembah Akhirat, Nek?” bertanya Pujaratih.Nini Kipas Pelangi lalu tersenyum penuh arti. Diusapnya kepala Pujaratih yang masih membungkuk di depannya. “Ayo kita beristirahat di gubuk.”Setelah mengeluarkan beberapa ajian dan kesaktian di ajang latihan itu, keduanya cukup merasa letih. Nini Kipas Pelangi sudah cukup puas dengan apa yang telah dicapai maupun dikuasai oleh Pujaratih. Rasa letih itu yang membawa mereka untuk beristirahat sejenak.Di dalam gubuk yang berupa balai-balai berdinding bilah bambu, kedua orang itu duduk berhadap-hadapan. Wajah mereka terlihat serius.“Pujaratih ....” Si nenek membuka suara. &ldq
Lembah Akhirat, delapan tahun setelah peristiwa tragis yang menimpa Panca dan Utari di Dukuh Telagasari.***Buumm!Sebuah ledakan dahsyat membahana di dasar lembah yang tertutup hutan lebat. Satu pohon besar berderak tumbang setelah terhantam pukulan. Satu sosok ramping berpakaian ungu berkelebat dengan cepat. Kakinya berpijak dari satu pucuk semak ke semak berikutnya. Siapa pun ia, ilmu meringankan tubuhnya pasti sangat bagus.Berlari laksana terbang, sekali lagi ia menghantam dengan cara mendorong tangan kanannya. Selarik sinar ungu pudar membubut ke depan, kali ini menyasar sebongkah batu besar yang berjarak belasan tombak dari posisinya menyerang.Buumm!Seketika bongkahan batu besar itu hancur berkeping-keping. Sosok ramping berpakaian sutra ungu itu membuat gerakan jumpalitan di udara. Bak kapas, tubuhnya tampak mengambang saat turun menjejak rerumputan.Saat sudah menjejak tanah, jelas lah terlihat jika ia ada
Rajendra Sanjaya menunggu dengan gelisah. Sudah larut malam namun sosok Lopita Zora belum juga terlihat. “Apa dia menemui kesulitan?” lirih Rajendra Sanjaya sendirian. “Mungkin sebaiknya aku pergi mencari.” Baru saja ia memutuskan untuk menyusul Lopita Zora menuju lereng Utara Gunung Raya, orang yang dicari muncul di sana. Lopita Zora berkelebat dan menjejakkan kaki di depan sang raja. “Kau berhasil menemukannya?” tanya Lopita Zora sambil menurunkan buntalan kainnya dari bahu. “Tulang belulangnya sudah di dalam,” menjawab Rajendra Sanjaya. “Mengapa kau lama sekali, Lopita Zora?” “Kau tahu sendiri, Paduka, lereng Utara lebih curam dan hutannya lebih lebat. Perjalananku tidak mudah.” Tidak berkata apa-apa lagi, kedua orang itu masuk ke ceruk gua yang sudah setengah hancur dan segera menyusun tulang belulang yang mereka bawa. “Kau yakin ini akan berhasil, Lopita Zora?” tanya Rajendra Sanjaya. “Percayalah padaku,” jawab Lop