Nagri Jaya Dwipa, Delapan Tahun Sebelumnya ....
Saat ini adalah hari pertama bulan ketiga di Nagri Jaya Dwipa. Gerimis tipis menyelimuti setiap sudut istana yang menjadi pusat pemerintahan nagri itu. Musim penghujan memang sedang melanda seluruh penjuru. Di balairung istana Diraja Nagri Jaya Dwipa, Raja Rajendra Sanjaya terlihat murung.
“Panggil Lopita Zora dan suruh dia menghadapku segera!” Raja Rajendra Sanjaya yang tampak gelisah dan kurang tidur, memberi perintah pada pengawalnya. Yang diperintah segera saja mencari orang bernama Lopita Zora.
Sosok molek seorang wanita muncul tak lama kemudian di balirung istana. Raja itu segera saja berucap, “Kupikir kau sudah tahu mengapa aku memanggilmu ke sini, Lopita Zora.
Wanita cantik molek yang dipanggil Lopita Zora, tersenyum penuh misteri. Dengan gerakan menggoda, ia mengibaskan sejumput rambut yang menutupi wajahnya. “Paduka, apakah ada kaitannya dengan aura wajahmu yang menampakkan kegelisahan sangat kentara itu?”
Lopita Zora kemudian memutar tubuhnya membelakangi sang raja, mengundang Rajendra Sanjaya untuk mendekat pada wanita molek tersebut. Diam-diam dari belakang, Rajendra Sanjaya melingkarkan tangannya pada pinggang Lopita Zora. “Paduka, jangan bertindak ceroboh! Bagaimana jika ada yang melihatmu melakukan ini padaku!”
“Bukankah kau sudah tahu, Lopita? Jika aku murung, hanya dirimu yang mampu mengobati kegelisahan di dalam pikiran ini.”
Senyum wanita sakti pemilik Ilmu Bersalin Wajah itu mengembang, hal ini begitu menggoda penguasa Nagri Jaya Dwipa tersebut. Kecantikan serta kemolekan tubuh wanita itu tersohor seantero Nagri Jaya Dwipa, bahkan permaisuri kerajaan sering dibanding-bandingkan dengannya.
Raut murung yang sebelumnya menghiasi rona wajah Raja Rajendra Sanjaya seketika berubah seperti orang yang dipenuhi hasrat, setelah melihat dari dekat kemolekan tubuh wanita di hadapannya. Sang Raja menggamit punggung wanita yang sesungguhnya sudah tak muda lagi itu.
Lopita Zora hanya diam dan tersenyum menggoda saat Rajendra Sanjaya menggendongnya menuju ke sebuah bilik di balairung. Ia sudah tahu apa yang diinginkan oleh sang raja.
“Lopita Zora, kecantikanmu membuatku tak mampu menahan hasrat ini!” bisik Rajendra Sanjaya perlahan saat ia meletakan tubuh Lopita Zora ke atas sebuah dipan.
“Paduka, aku hanya milikmu saat ini!” Lopita Zora mengedipkan sebelah matanya dengan genit.
Napas Rajendra Sanjaya semakin memburu, tanpa membuang waktu ia langsung menyerang bibir indah Lopita Zora. Penasihat raja dengan kemampuan nujum yang sangat tersohor itu terlihat menikmati apa yang dilakukan Rajendra Sanjaya padanya.
Kedua manusia tersebut terlibat dalam pergulatan yang dipenuhi oleh gelora, sehingga membuat keduanya dibanjiri peluh. Tubuh keduanya secara bergantian saling menindih. Rajendra Sanjaya dan Lopita Zora saling bertukar cairan cinta untuk memuaskan nafsu satu sama lain.
Lopita Zora bukan tanpa alasan mau melayani Rajendra Sanjaya. Ia harus rutin melakukan hubungan dengan seorang pria setiap awal bulan, agar Ilmu Bersalin Wajah yang dimilikinya tak memudar. Rajendra Sanjaya, raja lalim dari Trah Sanjaya adalah penggila kegiatan berhubungan badan. Tak heran jika ia memiliki banyak gundik.
Sambil menghela napas yang sedang terengah-engah karena telah menuntaskan permainan mereka, Rajendra Sanjaya mengempaskan tubuhnya di samping Lopita Zora yang sedang melenguh sambil menyapu keringat di keningnya.
“Lopita Zora, Apa arti mimpiku? Sudah tiga malam ini aku kurang tidur, karena mimpi yang sama. Seseorang berpakaian serba putih memorak-porandakan istana, dan menjatuhkan tahtaku sebagai Raja Nagri Jaya Dwipa,”kisah Rajendra Sanjaya.
Lopita Zora masih belum menjawab. Ia mencoba mengatur pernapasannya terlebih dahulu, setelah habis-habisan diserang oleh sang raja pada titik pusat kewanitaannya.
Sesaat kemudian, setelah selesai menyeka keringat dikeningnya, Lopita Zora melirik sekilas pada Rajendra Sanjaya. “Mimpi Paduka akan menjadi kenyataan, jika sosok serba putih yang paduka maksud itu tidak segera diberantas. Yang menjadi ancaman terbesar Nagri Jaya Dwipa dan kekuasaan Paduka saat ini bukanlah Sagara Caraka dari Laut Utara, ataupun para penjahat dan pemberontak yang lain, tetapi sosok serba putih ini!"
Rajendra Sanjaya seketika menjadi gelisah. Keringat kembali keluar dari pori-pori kulit wajahnya. Kali ini keringat tersebut membuat wajah raja lalim tersebut terlihat memucat. Ia lalu bangun dan duduk menghadap Lopita Zora yang masih terbaring polos, tanpa busana di dekatnya.
“Siapa sesungguhnya orang ini?”
“Paduka, penglihatanku mengatakan bahwa dia sesungguhnya berilmu sakti, tetapi saat ini aku belum mengetahui keberadaannya. Dia masih menghimpun kekuatan di dalam dirinya.”
“Menurutmu, apa yang harus aku lakukan?”
“Basmi dia, sebelum ilmu sakti yang dimilikinya sempurna!”
Lopita Zora bangkit, mengenakan pakaiannya kembali lalu melangkah keluar dari kamar di balairung istana tersebut.
“Lopita Zora … tunggu!”
Rajendra Sanjaya mencegah wanita itu untuk pergi, ia belum puas akan jawaban atas mimpinya. Apa yang dikatakn Lopita Zora bukannya memberi pencerahan akan kegelisahannya, tapi kian menambah kekhawatiran dirinya.
“Paduka, berikan aku waktu tujuh hari untuk tapa dan semedi, biarkan aku mencari tahu terlebih dahulu keberadaan pria serba putih itu,”
“Baiklah, setelah tujuh hari segera menghadap padaku!”
Lopita Zora mengangguk, saat melewati batas ambang pintu. Kulitnya mulai mengelupas, ia akan berganti kulit secara ajaib apabila telah mengonsumsi beberapa tetes cairan kelelakian seorang pria setiap awal bulannya.
Waktu tujuh hari yang dimaksud, bukan untuk tapa dan semedi agar mengetahui di mana keberadaan sosok serba putih yang merasuki mimpi Raja Rajendra Sanjaya, tetapi untuk proses perubahan wujudnya agar tetap terjaga kemolekan serta kecantikannya.
Dengan kesaktiannya, Lopita Zora sesungguhnya bisa mengetahui di mana keberadaan seseorang. Ajian Menyingkap Kabut Melihat Ujud yang dimiliki sangat jarang gagal. Wanita sakti yang sesungguhnya sudah nenek-nenek itu hanya perlu mengerahkan dua pertiga tenaga dalamnya untuk menggunakan ajian langka itu.
Sepeninggal Lopita Zora setelah selesai bergumul dan menceritakan mimpinya, Rajendra Sanjaya kembali ke Balairung, lalu memberikan perintah pada pengawalnya.
“Panggil Patih Jayaprana, suruh dia segera menghadapku!”
Dua orang pengawal yang selalu siap siaga dengan tombak dan tameng di tangan segera bergerak melaksanakan titah Sang Raja. Keduanya berjalan mundur sambil membungkuk hingga sampai ke pintu keluar balairung.
Patih Jayaprana, adalah orang kepercayaan Raja Rajendra Sanjaya. Jayaprana memiliki kesaktian dan ilmu tinggi sehingga mendapat kepercayaan menjabat sebagai Mahapatih Nagri Jaya Dwipa.
Kedua pengawal yang ditugaskan oleh Rajendra Sanjaya mencari keberadaan sang patih di seluruh istana, bahkan di barak pusat pasukan kerajaan. Namun, hasil nihil yang didapat oleh keduanya.
“Ke mana perginya Patih Jayaprana?”
Beberapa prajurit kerajaan yang sedang mengasah bilah-bilah pedang menoleh pada dua orang pengawal raja yang datang. “Patih bersama beberapa pasukan menuju Dukuh Telagasari,” menjawab salah satu dari mereka.
“Kamu! Segera temui Patih Jayaprana, katakan Paduka Raja Rajendra Sanjaya memberi titah untuk menghadap!” Pengawal tersebut menunjuk pada seorang prajurit.
“Baik, Tuan!”
Tanpa menunggu, prajurit yang diperintahkan untuk mencari sang patih itu segera berangkat menuju tempat yang dimaksud, yakni Dukuh Telagasari.
Sebagai mahapatih kerajaan, Jayaprana selalu rutin berkeliling ke seluruh wilayah Nagri Jaya Dwipa untuk mengumpulkan pemuda yang sudah cukup umur. Nantinya mereka akan ditempa dan dilatih menjadi prajurit kerajaan. Kali ini patih itu bertandang ke sebuah wilayah paling Utara, dekat dengan pantai dan berada di lereng Gunung Raya, sebuah gunung tinggi menjulang di Nagri Jaya Dwipa, sehingga puncaknya selalu diselimuti kabut putih.
Di Dukuh Telagasari, sang patih tidak buang-buang waktu dan segera saja menjalankan tujuannya menyantroni dukuh pelosok itu. Suaranya menggelegar saat mengumandangkan perintah.
“Aku Mahapatih Jayaprana,” teriaknya. “Semua pemuda yang telah berusia tujuh belas tahun dan pria yang masih sehat di dukuh ini harap segera datang dan berkumpul di hadapanku.” Dengan suara lantang, sambil berdiri di atas balai-balai di lapangan, Jayaprana memberikan sebuah pengumuman untuk warga dukuh yang tidak begitu besar tersebut. “Jika ada satu orang saja yang kumaksudkan tidak datang atau dengan sengaja menghindar, akan kutebas kepalanya hingga terkutung!” imbuhnya lagi.
***
- Bersambung ke Bab 9 -
Dengan demikian, seluruh warga Dukuh Telagasari pun gempar mendengar pengumuman tersebut. Para orang tua berlari ke sana kemari, memanggil serta mencari anak laki-laki mereka yang telah berusia tujuh belas tahun atau lebih. Rata-rata mereka sedang bekerja di sawah, atau pun sedang mencari pakan untuk ternak. Perintahnya sudah jelas, agar para pemuda itu menghentikan kegiatan dan segera menghadap Patih Jayaprana. Dalam sekejap, lapangan tempat Jayaprana berada telah dipenuhi oleh puluhan pemuda yang akan menjadi calon prajurit Nagri Jaya Dwipa nantinya. Pandangan sang patih dengan tajam menyapu seluruh kerumunan pemuda di hadapannya. “Masih ada satu orang lagi yang belum datang! Segera ca
“Kau tidak lihat kembang ranum yang siap memanjakan kita siang ini?” tanya kepala prajurit yang taadi dipanggil sebagai Ki Wira. Pandangan Tumanggala pun melirik ke arah Utari yang masih menangisi mayat suaminya bersama sang putri. “Benar juga katamu, Ki. Sudah lama sejak terakhir kali aku bersenang-senang dengan seorang wanita.” Tumanggala menyeringai penuh nafsu. “Ayo kita seret saja dia ke gubuk itu!” Otaknya yang telah kotor bisa menebak secara pasti apa yang diinginkan oleh kepala pasukannya. Kaki tangan Patih Jayaprana itu bergegas menghampiri Utari yang tak berdaya. Keduanya mencengkeram pergelangan tangan wanita malang itu di kiri dan kanan. “Bunuh saja kami! Bunuh!” pekik Utari saat merasakan pergelangan tangan kedua pasukan itu di tubuhnya. “Tenang saja, cantik. Setelah kita bersenang-senang, permintaanmu akan kukabulkan.” Ki Wira tertawa besar. “Jangan ganggu ibuku!” teriak Pujar
Pujaratih yang tak berdaya masih dalam keadaan ketakutan. Niatnya untuk menjangkau balok kayu yang tergeletak di dekat mayat sang ibu tidak dapat terlaksana. Ia merasakan pandangannya kian kabur. Pujaratih telah kehabisan tenaga karena duka yang dalam. Hari ini, di depan matanya sendiri, kedua orang tuanya dibantai secara keji oleh manusia-manusia biadab. Antara sadar dan tidak, gadis cilik itu seolah mendengar tawa berderai entah dari mulut siapa. “Hik ... hik ... hik! Dasar patih cabul! Tidak kesampaian berbuat keji pada ibunya, kini kau pula hendak mengambil anaknya. Benar-benar terkutuk kau Jayaprana. Manusia macammu seharusnya tidak pernah dilahirkan ke muka bumi!” Suara itu seoalah berasal dari delapan penjuru angin. Jayaprana kebingungan menebak dari arah mana ucapan yang meremehkan dirinya itu berasal. “Jahanam! Tunjukkan dirimu, pengecut!” teriak Jayaprana marah. Jawaban dari teriakan sang pat
Lopita Zora masih berdiri membelakangi Rajendra Sanjaya.“Lalu apa saranmu, Lopita Zora? Aku mau sosok keparat itu dapat dibumihanguskan dari dunia ini. Agar tak lagi ada pihak yang berani-beraninya mengusik kekuasaan Rajendra Sanjaya, manusia paling agung dalam Trah Sanjaya.”“Kepung, dan tangkap dia!” jawab Lopita Zora sambil berjalan meninggalkan Sang Maharaja.Rajendra Sanjaya geram, amarahnya telah naik ke puncak kepala. Ia benar-benar merasa terusik dengan apa yang dikatakan oleh Lopita Zora. Raja yang sangat haus akan kekuasaan itu tak segan-segan memenggal kepala orang lain yang berani mencampuri urusan atau menebar ancaman terhadap kekuasaannya.Setelah berlalunya Lopita Zora, Rajendra segera mengumpulkan seluruh orang kepercayaannya, dan memberi titah, bahwasanya besok pagi harus bergerak sesuai arahan Lopita Zora, untuk menangkap dan membasmi sosok yang dipercaya sebagai pengganggu kekuasaannya itu.
Seratus tahun yang lalu, selepas pertarungan dahsyat melawan Badiran Wasesa yang membuat runtuh puncak Gunung Bakaraya, Sanatana yang sekarat dan tertimbun abu gunung masih mampu bertahan hidup. Jika bukan karena kesaktian ilmu yang dimilikinya, dengan kondisi semacam itu mestilah ia tak mampu selamat. Sanatana memutuskan untuk menghilang dari dunia persilatan dan menjadi pertapa Bakaraya yang kini hanya disebut Gunung Raya itu, tepatnya di dalam sebuah ceruk di balik air terjun jernih sebelah Barat Gunung Raya. Seratus tahun lamanya ia mencoba mengumpulkan kembali tenaganya, serta memurnikan lagi semua kemampuan beladiri dan kesaktiannya. Selama kurun itu, dunia persilatan perlahan-lahan melupakan nama sosok manusia setengah dewa pemilik Ajian Suci Darah Bulan, Sanatana. Namun tak dinyana hari ini di tengah pertapaannya, segerombolan manusia yang konon adalah utusan penguasa Nagri Jaya Dwipa, menyatroni tempatnya dan mengusik tapa geni yang sedang ia lakukan
Sanatana terhuyung tiga tindak ke samping. Di sana, Nyai Prameswari sudah menunggu dengan tongkatnya. “Mampuslah!” teriak si nenek sambil menggepruk tongkatnya menyasar kepala lawan. Sedikit saja Sanatana terlambat menyisi, pastilah kepalanya sudah remuk dimakan tongkat. Selamat dari tiga serangan beruntun itu, Sanatana berkelebat menjauh untuk sejenak memulihkan luka dalam, akibat bentrok tenaga dalam dengan Lopita Zora dan hantaman tinju Patih Jayaprana. Lopita Zora tidak mau membuang kesempatan. Sambil menahan sakit, wanita muda yang sebenarnya sudah nenek-nenek peot itu, langsung menerjang ke depan dalam Jurus Tangan Lelembut Merogoh Jiwa. Gerakan tangan ini seolah tangan hantu, tak terlihat dan tahu-tahu sudah pun mencegkeram pangkal leher Sanatana. Sanatana tersentak kaget. Ekor matanya melihat jika Patih Jayaprana juga sedang merangsek menuju dirinya. Tidak mau mati konyol, si orang tua segera memukulkan tangan kanan pad
Angin kencang serupa badai segera menderu menuju Sanatana. Rerumputan tercerabut dari tanah dan makin banyak pepohonan yang bertumbangan. Sadar kalau serangan lawan bisa membinasakan dirinya, Sanatana melompat menjauh untuk menyelamatkan diri, sayang usahanya tidak berjalan mulus.“Mau cari selamat ke mana kau, Tua Bangka!”Wuutt!Nyai Prameswari segera mengayunkan tongkatnya, menghadang gerakan Sanatana yang tengah menghindar dari disapu angin topan.“Hari ini, biar aku mengadu jiwa dengan kalian!” teriak Sanatana sambil menyisi untuk menghindari serangan tongkat Nyai Prameswari.Sekejapan saja lagi sosoknya akan digulung dalam badai yang diciptakan Patih Jayaprana, Sanatana segera merapal Ajian Pedang Bulan yang seratus tahun lalu berhasil membelah hingga terkutung sosok Badiran Wasesa.Si kakek cepat-cepat mengayunkan kedua tangannya sekaligus, kiri dan kanan, dari bawah ke atas. Dua larik sinar putih leng
Lopita Zora tersentak bangun saat petir menggelegar di luar. Wanita itu terduduk tanpa busana di sebelah sosok Rajendra Sanjaya yang mendengkur pulas. Di luar sepertinya sedang turun hujan.Ada yang mengganjal pikiran Lopita Zora. Saat dirinya tertidur pulas tadi, setelah bercinta dengan sang raja, mimpi aneh muncul dalam tidurnya. Lopita Zora melihat bendera sewarna merah darah bergambar tengkorak hitam di tengah-tengahnya, berkibar mengerikan di atas tumpukan mayat entah siapa.Tak lama setelah itu, di dalam mimpinya Lopita Zora juga melihat sesosok lelaki tinggi besar yang wajahnya tak terlihat, memanggil-manggilnya untuk mendekat. Saat ia mendekat, mendadak sosok tinggi besar tanpa wajah itu menarik tangannya keras-keras.Sosok misterius dalam mimpinya itu meneriakkan dua kalimat. “Temukan aku!” dan “Bangkitkan aku!”Lopita Zora tahu kalau mimpinya bukan bunga tidur. Segera ia berpakaian lengkap dan duduk di l
"Apa, bu? Patih Jayaprana mencari aku?" Arya pun menghampiri ibunya. Arya sepertinya tidak takut akan cerita kejamnya mahapatih Nagri Jaya Dwipa tersebut."Jangan macam-macam, Arya! Ibu tidak mau kau celaka. Ibu tahu siapa Patih Jayaprana itu, orang keji dan tanpa belas kasihan pada orang lain," sambung Dasimah."Lalu, bagaimana jika mereka datang kemari, Bu?""Jangan sampai mereka mengetahui kalau anak yang mengalahkan Sagara Caraka itu dirimu!""Mere
Arya terperangah mendengar jawaban si gadis. Selama ini, ia tak pernah melihat gadis tersebut berada di Telagasari. Dukuh kecil itu tak memiliki banyak warga. Arya sangat hapal wajah-wajah warga Dukuh Telagasari, walaupun tak mengetahui seluruh nama mereka.Benarkah si gadis juga berasal dari dukuhnya? Bisa jadi benar. Arya yang belum lama hadir di dukuh itu tentu saja tidak tahu menahu tentang orang-orang yang datang dan pergi sebelum kelahirannya yang ajaib dan menggemparkan.“Jadi, Nisanak orang Telagasari? Kenapa aku tak pernah melihatmu selama ini?” tanya Arya balik kepada si Gadis.“Tentu saja kau tak tahu dan mengenal siapa aku. Usiamu saja masih bocah. Sedangkan kejadian memilukan itu terjadi delapan tahun yang lalu.”
Buukk!Buukk!Dua jotos kembali beradu. Arya terjajar satu tindak ke belakang. Siapa pun lawannya dalam memperebutkan rusa itu, Arya yakin kalau ia bukanlah pendekar biasa.Sekarang Arya mengawasi sosok asing bercaping di depannya. Wajah orang sejauh ini masih tersembunyi di bawah caping lebar yang dikenakan. Yang bisa dilihat Arya hanya pakaian ungunya saja dan sembulan sesuatu di balik punggung. Jika bukan pedang, pastilah itu senjata mustika jenis lainnya milik si pendekar asing ini.“Kisanak, mohon mundur. Aku yakin kalau akulah yang melihat rusa ini lebih dulu.” Arya berujar sopan.“Matamu rabun, bocah! Apa kau tidak melihat kalau tombakkulah yang menancap lebih dulu di leher rusa itu daripada panahmu.”Arya sejenak terkesiap. Itu adalah suara lembut seorang wanita. Ia telah salah mengira dan memanggil pendekar itu dengan kisanak.“Ah, maaf, Nisanak, meskipun begitu,
"Arya, kau dari mana saja?"Dasimah mencegat Arya saat putranya itu muncul di pekarangan, wajahnya pucat. Dia lalu melirik pada pakaian sang putra yang basah sebagian.“Dari pantai, Ibu,” jawab Arya singkat lalu menyalami ibunya. Ia tidak ingin membuat ibunya makin khawatir, sengaja tidak diceritakannya kalau dia baru saja bertarung dengan segerombol perompak ganas di pantai.“Dari pantai? Jadi omongan warga kalau kau yang bertarung dengan Sagara Caraka itu benar?”Percuma saja. Selalu begitu. Meski Arya tak pernah memberitahukan pada sang ibu setiap kali dia berkelahi dengan orang jahat, sang ibu selalu saja tahu. Arya tersenyum menanggapi kekhawatiran ibunya. Seperti selalu, ternyata kabar sudah lebih dulu tiba di rumahnya sebelum ia sendiri sampai di sana. Benar-benar cepat sekali kemampuan warga dukuhnya dalam hal meneruskan kabar berita.“Arya, kali ini Ibu benar-benar meminta kamu b
Tak punya pilihan lain, dia melepaskan rantai gada itu dan melompat jumpalitan di udara untuk menyelamatkan diri. Gada itu melesat sejengkal di bawah kakinya dan menghatam telak salah satu anak buah sang rampok.Pemadangan itu sedikit menciutkan nyali Sagara Caraka. Di lantai perahu besar, anak buahnya yang terkena sambaran gada terbaring megap-megap dengan dada hancur. Anak buahnya yang lain berdiri dengan lutut gemetar menyaksikan nasib salah satu teman mereka.“Bocah Edan! Katakan siapa kau sebenarnya?"Si bocah yang masih berdiri tenang pada tali pengikat layar menatap lurus pada Sagara Caraka. “Kalau kalian tidak segera enyah dari pantai ini, sesaat lagi kau boleh menganggapku malaikat maut.”“Cuih! Omong besar!”Sagara Caraka menggembor marah. Dia menendang lantai perahu lagi dan sosoknya serta merta melesat kembali menuju bocah di atas tali. Di tengah perjalanan, ketua rampok dan bajak
"Jarah, lalu tenggelamkan mereka semua sampai mampus!"Perahu-perahu nelayan itu sedang nahas hari ini. Padahal mereka hampir saja mencapai pantai. Sayangnya, seperti kabar yang beredar, bahwa perahu besar menakutkan dengan bendera hitam bergambar tengkorak bersilang itu bisa muncul kapan saja dari dalam laut. Mencuat keluar begitu saja tanpa tanda-tanda.Persis hantu.Wuuusss!Buumm!Detik itu juga, Laut Utara yang semula tenang mendadak bergolak karena ledakan besar itu. Sebuah perahu nelayan langsung terjungkal setelah dihantam satu batu besar. Isinya, beberapa tong ikan berikut empat orang nelayan terlontar berhamburan di udara, sebelum terjun bebas ke dalam laut."Jahanam! Siapa yang melontarkan batu, hah?!" Sagara Caraka naik berang dan memaki anak buahnya. "Dasar tolol! Jarah dulu hasil tangkapan mereka, baru kemudian tenggelamkan dengan batu!" hardiknya dengan murka.Sekejapan saja, perahu-perahu kec
Si nenek kini sudah berdiri di depan Pujaratih, wajahnya tampak puas. Senyum mengembang dari raut wajahnya yang telah tampak renta, melihat perkembangan cucu angkat sekaligus muridnya itu.Pujaratih segera membungkuk hormat di hadapan Nini Kipas Pelangi. “Apa ini artinya saya sudah boleh meninggalkan Lembah Akhirat, Nek?” bertanya Pujaratih.Nini Kipas Pelangi lalu tersenyum penuh arti. Diusapnya kepala Pujaratih yang masih membungkuk di depannya. “Ayo kita beristirahat di gubuk.”Setelah mengeluarkan beberapa ajian dan kesaktian di ajang latihan itu, keduanya cukup merasa letih. Nini Kipas Pelangi sudah cukup puas dengan apa yang telah dicapai maupun dikuasai oleh Pujaratih. Rasa letih itu yang membawa mereka untuk beristirahat sejenak.Di dalam gubuk yang berupa balai-balai berdinding bilah bambu, kedua orang itu duduk berhadap-hadapan. Wajah mereka terlihat serius.“Pujaratih ....” Si nenek membuka suara. &ldq
Lembah Akhirat, delapan tahun setelah peristiwa tragis yang menimpa Panca dan Utari di Dukuh Telagasari.***Buumm!Sebuah ledakan dahsyat membahana di dasar lembah yang tertutup hutan lebat. Satu pohon besar berderak tumbang setelah terhantam pukulan. Satu sosok ramping berpakaian ungu berkelebat dengan cepat. Kakinya berpijak dari satu pucuk semak ke semak berikutnya. Siapa pun ia, ilmu meringankan tubuhnya pasti sangat bagus.Berlari laksana terbang, sekali lagi ia menghantam dengan cara mendorong tangan kanannya. Selarik sinar ungu pudar membubut ke depan, kali ini menyasar sebongkah batu besar yang berjarak belasan tombak dari posisinya menyerang.Buumm!Seketika bongkahan batu besar itu hancur berkeping-keping. Sosok ramping berpakaian sutra ungu itu membuat gerakan jumpalitan di udara. Bak kapas, tubuhnya tampak mengambang saat turun menjejak rerumputan.Saat sudah menjejak tanah, jelas lah terlihat jika ia ada
Rajendra Sanjaya menunggu dengan gelisah. Sudah larut malam namun sosok Lopita Zora belum juga terlihat. “Apa dia menemui kesulitan?” lirih Rajendra Sanjaya sendirian. “Mungkin sebaiknya aku pergi mencari.” Baru saja ia memutuskan untuk menyusul Lopita Zora menuju lereng Utara Gunung Raya, orang yang dicari muncul di sana. Lopita Zora berkelebat dan menjejakkan kaki di depan sang raja. “Kau berhasil menemukannya?” tanya Lopita Zora sambil menurunkan buntalan kainnya dari bahu. “Tulang belulangnya sudah di dalam,” menjawab Rajendra Sanjaya. “Mengapa kau lama sekali, Lopita Zora?” “Kau tahu sendiri, Paduka, lereng Utara lebih curam dan hutannya lebih lebat. Perjalananku tidak mudah.” Tidak berkata apa-apa lagi, kedua orang itu masuk ke ceruk gua yang sudah setengah hancur dan segera menyusun tulang belulang yang mereka bawa. “Kau yakin ini akan berhasil, Lopita Zora?” tanya Rajendra Sanjaya. “Percayalah padaku,” jawab Lop