Dasimah yakin dirinya tidak salah mendengar. Sosok orang tua serba putih yang memperkenalkan dirinya sebagai Sanatana itu memberi tahu bahwa dirinyalah yang kini menumpang hidup di rahimnya. Terdengar begitu sulit untuk diterima akal sehat.
“Apa aku sedang bermimpi?” Dasimah berkata lirih seolah bertanya pada dirinya sendiri.
Jelmaan Sanatana itu tersenyum lagi. “Tidak, Cah Ayu. Kau tidak sedang bermimpi," jawabnya.
“Saat ini aku memang belum nyata. Kau melihatku sebagai penjelmaan diriku sebelum menitis ke dalam rahimmu.”
“Aku tidak mengerti, Ki ....”
"Pada saatnya nanti kau akan mengerti dengan sendirinya, Cah Ayu. Sekarang, dengarkan aku baik-baik.”
Dasimah berhenti bersuara. Seolah ada kuasa tak terlihat yang membungkam mulutnya dan membuat telinganya kian awas, saat sosok jelmaan di depannya bersabda.
“Seratus tahun yang lalu, ada kekuatan jahat yang hendak menguasai semua kehidupan di dunia. Aku pernah berhasil menumpasnya, setidaknya kupikir diriku sudah berhasil. Namun ternyata aku salah. Saat ini diam-diam kegelapan sudah kembali bangkit. Apa yang kupikir sudah punah seratus tahun yang lalu kini mulai merayap pelan-pelan, menitis lewat penguasa lalim negeri ini.
Seperti yang kau lihat, Cah Ayu. Aku sudah terlalu renta untuk menumpasnya sekali lagi dalam ujud ini. Maka dari itu aku perlu menitis ke dalam rahimmu, perawan suci yang dipilih dewata sebagai ibu Arya Tarachandra. Aku akan menitis ke dalam diri putramu.
Kehamilanmu tidak akan seperti wanita hamil pada umumnya, Cah Ayu. Kau tidak perlu takut atau mencemaskan semua kejadian ajaib yang akan menimpamu nantinya. Kau akan baik-baik saja selama aku berada di rahimmu. Ini tidak akan lama.
Arya Tarachandra akan lahir pada purnama gerhana tahun ini. Tujuh malam dari sekarang. Kau hanya perlu tabah, Cah Ayu. Setelah Arya Tarachandra lahir, jaga dan asuh dia tak kurang dari tujuh tahun. Dia tidak akan terlihat seperti anak-anak pada umumnya, akan banyak keanehan yang akan kau temukan pada dirinya kelak.
Itu pun tidak perlu kau cemaskan. Tanggung jawab pengasuhanmu akan selesai setelah tujuh tahun itu. Sesudahnya, kau akan tetap jadi ibu bagi Arya Tarachandra, dia tetap putramu. Namun yang perlu kau sadari, Cah Ayu, ada tanggung jawab mahaberat yang jatuh ke pundaknya saat dia dewasa nanti, untuk menumpas kejahatan dan melindungi kaum yang lemah. Kau harus ikhlas ....”
Sosok serba putih itu tersenyum sekali lagi pada Dasimah, sebelum perlahan-lahan memudar dan lenyap sepenuhnya. Dasimah tidak sadarkan diri bersamaan dengan lenyapnya jelmaan Sanatana di gubuk itu.
***
“Mustahil!”
Sri Wedari terbeliak besar saat mengunjungi gubuk pasungan Dasimah keesokan sorenya. Bungkusan daun pisang berisi makanan yang dibawanya untuk sang putri sampai menggelinding jatuh dari tangan.
Bagaimana tidak, baru satu hari berlalu sejak Dasimah diasingkan, hari ini Sri Wedari mendapati perut putrinya sudah pun membesar. Wanita tua itu sadar kalau sesuatu yang aneh sedang terjadi pada diri putrinya.
“Ini tidak benar, Dasimah. Bagaimana mungkin ini bisa terjadi? Kemarin perutmu masih rata saat kutinggalkan, tapi hari ini kau persis seperti sedang hamil tujuh bulan.”
Sri Wedari merasa tubuhnya tak bertulang. Ia jatuh terduduk di depan pasungan Dasimah, pandangannya masih terbeliak pada perut Dasimah yang besar.
Dasimah mendadak kembali seperti orang linglung. Ia hanya menatap Sri Wedari antara sadar dan tidak. Sampai Sri Wedari lelah berbicara sendiri, Dasimah hanya menjawabnya dengan gumam dan racau tak jelas.
Sri Wedari menyerah. Ia meninggalkan gubuk lebih awal dari kemarin, pulang berjalan kaki sambil memohon kepada yang mahakuasa untuk melindungi Dasimah dari semua keanehan yang sedang menimpanya.
Keanehan itu berlangsung setiap hari. Sri Wedari menyaksikan bagaimana perut Dasimah kian bertambah besar seiring hari dengan mata kepalanya sendiri. Ia masih belum bisa menerima dengan akal sehat bagaimana perkembangan kehamilan Dasimah bisa berlangsung begitu cepatnya.
Pada kunjungannya di hari keenam, dilihat dari kondisi perut Dasimah yang meninggi, Sri Wedari yakin dua atau tiga hari lagi putrinya itu akan melahirkan seorang bayi. Wanita tua itu sudah kehabisan semua kata-kata untuk mengungkapkan keheranannya. Ia hanya menatap sayu pada Dasimah yang terlihat kian lemah saja.
“Jaga dirimu, Dasimah. Aku yakin kau akan segera melahirkan tak berapa lama lagi. Kuharap aku bisa mendampingimu saat itu terjadi, tapi aku tidak bisa melanggar aturan lagi. Kita tentu tidak mau leluhur dukuh makin murka pada kita, kan?”
Sri Wedari meninggalkan Dasimah dengan hati masygul. Terbersit dalam pikirannya untuk membebalkan diri dan ikut menginap bersama sang putri di dalam gubuk, tapi ia terlalu takut hal itu malah akan mendatangkan petaka baru bagi dirinya dan Dasimah. Dengan berat hati, ia meninggalkan Dasimah sendirian menunggu persalinannya yang bisa saja terjadi sewaktu-waktu, melihat kondisi perutnya.
Apa yang dikatakan Sri Wedari ternyata terjadi lebih cepat dari yang diperkirakan. Kehamilan Dasimah tidak menunggu dua atau tiga hari lagi. Persalinannya terjadi lebih cepat dari yang disangkakan Sri Wedari.
Malam itu, purnama empat belas hari menerangi langit di atas Dukuh Telagasari. Purnama juga menyuluh sampai ke celah belukar di belantara gubuk pasungan Dasimah. Purnama seolah mendatangkan kekuatan bagi perempuan hamil itu. Matanya terbuka lebar, seolah untuk pertama kalinya ia mendapatkan kesadaran penuh atas dirinya.
Pemandangan pertama yang dilihat Dasimah adalah puncak perutnya sendiri. Seolah ia sudah genap mengandung selama sembilan bulan lamanya. Ingatan membawa Dasimah pada kejadian di malam pertama dirinya dipasung. Sabda jelmaan yang mengaku diri sebagi Sanatana kembali terngiang.
Sebelumnya, Dasimah mengira kalau kemunculan sosok putih itu hanyalah sebuah mimpi, atau dirinya sedang berkhayal. Malam ini saat bulan empat belas hari menyuluh pasungannya, Dasimah mendapatkan keyakinan kalau hal itu sungguhan terjadi.
“Apakah ini saatnya?” bisik Dasimah seorang diri.
Di luar, mendadak gelap perlahan-lahan merambat. Di langit, bulan empat belas hari yang tadinya bulat penuh, sedikit demi sedikit mulai menyusut. Bukan tertutupi awan, tapi seolah bulan menyusutkan dirinya sendiri.
Dasimah menyadari hal itu. Pemandangan terakhir Dasimah sebelum bulan benar-benar hilang dan menggulitakan segala, adalah rembesan cairan merah dari sela-sela kakinya. Persalinannya sudah dimulai.
“Bantu aku, Dewa Jagat Bathara ...,” bisik Dasimah sendirian.
Apa yang disabdakan jelmaan Sanatana benar adanya. Dasimah akan melahirkan ketika gerhana bulan, pada malam ketujuh setelah peristiwa penjelmaannya di gubuk itu.
Sementara itu di Dukuh Telagasari ....
Sri Wedari dikejutkan suara kentongan bertalu-talu, seolah benda itu dipukul beramai-ramai oleh seluruh warga dukuh. Saat Sri Wedari membuka mata, segala sesuatu sudah berubah gelap. Sontak wanita tua itu mencelat bangun dari dipan.
“Oh, Dewa, dosa putriku ternyata begitu besarnya hingga kau juga menghukumku menjadi buta.”
Sri Wedari sudah akan menangis sebab mengira ia ikut dihukum Dewa atas kesalahan putrinya, ketika telinganya mendengar seruan-seruan.
“Rawung sedang memakan bulan!”
“Rawung sedang memakan bulan!”
“Rawung sedang memakan bulan!”
Tak ada warga yang tidak tahu apa itu Rawung. Ia adalah raksasa langit yang dipercaya akan memangsa bulan jika sedang marah. Sri Wedari sadar kalau dirinya ternyata tidak buta. Ia tidak bisa melihat apa pun karena Rawung sedang menelan bulan dan membuat semua cahaya padam.
***
- Berlanjut ke Bab 6 -
Bergegas, Sri Wedari turun dari dipan tempatnya tidur. Dengan tersaruk-saruk, wanita tua itu berusaha keluar dari gubuk. Suluh yang menyala kecil di tiang gubuknya bahkan tak mampu menerangi diri sendiri.Berdiri di tepi gubuknya, Sri Wedari mendongak langit. Rawung ternyata sudah menelan bulan seluruhnya. Yang tersisa hanya cincin samar di gelapnya langit.“Usir Rawung itu!”“Usir!”“Usir!”Teriakan warga makin riuh. Kentongan dipukul kian ribut. Bebunyian segala macam benda meningkahi di sela-sela keributan itu. Sri Wedari meraba-raba dan menemukan kentongan miliknya sendiri. Sejenak kemudian, ia mulai mengikuti warga dukuh lainnya untuk bersama-sama mengusir Rawung, dan memaksa raksasa marah itu memuntahkan kembali bulan yang sudah ditelannya.Warga dukuh percaya, Rawung takut pada ribut kentongan dan bubunyian. Jadi, Sri Wedari mulai ikut berteriak di sela-sela hajarannya pad
Perempuan itu kembali mencoba untuk meraih dan mengangkat bayinya, saat tiba-tiba si bayi mulai menendang-nendang pasungan Dasimah. Gerakan menendang-nendang si bayi pada pasungan seolah disengaja. Dasimah kembali dibuat tak percaya jika tidak menyaksikan sendiri. Tendangan si bayi sepertinya memiliki tenaga tambahan. Pada satu ketika, setelah kaki kecilnya menendang beberapa kali, kunci pasungan Dasimah tiba-tiba terbuka. Perempuan itu terbelalak besar. Tak menunggu, segera disingkirkannya pasangan kayu pasungan sebelah atas agar ia bisa membebaskan kakinya. Dasimah merasa merdeka. Ia lega karena baru saja terlepas dari pasungan yang membelenggunya selama tujuh hari itu. Dasimah mengusap-usap kedua kakinya yang selama tujuh hari ini dipaksa terjulur kaku. Ia lega karena tidak merasakan sebarang sakit pada sepsang kakinya. Matanya lalu bersitatap dengan mata si bayi. Terbayang di kepala Dasimah akan kejadian malam pertama ia dipasung di gubuk, ketika sosok je
Nagri Jaya Dwipa, Delapan Tahun Sebelumnya .... Saat ini adalah hari pertama bulan ketiga di Nagri Jaya Dwipa. Gerimis tipis menyelimuti setiap sudut istana yang menjadi pusat pemerintahan nagri itu. Musim penghujan memang sedang melanda seluruh penjuru. Di balairung istana Diraja Nagri Jaya Dwipa, Raja Rajendra Sanjaya terlihat murung. “Panggil Lopita Zora dan suruh dia menghadapku segera!” Raja Rajendra Sanjaya yang tampak gelisah dan kurang tidur, memberi perintah pada pengawalnya. Yang diperintah segera saja mencari orang bernama Lopita Zora. Sosok molek seorang wanita muncul tak lama kemudian di balirung istana. Raja itu segera saja berucap, “Kupikir kau sudah tahu mengapa aku memanggilmu ke sini, Lopita Zora. Wanita cantik molek yang dipanggil Lopita Zora, tersenyum penuh misteri. Dengan gerakan menggoda, ia mengibaskan sejumput rambut yang menutupi wajahnya. “Paduka, apakah ada kaitannya dengan aura wajahm
Dengan demikian, seluruh warga Dukuh Telagasari pun gempar mendengar pengumuman tersebut. Para orang tua berlari ke sana kemari, memanggil serta mencari anak laki-laki mereka yang telah berusia tujuh belas tahun atau lebih. Rata-rata mereka sedang bekerja di sawah, atau pun sedang mencari pakan untuk ternak. Perintahnya sudah jelas, agar para pemuda itu menghentikan kegiatan dan segera menghadap Patih Jayaprana. Dalam sekejap, lapangan tempat Jayaprana berada telah dipenuhi oleh puluhan pemuda yang akan menjadi calon prajurit Nagri Jaya Dwipa nantinya. Pandangan sang patih dengan tajam menyapu seluruh kerumunan pemuda di hadapannya. “Masih ada satu orang lagi yang belum datang! Segera ca
“Kau tidak lihat kembang ranum yang siap memanjakan kita siang ini?” tanya kepala prajurit yang taadi dipanggil sebagai Ki Wira. Pandangan Tumanggala pun melirik ke arah Utari yang masih menangisi mayat suaminya bersama sang putri. “Benar juga katamu, Ki. Sudah lama sejak terakhir kali aku bersenang-senang dengan seorang wanita.” Tumanggala menyeringai penuh nafsu. “Ayo kita seret saja dia ke gubuk itu!” Otaknya yang telah kotor bisa menebak secara pasti apa yang diinginkan oleh kepala pasukannya. Kaki tangan Patih Jayaprana itu bergegas menghampiri Utari yang tak berdaya. Keduanya mencengkeram pergelangan tangan wanita malang itu di kiri dan kanan. “Bunuh saja kami! Bunuh!” pekik Utari saat merasakan pergelangan tangan kedua pasukan itu di tubuhnya. “Tenang saja, cantik. Setelah kita bersenang-senang, permintaanmu akan kukabulkan.” Ki Wira tertawa besar. “Jangan ganggu ibuku!” teriak Pujar
Pujaratih yang tak berdaya masih dalam keadaan ketakutan. Niatnya untuk menjangkau balok kayu yang tergeletak di dekat mayat sang ibu tidak dapat terlaksana. Ia merasakan pandangannya kian kabur. Pujaratih telah kehabisan tenaga karena duka yang dalam. Hari ini, di depan matanya sendiri, kedua orang tuanya dibantai secara keji oleh manusia-manusia biadab. Antara sadar dan tidak, gadis cilik itu seolah mendengar tawa berderai entah dari mulut siapa. “Hik ... hik ... hik! Dasar patih cabul! Tidak kesampaian berbuat keji pada ibunya, kini kau pula hendak mengambil anaknya. Benar-benar terkutuk kau Jayaprana. Manusia macammu seharusnya tidak pernah dilahirkan ke muka bumi!” Suara itu seoalah berasal dari delapan penjuru angin. Jayaprana kebingungan menebak dari arah mana ucapan yang meremehkan dirinya itu berasal. “Jahanam! Tunjukkan dirimu, pengecut!” teriak Jayaprana marah. Jawaban dari teriakan sang pat
Lopita Zora masih berdiri membelakangi Rajendra Sanjaya.“Lalu apa saranmu, Lopita Zora? Aku mau sosok keparat itu dapat dibumihanguskan dari dunia ini. Agar tak lagi ada pihak yang berani-beraninya mengusik kekuasaan Rajendra Sanjaya, manusia paling agung dalam Trah Sanjaya.”“Kepung, dan tangkap dia!” jawab Lopita Zora sambil berjalan meninggalkan Sang Maharaja.Rajendra Sanjaya geram, amarahnya telah naik ke puncak kepala. Ia benar-benar merasa terusik dengan apa yang dikatakan oleh Lopita Zora. Raja yang sangat haus akan kekuasaan itu tak segan-segan memenggal kepala orang lain yang berani mencampuri urusan atau menebar ancaman terhadap kekuasaannya.Setelah berlalunya Lopita Zora, Rajendra segera mengumpulkan seluruh orang kepercayaannya, dan memberi titah, bahwasanya besok pagi harus bergerak sesuai arahan Lopita Zora, untuk menangkap dan membasmi sosok yang dipercaya sebagai pengganggu kekuasaannya itu.
Seratus tahun yang lalu, selepas pertarungan dahsyat melawan Badiran Wasesa yang membuat runtuh puncak Gunung Bakaraya, Sanatana yang sekarat dan tertimbun abu gunung masih mampu bertahan hidup. Jika bukan karena kesaktian ilmu yang dimilikinya, dengan kondisi semacam itu mestilah ia tak mampu selamat. Sanatana memutuskan untuk menghilang dari dunia persilatan dan menjadi pertapa Bakaraya yang kini hanya disebut Gunung Raya itu, tepatnya di dalam sebuah ceruk di balik air terjun jernih sebelah Barat Gunung Raya. Seratus tahun lamanya ia mencoba mengumpulkan kembali tenaganya, serta memurnikan lagi semua kemampuan beladiri dan kesaktiannya. Selama kurun itu, dunia persilatan perlahan-lahan melupakan nama sosok manusia setengah dewa pemilik Ajian Suci Darah Bulan, Sanatana. Namun tak dinyana hari ini di tengah pertapaannya, segerombolan manusia yang konon adalah utusan penguasa Nagri Jaya Dwipa, menyatroni tempatnya dan mengusik tapa geni yang sedang ia lakukan
"Apa, bu? Patih Jayaprana mencari aku?" Arya pun menghampiri ibunya. Arya sepertinya tidak takut akan cerita kejamnya mahapatih Nagri Jaya Dwipa tersebut."Jangan macam-macam, Arya! Ibu tidak mau kau celaka. Ibu tahu siapa Patih Jayaprana itu, orang keji dan tanpa belas kasihan pada orang lain," sambung Dasimah."Lalu, bagaimana jika mereka datang kemari, Bu?""Jangan sampai mereka mengetahui kalau anak yang mengalahkan Sagara Caraka itu dirimu!""Mere
Arya terperangah mendengar jawaban si gadis. Selama ini, ia tak pernah melihat gadis tersebut berada di Telagasari. Dukuh kecil itu tak memiliki banyak warga. Arya sangat hapal wajah-wajah warga Dukuh Telagasari, walaupun tak mengetahui seluruh nama mereka.Benarkah si gadis juga berasal dari dukuhnya? Bisa jadi benar. Arya yang belum lama hadir di dukuh itu tentu saja tidak tahu menahu tentang orang-orang yang datang dan pergi sebelum kelahirannya yang ajaib dan menggemparkan.“Jadi, Nisanak orang Telagasari? Kenapa aku tak pernah melihatmu selama ini?” tanya Arya balik kepada si Gadis.“Tentu saja kau tak tahu dan mengenal siapa aku. Usiamu saja masih bocah. Sedangkan kejadian memilukan itu terjadi delapan tahun yang lalu.”
Buukk!Buukk!Dua jotos kembali beradu. Arya terjajar satu tindak ke belakang. Siapa pun lawannya dalam memperebutkan rusa itu, Arya yakin kalau ia bukanlah pendekar biasa.Sekarang Arya mengawasi sosok asing bercaping di depannya. Wajah orang sejauh ini masih tersembunyi di bawah caping lebar yang dikenakan. Yang bisa dilihat Arya hanya pakaian ungunya saja dan sembulan sesuatu di balik punggung. Jika bukan pedang, pastilah itu senjata mustika jenis lainnya milik si pendekar asing ini.“Kisanak, mohon mundur. Aku yakin kalau akulah yang melihat rusa ini lebih dulu.” Arya berujar sopan.“Matamu rabun, bocah! Apa kau tidak melihat kalau tombakkulah yang menancap lebih dulu di leher rusa itu daripada panahmu.”Arya sejenak terkesiap. Itu adalah suara lembut seorang wanita. Ia telah salah mengira dan memanggil pendekar itu dengan kisanak.“Ah, maaf, Nisanak, meskipun begitu,
"Arya, kau dari mana saja?"Dasimah mencegat Arya saat putranya itu muncul di pekarangan, wajahnya pucat. Dia lalu melirik pada pakaian sang putra yang basah sebagian.“Dari pantai, Ibu,” jawab Arya singkat lalu menyalami ibunya. Ia tidak ingin membuat ibunya makin khawatir, sengaja tidak diceritakannya kalau dia baru saja bertarung dengan segerombol perompak ganas di pantai.“Dari pantai? Jadi omongan warga kalau kau yang bertarung dengan Sagara Caraka itu benar?”Percuma saja. Selalu begitu. Meski Arya tak pernah memberitahukan pada sang ibu setiap kali dia berkelahi dengan orang jahat, sang ibu selalu saja tahu. Arya tersenyum menanggapi kekhawatiran ibunya. Seperti selalu, ternyata kabar sudah lebih dulu tiba di rumahnya sebelum ia sendiri sampai di sana. Benar-benar cepat sekali kemampuan warga dukuhnya dalam hal meneruskan kabar berita.“Arya, kali ini Ibu benar-benar meminta kamu b
Tak punya pilihan lain, dia melepaskan rantai gada itu dan melompat jumpalitan di udara untuk menyelamatkan diri. Gada itu melesat sejengkal di bawah kakinya dan menghatam telak salah satu anak buah sang rampok.Pemadangan itu sedikit menciutkan nyali Sagara Caraka. Di lantai perahu besar, anak buahnya yang terkena sambaran gada terbaring megap-megap dengan dada hancur. Anak buahnya yang lain berdiri dengan lutut gemetar menyaksikan nasib salah satu teman mereka.“Bocah Edan! Katakan siapa kau sebenarnya?"Si bocah yang masih berdiri tenang pada tali pengikat layar menatap lurus pada Sagara Caraka. “Kalau kalian tidak segera enyah dari pantai ini, sesaat lagi kau boleh menganggapku malaikat maut.”“Cuih! Omong besar!”Sagara Caraka menggembor marah. Dia menendang lantai perahu lagi dan sosoknya serta merta melesat kembali menuju bocah di atas tali. Di tengah perjalanan, ketua rampok dan bajak
"Jarah, lalu tenggelamkan mereka semua sampai mampus!"Perahu-perahu nelayan itu sedang nahas hari ini. Padahal mereka hampir saja mencapai pantai. Sayangnya, seperti kabar yang beredar, bahwa perahu besar menakutkan dengan bendera hitam bergambar tengkorak bersilang itu bisa muncul kapan saja dari dalam laut. Mencuat keluar begitu saja tanpa tanda-tanda.Persis hantu.Wuuusss!Buumm!Detik itu juga, Laut Utara yang semula tenang mendadak bergolak karena ledakan besar itu. Sebuah perahu nelayan langsung terjungkal setelah dihantam satu batu besar. Isinya, beberapa tong ikan berikut empat orang nelayan terlontar berhamburan di udara, sebelum terjun bebas ke dalam laut."Jahanam! Siapa yang melontarkan batu, hah?!" Sagara Caraka naik berang dan memaki anak buahnya. "Dasar tolol! Jarah dulu hasil tangkapan mereka, baru kemudian tenggelamkan dengan batu!" hardiknya dengan murka.Sekejapan saja, perahu-perahu kec
Si nenek kini sudah berdiri di depan Pujaratih, wajahnya tampak puas. Senyum mengembang dari raut wajahnya yang telah tampak renta, melihat perkembangan cucu angkat sekaligus muridnya itu.Pujaratih segera membungkuk hormat di hadapan Nini Kipas Pelangi. “Apa ini artinya saya sudah boleh meninggalkan Lembah Akhirat, Nek?” bertanya Pujaratih.Nini Kipas Pelangi lalu tersenyum penuh arti. Diusapnya kepala Pujaratih yang masih membungkuk di depannya. “Ayo kita beristirahat di gubuk.”Setelah mengeluarkan beberapa ajian dan kesaktian di ajang latihan itu, keduanya cukup merasa letih. Nini Kipas Pelangi sudah cukup puas dengan apa yang telah dicapai maupun dikuasai oleh Pujaratih. Rasa letih itu yang membawa mereka untuk beristirahat sejenak.Di dalam gubuk yang berupa balai-balai berdinding bilah bambu, kedua orang itu duduk berhadap-hadapan. Wajah mereka terlihat serius.“Pujaratih ....” Si nenek membuka suara. &ldq
Lembah Akhirat, delapan tahun setelah peristiwa tragis yang menimpa Panca dan Utari di Dukuh Telagasari.***Buumm!Sebuah ledakan dahsyat membahana di dasar lembah yang tertutup hutan lebat. Satu pohon besar berderak tumbang setelah terhantam pukulan. Satu sosok ramping berpakaian ungu berkelebat dengan cepat. Kakinya berpijak dari satu pucuk semak ke semak berikutnya. Siapa pun ia, ilmu meringankan tubuhnya pasti sangat bagus.Berlari laksana terbang, sekali lagi ia menghantam dengan cara mendorong tangan kanannya. Selarik sinar ungu pudar membubut ke depan, kali ini menyasar sebongkah batu besar yang berjarak belasan tombak dari posisinya menyerang.Buumm!Seketika bongkahan batu besar itu hancur berkeping-keping. Sosok ramping berpakaian sutra ungu itu membuat gerakan jumpalitan di udara. Bak kapas, tubuhnya tampak mengambang saat turun menjejak rerumputan.Saat sudah menjejak tanah, jelas lah terlihat jika ia ada
Rajendra Sanjaya menunggu dengan gelisah. Sudah larut malam namun sosok Lopita Zora belum juga terlihat. “Apa dia menemui kesulitan?” lirih Rajendra Sanjaya sendirian. “Mungkin sebaiknya aku pergi mencari.” Baru saja ia memutuskan untuk menyusul Lopita Zora menuju lereng Utara Gunung Raya, orang yang dicari muncul di sana. Lopita Zora berkelebat dan menjejakkan kaki di depan sang raja. “Kau berhasil menemukannya?” tanya Lopita Zora sambil menurunkan buntalan kainnya dari bahu. “Tulang belulangnya sudah di dalam,” menjawab Rajendra Sanjaya. “Mengapa kau lama sekali, Lopita Zora?” “Kau tahu sendiri, Paduka, lereng Utara lebih curam dan hutannya lebih lebat. Perjalananku tidak mudah.” Tidak berkata apa-apa lagi, kedua orang itu masuk ke ceruk gua yang sudah setengah hancur dan segera menyusun tulang belulang yang mereka bawa. “Kau yakin ini akan berhasil, Lopita Zora?” tanya Rajendra Sanjaya. “Percayalah padaku,” jawab Lop