Lupakan Harry! Malam itu juga, Sarra menghubungi Lerina, meminta bantuan agar kakak iparnya itu mau menolongnya."Bagaimana aku harus menanyakannya?" Lerina sendiri bingung harus memulai dari mana dan lagi Philip tentu akan bertanya kenapa Lerina bertanya tentang masa lalunya."Aku butuh bantuanmu, Kak. Ini penting untuk mengetahui masa lalu itu. Apa kakak tahu, Paula selalu berusaha mencelakaiku." Sarra memilih jujur dengan Lerina karena ia yakin hanya kakak iparnya ini saja yanv bisa ia bagi tentang rahasia."Astaga! Sarra sebaiknya Kau pulang dan lupakan Harry!" Lerina jadi takut membayangkannya. Ia jadi menyesal telah membantu Sarra untuk pergi."Please!" mohon Sarra lagi, "ini harus, segera di akhiri," katanya lagi."Dengan mengorbankan nyawamu?" Lerina menolak dengan tegas, "tidak Sarra, cepat kembali sebelum keluaga kita mengetahuinya." Lerina terdengar marah."Kakak, ini sudah terlanjur, Paula sudah terlalu jauh mengusik ketenanganku." Sarra tetap bersikeras."Di duni
Keresahan Laura Semua orang yang telah menjauh dari gedung, menatap pada ketinggian, pasalnya waktu sepuluh menit yang terdengar tadi sudah hampir habis.Terjadi ketegangan di setiap mereka, tatkala waktu terus berjalan tak terkecuali Kimmy dan Tobias tanpa sadar saling memeluk erat."Bagaimana nasib Sarra?" ucap Kimmy yang sudah menangis. Meski baru bertemu sebentar tetap saja ia sangat khawatir.Paula sudah tidak berdaya lagi membayangkan Harry yang akan tewas terpanggang api. Ia luruh ke tanah, namun sebelum itu Rodriguz menahan tubuhnya, ia menarik Paula ke dalam pelukannya.Perasaannya hancur karena ia sendirilah yang merencanakan semua ini, membuat Sarra tewas dengan terbakar di gedung tua yang jauh dari jangkauan manusia. Semuanya berubah di akhir, Harrynya, Harrynya datang dan ingin menyelamatkan putri dari orang yang paling ia benci.Tiba-tiba Paula tersadar, ia menjauhkan dirinya dari Rodriguz, matanya menyalang murka pada pria itu. Paula mengacungkan telunjuknya tepa
Percobaan Bunuh Diri Sebuah hunian yang tidak terlalu besar, namun asri di dekat hutan. Tempat ini lebih mirip di katakan vila. Harry membantu Sarra mengemas pakaian mereka ke dalam lemari, setelahnya menuju dapur untuk menyimpan kebutuhan dapur yang sempat mereka belanjakan tadi."Aku lapar!" keluh Sarra sambil mengelus perutnya."Mandilah, aku akan menyiapkan makanan," ucap Harry.Sarra tetap bergeming, "Memangnya Kau bisa memasak?" Sarra malah memperhatikan Harry yang kembali membuka kulkas.Harry tegak di hadapannya, "Kau meragukanku?" Harry kembali bertanya kedua alisnya terangkat."Aku tidak yakin." Sarra melipat kedua tangannya di dada.Harry membungkukkan sedikit tubuhnya agar menyamai tinggi Sarra, ia lalu berbisik, "Bagaimana kalau aku berhasil?"Sarra sedikit bergidik, bisikan Harry terdengar sensual di telinganya."A-aku akan memberikanmu hadiah," kata Sarra sedikit gugup."Baiklah, aku yang akan memutuskan hadiahnya." Harry menyeringai. "Hah! Ma-mana bisa begitu,
Menjemput Sarra Setelah pertempuran antara Han dan Lerina usai, ibu dua anak itu terkulai hingga memejamkan matanya.Lerina tertidur.Saat itulah Han mengambil ponsel sang istri dan membuka daftar panggilan terakhir.Sarra.Han sudah sedikit curiga, istrinya mengetahui sesuatu tentang adiknya itu. Han membersihkan diri sebentar lalu pergi ke ruang kerja dengan membawa ponsel itu.Ia melakukan panggilan ke nomor Sarra.Tidak butuh waktu lama, Sarra, mengangkat panggilan itu."Halo, Kak! Bagaimana, apa sudah menanyakannya pada ibu atau ayah?" Sarra terus memberondongnya dengan pertanyaan tanpa tahu siapa, di balik penelpon itu."Halo! Halo!" Sarra menatap panggilan yang masih tersambung, tapi sejak tadi kakak iparnya itu tidak berbicara sama sekali."Ha ...,"Belum sempat Sarra menyapa kembali sambungan sudah di putus oleh Lerina. Ia menjatuhkan dirinya di sofa."Ada apa?" Harry yang semula merebahkan diri mendudukkan dirinya di sisi sang kekasih."Kakak ipar tidak menjawab uca
Menyusul Sarra Mereka berlima duduk dalam diam setelah Sarra mengatakan kalau Paula adalah ibu dari Harry."Tinggalkan dia, ibu tidak setuju Kau menikah dengannya?" tegas Laura. Satu nama 'Paula' berhasil mengubah keputusannya yang setuju kalau Harry menjadi menantunya."Kenapa dengan Paula, apa alasan ibu melarangku bersama, Harry?" Sarra melihat ini waktu yang tepat untuk mengorek informasi."Tidak, pokoknya ibu tidak setuju," tegas Laura seraya berdiri."Katakan alasannya, Bu. Setidaknya aku punya alasan untuk meninggalkan Harry." Sarra tetap ngotot ingin mengetahuinya."Cukup Sarra, jangan bertanya lagi. Sebaiknya turuti perkataan ibu. Aku akan mengenalkanmu dengan anak teman ibu. Bersiaplah untuk pernikahan."Bukan hanya Sarra saja yang terkejut, tetapi Lerina juga Han sedangkan Philip sejak tadi tidak bersuara lagi."Ibu, tidak segampang itu menyuruh Sarra menikah." Han kurang setuju dengan keputusan ibunya yang terkesan tiba-tiba."Diam, Han! Cukup dukung ibu. Ini demi
Aku Tidak Ingin Menikah "Kita pergi sekarang!" perintah Paula pada anak buahnya yang sekaligus merangkap sebagai sopir."Kita menyusul mereka?" Perintah itu kurang jelas bagi anak buahnya."Kau pikir aku akan menemuinya bersama istrinya? Kembali ke penginapan!" titah Paula, ia, terlihat gusar. Sudah beberapa hari ia mengintai Philip, namun pria itu selalu keluar bersama istrinya.Paula hanya ingin bertemu dengan Philip."Bawa aku ke tempat Harry!" pinta Paula lagi yang tiba-tiba merubah arah. Anak buahnya hanya pasrah mengikutinya.Sampai di sebuah hotel Paula masuk dan menanyakan kamar Harry. Resepsionis memberitahu setelah ia mengatakan sebagai ibunya Harry.Tidak menunggu lama, Harry segera membuka pintu kamarnya, masuklah Paula beserta satu anak buahnya.Harry tidak terkejut sama sekali, ia sudah menduga hal ini."Apa yang ibu lakukan di kota ini?" Harry terlihat tidak ramah."Memastikan putraku, apakah dia baik-baik saja atau tidak," jawab Paula enteng.Sumpah! Harry
Bawa Aku Pergi Dari Sini! Anehnya lagi setelah bertukar sapa dengan Rivera, Dimitri justru ingat kejadian malam itu, di mana ia sedang mabuk dan bermalam dengan Patricia.Entah kenapa Dimitri merasa ada sesuatu yang telah terjadi meskipun Patricia bersikap biasa dan mengatakan tidak ada apapun yang terjadi seperti dugaannya. Dari pada memikirkan hal itu, Dimitri memilih pergi untuk menghadiri pagelaran busana yang di adakan di salah sebuah gedung di Rusia. Bukan hanya tentang busana, melainkan bakat yang lainnya juga.Dimitri sudah tiba di sana dan dia langsung di sambut oleh para kru yang mengatur acara. Terlihat ada Patricia dan asistennya, tetapi wanita itu hanya menoleh sebentar. Seperti tidak pernah bertemu dengan Dimitri.Dimitri pun memilih untuk masuk ke dalam duduk di bagian depan agar bisa secara langsung menyaksikan acara.Hingga selesai, acara berjalan dengan lancar, tampak senyum kepuasan dari orang-orang yang terlibat di sana.Patricia tampak bercakap-ca
Laura Pingsan"Kita tidak punya waktu, kita harus pergi dan lari dari negara ini." Sarra menggenggam tangan Harry. Sungguh ia tidak siap menerima pernikahan yang akan digelar dua hari lagi."Restu paman dan bibi sangat penting untuk hubungan kita." Harry tidak setuju begitu saja. Meski tidak ingin kehilangan cintanya, tetapi Harry berat melakukan apa yang diminta oleh Sarra."Restu?" Sarra mendecih lucu, "Mereka sama saja dengan ibumu, mereka terlalu egois karena masa lalu." Terlihat kilat amarah di sinar mata Sarra. Tak dipungkiri saat ini ia sedang kecewa dengan kedua orang tuanya. "Tapi,""Harry jangan banyak berpikir, tidak ada jalan lain untuk kita." Sarra sangat mendesak. Ia tidak mau kesempatan ini hilang begitu saja. Dengan sorot permohonan ia memegang kedua tangan itu.Harry menarik nafasnya sesaat. Tanpa berkata apapun ia menggenggam tangan lembut Sarra lalu akan membawanya keluar kamar. Sebelum memutar kunci pintu. Sarra tampak bingung, segera ia menyentak tangannya