“Kamu tinggal di daerah ini?” tanya Arman saat ia sampai di daerah tempat tinggal Sarah. Bukan daerah elit, itu adalah tempat dimana orang miskin dan penjahat berkeliaran.
Sarah tidak menjawab, ia berusaha keluar, tapi tidak bisa. Pintunya dikunci secara otomatis oleh Arman.
“Kita belum menyelesaikan transaksi kita, Sarah.” Arman mengingatkan.
“Aku tidak butuh uangmu.”
Arman tertawa lebar. “Ayolah, tak ada yang gratis. Apalagi mengingat Devon yang tampak begitu puas. Katakan berapa nominalnya maka aku akan segera mentransfernya.”
Sarah menatapnya dengan tatapan marah “Pergilah kalian ke neraka.” Geramnya setengah tak terdengar.
“Apa?”
“Saya mohon, saya hanya ingin keluar.”
“Tidak bisa. Katakan saja berapa nominalnya, dan kamu bisa pergi dari sini.”
“Saya nggak mau. Tolong saya ingin pulang, dan jangan ganggu saya lagi.”
“Kamu yakin dengan keputusanmu? Devon akan membayarmu berapa saja. pikirkan lagi, dan sebut nominalnya.”
“Saya nggak mau!” akhirnya Sarah berseru keras. “Biarkan saya pulang, dan saya nggak akan ganggu kalian lagi.”
Arman mempertimbangkan. Kemudian ia tak dapat berbuat banyak. Ia menuruti kemauan Sarah dan melepaskan wanita itu.
Sarah keluar dari dalam mobilnya, dan berjalan cepat memasuki sebuah gang dan wanita itu tak tampak sekalipun menolehkan kepalanya ke belakang.
Pada saat bersamaan, ponsel Arman berbunyi, nama Devon terpampang di sana dan Arman segera mengangkatnya.
“Iya?”
“Sudah kamu lakukan?”
“Ya.”
“Berapa yang dia mau?”
Arman ragu. “Belum pasti.”
“Maksudnya?”
“Dia masih memikirkannya.” Arman berbohong. Ia tahu benar bagaimana watak Devon. Jika Devon tahu bahwa wanita itu tidak mau dibayar, maka ia akan habis ditangan lelaki itu.
“Well, beri dia dengan harga yang pantas. Kalau perlu tambah tip untuknya. Dia masih perawan.” Ucap Devon terdengar puas.
Setelah itu, panggilan di tutup. Arman tercenung mendapati kenyataan tersebut, perempuan itu, pasti bukan perempuan biasa. Masih perawan dengan lingkungan hidup yang seperti itu. Miskin tapi tak menginginkan uang. Sebenarnya, apa yang diinginkan perempuan itu?
Tak ingin mengambil resiko, Arman akhirnya menghubungi seseorang, meminta orang tersebut untuk mengawasi setiap gerak-gerik wanita itu. Jika ada hal buruk yang akan atau ingin dilakukan wanita itu, agar Arman dan Devon bisa bertindak secepatnya. Ya, sepertinya ide itu lebih baik.
***
Semuanya terjadi begitu cepat, arman bahkan sudah melupakan tentang wanita itu. Pun dengan Devon yang tampak asik dengan dunianya dan tidak lagi memikirkan tentang perempuan yang bernama Sarah. Hingga Lima bulan kemudian, saat Devon dan Arman kembali ke Bali untuk meresmikan salah satu hotel milik DS Group, perusahaan milik keluarga Daniswara, perempuan itu muncul kembali.
Arman saat itu mendapat kabar dari orang yang ia suruh. Bahwa wanita itu datang ke tempat dimana acara akan dimulai. Arman mengerahkan beberapa pengawal untuk mencekal kehadiran wanita itu. Dan Arman memilih menemuinya sebelum Devon tahu keberadaan wanita ini dan murka dibuatnya.
Pada saat Arman menemuinya, wanita itu benar-benar tampak menyedihkan. Dan sedang… Astaga, hamil?
Arman benar-benar terkejut dibuatnya. Seorang wanita berpostur tubuh mungil sedang dicekal oleh kedua orang pengawal yang ukuran tubuhnya berkali-kali lebih besar dibandingkan perempuan tersebut.
“Lepaskan dia.” Arman yang tak tega melihatnya akhirnya menyuruh untuk melepaskan kecalan pada wanita itu. “Apa yang kamu lakukan di sini?” tanya Arman dengan nada tajam.
“Saya, saya hanya ingin melakukan kebenaran.”
“Kebenaran apa? Kebenaran tentang kehamilanmu?”
Sarah menunduk malu.
“Dengar. Kalau Devon tahu kamu ada di sini, dan dalam keadaan seperti ini, maka kita berdua akan habis ditangannya.”
“Tapi saya harus memberitahunya.”
“Dan berharap dia bertanggung jawab? Yang benar saja. jangan mimpi kamu! Kamu nggak tahu siapa dia?”
Tentu saja Sarah tahu. Setelah tahu bahwa dirinya hamil, Sarah terpuruk selama berminggu-minggu. Lalu ia mencoba bangkit, mencari pekerjaan baru, bagaimanapun juga, ia akan membutuhkan uang untuk menopang hidup dan untuk berjuang dengan anaknya kelak. Dan ketika Sarah sibuk mencari lowongan pekerjaan di surat kabar, Sarah melihat lelaki itu di sana. Di kolom sebuah berita terpampang jelas wajah tampan lelaki itu.
Devon Daniswara namanya, putera sulung dari pemilik DS Group yang sukses di berbagai macam bidang. Sarah tidak menyangka bahwa ia akan mengandung bayi dari pria sepenting itu. Lalu ia juga mendapati berita bahwa Devon akan kembali ke Bali untuk meresmikan salah satu hotelnya, dan itu terjadi pada hari ini. karena itulah Sarah datang, bermaksud untuk mengatakan kejujuran sebelum keberaniannya pupus. Tapi saat ia datang, ia sudah dicekal oleh banyak pengawal, seakan kedatangannya sudah diantisipasi.
“Dengar, Sarah. Saat itu saya sudah menawari kamu dengan uang, dan meminta agar kamu tidak kembali lagi. Tapi kamu menolaknya, lalu kenapa kamu sekarang kembali lagi?”
“Saya hanya ingin mengatakan yang sebenarnya, karena saya nggak mau dituduh menyembunyikan anak ini.”
“Kamu pikir Devon akan peduli? Jika dia tahu, bisa jadi dia akan membunuhmu, bahkan aku sekaligus.” Sarah tampak bergidik ngeri. Arman merasa bersyukur, karena lebih baik jika Sarah mengurungkan niatnya untuk bertemu dengan Devon. Tapi pada saat bersamaan, orang yang sedang mereka bahas akhirnya datang menghampiri.
“Ada apa ini?” tubuh Arman menegang seketika saat atasannya datang. Sial! Ia akan mati.
****
Bruuaaaakkkk….
Entah sudah berapa banyak perabotan di dalam ruangan tersebut hancur tertimpa tubuh Arman. Arman dipukuli habis-habisan oleh Devon setelah lelaki bertemu dengan sosok Sarah malam itu. Wajah Arman babak belur dibuatnya, tapi Arman tak sedikitpun berniat membalas apa yang dilakukan Devon.
“Brengsek kamu! Kamu bilang kamu sudah mengurus semuanya! Bagaimana bisa dia kembali lagi? Hah?!” serunya dengan marah.
Devon mencengkeram kemeja yang dikenakan Arman kemudian berujar dengan nada mengerikan.
“Dengar! Aku mau kamu segera membereskan semua kekacauan ini. Buat supaya dia mau aborsi, atau paling tidak, buat supaya apapun tentang wanita itu tidak berhubungan lagi denganku. Aku mau, tadi adalah terakhir kalinya dia menemuiku.” Ucap Devon penuh penekanan sebelum ia pergi meninggalkan Arman yang masih terduduk di lantai.
****
Siang itu, Devon berinisiatif untuk menemui anak Sarah. Entah kenapa setelah melihat anak itu dari jauh kemarin, sepanjang malam Devon terbayang-bayang oleh Sarah dan anaknya. Anak itu, benar-benar tampak mirip dengannya. padahal ia melihatnya dari seberang jalan.
Kini, Devon memutuskan untuk melihat anak itu lebih dekat lagi dari sebelumnya. Devon menekan bell yang ada di pagar rumah penitipan anak tersebut, lalu seorang keluar dan menuju ke arah pintu pagar.
“Ada yang bisa saya bantu, Pak?” tanya wanita paruh baya itu sebelum membuka pintu gerbang untuk Devon.
“Saya, saya…” Devon tidak tahu harus menjawab apa. “Saya ingin menemui seorang anak.”
“Ya, apa hubungan Anda dengan anak tersebut?”
“Saya…” Devon merasa ragu, “Saya pamannya.”
“Oh, bisa kami lihat KTPnya?” Devon akhirnya mengeluarkan KTPnya dan memberikan pada wanita tersebut. Setelah melihatnya, si wanita tersebut akhirnya membukakan pintu pagar untuk Devon.
“Jadi, siapa yang ingin Anda kunjungi?”
“Devano Andrian.” Menyebutkan nama anak kecil itu saja terasa sulit untuk Devon. Sial! Apa yang sedang ia lakukan ditempat ini?
“Ohh, Devano. Mari Pak masuk.” Akhirnya Devon mengikuti perempuan tersebut dan dipersilahkan duduk di ruang tengah.
Perempuan itu masuk ke dalam lalu tak lama kembali keluar dengan seorang bocah cilik. Bocah yang benar-benar mirip dengannya.
“Devano, ada Om pengen ketemu.”
“Om? Omnya Devano itu Om Putra.” Ucap bocah cilik itu pada si pengasuhnya.
Devon akhirnya bangkit dan mendekat. Ia menekuk lututnya hingga sejajar dengan Devano. Mata Devon mengamati bocah cilik itu. Rambutnya benar-benar cokelat alami, seperti miliknya. Kulitnya juga, wajahnya pun mirip, ditambah lesung pipi yang pasti didapat dari ibunya, dan matanya… Ya Tuhan! Bahkan tanpa tes DNA pun Devon tahu bahwa bocah di hadapannya ini adalah puteranya.
“Om, matanya sama dengan punya Devano.” Celetuk bocah cilik itu hingga mau tak mau membuat Devon sedikit menyunggingkan senyumannya.
Sial! Devon tak tahu perasaan apa yang kini sedang ia rasakan. Selama ini, ia tak pernah sekalipun berpikir untuk memiliki anak. Tujuannya untuk memiliki keturunan hanya dikarenakan oleh wasiat sialan yang ia terima dari mendiang ayahnya. Dan kini, saat seorang anak yang lebih cocok disebut sebagai kembarannya berdiri tepat di hadapannya, Devon ingin merengkuh anak itu, melindungi dari apapun yang membahayakannya, dan juga, menuruti apapun keinginannya. Devon tak mengerti perasaan apa yang sedang ia rasakan saat ini. satu hal yang pasti, bahwa Devon ingin memiliki anak ini. Entah karena wasiat, atau karena alasan lainnya.
-TBC-
Aku mengikuti saja kemanapun langkah kaki itu berjalan. Telapak tangannya mencengkeram erat lenganku, menyeretku menaiki anak tangga demi anak tangga. Aku tidak tahu dia membawaku kemana, dan aku tak peduli. Aku berada pada titik dimana aku tak peduli jika ada yang ingin membunuhku saat ini. Ya, semuanya sudah hancur, apa lagi yang perlu kuperjuangkan?Kami akhirnya sampai di depan sebuah pintu. Dia membuka pintu kamar hotel tersebut, menggelandangku masuk, kemudian mendorongku hingga terjerembab ke atas ranjang. Aku melihat ekspresinya murka. Dia melonggarkan dasinya, menyisingkan kemejanya, kemudian berjalan dengan mata marah ke arahku.Sungguh, lelaki ini begitu berbeda dengan lelaki yang mencumbuku sepanjang malam saat itu. Ya, bukan dia, aku tahu bukan sosoknya.“Berani-beraninya kamu mendatangiku? Kamu mau membuatku malu? Hah?!” serunya keras.Aku mencoba mengendalikan diri agar tak terlihat terpengaruh atau terintimidasi dengan sikap kasarnya.“Aku hanya ingin memberitahukan se
Lima tahun kemudian….Devon membanting berkas di hadapannya. Ini sudah yang ke sekian kalinya, dan percobaannya gagal. Padahal, batas waktu yang ditentukan sudah semakin dekat. Tapi hingga kini, ia belum juga mendapati seorang yang tepat, dan mampu mengandung benihnya.Semuanya berawal ketika Tiga tahun yang lalu, adik dan Ayahnya meninggal dalam sebuah kecelakaan. Sialnya, sebelum meninggal, Sang Ayah sudah menuliskan wasiat, bahwa sebelum usianya menginjak 37 tahun, ia sudah harus berkeluarga, minimal, ia harus memiliki istri dan seorang anak untuk meneruskan nama keluarga mereka, Daniswara. Karena jika tidak, maka seluruh aset keluarga Daniswara akan disumbangkan untuk beberapa yayasan tempat dimana ayahnya biasa menjadi donatur. Devon yang memang tidak memiliki keiginan untuk berkeluarga hanya bisa mengumpat habis-habisan. Ia menyesali, kenapa adiknya harus mati? Kenapa ayahnya harus meninggalkan wasiat sialan itu? Selama ini Devon merasa senang dengan kehidupannya yang bebas, ta
Tanpa banyak bicara, Devon segera menyambar bibir ranum wanita itu, melumatnya dengan kasar, mencumbunya secara membabi buta. Sial! Gairah benar-benar sedang menyelimutinya. Membakar habis semua logikanya.“Dev, Dev.” Arman mulai memanggil nama Devon saat melihat atasannya itu tampak tak dapat mengendalikan dirinya. Arman akhirnya mendekat karena Devon tidak mengindahkan paanggilannya.“Tuan.” Ucap Arman sembari menghentikan aksi Devon dengan cara menepuk bahu lelaki itu.Devon menghentikan aksinya, melepaskan tautan bibirnya dari bibir Sarah, kemudian ia menolehkan kepalanya ke belakang, menatap Arman dengan tatapan membunuhnya.“Ada apa?”“Jangan di sini.” Arman mengingatkan. Jika Devon ingin bercinta dengan perempuan ini, maka Devon tidak bisa melakukannya di ruangan ini.Devon mendengus sebal. Ia tidak bisa melepaskan perempuan di hadapannya ini. tidak ketika gairahnya sudah memuncak hingga nyaris meledak.“Di belakang, ada kamar hotel yang disediakan oleh tempat ini. kamu bisa m
Devon baru saja selesai rapat ketika jam makan siang telah tiba. Ia mengerutkan keningnya ketika mendapati Arman masuk ke dalam ruangannya. Biasanya, lelaki itu hanya akan masuk saat ia memanggil dan membutuhkannya. Jika lelaki itu masuk atas kemauannya sendiri maka pasti ada hal serius yang ingin dia bahas. “Kuharap apa yang kamu bahas adalah hal penting.” Ucapnya dengan nada angkuh. Memang, ia dan Arman cukup dekat. Lelaki itu adalah kaki tangannya, kepercayaannya. Tapi ada satu sisi dimana Devon ingin menekankan kalau lelaki itu adalah bawahannya yang tak bisa seenaknya keluar masuk apalagi pada Jam bebas seperti saat ini. “Tentang kemarin.” Jawab Arman. Devon mengangkat sebelah alisnya. Kemarin? Ah ya, kemarin mereka memang sedang membahas tentang wanita sialan bernama Sarah. Wanita yang ia curigai sebagai seorang yang sudah mengutuknya hingga sesial ini. “Tentang wanita itu?” tanya Devon kemudian. “Ya.” Kemudian Arman menyodorkan sebuah map yang sejak tadi ia bawa. “Jika
Devon masih setia mengamati Sarah. Wanita itu tampak berjalan meninggalkan tempat kerjanya dengan membawa sekantung sampah. “Apa kita akan mengikutinya?” tanya Arman kemudian.“Kamu tahu dia mau kemana?” Devon bertanya balik tanpa melepaskan pandangannya dari bayangan Sarah yang semakin menjauhi tempat kerjanya.“Menurut catatan, sepulang kerja, dia akan menjemput anaknya di tempat penitipan anak.”“Apa? Jadi anak itu dititipkan di penitipan anak?”“Apa yang kamu harapkan? Berharap dia menyewa babysitter? Bahkan untuk makan sehari-hari saja dia pas-pasan.” “Brengsek!” Devon mengumpat pelan. Ia tidak marah karena ucapan Arman yang terang-terangan. Arman memang seperti itu. Ketika lelaki itu bersikap formal, maka ia akan bertindak begitu profesional, tapi ketika lelaki itu bersikap seperti ini terhadapnya, maka tandanya Arman sedang memposisikan diri sebagai temannya.“Jadi?” Arman bertanya lagi.“Langsung saja ke tempat anak itu.” Akhirnya Arman menuruti semua perintah dari Devon.**
“Kamu tinggal di daerah ini?” tanya Arman saat ia sampai di daerah tempat tinggal Sarah. Bukan daerah elit, itu adalah tempat dimana orang miskin dan penjahat berkeliaran.Sarah tidak menjawab, ia berusaha keluar, tapi tidak bisa. Pintunya dikunci secara otomatis oleh Arman.“Kita belum menyelesaikan transaksi kita, Sarah.” Arman mengingatkan.“Aku tidak butuh uangmu.”Arman tertawa lebar. “Ayolah, tak ada yang gratis. Apalagi mengingat Devon yang tampak begitu puas. Katakan berapa nominalnya maka aku akan segera mentransfernya.”Sarah menatapnya dengan tatapan marah “Pergilah kalian ke neraka.” Geramnya setengah tak terdengar.“Apa?”“Saya mohon, saya hanya ingin keluar.”“Tidak bisa. Katakan saja berapa nominalnya, dan kamu bisa pergi dari sini.”“Saya nggak mau. Tolong saya ingin pulang, dan jangan ganggu saya lagi.”“Kamu yakin dengan keputusanmu? Devon akan membayarmu berapa saja. pikirkan lagi, dan sebut nominalnya.”“Saya nggak mau!” akhirnya Sarah berseru keras. “Biarkan saya
Devon masih setia mengamati Sarah. Wanita itu tampak berjalan meninggalkan tempat kerjanya dengan membawa sekantung sampah. “Apa kita akan mengikutinya?” tanya Arman kemudian.“Kamu tahu dia mau kemana?” Devon bertanya balik tanpa melepaskan pandangannya dari bayangan Sarah yang semakin menjauhi tempat kerjanya.“Menurut catatan, sepulang kerja, dia akan menjemput anaknya di tempat penitipan anak.”“Apa? Jadi anak itu dititipkan di penitipan anak?”“Apa yang kamu harapkan? Berharap dia menyewa babysitter? Bahkan untuk makan sehari-hari saja dia pas-pasan.” “Brengsek!” Devon mengumpat pelan. Ia tidak marah karena ucapan Arman yang terang-terangan. Arman memang seperti itu. Ketika lelaki itu bersikap formal, maka ia akan bertindak begitu profesional, tapi ketika lelaki itu bersikap seperti ini terhadapnya, maka tandanya Arman sedang memposisikan diri sebagai temannya.“Jadi?” Arman bertanya lagi.“Langsung saja ke tempat anak itu.” Akhirnya Arman menuruti semua perintah dari Devon.**
Devon baru saja selesai rapat ketika jam makan siang telah tiba. Ia mengerutkan keningnya ketika mendapati Arman masuk ke dalam ruangannya. Biasanya, lelaki itu hanya akan masuk saat ia memanggil dan membutuhkannya. Jika lelaki itu masuk atas kemauannya sendiri maka pasti ada hal serius yang ingin dia bahas. “Kuharap apa yang kamu bahas adalah hal penting.” Ucapnya dengan nada angkuh. Memang, ia dan Arman cukup dekat. Lelaki itu adalah kaki tangannya, kepercayaannya. Tapi ada satu sisi dimana Devon ingin menekankan kalau lelaki itu adalah bawahannya yang tak bisa seenaknya keluar masuk apalagi pada Jam bebas seperti saat ini. “Tentang kemarin.” Jawab Arman. Devon mengangkat sebelah alisnya. Kemarin? Ah ya, kemarin mereka memang sedang membahas tentang wanita sialan bernama Sarah. Wanita yang ia curigai sebagai seorang yang sudah mengutuknya hingga sesial ini. “Tentang wanita itu?” tanya Devon kemudian. “Ya.” Kemudian Arman menyodorkan sebuah map yang sejak tadi ia bawa. “Jika
Tanpa banyak bicara, Devon segera menyambar bibir ranum wanita itu, melumatnya dengan kasar, mencumbunya secara membabi buta. Sial! Gairah benar-benar sedang menyelimutinya. Membakar habis semua logikanya.“Dev, Dev.” Arman mulai memanggil nama Devon saat melihat atasannya itu tampak tak dapat mengendalikan dirinya. Arman akhirnya mendekat karena Devon tidak mengindahkan paanggilannya.“Tuan.” Ucap Arman sembari menghentikan aksi Devon dengan cara menepuk bahu lelaki itu.Devon menghentikan aksinya, melepaskan tautan bibirnya dari bibir Sarah, kemudian ia menolehkan kepalanya ke belakang, menatap Arman dengan tatapan membunuhnya.“Ada apa?”“Jangan di sini.” Arman mengingatkan. Jika Devon ingin bercinta dengan perempuan ini, maka Devon tidak bisa melakukannya di ruangan ini.Devon mendengus sebal. Ia tidak bisa melepaskan perempuan di hadapannya ini. tidak ketika gairahnya sudah memuncak hingga nyaris meledak.“Di belakang, ada kamar hotel yang disediakan oleh tempat ini. kamu bisa m
Lima tahun kemudian….Devon membanting berkas di hadapannya. Ini sudah yang ke sekian kalinya, dan percobaannya gagal. Padahal, batas waktu yang ditentukan sudah semakin dekat. Tapi hingga kini, ia belum juga mendapati seorang yang tepat, dan mampu mengandung benihnya.Semuanya berawal ketika Tiga tahun yang lalu, adik dan Ayahnya meninggal dalam sebuah kecelakaan. Sialnya, sebelum meninggal, Sang Ayah sudah menuliskan wasiat, bahwa sebelum usianya menginjak 37 tahun, ia sudah harus berkeluarga, minimal, ia harus memiliki istri dan seorang anak untuk meneruskan nama keluarga mereka, Daniswara. Karena jika tidak, maka seluruh aset keluarga Daniswara akan disumbangkan untuk beberapa yayasan tempat dimana ayahnya biasa menjadi donatur. Devon yang memang tidak memiliki keiginan untuk berkeluarga hanya bisa mengumpat habis-habisan. Ia menyesali, kenapa adiknya harus mati? Kenapa ayahnya harus meninggalkan wasiat sialan itu? Selama ini Devon merasa senang dengan kehidupannya yang bebas, ta
Aku mengikuti saja kemanapun langkah kaki itu berjalan. Telapak tangannya mencengkeram erat lenganku, menyeretku menaiki anak tangga demi anak tangga. Aku tidak tahu dia membawaku kemana, dan aku tak peduli. Aku berada pada titik dimana aku tak peduli jika ada yang ingin membunuhku saat ini. Ya, semuanya sudah hancur, apa lagi yang perlu kuperjuangkan?Kami akhirnya sampai di depan sebuah pintu. Dia membuka pintu kamar hotel tersebut, menggelandangku masuk, kemudian mendorongku hingga terjerembab ke atas ranjang. Aku melihat ekspresinya murka. Dia melonggarkan dasinya, menyisingkan kemejanya, kemudian berjalan dengan mata marah ke arahku.Sungguh, lelaki ini begitu berbeda dengan lelaki yang mencumbuku sepanjang malam saat itu. Ya, bukan dia, aku tahu bukan sosoknya.“Berani-beraninya kamu mendatangiku? Kamu mau membuatku malu? Hah?!” serunya keras.Aku mencoba mengendalikan diri agar tak terlihat terpengaruh atau terintimidasi dengan sikap kasarnya.“Aku hanya ingin memberitahukan se