Lima tahun kemudian….
Devon membanting berkas di hadapannya. Ini sudah yang ke sekian kalinya, dan percobaannya gagal. Padahal, batas waktu yang ditentukan sudah semakin dekat. Tapi hingga kini, ia belum juga mendapati seorang yang tepat, dan mampu mengandung benihnya.
Semuanya berawal ketika Tiga tahun yang lalu, adik dan Ayahnya meninggal dalam sebuah kecelakaan. Sialnya, sebelum meninggal, Sang Ayah sudah menuliskan wasiat, bahwa sebelum usianya menginjak 37 tahun, ia sudah harus berkeluarga, minimal, ia harus memiliki istri dan seorang anak untuk meneruskan nama keluarga mereka, Daniswara. Karena jika tidak, maka seluruh aset keluarga Daniswara akan disumbangkan untuk beberapa yayasan tempat dimana ayahnya biasa menjadi donatur.
Devon yang memang tidak memiliki keiginan untuk berkeluarga hanya bisa mengumpat habis-habisan. Ia menyesali, kenapa adiknya harus mati? Kenapa ayahnya harus meninggalkan wasiat sialan itu? Selama ini Devon merasa senang dengan kehidupannya yang bebas, tapi tetap berada di dalam jalurnya. Ia tidak memikirkan keturunan dan lain sebagainya karena ia memiliki adik yang bisa meneruskan nama keluarga mereka. Dan sialnya, adiknya itu meninggal. Brengsek!
Kini, di usianya yang sudah menginjak 35 tahun, Devon merasa bahwa waktu yang ditentukan ayahnya sudah semakin dekat. Devon sudah pernah menikah sebelumnya, dengan seorang wanita yang mau menjalankan pernikahan kontrak dengannya, tapi hasilnya nihil. Ia menceraikan perempuan itu sebulan setelahnya karena diketahui bahwa perempuan itu sudah hamil dengan kekasihnya. Brengsek!
Lalu Devon memilih untuk menjalani bayi tabung, dengan menyewa rahim perempuan bayaran. Tapi seakan kesialan enggan meninggalkannya, proses-proses tersebut gagal dan tak membuahkan hasil apapun selain menguras dompet dan waktunya.
Entah sudah ke berapa kali Devon melakukan proses ini, tapi hasilnya tetap gagal. Negative, negative, dan negative, hingga kini Devon berada pada titik dimana dia merasa bahwa dia sedang dikutuk oleh seseorang.
Bicara tentang kutukan, Arman, selaku teman sekaligus tangan kanannya pernah berkata, bahwa mungkin saja ini adalah kutukan yang ditinggalkan oleh perempuan itu, perempuan yang sudah ia campakan Lima tahun yang lalu.
Sialan!
Memangnya siapa perempuan itu?
Arman memang tahu tentang kejadian itu. Kejadian di Bali, sekitar Lima setengah tahun yang lalu, karena dengan Armanlah ia mengenal sosok perempuan itu dan berakhir bermalam bersama….
Malam itu….
“Jadi kamu benar-benar mau masuk ke sana?” Arman bertanya sekali lagi. Bukan tanpa alasan, tapi entah kenapa malam ini Devon bersikap tak sama seperti biasanya.
Bossnya ini biasanya angkuh, dan sombong. Selalu menunjukkan kekuasaannya dan juga kelasnya, tapi malam ini Devon berkata bahwa lelaki itu ingin masuk ke tempat hiburan malam tanpa ada yang tahu siapa dirinya. Jadilah mereka memilih sebuah tempat untuk kalangan menengah kebawah. Sebuah tempat karaoke yang lengkap dengan tempat untuk minum-minum.
“Ya. Sebelum balik ke Jakarta, aku mau senang-senang di sini dulu.”
“Tapi sepertinya tempat ini bukan tempat yang bagus.”
“Bagus untuk kalangan menengah kebawah.” Devon menjawab penuh keangkuhan. “Kita masuk aja dulu, lihat apa ada yang bagus di sini, kalau tidak, kita bisa keluar.”
“Oke.” Arman akhirnya menurut saja.
Setelah mereka masuk dan memilih sebuah tempat. Mereka dipersilahkan untuk menuju ke arah tempat tersebut. Devon mengernyit saat tahu bahwa itu adalah sebuah ruangan yang tak cukup lebar dari kamar mandinya. Tak ada yang special di sana, hanya seperti tempat karaoke pada umumnya.
“Jadi, apa yang kita lakukan di sini?” Arman bertanya karena sejak tadi Devon hanya sibuk mengamati isi dari ruangan tersebut.
“Nggak ada. Kalau mau nyanyi, nyanyi aja.” Jawabnya dengan nada cuek.
Arman sedikit tersenyum, tapi tak lama, masuklah ke dalam seorang pria bersama dengan dua orang wanita yang mengenakan pakaian super mini dan ketat. Bisa dibilang, wanita itu tampak telanjang dihadapan Devon dan juga Arman. Apa memang seperti ini service dari tempat karaoke ini?
Si pria hanya menyodorkan buku menu, kemudian para wanita itu segera menghampiri Devon dan Arman. Centil dan murahan, itulah yang terlintas di kepala Devon ketika si perempuan mendekat ke arahnya. Padahal, jika melihat perempuan lain yang menempel pada Arman, perempuan itu lebih centil dan berani ketimbang perempuan yang ada di dekatnya saat ini.
Devon akhirnya memesan minuman beralkohol, entah kenapa ia ingin minum sampai puas malam ini, dan tentunya sambil bermain-main sedikit dengan perempuan-perempuan ini.
Waktu berjalan dengan cepat, Arman mulai menikmati malamnya bersama dengan wanita di sebelahnya. Lelaki itu tampak asik menyanyi dengan sesekali mencumbu bahkan menyentuh tubuh wanita di sebelahnya tersebut.
Sedangkan Devon, ia memilih diam, mengamati sembari minum-minuman beralkohol pesanannya.
“Jadi, hanya seperti ini service yang kamu berikan?” tanya Devon dengan nada angkuh pada perempuan yang duduk di sebelahnya.
“Maaf?” tanya perempuan itu tak mengerti.
“Lihat temanmu, betapa dia mampu menggoda temanku. Dan disini, kamu hanya duduk-duduk manis tanpa melakukan apapun.” Devon menyindir.
“Uum, Maaf, Tuan.” Perempuan itu tampak bingung apa yang harus ia lakukan.
“Jadi, hanya seperti ini? kalau aku bilang sama manager kamu atas ketidak puasanku, mungkin kamu akan dipecat.”
“Tolong, jangan.” Perempuan itu berkata cepat. Bahkan dengan spontan dia merangkul lengan Devon. Mata Devon segera jatuh pada rangkulan tersebut. Payudara wanita itu bahkan sudah menempel di sana, tampak tumpah dari baju mini yang dikenakan perempuan tersebut.
Perempuan itu segera melepaskan rangkulannya, dengan salah tingkah ia mencoba membenarkan letak bajunya, tapi tak berhasil. Wanita itu tampak tidak nyaman apalagi saat Devon menatapnya dengan tatapan mata lapar.
“Well, kamu bisa mencoba menyenangkanku dengan menari di hadapanku.” Devon berkata dengan penuh keangkuhan.
“Menari?”
“Ya.” Jawabnya dengan tegas. “menarilah. Sekarang.”
Akhirnya perempuan itu mulai bangkit, menari sebisanya, sedangkan yang dilakukan Devon hanya mengamatinya sesekali menenggak minuman beralkohol di hadapannya. Devon menikmati pertunjukan sederhana tersebut. Tak ada yang istimewa, tapi ia tahu bahwa perempuan itu cukup menarik hantinya.
Wajahnya yang cantik, lumayan baginya jika dibandingkan perempuan-perempuan jalang kelas murahan. Tubuhnya tampak menggoda, dengan payudara yang menyembul, kencang seakan ingin disentuh. Serta kulitnya yang tampak bersih merona. Sungguh, Devon tak pernah merasa setertarik ini dengan perempuan sekelas perempuan ini.
Devon menuang segelas minuman lagi, kemudian menenggaknya hingga tandas, lalu ia bangkit dan mendekat ke arah perempuan yang menari di hadapannya tersebut.
Devon menarik tubuh wanita itu hingga menempel sempurna pada tubuhnya. Perempuan itu menatapnya dengan tatapan bingungnya, lalu Devon bertanya “Siapa namamu?” pertanyaan tersebut terlontar begitu saja dengan suara serak tertahan karena gairah yang entah sejak kapan sudah memuncak dan ingin segera dipuaskan.
“Sarah.” Jawab wanita tersebut.
Dan tanpa banyak bicara lagi, Devon segera menyambar bibir wanita yang bernama Sarah tersebut, melumatnya dengan panas tanpa ingin ditolak. Devon merapatkan tubuh mereka, mendorong tubuh Sarah sedikit demi sedikit hingga menempel dan terpenjara pada diding terdekat. Jemarinya bahkan sudah bergerak dengan nakal menelusup ke dalam rok mini yang dikenakan Sarah, hingga akhirnya, ia menghentikan aksinya ketika merasakan Sarah meronta karena ulahnya.
Devon menatap Sarah dengan marah. Tak pernah ia ditolak sebelumnya apalagi dengan wanita murahan sekelas Sarah. Yang benar saja. Ia bisa membeli sepuluh wanita seperti ini jika ia ingin. Tapi malam ini, Devon hanya menginginkan wanita ini. hanya Sarah yang ia inginkan bahkan sampai ia melupakan keberadaan Arman dan juga perempuan pendampingnya.
Devon mendesak, memenjarakan Sarah dan mengintimidasi wanita tersebut. Sebelah kakinya bahkan sudah berada ditengah-tengah kedua kaki Sarah, seakan menunjukkan kekuasaannya atas tubuh wanita tersebut.
“Tuan, tolong.” Sarah melirih sembari menundukkan kepalanya. Dari tempatnya berdiri, ia bahkan melihat temannya dan juga teman lelaki ini sudah menghentikan nyanyian mereka, bahkan kini keduanya sedang fokus menatap ke arah mereka berdua. Menyaksikan pelecehan yang dilakukan Devon terhadapnya.
“Katakan, Sarah. Berapa tarifmu satu malam?”
Setelah pertanyaan tersebut, Sarah mengangkat wajahnya, menatap Devon dengan tatapan yang sulit diartikan. Apa wanita ini marah? Yang benar saja. Seharusnya, Devonlah yang marah, karena wanita ini sudah berani menggodanya, sudah membangunkan sisi liar dari dirinya. Dan ketika sisi liar tersebut sudah bangun, perempuan ini bertanggung jawab untuk menjinakkannya kembali, apapun caranya.
-TBC-
Tanpa banyak bicara, Devon segera menyambar bibir ranum wanita itu, melumatnya dengan kasar, mencumbunya secara membabi buta. Sial! Gairah benar-benar sedang menyelimutinya. Membakar habis semua logikanya.“Dev, Dev.” Arman mulai memanggil nama Devon saat melihat atasannya itu tampak tak dapat mengendalikan dirinya. Arman akhirnya mendekat karena Devon tidak mengindahkan paanggilannya.“Tuan.” Ucap Arman sembari menghentikan aksi Devon dengan cara menepuk bahu lelaki itu.Devon menghentikan aksinya, melepaskan tautan bibirnya dari bibir Sarah, kemudian ia menolehkan kepalanya ke belakang, menatap Arman dengan tatapan membunuhnya.“Ada apa?”“Jangan di sini.” Arman mengingatkan. Jika Devon ingin bercinta dengan perempuan ini, maka Devon tidak bisa melakukannya di ruangan ini.Devon mendengus sebal. Ia tidak bisa melepaskan perempuan di hadapannya ini. tidak ketika gairahnya sudah memuncak hingga nyaris meledak.“Di belakang, ada kamar hotel yang disediakan oleh tempat ini. kamu bisa m
Devon baru saja selesai rapat ketika jam makan siang telah tiba. Ia mengerutkan keningnya ketika mendapati Arman masuk ke dalam ruangannya. Biasanya, lelaki itu hanya akan masuk saat ia memanggil dan membutuhkannya. Jika lelaki itu masuk atas kemauannya sendiri maka pasti ada hal serius yang ingin dia bahas. “Kuharap apa yang kamu bahas adalah hal penting.” Ucapnya dengan nada angkuh. Memang, ia dan Arman cukup dekat. Lelaki itu adalah kaki tangannya, kepercayaannya. Tapi ada satu sisi dimana Devon ingin menekankan kalau lelaki itu adalah bawahannya yang tak bisa seenaknya keluar masuk apalagi pada Jam bebas seperti saat ini. “Tentang kemarin.” Jawab Arman. Devon mengangkat sebelah alisnya. Kemarin? Ah ya, kemarin mereka memang sedang membahas tentang wanita sialan bernama Sarah. Wanita yang ia curigai sebagai seorang yang sudah mengutuknya hingga sesial ini. “Tentang wanita itu?” tanya Devon kemudian. “Ya.” Kemudian Arman menyodorkan sebuah map yang sejak tadi ia bawa. “Jika
Devon masih setia mengamati Sarah. Wanita itu tampak berjalan meninggalkan tempat kerjanya dengan membawa sekantung sampah. “Apa kita akan mengikutinya?” tanya Arman kemudian.“Kamu tahu dia mau kemana?” Devon bertanya balik tanpa melepaskan pandangannya dari bayangan Sarah yang semakin menjauhi tempat kerjanya.“Menurut catatan, sepulang kerja, dia akan menjemput anaknya di tempat penitipan anak.”“Apa? Jadi anak itu dititipkan di penitipan anak?”“Apa yang kamu harapkan? Berharap dia menyewa babysitter? Bahkan untuk makan sehari-hari saja dia pas-pasan.” “Brengsek!” Devon mengumpat pelan. Ia tidak marah karena ucapan Arman yang terang-terangan. Arman memang seperti itu. Ketika lelaki itu bersikap formal, maka ia akan bertindak begitu profesional, tapi ketika lelaki itu bersikap seperti ini terhadapnya, maka tandanya Arman sedang memposisikan diri sebagai temannya.“Jadi?” Arman bertanya lagi.“Langsung saja ke tempat anak itu.” Akhirnya Arman menuruti semua perintah dari Devon.**
“Kamu tinggal di daerah ini?” tanya Arman saat ia sampai di daerah tempat tinggal Sarah. Bukan daerah elit, itu adalah tempat dimana orang miskin dan penjahat berkeliaran.Sarah tidak menjawab, ia berusaha keluar, tapi tidak bisa. Pintunya dikunci secara otomatis oleh Arman.“Kita belum menyelesaikan transaksi kita, Sarah.” Arman mengingatkan.“Aku tidak butuh uangmu.”Arman tertawa lebar. “Ayolah, tak ada yang gratis. Apalagi mengingat Devon yang tampak begitu puas. Katakan berapa nominalnya maka aku akan segera mentransfernya.”Sarah menatapnya dengan tatapan marah “Pergilah kalian ke neraka.” Geramnya setengah tak terdengar.“Apa?”“Saya mohon, saya hanya ingin keluar.”“Tidak bisa. Katakan saja berapa nominalnya, dan kamu bisa pergi dari sini.”“Saya nggak mau. Tolong saya ingin pulang, dan jangan ganggu saya lagi.”“Kamu yakin dengan keputusanmu? Devon akan membayarmu berapa saja. pikirkan lagi, dan sebut nominalnya.”“Saya nggak mau!” akhirnya Sarah berseru keras. “Biarkan saya
Aku mengikuti saja kemanapun langkah kaki itu berjalan. Telapak tangannya mencengkeram erat lenganku, menyeretku menaiki anak tangga demi anak tangga. Aku tidak tahu dia membawaku kemana, dan aku tak peduli. Aku berada pada titik dimana aku tak peduli jika ada yang ingin membunuhku saat ini. Ya, semuanya sudah hancur, apa lagi yang perlu kuperjuangkan?Kami akhirnya sampai di depan sebuah pintu. Dia membuka pintu kamar hotel tersebut, menggelandangku masuk, kemudian mendorongku hingga terjerembab ke atas ranjang. Aku melihat ekspresinya murka. Dia melonggarkan dasinya, menyisingkan kemejanya, kemudian berjalan dengan mata marah ke arahku.Sungguh, lelaki ini begitu berbeda dengan lelaki yang mencumbuku sepanjang malam saat itu. Ya, bukan dia, aku tahu bukan sosoknya.“Berani-beraninya kamu mendatangiku? Kamu mau membuatku malu? Hah?!” serunya keras.Aku mencoba mengendalikan diri agar tak terlihat terpengaruh atau terintimidasi dengan sikap kasarnya.“Aku hanya ingin memberitahukan se
“Kamu tinggal di daerah ini?” tanya Arman saat ia sampai di daerah tempat tinggal Sarah. Bukan daerah elit, itu adalah tempat dimana orang miskin dan penjahat berkeliaran.Sarah tidak menjawab, ia berusaha keluar, tapi tidak bisa. Pintunya dikunci secara otomatis oleh Arman.“Kita belum menyelesaikan transaksi kita, Sarah.” Arman mengingatkan.“Aku tidak butuh uangmu.”Arman tertawa lebar. “Ayolah, tak ada yang gratis. Apalagi mengingat Devon yang tampak begitu puas. Katakan berapa nominalnya maka aku akan segera mentransfernya.”Sarah menatapnya dengan tatapan marah “Pergilah kalian ke neraka.” Geramnya setengah tak terdengar.“Apa?”“Saya mohon, saya hanya ingin keluar.”“Tidak bisa. Katakan saja berapa nominalnya, dan kamu bisa pergi dari sini.”“Saya nggak mau. Tolong saya ingin pulang, dan jangan ganggu saya lagi.”“Kamu yakin dengan keputusanmu? Devon akan membayarmu berapa saja. pikirkan lagi, dan sebut nominalnya.”“Saya nggak mau!” akhirnya Sarah berseru keras. “Biarkan saya
Devon masih setia mengamati Sarah. Wanita itu tampak berjalan meninggalkan tempat kerjanya dengan membawa sekantung sampah. “Apa kita akan mengikutinya?” tanya Arman kemudian.“Kamu tahu dia mau kemana?” Devon bertanya balik tanpa melepaskan pandangannya dari bayangan Sarah yang semakin menjauhi tempat kerjanya.“Menurut catatan, sepulang kerja, dia akan menjemput anaknya di tempat penitipan anak.”“Apa? Jadi anak itu dititipkan di penitipan anak?”“Apa yang kamu harapkan? Berharap dia menyewa babysitter? Bahkan untuk makan sehari-hari saja dia pas-pasan.” “Brengsek!” Devon mengumpat pelan. Ia tidak marah karena ucapan Arman yang terang-terangan. Arman memang seperti itu. Ketika lelaki itu bersikap formal, maka ia akan bertindak begitu profesional, tapi ketika lelaki itu bersikap seperti ini terhadapnya, maka tandanya Arman sedang memposisikan diri sebagai temannya.“Jadi?” Arman bertanya lagi.“Langsung saja ke tempat anak itu.” Akhirnya Arman menuruti semua perintah dari Devon.**
Devon baru saja selesai rapat ketika jam makan siang telah tiba. Ia mengerutkan keningnya ketika mendapati Arman masuk ke dalam ruangannya. Biasanya, lelaki itu hanya akan masuk saat ia memanggil dan membutuhkannya. Jika lelaki itu masuk atas kemauannya sendiri maka pasti ada hal serius yang ingin dia bahas. “Kuharap apa yang kamu bahas adalah hal penting.” Ucapnya dengan nada angkuh. Memang, ia dan Arman cukup dekat. Lelaki itu adalah kaki tangannya, kepercayaannya. Tapi ada satu sisi dimana Devon ingin menekankan kalau lelaki itu adalah bawahannya yang tak bisa seenaknya keluar masuk apalagi pada Jam bebas seperti saat ini. “Tentang kemarin.” Jawab Arman. Devon mengangkat sebelah alisnya. Kemarin? Ah ya, kemarin mereka memang sedang membahas tentang wanita sialan bernama Sarah. Wanita yang ia curigai sebagai seorang yang sudah mengutuknya hingga sesial ini. “Tentang wanita itu?” tanya Devon kemudian. “Ya.” Kemudian Arman menyodorkan sebuah map yang sejak tadi ia bawa. “Jika
Tanpa banyak bicara, Devon segera menyambar bibir ranum wanita itu, melumatnya dengan kasar, mencumbunya secara membabi buta. Sial! Gairah benar-benar sedang menyelimutinya. Membakar habis semua logikanya.“Dev, Dev.” Arman mulai memanggil nama Devon saat melihat atasannya itu tampak tak dapat mengendalikan dirinya. Arman akhirnya mendekat karena Devon tidak mengindahkan paanggilannya.“Tuan.” Ucap Arman sembari menghentikan aksi Devon dengan cara menepuk bahu lelaki itu.Devon menghentikan aksinya, melepaskan tautan bibirnya dari bibir Sarah, kemudian ia menolehkan kepalanya ke belakang, menatap Arman dengan tatapan membunuhnya.“Ada apa?”“Jangan di sini.” Arman mengingatkan. Jika Devon ingin bercinta dengan perempuan ini, maka Devon tidak bisa melakukannya di ruangan ini.Devon mendengus sebal. Ia tidak bisa melepaskan perempuan di hadapannya ini. tidak ketika gairahnya sudah memuncak hingga nyaris meledak.“Di belakang, ada kamar hotel yang disediakan oleh tempat ini. kamu bisa m
Lima tahun kemudian….Devon membanting berkas di hadapannya. Ini sudah yang ke sekian kalinya, dan percobaannya gagal. Padahal, batas waktu yang ditentukan sudah semakin dekat. Tapi hingga kini, ia belum juga mendapati seorang yang tepat, dan mampu mengandung benihnya.Semuanya berawal ketika Tiga tahun yang lalu, adik dan Ayahnya meninggal dalam sebuah kecelakaan. Sialnya, sebelum meninggal, Sang Ayah sudah menuliskan wasiat, bahwa sebelum usianya menginjak 37 tahun, ia sudah harus berkeluarga, minimal, ia harus memiliki istri dan seorang anak untuk meneruskan nama keluarga mereka, Daniswara. Karena jika tidak, maka seluruh aset keluarga Daniswara akan disumbangkan untuk beberapa yayasan tempat dimana ayahnya biasa menjadi donatur. Devon yang memang tidak memiliki keiginan untuk berkeluarga hanya bisa mengumpat habis-habisan. Ia menyesali, kenapa adiknya harus mati? Kenapa ayahnya harus meninggalkan wasiat sialan itu? Selama ini Devon merasa senang dengan kehidupannya yang bebas, ta
Aku mengikuti saja kemanapun langkah kaki itu berjalan. Telapak tangannya mencengkeram erat lenganku, menyeretku menaiki anak tangga demi anak tangga. Aku tidak tahu dia membawaku kemana, dan aku tak peduli. Aku berada pada titik dimana aku tak peduli jika ada yang ingin membunuhku saat ini. Ya, semuanya sudah hancur, apa lagi yang perlu kuperjuangkan?Kami akhirnya sampai di depan sebuah pintu. Dia membuka pintu kamar hotel tersebut, menggelandangku masuk, kemudian mendorongku hingga terjerembab ke atas ranjang. Aku melihat ekspresinya murka. Dia melonggarkan dasinya, menyisingkan kemejanya, kemudian berjalan dengan mata marah ke arahku.Sungguh, lelaki ini begitu berbeda dengan lelaki yang mencumbuku sepanjang malam saat itu. Ya, bukan dia, aku tahu bukan sosoknya.“Berani-beraninya kamu mendatangiku? Kamu mau membuatku malu? Hah?!” serunya keras.Aku mencoba mengendalikan diri agar tak terlihat terpengaruh atau terintimidasi dengan sikap kasarnya.“Aku hanya ingin memberitahukan se