Tanpa banyak bicara, Devon segera menyambar bibir ranum wanita itu, melumatnya dengan kasar, mencumbunya secara membabi buta. Sial! Gairah benar-benar sedang menyelimutinya. Membakar habis semua logikanya.
“Dev, Dev.” Arman mulai memanggil nama Devon saat melihat atasannya itu tampak tak dapat mengendalikan dirinya.
Arman akhirnya mendekat karena Devon tidak mengindahkan paanggilannya.
“Tuan.” Ucap Arman sembari menghentikan aksi Devon dengan cara menepuk bahu lelaki itu.
Devon menghentikan aksinya, melepaskan tautan bibirnya dari bibir Sarah, kemudian ia menolehkan kepalanya ke belakang, menatap Arman dengan tatapan membunuhnya.
“Ada apa?”
“Jangan di sini.” Arman mengingatkan. Jika Devon ingin bercinta dengan perempuan ini, maka Devon tidak bisa melakukannya di ruangan ini.
Devon mendengus sebal. Ia tidak bisa melepaskan perempuan di hadapannya ini. tidak ketika gairahnya sudah memuncak hingga nyaris meledak.
“Di belakang, ada kamar hotel yang disediakan oleh tempat ini. kamu bisa memakai salah satunya.”
“Tidak!” Sarah berseru keras dan meronta, mencoba melepaskan diri dari cekalan Devon.
Devon sedikit tersenyum miring. “Aku akan membawanya ke tempatku. Kamu bisa urus sisanya.” Dan setelah itu, Devon tak membuang waktu lagi, menyeret Sarah keluar dari tempat tersebut dan menuju ke arah mobilnya.
***
Sarah bangun ketika waktu menunjukkan pukul dua dini hari. Ia menghela napas panjang. Astaga… Mimpi buruk lagi.
Sarah bangkit, kemudian menuju ke arah kamar anaknya, Devano Andrian. Bocah cilik yang baru berusia Empat setengah tahun.
Puteranya itu ternyata masih tidur pulas. Akhirnya Sarah memilih pergi menuju ke arah dapur lalu membuat kopi. Biasanya, jika ia terbangun di tengah malam seperti ini, ia tak akan bisa tidur lagi hingga pagi. Sialnya, besok adalah jadwal ia shift pagi.
Sarah kembali menghela napas panjang. Ia menuju sebuah sofa yang dekat dengan jendela ruang tengah rumah kontrakannya. Sarah memilih duduk disana kemudian mengenang mimpinya.
Mimpi itu… tampak begitu nyata. Mimpi tentang seorang lelaki yang sudah menyakiti hatinya, bahkan hingga kini, waktu sudah berlalu Lima setengah tahun lamanya setelah malam itu.
Sarah menghela napas panjang. Bayangannya jatuh pada malam itu, malam dimana ia memberikan segalanya bagi pria asing yang sama sekali tidak ia kenal.
Pria ini begitu kuat, begitu gagah, dan sangat tampan. Itulah hal yang terpikirkan dalam kepala Sarah saat ini. Sarah tidak tahu siapa namanya, tapi pria ini tampaknya bukan pria biasa.
Setiap gerak-geriknya membuat Sarah terintimidasi, aromanya begitu memabukkan, dan sikapnya yang angkuh benar-benar menarik perhatian Sarah. Ya Tuhan! Sarah tak ingin terlalu lama berurusan dengan pria ini. tapi ia tidak dapat berbuat banyak. Ia baru kerja di tempat sialan ini selama seminggu terakhir, meski pekerjaannya benar-benar beresiko, tapi Sarah tetap menjalaninya mengingat gajihnya lumayan besar untuk menyambung hidup.
Sarah hidup seorang diri. Dulu, ia tumbuh di sebuah panti asuhan, kemudian ia diadopsi oleh seseorang yang ternyata orang tersebut juga sudah beberapa kali mengadopsi teman-teman panti yang lain. Parahnya, orang tersebut malah mengeksploitasinya, Sarah kecil dipaksa untuk bekerja, mengamen di jalanan, berjualan koran, dan lain sebagainya. Hingga pada akhirnya, salah seorang temannya menjadi korban pencabulan oleh orang tua asuhnya tersebut. itulah yang membuat Sarah dan beberapa temannya yang lain kabur saat usianya masih remaja.
Bertahun-tahun hidup menjadi anak jalanan membuat Sarah menjadi dewasa bahkan sebelum waktunya. Ia rela bekerja menjadi apapun asalkan bisa mendapatkan uang dan bisa menyambung hidup.
Lalu, Sarah berakhir di sebuah rumah karaoke. Bekerja sebagai seorang pendamping tamu, menemani bernyanyi dan minum-minum. Sebenarnya Sarah kurang suka dengan pekerjaannya kali ini. Tapi karena gajihnya lumayan, Sarah memilih bertahan, meski dalam jangka seminggu ia bekerja, ia benar-benar merasa menjadi perempuan murahan.
Banyak tamu yang melecehkannya, menyentuh payudara dan juga bokongnya dengan sesuka hati. Tapi Sarah tak dapat berbuat banyak, karena memang seperti itulah resikonya. Bahkan, teman kerjanya juga ada yang sambil menawarkan diri, menjual diri ditempat tersebut. Sarah sempat tergiur, tapi ia masih memiliki harga diri, ia tak mungkin menjual kehormatannya di sana.
Hingga kemudian, malam itu, ia mendapat seorang tamu yang berbeda. Tamu yang lebih menuntut, dan anehnya, ia tidak dapat menolak tuntutan dari tamu tersebut.
Pria itu… begitu mengintimidasi, begitu mempengaruhinya hingga yang bisa Sarah lakukan hanya pasrah. Sarah tahu bahwa pria ini pasti bukan pria biasa. Temannya memanggil dengan panggilan ‘Tuan’, pasti pria ini memiliki kekuasaan hingga dihormati oleh temannya tersebut.
“Aku akan membawanya ke tempatku. Kamu bisa urus sisanya.” Perkataan tersebut seperti sebuah titah yang harus dipatuhi. Sarah sempat terpana, tapi di sisi lain ia meronta karena tak mengerti apa yang akan dilakukan lelaki ini selanjutnya.
Lalu semuanya terjadi begitu cepat. Lelaki itu menyeretnya keluar dari tempat kerjanya, menuju ke arah mobil, lalu mobil tersebut melesat ke sebuah tempat yang diyakini Sarah adalah sebuah hotel bintang lima. Sarah diseret masuk, bahkan lelaki itu seakan mengabaikan penjagaan di lobi. Semua orang di sana tampak menghormati lelaki tersebut, meski lelaki ini bersikap kasar dan kurang ajar padanya. Sebenarnya siapa lelaki ini? pikir Sarah.
Lalu sampailah mereka pada kamar hotel yang dituju. Oh, itu bukanlah kamar sembarangan, Sarah tahu itu. Kamar tersebut sangat luas, dan mewah. Tapi Sarah tak lagi sempat mengamati kemewahan kamar tersebut karena secepat kilat lelaki itu mendorongnya hingga tersungkur ke atas ranjang.
“A –Apa yang Anda lakukan?” Sarah tak mengerti, ia tidak ingin melakukan ini. meski pria ini begitu menggoda untuknya, tapi ia tidak ingin melakukannya.
“Jangan sok polos. Aku tahu bahwa kamu juga menginginkannya.” Jawabnya penuh penekanan sembari membuka pakaiannya sendiri.
“Tidak, jangan lakukan ini. saya mohon, jangan lakukan ini…” Sarah memohon, tapi pria itu sepertinya tak ingin mendengarkan permohonannya. Secepat kilat pria itu menindih tubuh Sarah, menyambar bibir Sarah kemudian mencumbunya secara membabi buta. Seperti tak dapat menahan diri, seperti terbakar oleh sesuatu.
Sarah sendiri tak bisa berbuat apapun selain meronta. Ia tak menyangka jika akan diperlakukan seperti ini, ia tidak menyangka jika akan dilecehkan hingga seperti ini oleh tamunya sendiri.
“Jangan. Tolong jangan…” Sarah kembali meronta saat bibir pria itu dengan paksa menuruni lehernya, jemarinya sudah bertindak dengan berani membuka dengan paksa satu persatu kain yang membalut tubuh Sarah. Kakinya sudah berada diantara kedua kaki Sarah, seakan memenjarakannnya, mengunci hingga Sarah tak dapat melakukan banyak perlawanan.
“Tuan, tolong….” Sarah masih memohon. Kali ini bibir pria itu sudah mendarat sempurna pada puncak payudaranya, membuat Sarah diliputi oleh banyak rasa. Rasa marah, rasa kecewa, dan entah apa lagi. Tapi Sarah tak dapat berbuat banyak. Tubuh pria ini terlalu kuat, terlalu besar untuk ia lawan. Bahkan Sarah merasa sangsi, apa ia ingin melawan atau pasrah saja dengan keadaan.
Setelah puas mencumbu dan menggoda puncak payudaranya, pria itu kembali ke atas, menatap Sarah yang sudah lemas karena godaan demi godaan gairah yang diberikan oleh lelaki tersebut.
“Jangan pura-pura. Kamu sudah biasa melakukan ini, bukan?” tanya lelaki tersebut yang suaranya lebih mirip dengan sebuah geraman.
Lelaki itu menurunkan celananya sendiri, membebaskan bukti gairahnya. Jemarinya meraih sesuatu di dalam laci nakas yang diyakini Sarah adalah sebuah pengaman.
“Katakan, berapa yang harus kubayar agar kamu mau memuaskanku satu malam penuh.”
“Tidak.” Sarah mulai menangis. Ia tidak ingin ini terjadi, tapi di sisi lain ia juga tergoda dengan lelaki ini. lelaki tampan yang begitu mempengaruhinya.
“Katakan. Katakan, Sarah!” serunya sembari mencoba menyatukan diri.
Sarah mengerang kesakitan, ini adalah pertama kali ia melakukannya, dan lelaki ini memperlakukannya dengan begitu kasar.
Lelaki itu berusaha, menyatukan diri lagi dan lagi, sangat sulit, tapi ia tidak putus asa. Hingga kemudian….
“Jangannnnnn!” teriakan Sarah menandakan bahwa lelaki itu mampu merenggut semua yang Sarah miliki.
***
Praaankkkkkk
Tak sengaja Sarah menjatuhkan cangkir kopinya hingga membuatnya sadar dari lamunan. Bayangan itu kembali menghantuinya. Bayangan dimana ia diperkosa oleh lelaki asing yang seharusnya tak bersinggungan dengan hidupnya.
Jika setelah mendapatkan pelepasan pertamanya, lelaki itu pergi meninggalkannya, mungkin semua ini tak akan terjadi.
Tapi tidak! Lelaki itu tak segera pergi, atau ia tak segera di usir dari kamar lelaki tersebut. Bukan kepuasan yang didapatkan oleh lelaki itu, tapi malah sebuah kecanduan. Kecanduan yang membuat diri Sarah luluh, diliputi oleh perasaan aneh yang seharusnya tidak ia rasakan.
Ya, Sarah juga menikmatinya. Menikmati sisa waktu di malam tersebut bersama dengan pria yang bahkan tak ia ketahui siapa namanya. Sarah tergoda, Sarah terlena, hingga ia tak memikirkan bahwa resiko besar sedang menunggu untuk menghakiminya. Benar-benar menyedihkan, bukan?
-TBC-
Devon baru saja selesai rapat ketika jam makan siang telah tiba. Ia mengerutkan keningnya ketika mendapati Arman masuk ke dalam ruangannya. Biasanya, lelaki itu hanya akan masuk saat ia memanggil dan membutuhkannya. Jika lelaki itu masuk atas kemauannya sendiri maka pasti ada hal serius yang ingin dia bahas. “Kuharap apa yang kamu bahas adalah hal penting.” Ucapnya dengan nada angkuh. Memang, ia dan Arman cukup dekat. Lelaki itu adalah kaki tangannya, kepercayaannya. Tapi ada satu sisi dimana Devon ingin menekankan kalau lelaki itu adalah bawahannya yang tak bisa seenaknya keluar masuk apalagi pada Jam bebas seperti saat ini. “Tentang kemarin.” Jawab Arman. Devon mengangkat sebelah alisnya. Kemarin? Ah ya, kemarin mereka memang sedang membahas tentang wanita sialan bernama Sarah. Wanita yang ia curigai sebagai seorang yang sudah mengutuknya hingga sesial ini. “Tentang wanita itu?” tanya Devon kemudian. “Ya.” Kemudian Arman menyodorkan sebuah map yang sejak tadi ia bawa. “Jika
Devon masih setia mengamati Sarah. Wanita itu tampak berjalan meninggalkan tempat kerjanya dengan membawa sekantung sampah. “Apa kita akan mengikutinya?” tanya Arman kemudian.“Kamu tahu dia mau kemana?” Devon bertanya balik tanpa melepaskan pandangannya dari bayangan Sarah yang semakin menjauhi tempat kerjanya.“Menurut catatan, sepulang kerja, dia akan menjemput anaknya di tempat penitipan anak.”“Apa? Jadi anak itu dititipkan di penitipan anak?”“Apa yang kamu harapkan? Berharap dia menyewa babysitter? Bahkan untuk makan sehari-hari saja dia pas-pasan.” “Brengsek!” Devon mengumpat pelan. Ia tidak marah karena ucapan Arman yang terang-terangan. Arman memang seperti itu. Ketika lelaki itu bersikap formal, maka ia akan bertindak begitu profesional, tapi ketika lelaki itu bersikap seperti ini terhadapnya, maka tandanya Arman sedang memposisikan diri sebagai temannya.“Jadi?” Arman bertanya lagi.“Langsung saja ke tempat anak itu.” Akhirnya Arman menuruti semua perintah dari Devon.**
“Kamu tinggal di daerah ini?” tanya Arman saat ia sampai di daerah tempat tinggal Sarah. Bukan daerah elit, itu adalah tempat dimana orang miskin dan penjahat berkeliaran.Sarah tidak menjawab, ia berusaha keluar, tapi tidak bisa. Pintunya dikunci secara otomatis oleh Arman.“Kita belum menyelesaikan transaksi kita, Sarah.” Arman mengingatkan.“Aku tidak butuh uangmu.”Arman tertawa lebar. “Ayolah, tak ada yang gratis. Apalagi mengingat Devon yang tampak begitu puas. Katakan berapa nominalnya maka aku akan segera mentransfernya.”Sarah menatapnya dengan tatapan marah “Pergilah kalian ke neraka.” Geramnya setengah tak terdengar.“Apa?”“Saya mohon, saya hanya ingin keluar.”“Tidak bisa. Katakan saja berapa nominalnya, dan kamu bisa pergi dari sini.”“Saya nggak mau. Tolong saya ingin pulang, dan jangan ganggu saya lagi.”“Kamu yakin dengan keputusanmu? Devon akan membayarmu berapa saja. pikirkan lagi, dan sebut nominalnya.”“Saya nggak mau!” akhirnya Sarah berseru keras. “Biarkan saya
Aku mengikuti saja kemanapun langkah kaki itu berjalan. Telapak tangannya mencengkeram erat lenganku, menyeretku menaiki anak tangga demi anak tangga. Aku tidak tahu dia membawaku kemana, dan aku tak peduli. Aku berada pada titik dimana aku tak peduli jika ada yang ingin membunuhku saat ini. Ya, semuanya sudah hancur, apa lagi yang perlu kuperjuangkan?Kami akhirnya sampai di depan sebuah pintu. Dia membuka pintu kamar hotel tersebut, menggelandangku masuk, kemudian mendorongku hingga terjerembab ke atas ranjang. Aku melihat ekspresinya murka. Dia melonggarkan dasinya, menyisingkan kemejanya, kemudian berjalan dengan mata marah ke arahku.Sungguh, lelaki ini begitu berbeda dengan lelaki yang mencumbuku sepanjang malam saat itu. Ya, bukan dia, aku tahu bukan sosoknya.“Berani-beraninya kamu mendatangiku? Kamu mau membuatku malu? Hah?!” serunya keras.Aku mencoba mengendalikan diri agar tak terlihat terpengaruh atau terintimidasi dengan sikap kasarnya.“Aku hanya ingin memberitahukan se
Lima tahun kemudian….Devon membanting berkas di hadapannya. Ini sudah yang ke sekian kalinya, dan percobaannya gagal. Padahal, batas waktu yang ditentukan sudah semakin dekat. Tapi hingga kini, ia belum juga mendapati seorang yang tepat, dan mampu mengandung benihnya.Semuanya berawal ketika Tiga tahun yang lalu, adik dan Ayahnya meninggal dalam sebuah kecelakaan. Sialnya, sebelum meninggal, Sang Ayah sudah menuliskan wasiat, bahwa sebelum usianya menginjak 37 tahun, ia sudah harus berkeluarga, minimal, ia harus memiliki istri dan seorang anak untuk meneruskan nama keluarga mereka, Daniswara. Karena jika tidak, maka seluruh aset keluarga Daniswara akan disumbangkan untuk beberapa yayasan tempat dimana ayahnya biasa menjadi donatur. Devon yang memang tidak memiliki keiginan untuk berkeluarga hanya bisa mengumpat habis-habisan. Ia menyesali, kenapa adiknya harus mati? Kenapa ayahnya harus meninggalkan wasiat sialan itu? Selama ini Devon merasa senang dengan kehidupannya yang bebas, ta
“Kamu tinggal di daerah ini?” tanya Arman saat ia sampai di daerah tempat tinggal Sarah. Bukan daerah elit, itu adalah tempat dimana orang miskin dan penjahat berkeliaran.Sarah tidak menjawab, ia berusaha keluar, tapi tidak bisa. Pintunya dikunci secara otomatis oleh Arman.“Kita belum menyelesaikan transaksi kita, Sarah.” Arman mengingatkan.“Aku tidak butuh uangmu.”Arman tertawa lebar. “Ayolah, tak ada yang gratis. Apalagi mengingat Devon yang tampak begitu puas. Katakan berapa nominalnya maka aku akan segera mentransfernya.”Sarah menatapnya dengan tatapan marah “Pergilah kalian ke neraka.” Geramnya setengah tak terdengar.“Apa?”“Saya mohon, saya hanya ingin keluar.”“Tidak bisa. Katakan saja berapa nominalnya, dan kamu bisa pergi dari sini.”“Saya nggak mau. Tolong saya ingin pulang, dan jangan ganggu saya lagi.”“Kamu yakin dengan keputusanmu? Devon akan membayarmu berapa saja. pikirkan lagi, dan sebut nominalnya.”“Saya nggak mau!” akhirnya Sarah berseru keras. “Biarkan saya
Devon masih setia mengamati Sarah. Wanita itu tampak berjalan meninggalkan tempat kerjanya dengan membawa sekantung sampah. “Apa kita akan mengikutinya?” tanya Arman kemudian.“Kamu tahu dia mau kemana?” Devon bertanya balik tanpa melepaskan pandangannya dari bayangan Sarah yang semakin menjauhi tempat kerjanya.“Menurut catatan, sepulang kerja, dia akan menjemput anaknya di tempat penitipan anak.”“Apa? Jadi anak itu dititipkan di penitipan anak?”“Apa yang kamu harapkan? Berharap dia menyewa babysitter? Bahkan untuk makan sehari-hari saja dia pas-pasan.” “Brengsek!” Devon mengumpat pelan. Ia tidak marah karena ucapan Arman yang terang-terangan. Arman memang seperti itu. Ketika lelaki itu bersikap formal, maka ia akan bertindak begitu profesional, tapi ketika lelaki itu bersikap seperti ini terhadapnya, maka tandanya Arman sedang memposisikan diri sebagai temannya.“Jadi?” Arman bertanya lagi.“Langsung saja ke tempat anak itu.” Akhirnya Arman menuruti semua perintah dari Devon.**
Devon baru saja selesai rapat ketika jam makan siang telah tiba. Ia mengerutkan keningnya ketika mendapati Arman masuk ke dalam ruangannya. Biasanya, lelaki itu hanya akan masuk saat ia memanggil dan membutuhkannya. Jika lelaki itu masuk atas kemauannya sendiri maka pasti ada hal serius yang ingin dia bahas. “Kuharap apa yang kamu bahas adalah hal penting.” Ucapnya dengan nada angkuh. Memang, ia dan Arman cukup dekat. Lelaki itu adalah kaki tangannya, kepercayaannya. Tapi ada satu sisi dimana Devon ingin menekankan kalau lelaki itu adalah bawahannya yang tak bisa seenaknya keluar masuk apalagi pada Jam bebas seperti saat ini. “Tentang kemarin.” Jawab Arman. Devon mengangkat sebelah alisnya. Kemarin? Ah ya, kemarin mereka memang sedang membahas tentang wanita sialan bernama Sarah. Wanita yang ia curigai sebagai seorang yang sudah mengutuknya hingga sesial ini. “Tentang wanita itu?” tanya Devon kemudian. “Ya.” Kemudian Arman menyodorkan sebuah map yang sejak tadi ia bawa. “Jika
Tanpa banyak bicara, Devon segera menyambar bibir ranum wanita itu, melumatnya dengan kasar, mencumbunya secara membabi buta. Sial! Gairah benar-benar sedang menyelimutinya. Membakar habis semua logikanya.“Dev, Dev.” Arman mulai memanggil nama Devon saat melihat atasannya itu tampak tak dapat mengendalikan dirinya. Arman akhirnya mendekat karena Devon tidak mengindahkan paanggilannya.“Tuan.” Ucap Arman sembari menghentikan aksi Devon dengan cara menepuk bahu lelaki itu.Devon menghentikan aksinya, melepaskan tautan bibirnya dari bibir Sarah, kemudian ia menolehkan kepalanya ke belakang, menatap Arman dengan tatapan membunuhnya.“Ada apa?”“Jangan di sini.” Arman mengingatkan. Jika Devon ingin bercinta dengan perempuan ini, maka Devon tidak bisa melakukannya di ruangan ini.Devon mendengus sebal. Ia tidak bisa melepaskan perempuan di hadapannya ini. tidak ketika gairahnya sudah memuncak hingga nyaris meledak.“Di belakang, ada kamar hotel yang disediakan oleh tempat ini. kamu bisa m
Lima tahun kemudian….Devon membanting berkas di hadapannya. Ini sudah yang ke sekian kalinya, dan percobaannya gagal. Padahal, batas waktu yang ditentukan sudah semakin dekat. Tapi hingga kini, ia belum juga mendapati seorang yang tepat, dan mampu mengandung benihnya.Semuanya berawal ketika Tiga tahun yang lalu, adik dan Ayahnya meninggal dalam sebuah kecelakaan. Sialnya, sebelum meninggal, Sang Ayah sudah menuliskan wasiat, bahwa sebelum usianya menginjak 37 tahun, ia sudah harus berkeluarga, minimal, ia harus memiliki istri dan seorang anak untuk meneruskan nama keluarga mereka, Daniswara. Karena jika tidak, maka seluruh aset keluarga Daniswara akan disumbangkan untuk beberapa yayasan tempat dimana ayahnya biasa menjadi donatur. Devon yang memang tidak memiliki keiginan untuk berkeluarga hanya bisa mengumpat habis-habisan. Ia menyesali, kenapa adiknya harus mati? Kenapa ayahnya harus meninggalkan wasiat sialan itu? Selama ini Devon merasa senang dengan kehidupannya yang bebas, ta
Aku mengikuti saja kemanapun langkah kaki itu berjalan. Telapak tangannya mencengkeram erat lenganku, menyeretku menaiki anak tangga demi anak tangga. Aku tidak tahu dia membawaku kemana, dan aku tak peduli. Aku berada pada titik dimana aku tak peduli jika ada yang ingin membunuhku saat ini. Ya, semuanya sudah hancur, apa lagi yang perlu kuperjuangkan?Kami akhirnya sampai di depan sebuah pintu. Dia membuka pintu kamar hotel tersebut, menggelandangku masuk, kemudian mendorongku hingga terjerembab ke atas ranjang. Aku melihat ekspresinya murka. Dia melonggarkan dasinya, menyisingkan kemejanya, kemudian berjalan dengan mata marah ke arahku.Sungguh, lelaki ini begitu berbeda dengan lelaki yang mencumbuku sepanjang malam saat itu. Ya, bukan dia, aku tahu bukan sosoknya.“Berani-beraninya kamu mendatangiku? Kamu mau membuatku malu? Hah?!” serunya keras.Aku mencoba mengendalikan diri agar tak terlihat terpengaruh atau terintimidasi dengan sikap kasarnya.“Aku hanya ingin memberitahukan se