“Katakan!”
“K-kau bisa ikut aku masuk ke sana. Hanya para pejabat yang bisa keluar masuk Imperium dengan bebas,” jawab Palmo.
“Kalau begitu, antar aku masuk ke Imperium atau aku habisi kau di sini. Aku ini sangat kuat,” ancam Bandi.
Palmo tak bisa berbuat apa-apa. Ia pun akhirnya hanya bisa menurut kepada Bandi. Dia benar-benar sial hari ini. Masih mendingan Bagar tidak berbuat apa-apa kepadanya, tetapi Bandi bukan orang yang bisa diajak bicara. Ia lebih mementingkan ototnya daripada isi kepalanya. Bandi menyadari pesan yang disampaikan ole
Bagar tertegun melihat bagaimana keadaan Imperium. Kerajaan Imperium dikelilingi tembok-tembok raksasa. Orang-orang terlihat berlalu-lalang di jalanan, kereta-kereta gantung hilir mudik, mobil-mobil berlalu-lalang, mengejutkan di tempat ini juga ada sepeda. Koila juga tertegun dengan semua pemandangan itu. Baru kali ini dia melihat teknologi-teknologi seperti itu. Bagar tidak begitu terkejut. Ia telah melihat yang lebih aneh di Dunia Atas.“Luas sekali,” gumam Koila. “Imperium salah satu benua yang cukup besar di Timur Laut. Benua ini sangat luas, bahkan sejauh mata memandang kau hanya akan melihat tumpukan bangunan. Industri-industri di negeri ini berkembang san
Pangeran Bagar berada di kamar penginapan. Ia memandang suasana kota Imperium dari jendela. Kota yang bahkan ketika malam pun masih seperti siang, karena lampu dimana-mana. Koila mengeluarkan pakaian yang tadi dia beli di toko pakaian. Setelah itu ia masukkan pakaian itu satu per satu ke dalam lemari pakaian yang sudah tersedia di kamar itu. “Bajunya sudah aku simpan di lemari. Kalau kau butuh apa-apa panggil saja aku. Aku mau kembali ke kamar,” kata Koila. “Kau tidur di sini saja!” perintah Pangeran Bagar. “Maaf, aku tak salah dengar?”
Waktu pun berlalu, pagi pun datang. Koila terbangun dari tidurnya. Ia mendapati Pangeran Bagar masih di tempatnya dengan mata terpejam. Koila mendesah. Dia kasihan sebenarnya dengan Pangeran Bagar, kalau saja sifat jelek tidak ada pada diri lelaki itu, mungkin pandangannya tentang Pangeran Bagar akan sedikit berbeda. Biar pun dalam kondisinya seperti ini, tetapi jelas sekali kalau Pangeran Bagar memiliki kharisma tersendiri sebagai seorang lelaki. Dia masih tampan dan wanita manapun akan takluk kepada ketampanannya. Namun, konon dia hanya menyukai seseorang yaitu Putri Vivian, anak angkat ayahnya. Koila beranjak dari tempat tidurnya lalu hendak pergi mencari makanan yang disediakan oleh penginapan. Ia meninggalkan kamar sejenak menuju ke lobi. Di lobi memang ada makanan gratis untuk pa
Colosseum tempat yang ramai. Orang-orang di sini bersorak-sorai untuk pertunjukan para gladiator. Berjuta-juta Koruna berputar di tempat ini. Hiburan yang disukai oleh orang-orang yang ada di tempat ini memang tidak biasa. Mereka lebih suka darah, lebih suka kepala terpotong, lebih suka rasa sakit yang diderita para gladiator. Saat salah satunya menang, mereka bersorak-sorai. Ada wajah-wajah kesal saat mereka kalah dalam taruhan. Sebaliknya, wajah-wajah senang dan sombong terpampang saat jagoan mereka menang. Pangeran Bagar baru mengetahui ada tempat seperti ini. Tempatnya ada di pusat kota. Ia mengikuti Trent dan ternyata dia adalah salah satu keponakan dari Pangeran George. Orangnya suka berjudi, tempat seperti Colosseum ini adalah salah satu tempat favoritnya. Ia bisa bertaruh jutaa
“Dia tampaknya kesal. Apa dia mengenalmu?” tanya Trent. “Oh, tentu saja. Dia dulu adalah bawahanku, jadi aku tahu banyak tentang dia,” jawab Pangeran Bagar. Semua orang tampak sudah memasang taruhannya. Mereka terus meneriakkan nama Atra. Bandi tersenyum sinis ke arah Pangeran Bagar. Bingung juga bagaimana orang itu bisa berada di tribun penonton. Ia juga heran, bagaimana Bagar bisa masuk ke Imperium dengan mudah? “Pertarungan dimulai!” seru pembawa acara.
Mereka lalu masuk ke gedugnya. Pangeran Bagar melihat satu ruangan besar dengan meja berjajar rapi. Rak-rak buku bertumpuk di tempat ini, seperti surga bagi mereka para pecinta buku. Tidak banyak orang di dalamnya seperti perkiraan Pangeran Bagar. Seorang pustakawan tampak berada di mejanya sedang membaca buku. Dia seorang Goblin berkacamata. Melihat kedatangan orang-orang ini ia mencoba membenarkan kacamatanya, sepertinya ingin meyakinkan diri tentang orang yang datang ke tempatnya. “Tuan Muda Trent?” tanyanya. “Kau benar,” jawab Trent. “Kau t
Penjara Tujuh PintuAryanaga terengah-engah. Napasnya nyaris habis dan ia sudah kehabisan tenaga. Sementara itu Alter Ego masih segar bugar seolah-olah tenaganya tak pernah habis. Memang kekuatan mereka seimbang, apapun yang dilakukan oleh Aryanaga, dia juga bisa melakukannya. Bukan hanya bentuk fisik saja yang mirip, semua kepribadian dan cara menyerangnya juga sama. Aryanaga seperti melawan sosoknya yang lain. “Kenapa? Kau sudah kelelahan. Kau bisa beristirahat dan aku akan menunggumu untuk kembali bertarung,” ucap si Alter Ego. Aryanaga berbar
Kerajaan PeriAprilia tersentak. Dia menoleh ke suatu arah. Seperti ada yang memanggilnya. Dia yakin ada yang memanggilnya, tetapi tak ada orang sama sekali. Sayup-sayup tadi terdengar suara Aryanaga memanggilnya. Dia mendesah. Mungkin karena perasaan rindunya kepada Aryanaga membuatnya seolah-olah merasakan kehadiran tunangannya itu. Kembali ia mengusap punggungnya, berharap tanda itu masih ada di sana. Dia juga berharap Aryanaga baik-baik saja sekarang. Ruangan tempat dia berada sekarang adalah ruangan yang cukup luas. Cuma ada Minotaur di ruangan itu terkapar tak berdaya. Mereka baru saja berlatih cukup keras, sampai-sampai membuat Minotaur tak bisa lagi berdir