Anda saat ini Aina tidak menggunakan sadar pasti sudah terlihat kalau wajah wanita itu memerah karena sedang menahan malu. Gugatan benar-benar membuat Aina ingin menceburkan diri ke danau agar tidak bisa dilihat orang lain. Sudah berulang kali diberi peringatan untuk tidak menemuinya sendiri tapi pria itu masih saja nekat."Aina!" Fatan sengaka mengeraskan suaranya agar semua yang ada di sana tahu kalau Aina sudah dia tandai."Maaf, Tuan Fatan saya masih ada urusan. Permisi, assalamualaikum." Aina mengabaikan tatapan para guru yang ingin tahu. Wanita bercadar itu memilih untuk berjalan cepat meninggalkan Fatan yang seolah sengaja ingin membuatnya malu.Fatan melihat sekeliling dan benar saja, semua guru berhenti dan menatapnya dengan tatapan aneh. Namun ketika dia memasang wajah datar seperti biasanya, mereka kompak menunduk hormat. Mungkin baru sadar bahwa orang yang mereka perhatikan sejak tadi adalah Fatan sang pebisnis sukses."Mari, Tuan kami duluan," pamit Bu Linda diikuti yang
Lelaki itu mengepalkan tangannya di samping tubuh. Menatap kepergian Aina dengan tatapan tajam. Sudah cukup Fatan bersabar dan mengikuti alur selama ini. Dia tak mau membuang waktunya lagi. Dengan kesal, Fatan membanting pintu mobilnya lalu melajukan kendaraan itu dengan kecepatan tinggi. Sesampainya di rumah, Fatan segera naik ke kamarnya. Namun dia dikejutkan dengan keberadaan Sarah yang duduk di atas ranjang dengan posisi menantang. 0akaiannya yang cukup seksi membuat wanita itu terlihat sangat menggoda. Jika dulu, Fatan akan langsung menerkam wanita itu. Namun sejak tahu dirinya memiliki Bintang dan terbiasa mengejar Aina, rasa itu makin memudar. Terlebih dengan sikap Sarah yang makin lama makin membuatnya muak. Entah mengapa dia butuh waktu selama ini untuk menyadari sifat Sarah.Wanita itu berdiri mendekati suamiya, berniat untuk membantu melepaskan jas Fatan. Sesuatu yang belum pernah dia lakukan seumur pernikahan mereka. Fatan selalu mengerjakan semuanya sendiri sedangkan Sa
Hari masih sangat pagi ketika Aina berada di luar rumah untuk menyirami tanaman. Biasanya hal itu dilakukan oleh mang Asep yang sudah bekerja cukup lama dengan keluarganya. Karena sekarang hari libur Aina meminta maaf untuk mengerjakan pekerjaan yang lain sedangkan dirinya yang menyiram tanaman. Sudah cukup lama Aina tidak melakukan hal ini karena kesibukan mengurus sekolah yang ia dirikan.Udara yang terasa sejuk dan semilir angin membelai wajah Aina. Wanita itu memandang takjub pada bunga-bunga yang bermekaran. Mang Asep benar-benar menjalankan tugasnya dengan sangat baik. Semua tanaman yang ia miliki terawat dengan sempurna. "Nyonya semua sayuran dan beberapa sabun sudah mulai habis. Ini saya belanja apa saja, Nyonya?" Tiba-tiba Bik Esih datang dari belakang.Aina tampak berpikir sejenak lalu berkata, "biar saya aja, Bik yang belanja. Sekalian mau ajak Bintang refreshing.""Baiklah, Nyonya kalau begitu." Bik Esih kembali masuk setelah memberikan daftar apa saja yang habis.Aina men
Aina bingung bagaimana harus menjelaskan pada sosok pria yang duduk sedikit menjauh darinya itu. Tidak mungkin dia menjelaskan pada Danis kalau Bintang tidak memiliki ayah. Dia juga tidak berharap lelaki jni bertanya tentang dirinya. Aina memilih untuk menunduk sembari memainkan jemarinya. Berharap lelaki yang hampir saja menjadi imam masa depannya ini segera pergi. Keberadaannya di sini membuat Aina tidak nyaman. Jantung wanita bercadar itu sangat tidak aman berdekatan dengan pria bermata teduh itu.Sebenarnya ada banyak pertanyaan yang ingin Danis ajakan pada Aina saat ini. Namun lagi-lagi pria itu harus bisa menahan diri karena situasinya yang seperti ini."Aina kenapa kamu ada di sini? Apa yang terjadi?" Mendadak Laura muncul dari arah yang tidak hanya ketahui. Suatu hal yang wajar ketika tiba-tiba dia bertemu sahabatnya di sini mengingat Gadis itu memang bekerja sebagai perawat di Rumah Sakit ini. Melihat sahabatnya hanya langsung berdiri dan menepuk tubuh gadis berseragam pera
Mendengar keributan, Aina membuka matanya. Untuk beberapa detik dia mencoba untuk memfokuskan dirinya. Bau desinfektan dan obat-obatan menusuk hidung. Aina mengedarkan pandangannya ke sekeliling ruangan. Ternyata dia berada di rumah sakit. Ketika hendak bangun, tangannya tertancap jarum infus. "Kenapa aku bisa ada di sini?" gumam Aina. "Ai, kamu sudah sadar?" tanya Laura. Gadis itu langsung mendekati sahabatnya."Apa masih pusing?" tanya Laura lagi.Aina terdiam. Otaknya mulai bekerja. Mengingat apa yang terjadi sebelum ini hingga dia harus mendapat infus. Mendadak jantung Aina berdegup kencang ketika ingatannya tentang kecelakaan yang menimpa Bintang berkelebat di pelupuk matanya."Bintang? Ra, Bintang, Ra. Bintangku kecelakaan," ucap Aina. Wanita itu kembali menangis. Dia segera bangun dan mencabut paksa infus yang menancap di tangannya. Namun Laura yang mengetahui gerakan cepat Aina langsung menahannya. "Biar kubantu melepasnya. Tunggu sebentar." Laura berlari keluar dan tak be
"Mas Fathan kamu menuduhku? Aku tidak tahu apa-apa tentang kecelakaan yang menimpa anakmu!" Sarah masih berusaha untuk menyangkal padahal bukti-bukti sudah berada di tangan.Baru saja dia merayakan kebahagiaan atas keberhasilan Remon yang telah membuat * kecelakaan sampai dalam kondisi kritis ternyata kebahagiaan itu tidak bisa berlangsung lama. Dia lupa siapa suaminya. Orang nomor satu di dunia bisnis yang memiliki kekuasaan dan koneksi yang sangat luas.Tidak sulit bagi Fathan untuk melacak siapa pelaku percobaan pembunuhan pada bintang. Meski sudah dilakukan sedemikian rupa tapi Remond melupakan satu hal. Sebelumnya dia tidak mengecek CCTV yang berada di sekitar lokasi. Pria itu langsung kabur karena di tempat kejadian sangat ramai. "Kamu masih bisa mengelak dengan semua bukti-bukti itu?" bentak Fatan. "Tapi itu semuanya nggak ada hubungannya denganku!" bantah Sarah.Memperdengarkan sebuah rekaman percakapan antara Sarah dengan Remond di markas pembunuh bayaran itu. Mungkin Sarah
Aina tak tahu lagi harus dengan cara apa menjelaskan pada Bintang kalau mereka tidak mungkin bisa hidup bersama dengan pria bernama Fatan. Dengan sangat hati-hati dan bahasa yang bisa dipahami oleh anak-anak, Aina menjelaskan bahwa dirinya dan Fathan tidak ada hubungan apa-apa sehingga tidak bisa hidup bersama. "Papa dan Mamanya Andra hidup satu rumah. Mereka hidup bersama, Ma. Kenapa Papa sama Mamanya Bintang nggak bisa hidup satu rumah? Bintang juga ingin seperti Andra, Ma. Kalau malam bisa tidur bareng sama Mama sama Papa. Kalau ke mana-mana bisa bertiga juga." Bintang menatap mamanya dengan tatapan ingin tahu.Aina menggenggam dua tangan mungil putranya lalu mencium dengan penuh kasih sayang. Setelahnya iya mencium puncak kepala sang buah Hati dan memeluknya erat-erat.Ada perasaan tak nyaman ketika putranya membicarakan soal Fathan. Bagaimanapun Aina ingin sekali memberikan keluarga yang lengkap pada Bintang tapi dia juga tidak bisa begitu saja menerima tawaran Fathan untuk men
"Kamu kenapa, Nak?" tanya Bu Yunita.Aina gelagapan. Nggak tahu harus berkata apalagi. Melihat kebaikan Papa dan Mamanya Fatan, Aina jadi merasa tak enak."Tante, ini terlalu berlebihan. Mainan ini terlalu banyak untuk Bintang seorang diri.""Ah, nggak papa, Aina. Kalau Bintang masih mau lagi, Tante akan belikan yang lebih banyak lagi. Untuk cucu Tante, apapun akan Tante berikan. Iya 'kan, Pa?" Bu Yunita mencari dukungan dari suamiya."Iya. Bintang adalah cucu satu-satunya keluarga kami. Wajar kalau Mamanya Fatan ingin memanjakannya. Kamu jangan merasa sungkan seperti itu." Di sisi lain, Bintang makan dengan lahap disuapi papanya. Bocah itu tampak bahagia dengan kehadiran papanya. Aina hanya bisa menangis dalam hati melihat kebahagiaan putranya itu. Andai Bintang lahir seperti anak-anak lainnya yang merupakan buah dari pernikahan kedua orang tuanya, sudah pasti Bintang tidak akan menderita selama 5 tahun ini.Di saat Aina sibuk dengan pikirannya sendiri, tiba-tiba kedua tangannya dig