Seperti biasa, dia akan bersikap baik dihadapan Wulan dan Fatih."Kamu sudah pulang, Lan?" ucap Sarah bertanya dengan ramah."Sudah, Mbak. Baru saja tiba, Mbak Sarah belum tidur?" Sahut Wulan. Ia berusaha menetralkan perasaannya saat ini. Sesungguhnya Wulan ingin sekali mencakar wajah wanita munafik yang berdiri di hadapannya itu."Barusan sih udah tidur, tapi kebangun karena haus. Tadi lupa nggak bawa air minum ke kamar," jawabnya berbohong."Oh iya, Ibu kemana?" tanya Wulan basa-basi."Kalau Ibu sudah tidur dari tadi, palingan sekarang sedang ngorok. Tau sendiri' kan, ibu gimana kalau tidur," jawab Sarah. Ia sengaja mengarang cerita pada Wulan."Oh pantesan dari tadi sepi, gak kedengeran suaranya," sahut Wulan membuat Sarah tersenyum lega.'Syukurlah si Wulan percaya, berarti dia memang tidak mendengar percakapan aku dan Ibu' batin Sarah."Kabar si Mbok bagaimana, Wulan? Dia tidak apa-apa kan? Mbak belum sempat menjenguk, Mbak khawatir banget sama si Mbok,""Mbok Romlah masih dirawa
Malam berganti pagi, Wulan sudah berkutat dengan kesibukannya di dapur membuat sarapan untuk suaminya. Hari ini ia berniat untuk bertemu dengan Dokter Riska. Ada hal yang ingin Wulan bicarakan dengannya."Pagi sayang," ucap Fatih memeluk istrinya."Pagi, Mas. Kamu sudah bangun? Ayo sarapan dulu! Aku sudah buatkan nasi goreng kesukaanmu," ucap Wulan dan disambut antusias oleh Fatih.Tak lama kemudian Bu Ratna pun keluar dari kamarnya. Seperti biasa, ia akan mencari celah untuk memarahi menantunya itu."Kamu masak apa pagi ini, Wulan?" tanya Bu Ratna sinis. "Nasi goreng, Bu. Nasi goreng kesukaan Mas Fatih," jawab Wulan datar."Cuma nasi goreng? Memangnya kamu tidak bisa masak yang lain? Apa kek gitu yang lebih bergizi. Jangan cuma nasi goreng! Jadi istri malas banget," beo Bu Ratna mencari gara-gara."Ini sudah paling bergizi untuk Fatih, Bu. Fatih senang dibuatkan nasi goreng untuk sarapan. Dari pada ibu, jangankan buatin sarapan. Nyentuh dapur aja nggak," sahut Fatih membela istriny
Setelah membereskan meja makan, Wulan pun bersiap untuk pergi ke rumah sakit. Pagi ini ia sudah membuat janji untuk bertemu dengan Dokter Riska."Hey rahim karatan! Mau kemana kamu? Pagi-pagi sudah keluyuran!" teriak Bu Ratna saat Wulan hendak keluar dari rumah."Ibu bicara sama siapa?" tanya Wulan menghentikan langkahnya ia pun menoleh ke arah mertuanya."Ya sama kamu lah! Memangnya disini ada orang lain selain kamu?" Sahut Bu Ratna menatap Wulan dengan sinisnya."Maaf, Bu. Nama ku bukan rahim karatan! Nama ku Wulan. Sepertinya Ibu mulai pikun, nama menantu sendiri saja sampai lupa. Tapi maklum sih' ibu kan sudah tua, wajah ibu saja sudah keriput," ucap Wulan dengan nada mengejek."Kurang ajar kamu Wulan, berani-beraninya kamu mengejek saya! Awas kamu yah, saya sumpahin kamu cepet mati!" teriak Bu Ratna penuh emosi."Ups! Hati-hati kalau bicara, Bu! Biasanya sumpah yang buruk itu akan kembali ke orang yang nyumpahin," jawab Wulan dengan santainya."Wulan mau pergi dulu ya' Bu. Mau sh
"Aku harus menelpon Sarah, dia pasti bisa balik lagi ke rumah untuk menjemputku," Bu Ratna pun segera menelpon anak perempuannya itu. Tapi sayang, berulang kali dia mencoba' nomor Sarah tetap tidak aktif. "Astaga, kemana Sarah? Kenapa ponselnya dimatikan?" Cemas Bu Ratna. Akhirnya ia memutuskan untuk menunggu taxi yang lewat di depan rumahnya. Sudah hampir setengah jam Bu Ratna berdiri di depan rumahnya. Namun, tak ada satupun taxi dan ojek yang lewat. "Ya ampun, susah banget nyari taxi yang lewat! Tau gitu' dari dulu aku minta Sarah ngajarin aku pakai aplikasi taxi online. Kalau sudah begini, aku sendiri yang repot,""Ini semua gara-gara si Wulan, dia pasti sengaja menakut-nakutiku," gumam Bu Ratna. Ia pun memilih mengurung dirinya di dalam kamar, wanita bertubuh gemuk itu benar-benar ketakutan.•••Sedangkan diluar sana Fatih sedang berjibaku dengan pekerjaan barunya sebagai seorang sales lapangan yang bertugas menjajakan barang dagangannya. Tidak ada pilihan lain, Fatih pun terp
◇◇◇Satu minggu setelah ancaman itu, Fatih pun memilih untuk terus berusaha. Ia tidak ingin kehilangan pekerjaannya saat ini. Hal yang sia-sia jika dia terus berdebat dengan Gio. Pria licik itu akan terus mengganggu Fatih. Tujuannya hanya satu, yaitu membuat Fatih tidak betah dan akhirnya menyerah.Namun sayangnya Fatih tidak sebodoh itu. Setiap hari Fatih bekerja keras agar produk yang ia bawa terjual semua. Ia bisa buktikan jika ia bisa jauh lebih baik daripada Gio. Fatih bukan orang yang mudah putus asa, berkat kegigihannya ia pun mampu menjual 300 produk dalam satu minggu."Masuk!" ucap Pak Brata saat Fatih mengetuk pintu ruangannya. "Silahkan duduk, Fatih!" seru pria berdasi hitam itu pada Fatih. "Saya dengar kinerjamu di bagian pemasaran cukup bagus, apa benar kamu berhasil menjual 300 produk kita dalam waktu satu minggu?" tanya Pak Brata memastikan."Betul, Pak. Saya sudah menjual sesuai target kepala regu bagian pemasaran," jawab Fatih membuat senyum pria di hadapannya itu
"Fatih! Kenapa kamu diam saja? Mana perhiasannya? Cepat berikan, ibu mau pakai!" cerocos Bu Ratna tanpa jeda."Tidak ada, Bu. Fatih tidak membeli perhiasan, uang Fatih tidak cukup. Fatih aja bingung gimana caranya membayar cicilan mobil dan kartu kredit Fatih, ibu malah enak-enakan minta dibelikan perhiasan," jawab Fatih kesal. Baru saja sampai ia sudah di todong oleh ibunya."Tapi kamu kan sudah janji, Fatih! Kamu sudah janji akan mengganti semua perhiasan ibu yang hilang! Sekarang malah pura-pura lupa,""Bukan lupa, Bu. Tapi Fatih belum ada uang,""Alah, kamu pasti bohong! Bilang saja kalau semua uangnya kamu berikan pada si Wulan! Iya' kan Fatih? Pasti semua gajimu kamu kasih pada wanita kampung itu!" cecar Bu Ratna penuh emosi."Tidak, Bu. Seharian ini bahkan Fatih belum bertemu dengan Wulan. Lagi pula, sejak kapan Fatih memberikan semua gaji Fatih pada Wulan? Ibu kan tau sendiri' Wulan tidak pernah ikut campur dengan uang gaji Fatih," "Kalau gitu mana uangnya? Biar ibu beli send
"Kamu keterlaluan, Fatih! Cepat minta maaf sama ibu!" titah Sarah pada adiknya."Untuk apa Fatih minta maaf? Bukannya yang salah itu Ibu? Kenapa Fatih yang harus minta maaf?""Jangan kurang ajar kamu, Fatih! Apa kamu lupa siapa yang sudah melahirkanmu ke dunia ini? Kalau bukan karena ibu, kamu tidak mungkin ada di dunia ini!""Tapi Ibu terus-menerus meminta uang, Mbak. Fatih stres!" "Jadi kamu tidak suka ibu minta uang sama kamu? Kamu keberatan, hah? Dasar perhitungan!'' bentak Sarah tak suka dengan sikap adiknya yang dinilainya kurang ajar."Mbak lupa' siapa yang membayar semua biaya perawatan Mbak Sarah saat di rumah sakit waktu itu? Itu semua Fatih yang bayar, Mbak. Dan sekarang Mbak Sarah bilang Fatih perhitungan?" "Terus apa namanya kalau bukan perhitungan?""Fatih hanya minta kalian untuk berhemat, jangan membeli barang-barang mahal! Kalau tidak punya uang, tidak usah memaksakan diri untuk membeli perhiasan," tegas Fatih tidak mau kalah."Memang kenapa sih' Fatih? Kamu itu kan
Pria berwajah tampan itu benar-benar kecewa dengan Ibu dan Kakak kandungnya. Mereka terus saja merongrong tanpa peduli dengan perasaannya."Assalamualaikum," ucap Wulan memberi salam. Kedatangannya membuyarkan kepedihan di hati Fatih."Waalaikumsalam. Wulan, kamu sudah datang?" tanya Fatih. Pria itu berusaha tersenyum menyambut istrinya."Iya, Mas. Tumben kalian pada ngumpul, lagi bahas apa?" ucap Wulan basa-basi. Ia pura-pura tidak tahu, padahal dari tadi Wulan mendengar semua percakapan mereka."Em, nggak ada sih. Kita hanya lagi santai aja, kebetulan Fatih juga baru datang. Iya' kan, Fatih?" sambar Sarah mendahului.Sifat bunglonnya kembali keluar. 'Dasar psikopat' gumam Wulan dalam hati."Ya sudah, kalian lanjut saja ngobrolnya, Wulan mau ke kamar dulu," ucap Wulan berlalu meninggalkan mereka bertiga yang masih terlihat tegang.Fatih yang tampak muak dengan ibu dan Kakaknya memilih untuk mengikuti istrinya ke kamar. "Kamu lihat sendiri kan Sarah, adikmu itu sudah dibutakan oleh c