"Emh Derya, aku turun di sini saja, ya?" Welas meminta dengan segenap konflik melanda jiwa. "Ini sudah malam, Papa sudah pulang dari rumah sakit. Aku takut." Jelas Welas berbohong, karena alibi yang sebenarnya adalah keberadaan Seika di rumahnya. Tak perlu takut dengan Papa. Dia pasti bangga, akhirnya anak gadis introvert-nya ini bisa berteman baik dengan anak manusia berjenis kelamin pria. Satu hal yang selama ini dikhawatirkannya, tentu saja. Berbeda dengan Sekar yang bisa dengan mudah bergaul dengan siapa saja. "Ha, serius nih Las?" Derya memasang wajah terkejut, bingung sekaligus khawatir. Dia sampai menelisik wajah Welas yang mendadak bersemburat merah muda. "Kalaupun kamu serius, aku yang nggak bisa dong Las. Ya ampun, ini kan sudah malam? Nanti kalau ada apa-apa sama kamu, gimana? Apa papamu nggak tambah ngamuk sama aku nanti? Kan, aku yang udah ngajakin kamu makan malam sampai pulang kemalaman? Aduh Las, Las. Jangan gitu lah, aku anterin sampai rumah saja, ya?" Jauh di das
"Tapi, Papa?" jelas, tegas dan dengan sikap berani Seika mengajukan protes keras. Menir Hank baru saja memberi tahu kalau mulai hari ini dia akan dikawal oleh Pak Raka, ke mana pun dia pergi. "Seika bisa jaga diri sendiri, Papa. Apa selama ini Papa pernah mendengar Seika celaka atau sejenisnya? Tidak kan, Papa?" Menir Hank tidak melontarkan secuil kecil kata pun sebagai jawaban. Hanya memandang wajah pucat Seika yang sudah basah oleh air mata. Sebenarnya dia tak sampai hati untuk melakukan semua ini tetapi harus. Derya sudah gagal menjalankan misinya jadi inilah cara paling sederhana yang bisa ditempuh sekarang. Setidaknya, sampai William tiba di rumah ini. Baru setelah itu Menir Hank akan menyusun langkah selanjutnya. "Seika juga bisa menyetir sendiri kan, Papa?" Seika terus berusaha membela diri. Dia tak mau terjebak, terkurung dalam kebijakan papanya yang dirasa kejam. Tentu saja. "Jadi jelas, Seika tidak membutuhkan Pak Raka!" Jumawa, Menir Hank memelintir kumis tipisnya. Memic
"Welas, bisa bantu aku sekarang?" Seika menyebarkan pandangan ke sekeliling, memastikan kalau semuanya dalam keadaan baik-baik saja. Terutama keputusan yang diambilnya ini adalah yang terbaik. Bukan hanya untuk dirinya sendiri dan Kama tetapi juga semua. Untuk apa terus bertahan di atas bara api? Jelas, dia tak mau terbakar. Masa depannya masih sangat panjang. "Aku butuh rumah kontrakan hari ini juga, Welas. OK, mungkin hari ini sampai beberapa hari ke depan aku bisa tinggal di ho---" "Sei … Ada apa, kamu kenapa?" kepanikan Welas sudah benar-benar mencapai puncaknya. "Kamu, perlu rumah kontrakan … Kamu pergi dari rumah? Ya ampun, kamu ada di mana sekarang, Sei? Aku susul kamu ya, sekarang?" Seika membenarkan letak ponsel yang terapit di antara telinga dan pundak kiri, takut terjatuh. "Oh ya, Welas. Aku di Titik 0 KM Jigja. Di tempat biasa." Untung Seika bisa cepat menguasai diri kembali, sehingga suaranya pun tak tersendat-sendat lagi. Gesture tubuh pun mulai terlihat tenang dan it
Di tempatnya berdiri, tak terlalu jauh dari bangku Seika, Welas menahan napas. Hampir saja terpekik, menyadari siapa yang bersama sahabat dekatnya tadi. Antara takjub, bingung dan tak percaya dia menyebut nama milik teman sekelas mereka waktu SMA dulu. "Jendra … Kok, bisa ada di sini? Bukannya dia di Bali, ya?" "Wow, dunia memang penuh misteri, ya?" bisik kagum Welas pada diri sendiri. "Penuh dengan teka-teka. Emh … Wah, bakalan ada cinta lama bersemi kembali, nih? Jendra kan cinta berat sama Seika? Ups! Mikir apa sih, aku? Mana mungkin bersemi kalau nggak dapat media tanam yang tepat dan subur?" Secepat mungkin Welas mengatur diri, jangan sampai menumbuhkan kecurigaan dalam diri Seika. Bagaimanapun dia tahu, cinta Seika hanya untuk Kama. Ya, walaupun berarti pedih di hatinya tetapi jelas itu bukan kesalahan Seika. Bukan pula kesalahan Kama. Begitulah adanya alur kehidupan yang harus dijalaninya. Rasa cinta memang tak bisa dipaksakan, bukan? "Yang paling penting kan, sekarang sudah
Seika menggeleng lemah. Sengaja dia tak memberitahu Kama tentang masalah ini. Bukan apa-apa. Baru saja mereka berbaikan semalam, setelah hampir tiga kali dua puluh empat jam dalam kesalahpahaman. Tentu saja, Seika tidak mau hal itu terjadi lagi, cukup yang itu saja. Walaupun dia yakin kalau Kama bukan tipikal orang yang mudah salah paham. Tetapi baginya mencegah selalu lebih baik dari pada mengobati. "Oh, sorry Sei …?" gumam Welas penuh dengan perasaan bersalah. Seharusnya dia berpikir lebih panjang lagi tadi sebelum akhirnya bertanya. Ingin rasanya menguncir bibir dengan ikat rambut, supaya tidak asal bunyi lagi. Oh, Welas benar-benar menyesal sekarang terlebih setelah Seika semakin tenggelam dalam sikap diam. Padahal diamnya Seika bukan karena pertanyaan Welas sama sekali, melainkan Menir Hank. Tak pernah menyangka sebelumnya kalau akan seperti ini kejadiannya. Selama ini dia berpikir, lama-kelamaan Menir Hank akan luluh dengan kesuksesan karir Kama di Seikamara Publishing. Bukank
Menir Hank menatap Derya dengan super serius. Tak dibiarkannya lepas dari pagutan sorot matanya meskipun hanya satu detik. Ini bukan lagi perkara memisahkan Seika dari Kama tapi membuat Seika pulang kembali ke rumah, bagaimanapun caranya. "Saya bersedia, Menir." tukas Derya menciptakan sebentuk kelegaan dalam hati Menir Hank. "Saya akan buktikan pada Menir, kalau saya tak sebodoh yang Menir kira!" Menir Hank tersenyum masam. Mencebik, lalu menghisap pipa rokoknya lagi. "Bagus. Kadang-kadang rasa sakit hati justru lebih berenergi dari pada semangat diri, Derya. Saya pegang kata-kata kamu, jangan sampai tak berbuah. Karena jika itu terjadi, saya tidak akan segan-segan mengeluarkan kamu dari Real Publishing. Paham?" Mantap, Derya menjawab, "Paham, Menir." Menir Hank memberikan standing applause untuk Derya, tentu saja. Tidak hanya itu, dengan jumawa dia menarik laci meja kerja, mengambil amplop coklat besar yang sudah diisi dengan sejumlah uang yang cukup fantastis, tiga ribu Euro. B
"Selamat pagi," ucap Hiranur sopan pada resepsionis Seikamara Publishing. Pandangan tersorot penuh, senyum tipis terlengkung manis. "Saya Hiranur, mau bertemu dengan Ibu Seika Eline. Bisa?" Resepsionis menanyakan apakah dia sudah membuat janji dengan Seika sebelumnya? Hiranur menggeleng-gelengkan kepala lalu memberikan sebuah alasan yang menurutnya logis. "Gawai Ibu Seika Eline tidak aktif sejak kemarin sore. Jadi saya tidak sempat membuat janji. Tolong Ibu, ini penting sekali." "Baik, Ibu. Kalau begitu silakan tunggu, saya konfirmasi dengan Ibu Seika Eline terlebih dahulu." kata si Resepsionis sambil menunjuk ke kursi di depan biliknya. "Ini pun Ibu belum datang ke kantor, Ibu. Belum ada di ruang kerjanya." Hiranur tersenyum masam. "Baik, terima kasih." Dalam hati Hiranur bertanya-tanya, ada apakah gerangan sehingga sampai sesiang ini Seika belum juga ada di kantor? "Kata Bang Derya paling lambat jam delapan? Emh, ada apa ya?" Chat To@Bang Derya [Pagi, Bang] [Maaf kalau Hira ga
"Abang!" dengan segenap rasa rindu yang membara di rongga dada, Hiranur memanggil. Mempercepat langkah ke arahnya. Akhirnya, setelah sekian lama tiada berjumpa. Pucuk dicinta ulam pun tiba. "Abang Kama!" Melihat itu, Welas banting setir, tentu saja. Terus mendorong Kama untuk segera pergi dengan mimik wajah paling galak yang dia miliki. Sehingga Kama pun memahami, itu bukan situasi yang biasa. Terlebih setelah Welas memberi tahu kalau Seika tidak masuk kantor hari ini tadi. Jelas, segala pemikiran Kama terarah fokus padanya. Ada apa? Bagaimana keadaannya? Mengapa tidak memberi kabar? Tanpa berkata apa-apa lagi, Kama bergegas ke luar kantor, menuju area parkir mobil. Sama sekali tak terpikir olehnya kalau Hiranur justru menelepon, meminta waktu untuk bertemu meskipun hanya beberapa menit saja. Kama mati kutu dalam detik-detik yang semakin cepat melaju. Terpaksalah dia mengangkat teleponnya sambil melompat masuk ke dalam mobil. "Ada apa, Hira?" tanya Kama sambil mengedarkan pand
"Jadi kan, Kak Seika, Mbak Welas ngasih kabar ke kami kalau Kakak hilang. Nah, terus Kakak minta tolong Leon untuk pergi ke rumah kalian. Siapa tahu kalian butuh bantuan. Eh, ternyata kosong rumahnya." Sekar mengawali ceritanya, sementara Leon masih merangkul dari samping kanan, menguatkan. "Akhirnya kami ke Real Publishing. Eh, Bang Kama juga nggak ada di sana. Nah, terus Leon tanya ke bagian resepsionis. Iya kan, Leon?"Leon mengangguk, tersenyum sedih. "Iya, benar. Aku tanya, Kama berangkat ke kantor apa nggak? Katanya berangkat, setengah hari. Kembali sebentar menitipkan Firdaus ke Vivi, pegawai di bagian administrasi. Terus pergi lagi. Nah, nggak berapa lama dari itu, si Vivi itu tadi pergi juga, membawa Firdaus.""Dari itulah kami mulai curiga, ada yang nggak beres pasti!"Leon membenarkan kesimpulan yang dibuat Sekar. "Aku memberanikan diri masuk ke ruang kerja Bang Kama. Mana tahu ada sesuatu yang bisa dijadikan petunjuk." lanjut Sekar sambil melepaskan diri dari rangkulan Le
"Oh, Leon, terima kasih!" Seika tak mampu menutupi perasaan haru yang menyergap. "Aku nggak tahu gimana ceritanya kalau nggak ada kamu!" Sungguh, Seika merasa baru saja diselamatkan dari bencana alam yang begitu besar. Lebih besar dari tenggelamnya kapal Titanic, baginya. Bayangkanlah!Saat Leon berhasil menyusup masuk ke dalam rumah, Derya sedang bersiap-siap untuk menikahinya. Sudah duduk berhadapan dengan penghulu, dikelilingi oleh para saksi.Seumur hidup, baru kali itu Seika terlibat dalam sandiwara paling gila. Drama paling menguras emosi, tenaga jiwa dan raga. Bukan hanya melibatkan orang dewasa, Derya juga melibatkan Firdaus, seolah-olah penculikan itu adalah sebuah permainan anak-anak. "Serius, aku bahkan sudah berpikir untuk membawa Firdaus juga. Biar kami sama-sama nggak selamat, karena kasihan sekali kalau sampai dia jatuh ke tangan Derya untuk selamanya. Oh, dia tuh terlalu kejam untuk ukuran manusia. Terlalu jahat."Leon tersenyum simpul, menarik napas lega. "Sama-sam
Bencana!Mamak video call. Kama pun tertindih buah fiktif bernama simalakama seketika. Diangkat, tidak tahu harus berkata apa? Tidak diangkat, Mamak pasti curiga. "Ha, jangan-jangan Mamak telepon El tadi?" tanya hatinya begitu kuat. "Gawat!"Kama baru saja berpikir untuk mematikan ponsel ketika tiba-tiba ada panggilan masuk dari nomor tak dikenal. Sempat ragu tetapi akhirnya diangkat juga, dengan harapan itu adalah seseorang yang telah menculik Seika. Bahkan, Kama tidak memikirkan segala resiko yang mungkin terjadi. Terpenting Seika dapat ditemukan dalam keadaan sehat dan selamat tak kurang satu apa pun. "Ha---Halo!" sapa Kama gugup sambil mengurangi kecepatan laju mobil, menepi. Sekarang mereka sudah sampai di Jalan Parangtritis KM 5. Menurut alamat yang tertera di denah, sebentar lagi akan sampai di tempat persembunyian Derya. "Ini dengan siapa?""Ini Mamak, Kama! Pakai nomor abangmu yang baru. Kalian lagi di mana ini, Mamak telepon dari tadi kok, nggak diangkat?"Dug! Sekeras it
"Eh, jangan asal, ya?" Kama mulai tersebut amarah. "Aku nggak kenal siapa kamu. Jangankan gula-gula, tebu atau apa pun itu yang kamu bilang tadi. Dengar baik-baik, ya? Selain istriku, aku nggak pernah menyentuh yang namanya perempuan." tandas Kama emosional. "Minggir kamu, buang-buang waktu saja!" "Ya ampun, Kama … Beneran kamu nggak inget sama aku?" Adiva, tentu saja tak sudi melepaskan Kama. Hanya dia satu-satunya jalan untuk tetap bersama Derya. "Ternyata benar ya, kata teman-temanku, selain sampah kamu juga laki-laki gila!"Braaak! Dengan sangat kasar, Kama menutup pintu mobil kembali. Bisa-bisanya wanita yang tak dikenalnya ini bersikap lancang, merendahkan? "Hei, apa-apaan kamu? Apa yang kamu bilang tadi? Woi, sadar, woi! Bukan aku yang sampah, gila atau apa pun itu yang kamu tuduhkan tapi kamu. Buktinya? Kamu datang dengan cara misterius dan membuat masalah denganku. Sampah sekali kan, itu? Gila!""Eh, santai dong, Kama? Kok, malah jadi semeledak ini, sih? Ya ampun, malu don
"Leon!" tuduh Kama begitu menyadari CCTV di rumah sudah tidak terpasang lagi. Lebih tepatnya hilang dari tempatnya. "Pasti dia, siapa lagi? Ugh, dasar, brengsek! Kurang ajar, berani-beraninya membuat masalah denganku!" Secepat kilat, Kama kembali ke kamar, menggendong Firdaus yang ternyata sudah bangun. Berjalan cepat ke ruang makan, membuatkan susu. Memasukkan satu kaleng susu ke dalam tas bekal, diaper, tisu basah dan tiga setel baju ganti. "Kita ke kantor Daddy ya, Nak?" sebisa mungkin Kama bersikap tenang. "Nanti kamu Daddy titipkan sama Tante Vivi dulu, ya? Daddy harus mencari Mommy." Seakan mengerti situasi sulit yang dihadapi sang Ayah, Firdaus tersenyum tampan. Bukannya menangis, rewel atau sejenisnya. "Yuk, kita harus cepat, Nak!" ajak Kama sambil setengah berlari ke ruang tamu. Memastikan ponsel masih di saku celana. Menutup pintu dan menguncinya rapat-rapat. "Doakan ya Nak, semoga Mommy cepat ketemu?" Kama tak mau kehilangan waktu walau hanya satu detik. Sungguh, bag
Sesampainya di rumah, Kama langsung melompat turun dari mobil. Berlari ke teras, mengetuk pintu. Menekan bel dengan tak sabar namun tetap menunggu. Oleh karena mendengar tangisan Firdaus yang melengking-lengking dari ruang tamu, tanpa pikir panjang langsung membuka pintu. Semakin bingung karena ternyata pintu tidak dikunci, pertanyaan demi pertanyaan membombardir tanpa ampun. Apa yang terjadi?Ke mana Seika?Bagaimana bisa Firdaus menangis sejadi-jadinya seperti ini?"Firdaus, sini sama Daddy!" cakapnya di antara kepanikan yang mulai melanda. "Mommy ke mana, Nak?" Firdaus sudah tenang dalam pelukan Kama walau sesekali masih terisak. Sekarang the real Seika Eline's lover itu berjalan cepat ke kamar, berharap dapat menemukannya."El!" Kama terus memanggil di antara segala perasaan yang semakin tak menentu. "El, Eline!" Tak mengunduh sahutan barang secuil kecil kata pun Kama semakin bingung, panik dan ketakutan. Namun demikian dia masih bisa berjalan cepat ke luar kamar, menyisir se
"Selamat sore, Noni!" kedatangan Derya yang tiba-tiba lebih dari mengejutkan Seika. Mengusik ketenangan hati. "Der-Derya?" Seika tak mampu mengatasi rasa gugupnya. "Mau apa kamu di sini?" Derya tidak takut sedikit pun, tentu saja. Bukannya menarik langkah mundur atau bagaimana, dia malah semakin mendekat. Pantang menyerah."Tenang, Noni!" katanya sambil mengangkupkan tangan di dada. "Saya ke sini hanya untuk melihat Noni sebentar, tidak lebih.""Melihat, maksud kamu?" Seika memasang wajah galak, meskipun sebenarnya masih terkejut. Bingung. "Jangan macam-macam ya kamu, Derya!"Derya tersenyum optimis, sambil menggeleng-gelengkan kepala. "Nggak, Noni, percaya sama saya!"Seika mencebik, memunculkan sisi tegas dalam dirinya. "Dari dulu saya nggak pernah percaya sama kamu, Derya. Aneh saja kalau tiba-tiba percaya. To the point saja lah, ada perlu apa kamu ke sini? Oh ya, memangnya kamu belum kera juga setelah sekian waktu lamanya mendekam di penjara, ha?""Wah, wah, wah … Sekarang Noni
Firdaus Nismara. Bayi berumur empat bulan itu sudah tertidur lelap di box bayi. Baru saja Seika memandikan, memakaikan pakaian terbaik, memberinya susu formula. Tak hanya itu, Seika juga memutarkan lagu pengantar tidur. "Selamat mimpi indah, Firdaus. Mommy mau mandi dulu, ya?" bisiknya lembut. "Nanti, kalau Firdaus bangun tapi Mommy masih mandi, jangan nangis, ya? Mommy nggak lama, kok."Sejenak, Seika memandangi wajah polos dan suci Firdaus. Tak dapat dipungkiri, bayi ini mewarisi wajah cantik Siti Hapsari. Hidung bangir, bibir sexy, mata bulat besar, bulu mata lentik, alis tebal membentuk bulan sabit … Nyaris semuanya copy paste Siti Hapsari. Kecuali rambut pirang ikalnya, mewarisi rambut Mamak. "See you soon, Firdaus!" bisiknya tersendat-sendat, menahan tangis. "Oh, mamakmu di sana pasti bangga punya kamu, Anak Baik." Tak terasa air mata Seika menetes hangat. Teringat bagaimana hari itu, hari dimana Hirabur memberikan kabar tentang Siti Hapasari yang telah menutup mata untuk se
"Jangan lupa kasih kabar ya Welas, kalau kalian sudah sampai di sana?" lagi, Seika merengkuh Welas ke dalam pelukan, berbisik lembut. Air matanya kian deras melintang. "Ya ampun, nggak nyangka banget kamu akan sekuat ini, Welas. Berani banget ngambil keputusan. Oh, Ya Tuhan!"Kama menepuk-nepuk pundak Seika. Begitu juga Ayah dan Sekar. Tanpa berkata-kata, hanya mengulum senyum tipis, William memeluk Seika dan Welas bersamaan. Dua wanita itu adalah bagian terpenting dalam hidupnya. Dulu, setelah menikahi Welas, sekarang dan selamanya. "Pokoknya kita nggak boleh loss contact!" cetus Seika begitu pelukan mereka terlepas secara alami. Mulai hari ini Welas dan William akan pindah dan tinggal di Netherlands. Pekerjaanlah yang menuntut William untuk mengambil keputusan ini. Bagaimanapun, apa pun yang terjadi, mustahil Welas tinggal di Indonesia sendiri. Long Distance Relationship bukanlah sesuatu yang mudah untuk dijalani, baginya. Welas tertawa cekikikan. "Lah, kamu aneh banget deh, Sei!