Menir Hank menatap Derya dengan super serius. Tak dibiarkannya lepas dari pagutan sorot matanya meskipun hanya satu detik. Ini bukan lagi perkara memisahkan Seika dari Kama tapi membuat Seika pulang kembali ke rumah, bagaimanapun caranya. "Saya bersedia, Menir." tukas Derya menciptakan sebentuk kelegaan dalam hati Menir Hank. "Saya akan buktikan pada Menir, kalau saya tak sebodoh yang Menir kira!" Menir Hank tersenyum masam. Mencebik, lalu menghisap pipa rokoknya lagi. "Bagus. Kadang-kadang rasa sakit hati justru lebih berenergi dari pada semangat diri, Derya. Saya pegang kata-kata kamu, jangan sampai tak berbuah. Karena jika itu terjadi, saya tidak akan segan-segan mengeluarkan kamu dari Real Publishing. Paham?" Mantap, Derya menjawab, "Paham, Menir." Menir Hank memberikan standing applause untuk Derya, tentu saja. Tidak hanya itu, dengan jumawa dia menarik laci meja kerja, mengambil amplop coklat besar yang sudah diisi dengan sejumlah uang yang cukup fantastis, tiga ribu Euro. B
"Selamat pagi," ucap Hiranur sopan pada resepsionis Seikamara Publishing. Pandangan tersorot penuh, senyum tipis terlengkung manis. "Saya Hiranur, mau bertemu dengan Ibu Seika Eline. Bisa?" Resepsionis menanyakan apakah dia sudah membuat janji dengan Seika sebelumnya? Hiranur menggeleng-gelengkan kepala lalu memberikan sebuah alasan yang menurutnya logis. "Gawai Ibu Seika Eline tidak aktif sejak kemarin sore. Jadi saya tidak sempat membuat janji. Tolong Ibu, ini penting sekali." "Baik, Ibu. Kalau begitu silakan tunggu, saya konfirmasi dengan Ibu Seika Eline terlebih dahulu." kata si Resepsionis sambil menunjuk ke kursi di depan biliknya. "Ini pun Ibu belum datang ke kantor, Ibu. Belum ada di ruang kerjanya." Hiranur tersenyum masam. "Baik, terima kasih." Dalam hati Hiranur bertanya-tanya, ada apakah gerangan sehingga sampai sesiang ini Seika belum juga ada di kantor? "Kata Bang Derya paling lambat jam delapan? Emh, ada apa ya?" Chat To@Bang Derya [Pagi, Bang] [Maaf kalau Hira ga
"Abang!" dengan segenap rasa rindu yang membara di rongga dada, Hiranur memanggil. Mempercepat langkah ke arahnya. Akhirnya, setelah sekian lama tiada berjumpa. Pucuk dicinta ulam pun tiba. "Abang Kama!" Melihat itu, Welas banting setir, tentu saja. Terus mendorong Kama untuk segera pergi dengan mimik wajah paling galak yang dia miliki. Sehingga Kama pun memahami, itu bukan situasi yang biasa. Terlebih setelah Welas memberi tahu kalau Seika tidak masuk kantor hari ini tadi. Jelas, segala pemikiran Kama terarah fokus padanya. Ada apa? Bagaimana keadaannya? Mengapa tidak memberi kabar? Tanpa berkata apa-apa lagi, Kama bergegas ke luar kantor, menuju area parkir mobil. Sama sekali tak terpikir olehnya kalau Hiranur justru menelepon, meminta waktu untuk bertemu meskipun hanya beberapa menit saja. Kama mati kutu dalam detik-detik yang semakin cepat melaju. Terpaksalah dia mengangkat teleponnya sambil melompat masuk ke dalam mobil. "Ada apa, Hira?" tanya Kama sambil mengedarkan pand
Giliran Seika yang tertawa kecil. Setengahnya geli mendengar jawaban Kama, setengahnya lagi tersanjung sekaligus bersyukur. Kama sudah benar-benar sukses dalam hal ekonomi. Bukan hanya sukses tapi dengan senang hati memberikan apa yang dia butuhkan. Bahkan ketika itu alat transportasi yang tak murah, mobil. "Ya, aku transfer Kama …?" sesegera mungkin Seika memberikan penjelasan. "Iya memang, Papa sudah menarik semua fasilitas hidup aku tapi kan, aku juga punya tabungan sendiri. Kamu jangan khawatir ya, Kama? Aku benar-benar ada kok, yang untuk beli mobil." lanjutnya dengan penuh keyakinan. "Nanti, setelah mobil terbeli, bantu aku mencari rumah ya? Eh! Enaknya beli rumah yang sudah jadi atau beli tanah lalu kita bangun rumah ya, Kama?" Kama sangat mengenali bagaimana sepak terjang Seika. Jadi, dia tersenyum simpul, maklum. Apalagi dalam keadaan terusir seperti ini, jelas Seika langsung menyusun rencana-rencana baik untuk ke depannya. Sedangkan selama ini saja---dalam keadaan dimanja
Beruntung sekali Kama pagi ini, karena ternyata Seika tidak marah. Malah, dia meminta maaf karena sudah salah sangka dan cemburu berlebihan tadi. Tentu saja, Kama langsung tertawa bahagia. "Aku senang kok El, kalau kamu jealous kayak gitu!" ungkap Kama sambil merapikan rambut bagian depannya yang sudah panjang sealis mata. "Itu artinya kamu benar-benar love aku ya, kan?" Sebagaimana Kama, Seika juga tertawa bahagia. Malunya dia mengatakan, "Ya tapi jangan terlalu sering buat aku jealous ya, Kama? Nanti kalau jantungku rontok, bagaimana?" Mendengar permintaan manja dari sang Kekasih, Kama menyahut bijaksana setelah menyebarkan pandangan ke sekeliling, menghirup udara segar. "Ya, jangan sampai rontok dong El. Kalau sampai itu terjadi kan, bahaya banget? Aduh, bisa-bisa Menir Hank murka sampai ke sumsum tulang! Terus, aku dijadikan bahan bakar untuk perapian di sepanjang musim dingin. Hehehehe …!" "Hahahaha …!" mendengar kelakar Kama, Seika tertawa terpingkal-pingkal, terjungkal-j
Derya dan Welas masih duduk berhadapan di sebuah restoran mewah yang berada di bilangan Jalan Palagan Tentara Pelajar. Keduanya terlihat sama-sama emosional setelah pembicaraan serius tentang rencana tunangan mereka. Welas sampai meneteskan air mata oleh karena perkataan Derya yang begitu dalam menusuk hati. Tetapi, tentu saja Derya tak memperdulikan itu. Dia bahkan sudah menyiapkan sebuah cincin cantik yang terbuat dari mas murni untuk melamar Welas malam ini. Tetapi sayang, Welas justru mementahkan semuanya dengan alasan masih ingin meniti karir. Selain itu, masih takut untuk menjalin hubungan asmara akibat trauma di masa lalu. "Apa kekuranganku, Welas?" Derya bertanya sambil menutup kasar kotak cincin cantik berkilauan itu. "Ya, kalaupun mau membatalkan kenapa mendadak begini? Aku, beli cincin ini bukannya di pedagang kaki lima di pasar tradisional atau pasar lokal, Welas. Pikir dong, pakai otak!" Welas bangkit dari tempat duduknya. Berdiri tegak di depan Derya, memandang mata
Terpaksa. Tega tak tega, Kama terpaksa menelepon petugas bagian keamanan untuk mengusir Hiranur dari Seikamara Publishing. Sebenarnya Kama sudah bersikap dengan sebaik-baiknya pada Hiranur, menolak hantaran makan paginya pun dengan cara yang baik tetapi tidak mempan. Hiranur justru semakin bekeras, memaksa meninggalkan kotak makannya di meja ruang tamu. Tentu saja Kama keberatan. Sangat keberatan. Bukan saja demi menjaga perasaan Seika tetapi juga mencegah kejadian berikutnya. Kama yakin sekalinya dia menerima hantaran dari Hiranur, maka akan ada hantaran berikutnya dan begitu seterusnya. Meskipun tetangga kampung yang sudah saling mengenal sejak masa kanak-kanak dulu tetapi hal seperti itu tidak bisa dibenarkan. Kecuali Kama masih jomblo, tentu saja. "Baik Abang, baik … Abang jahat!" tuduh Hiranur sambil menuding-nuding wajah Kama yang bersemu merah, "Tak sangka Hira, kalau Abang akan bersikap setega ini. Sama-sama kita berangkat dari kampung untuk mencoba peruntungan di perantaua
[Ya Tuhan, Kama … Sebenarnya aku malu menceritakan ini sama kamu tapi harus. Baru semalam kejadiannya. Derya mau melamar aku, sudah bawa cincin tunangan tapi aku tolak. Ayahku punya feeling buruk tentang dia, Kama. Untung aku mengikuti saran Ayah, kalau nggak? Eh, tahu nggak sih, Kama? Bahkan Sekar, adik kembarku saja nggak sreg setiap kali melihat dia datang ke rumah.] Kama membaca pesan Welas dengan hati-hati dan teliti, jangan sampai salah memahami. [Nah, kalau aku secara pribadi aneh saja gitu, masa tiba-tiba dia naksir aku sih? Tiba-tiba jatuh cinta padahal dulu waktu masih sama-sama di RP sering banget lho, bully aku. Yang manggil aku dengan Super Girl lah, Glasses Woman lah, Cewek Tembus Pandag. Ya pokoknya aku merasa aneh banget, waktu ujug-ujug dia datang terus mendekat. Mustahil. BTW apa ya maksud dia bermain sandiwara seperti itu, Kama?] Sejenak, Kama berpikir keras. Membalas pesan Welas dengan bahasa paling sederhana dari yang dia miliki. [Karena kamu sahabat dekat Seik
"Jadi kan, Kak Seika, Mbak Welas ngasih kabar ke kami kalau Kakak hilang. Nah, terus Kakak minta tolong Leon untuk pergi ke rumah kalian. Siapa tahu kalian butuh bantuan. Eh, ternyata kosong rumahnya." Sekar mengawali ceritanya, sementara Leon masih merangkul dari samping kanan, menguatkan. "Akhirnya kami ke Real Publishing. Eh, Bang Kama juga nggak ada di sana. Nah, terus Leon tanya ke bagian resepsionis. Iya kan, Leon?"Leon mengangguk, tersenyum sedih. "Iya, benar. Aku tanya, Kama berangkat ke kantor apa nggak? Katanya berangkat, setengah hari. Kembali sebentar menitipkan Firdaus ke Vivi, pegawai di bagian administrasi. Terus pergi lagi. Nah, nggak berapa lama dari itu, si Vivi itu tadi pergi juga, membawa Firdaus.""Dari itulah kami mulai curiga, ada yang nggak beres pasti!"Leon membenarkan kesimpulan yang dibuat Sekar. "Aku memberanikan diri masuk ke ruang kerja Bang Kama. Mana tahu ada sesuatu yang bisa dijadikan petunjuk." lanjut Sekar sambil melepaskan diri dari rangkulan Le
"Oh, Leon, terima kasih!" Seika tak mampu menutupi perasaan haru yang menyergap. "Aku nggak tahu gimana ceritanya kalau nggak ada kamu!" Sungguh, Seika merasa baru saja diselamatkan dari bencana alam yang begitu besar. Lebih besar dari tenggelamnya kapal Titanic, baginya. Bayangkanlah!Saat Leon berhasil menyusup masuk ke dalam rumah, Derya sedang bersiap-siap untuk menikahinya. Sudah duduk berhadapan dengan penghulu, dikelilingi oleh para saksi.Seumur hidup, baru kali itu Seika terlibat dalam sandiwara paling gila. Drama paling menguras emosi, tenaga jiwa dan raga. Bukan hanya melibatkan orang dewasa, Derya juga melibatkan Firdaus, seolah-olah penculikan itu adalah sebuah permainan anak-anak. "Serius, aku bahkan sudah berpikir untuk membawa Firdaus juga. Biar kami sama-sama nggak selamat, karena kasihan sekali kalau sampai dia jatuh ke tangan Derya untuk selamanya. Oh, dia tuh terlalu kejam untuk ukuran manusia. Terlalu jahat."Leon tersenyum simpul, menarik napas lega. "Sama-sam
Bencana!Mamak video call. Kama pun tertindih buah fiktif bernama simalakama seketika. Diangkat, tidak tahu harus berkata apa? Tidak diangkat, Mamak pasti curiga. "Ha, jangan-jangan Mamak telepon El tadi?" tanya hatinya begitu kuat. "Gawat!"Kama baru saja berpikir untuk mematikan ponsel ketika tiba-tiba ada panggilan masuk dari nomor tak dikenal. Sempat ragu tetapi akhirnya diangkat juga, dengan harapan itu adalah seseorang yang telah menculik Seika. Bahkan, Kama tidak memikirkan segala resiko yang mungkin terjadi. Terpenting Seika dapat ditemukan dalam keadaan sehat dan selamat tak kurang satu apa pun. "Ha---Halo!" sapa Kama gugup sambil mengurangi kecepatan laju mobil, menepi. Sekarang mereka sudah sampai di Jalan Parangtritis KM 5. Menurut alamat yang tertera di denah, sebentar lagi akan sampai di tempat persembunyian Derya. "Ini dengan siapa?""Ini Mamak, Kama! Pakai nomor abangmu yang baru. Kalian lagi di mana ini, Mamak telepon dari tadi kok, nggak diangkat?"Dug! Sekeras it
"Eh, jangan asal, ya?" Kama mulai tersebut amarah. "Aku nggak kenal siapa kamu. Jangankan gula-gula, tebu atau apa pun itu yang kamu bilang tadi. Dengar baik-baik, ya? Selain istriku, aku nggak pernah menyentuh yang namanya perempuan." tandas Kama emosional. "Minggir kamu, buang-buang waktu saja!" "Ya ampun, Kama … Beneran kamu nggak inget sama aku?" Adiva, tentu saja tak sudi melepaskan Kama. Hanya dia satu-satunya jalan untuk tetap bersama Derya. "Ternyata benar ya, kata teman-temanku, selain sampah kamu juga laki-laki gila!"Braaak! Dengan sangat kasar, Kama menutup pintu mobil kembali. Bisa-bisanya wanita yang tak dikenalnya ini bersikap lancang, merendahkan? "Hei, apa-apaan kamu? Apa yang kamu bilang tadi? Woi, sadar, woi! Bukan aku yang sampah, gila atau apa pun itu yang kamu tuduhkan tapi kamu. Buktinya? Kamu datang dengan cara misterius dan membuat masalah denganku. Sampah sekali kan, itu? Gila!""Eh, santai dong, Kama? Kok, malah jadi semeledak ini, sih? Ya ampun, malu don
"Leon!" tuduh Kama begitu menyadari CCTV di rumah sudah tidak terpasang lagi. Lebih tepatnya hilang dari tempatnya. "Pasti dia, siapa lagi? Ugh, dasar, brengsek! Kurang ajar, berani-beraninya membuat masalah denganku!" Secepat kilat, Kama kembali ke kamar, menggendong Firdaus yang ternyata sudah bangun. Berjalan cepat ke ruang makan, membuatkan susu. Memasukkan satu kaleng susu ke dalam tas bekal, diaper, tisu basah dan tiga setel baju ganti. "Kita ke kantor Daddy ya, Nak?" sebisa mungkin Kama bersikap tenang. "Nanti kamu Daddy titipkan sama Tante Vivi dulu, ya? Daddy harus mencari Mommy." Seakan mengerti situasi sulit yang dihadapi sang Ayah, Firdaus tersenyum tampan. Bukannya menangis, rewel atau sejenisnya. "Yuk, kita harus cepat, Nak!" ajak Kama sambil setengah berlari ke ruang tamu. Memastikan ponsel masih di saku celana. Menutup pintu dan menguncinya rapat-rapat. "Doakan ya Nak, semoga Mommy cepat ketemu?" Kama tak mau kehilangan waktu walau hanya satu detik. Sungguh, bag
Sesampainya di rumah, Kama langsung melompat turun dari mobil. Berlari ke teras, mengetuk pintu. Menekan bel dengan tak sabar namun tetap menunggu. Oleh karena mendengar tangisan Firdaus yang melengking-lengking dari ruang tamu, tanpa pikir panjang langsung membuka pintu. Semakin bingung karena ternyata pintu tidak dikunci, pertanyaan demi pertanyaan membombardir tanpa ampun. Apa yang terjadi?Ke mana Seika?Bagaimana bisa Firdaus menangis sejadi-jadinya seperti ini?"Firdaus, sini sama Daddy!" cakapnya di antara kepanikan yang mulai melanda. "Mommy ke mana, Nak?" Firdaus sudah tenang dalam pelukan Kama walau sesekali masih terisak. Sekarang the real Seika Eline's lover itu berjalan cepat ke kamar, berharap dapat menemukannya."El!" Kama terus memanggil di antara segala perasaan yang semakin tak menentu. "El, Eline!" Tak mengunduh sahutan barang secuil kecil kata pun Kama semakin bingung, panik dan ketakutan. Namun demikian dia masih bisa berjalan cepat ke luar kamar, menyisir se
"Selamat sore, Noni!" kedatangan Derya yang tiba-tiba lebih dari mengejutkan Seika. Mengusik ketenangan hati. "Der-Derya?" Seika tak mampu mengatasi rasa gugupnya. "Mau apa kamu di sini?" Derya tidak takut sedikit pun, tentu saja. Bukannya menarik langkah mundur atau bagaimana, dia malah semakin mendekat. Pantang menyerah."Tenang, Noni!" katanya sambil mengangkupkan tangan di dada. "Saya ke sini hanya untuk melihat Noni sebentar, tidak lebih.""Melihat, maksud kamu?" Seika memasang wajah galak, meskipun sebenarnya masih terkejut. Bingung. "Jangan macam-macam ya kamu, Derya!"Derya tersenyum optimis, sambil menggeleng-gelengkan kepala. "Nggak, Noni, percaya sama saya!"Seika mencebik, memunculkan sisi tegas dalam dirinya. "Dari dulu saya nggak pernah percaya sama kamu, Derya. Aneh saja kalau tiba-tiba percaya. To the point saja lah, ada perlu apa kamu ke sini? Oh ya, memangnya kamu belum kera juga setelah sekian waktu lamanya mendekam di penjara, ha?""Wah, wah, wah … Sekarang Noni
Firdaus Nismara. Bayi berumur empat bulan itu sudah tertidur lelap di box bayi. Baru saja Seika memandikan, memakaikan pakaian terbaik, memberinya susu formula. Tak hanya itu, Seika juga memutarkan lagu pengantar tidur. "Selamat mimpi indah, Firdaus. Mommy mau mandi dulu, ya?" bisiknya lembut. "Nanti, kalau Firdaus bangun tapi Mommy masih mandi, jangan nangis, ya? Mommy nggak lama, kok."Sejenak, Seika memandangi wajah polos dan suci Firdaus. Tak dapat dipungkiri, bayi ini mewarisi wajah cantik Siti Hapsari. Hidung bangir, bibir sexy, mata bulat besar, bulu mata lentik, alis tebal membentuk bulan sabit … Nyaris semuanya copy paste Siti Hapsari. Kecuali rambut pirang ikalnya, mewarisi rambut Mamak. "See you soon, Firdaus!" bisiknya tersendat-sendat, menahan tangis. "Oh, mamakmu di sana pasti bangga punya kamu, Anak Baik." Tak terasa air mata Seika menetes hangat. Teringat bagaimana hari itu, hari dimana Hirabur memberikan kabar tentang Siti Hapasari yang telah menutup mata untuk se
"Jangan lupa kasih kabar ya Welas, kalau kalian sudah sampai di sana?" lagi, Seika merengkuh Welas ke dalam pelukan, berbisik lembut. Air matanya kian deras melintang. "Ya ampun, nggak nyangka banget kamu akan sekuat ini, Welas. Berani banget ngambil keputusan. Oh, Ya Tuhan!"Kama menepuk-nepuk pundak Seika. Begitu juga Ayah dan Sekar. Tanpa berkata-kata, hanya mengulum senyum tipis, William memeluk Seika dan Welas bersamaan. Dua wanita itu adalah bagian terpenting dalam hidupnya. Dulu, setelah menikahi Welas, sekarang dan selamanya. "Pokoknya kita nggak boleh loss contact!" cetus Seika begitu pelukan mereka terlepas secara alami. Mulai hari ini Welas dan William akan pindah dan tinggal di Netherlands. Pekerjaanlah yang menuntut William untuk mengambil keputusan ini. Bagaimanapun, apa pun yang terjadi, mustahil Welas tinggal di Indonesia sendiri. Long Distance Relationship bukanlah sesuatu yang mudah untuk dijalani, baginya. Welas tertawa cekikikan. "Lah, kamu aneh banget deh, Sei!