Terpaksa. Tega tak tega, Kama terpaksa menelepon petugas bagian keamanan untuk mengusir Hiranur dari Seikamara Publishing. Sebenarnya Kama sudah bersikap dengan sebaik-baiknya pada Hiranur, menolak hantaran makan paginya pun dengan cara yang baik tetapi tidak mempan. Hiranur justru semakin bekeras, memaksa meninggalkan kotak makannya di meja ruang tamu. Tentu saja Kama keberatan. Sangat keberatan. Bukan saja demi menjaga perasaan Seika tetapi juga mencegah kejadian berikutnya. Kama yakin sekalinya dia menerima hantaran dari Hiranur, maka akan ada hantaran berikutnya dan begitu seterusnya. Meskipun tetangga kampung yang sudah saling mengenal sejak masa kanak-kanak dulu tetapi hal seperti itu tidak bisa dibenarkan. Kecuali Kama masih jomblo, tentu saja. "Baik Abang, baik … Abang jahat!" tuduh Hiranur sambil menuding-nuding wajah Kama yang bersemu merah, "Tak sangka Hira, kalau Abang akan bersikap setega ini. Sama-sama kita berangkat dari kampung untuk mencoba peruntungan di perantaua
[Ya Tuhan, Kama … Sebenarnya aku malu menceritakan ini sama kamu tapi harus. Baru semalam kejadiannya. Derya mau melamar aku, sudah bawa cincin tunangan tapi aku tolak. Ayahku punya feeling buruk tentang dia, Kama. Untung aku mengikuti saran Ayah, kalau nggak? Eh, tahu nggak sih, Kama? Bahkan Sekar, adik kembarku saja nggak sreg setiap kali melihat dia datang ke rumah.] Kama membaca pesan Welas dengan hati-hati dan teliti, jangan sampai salah memahami. [Nah, kalau aku secara pribadi aneh saja gitu, masa tiba-tiba dia naksir aku sih? Tiba-tiba jatuh cinta padahal dulu waktu masih sama-sama di RP sering banget lho, bully aku. Yang manggil aku dengan Super Girl lah, Glasses Woman lah, Cewek Tembus Pandag. Ya pokoknya aku merasa aneh banget, waktu ujug-ujug dia datang terus mendekat. Mustahil. BTW apa ya maksud dia bermain sandiwara seperti itu, Kama?] Sejenak, Kama berpikir keras. Membalas pesan Welas dengan bahasa paling sederhana dari yang dia miliki. [Karena kamu sahabat dekat Seik
Di ruang kerjanya, Welas seperti kejatuhan rudal. Sekujur tubuh langsung dibanjiri keringat dingin. Dalam hati merapalkan doa-doa, semoga tidak terjadi kesalahpahaman antara Kama dan Seika. Semoga baik-baik saja semuanya. Sungguh, dia tak menginginkan sesuatu yang tak diinginkan terjadi pada mereka. "Ya, El." Kama memilih jujur. Baginya kejujuran adalah hal yang paling utama dalam hidup ini. Katakanlah kebenaran walaupun pahit. "Tadi pagi Hiranur ke kantor. Niatnya mengirimkan makan pagi untukku tapi kutolak. Dia mendesak, memaksa tapi aku berkeras sampai akhirnya menugaskan bagian sekuriti untuk mengusir dia pergi. Mengancam juga sih, awas kalau ke depan masih datang ke kantor lagi atau mengganggu aku lagi." Seika baru membuka mulut mau memberikan tanggapan tapi Kama sudah terlanjur mengambil alih saluran telepon. "Demikan laporan kejujuran mengenai kedatangan Hiranur ke Seikamara Publishing. Saya Kama, melaporkan dari ruang kerja. Untuk informasi selengkapnya Anda bisa menanyai s
Merasa ada kejanggalan, ditemani oleh Welas, Kama memeriksa rekaman CCTV di Seikamara Publishing. Siapa sosok yang ada di belakang Hiranur? Maksudnya, yang telah memotret peristiwa Hiranur mengantarkan makan pagi untuk Kama. Sepanjang yang dia ingat, hanya ada mereka berdua lalu petugas bagian sekuriti itu pun setelah dia menelepon, memanggil ke ruang tamu. Apa karena dia cukup emosional waktu itu, sehingga tak melihat ada orang lain di sana? "Tapi foto itu diambil di dalam ruangan, lho!" gumam Kama sambil mengingat-ingat beberapa foto yang dikirimkan Seika padanya. "Ini benar-benar aneh bin ajaib! Harusnya yang memotret kami juga ada di ruang tamu, kan? Ruang tamu bagian dalam, kalau menilik dari baca ground fo---" "Ha, ya ampun Kama … Lihat ini!" tunjuk Welas pada layar komputer. "Ha, ternyata Derya!" Dengan marah yang semakin intensif membakar hati, Kama melihat ke arah yang ditunjukkan Welas. "Iya, benar. Berarti ada yang nggak beres sama petugas bagian sekuriti, ini. Perlu se
"Aduh Welas, aku sampai mandi keringat dingin ini menunggu informasi dari kamu." keluh Seika saat Welas meneleponnya beberapa menit setelah Menir Hank berpamitan pulang. "Bagaimana Welas, Papa menemui kamu ya? Terus bagaimana?" Tanpa tedheng aling-aling, Welas menjelaskan semuanya pasa Seika. Mulai dari Menir Hank yang mengenalkan William sampai pada pesan pentingnya untuk segera memberi kabar jika Seika sudah berangkat ke kantor. Dia juga menceritakan tentang cuti panjang karangannya demi kebaikan bersama. Walaupun akhirnya mendebarkan dada tetapi Welas merasa itu jawaban yang terbaik. Walaupun cuti panjang itu bukan berarti resign atau malah pensiun tetapi setidaknya masih ada waktu untuk berkoordinasi dengan Seika. "Ya, begitulah Sei. Maafkan aku ya, jika alasan cuti panjang itu menyusahkan kamu?" "Ha, apa?" tanya Seika secara spontan---terhenyak kuadrat---saat mendengar nama William disebut. "Oh sorry Welas, aku benar-benar terkejut ini. Shocked. Soal cuti panjang itu kita pik
Gontai, Hiranur berjalan kembali ke ruang kerja, usai memenuhi panggilan William. Saat ini dia merasa tubuh sudah terbelah menjadi dua. Bagaimana tidak? Hari ini juga paling lambat besok pagi dia harus mencetak brosur promosi baru, ide cemerlang dari William. Gila menurutnya tetapi tentu saja Hiranur tak berani menyanggah. Cukup mengherankan memang, belum pernah dia setakut itu ketika berhadapan dengan atasan. Apakah karena William orang asing? Mungkin. Ah tapi Menir Hank juga orang asing, bukan dan Hiranur tak pernah takut. Segan, hormat namun tidak takut. "Hanya mengandalkan keuntungan dari penjualan saja?" cebik Hiranur sambil menghempaskan tubuh ke kursi kerjanya yang empuk, bersih dan wangi. "Konyol kali bah, hajab!" (Konyol banget ah, berat!): bahasa Aceh. "Satu eksemplar buku, misalnya dijual delapan puluh ribu. Dipotong royalty untuk penulis dua puluh persen, tinggal enam puluh empat ribu. Biaya pengurusan ISBN? Hahahaha, selamat makan angin, Real Publishing!" Hiranur bergu
Di hadapan Menir Hank, William tersenyum miring penuh wibawa. Sorot matanya begitu tajam dan dalam, seolah-olah ingin menembus dasar bola mata pamannya itu. "Menurut saya Om, hanya ada satu pilihan untuk saat ini. Meluncurkan ide saya atau membiarkan Seikamara Publishing semakin berkibar di udara?" William mengetuk-ngetukkan pulpen di atas meja kerja Menir Hank. "Om tahu? Mereka sudah tersebar di beberapa kota besar di Indonesia. Yogyakarta, Aceh, Medan dan Jakarta. Sedangkan Real Publishing? Hello Om Hank, please open our eyes!" (Halo Om Hank, tolong buka mata kita lebar-lebar!) Menir Hank masih diam, berpikir super keras atas semua yang disampaikan keponakan satu-satunya itu. Dia mengakui kalau ide William untuk membuka free publishing selama tiga bulan ini memang cemerlang. Tetapi bukan berarti menginginkan kerugian atau minimal penurunan pendapatan. "Memang benar Om, target kita bukan runtuh atau hancurnya Seikamara Publishing tetapi kepulangan Seika Eline. Kembalinya dia ke
Sebisa mungkin Derya menjaga ketegasan dan kesopanan di hadapan Menir Hank. Bagaimanapun sikapnya harus selaras dengan alasan studi yang telah diajukan padanya. Dia juga mewajibkan diri untuk terus memikirkan bagaimana caranya menggiring Menir Hank ke lembah kematian. Wajib elegan, silent dan sukses. Dia tahu persis kalau owner sekaligus pimpinan puncak Real Publishing ini daya kerja jantungnya sudah melemah. Terbukti dalam satu tahun terakhir ini, lebih dari tiga kali dilarikan ke rumah sakit karena heart attack. Jadi, Derya hanya membutuhkan satu sentakan untuk mensukeskan misinya setelah tadi berhasil mematikan CCTV secara total. Sayang sampai detik ini ide sentakan itu belum juga muncul dalam benaknya. "Saya akan segera mengurus surat pengunduran diri saya, Menir." ungkap Derya sambil menunduk, menekuri karpet dark grey yang terbentang di bawah meja kerja Menir Hank. "Saya doakan semoga Real Publishing semakin jaya di udara." perlahan-lahan namun pasti, Derya mengangkat wajah.
"Jadi kan, Kak Seika, Mbak Welas ngasih kabar ke kami kalau Kakak hilang. Nah, terus Kakak minta tolong Leon untuk pergi ke rumah kalian. Siapa tahu kalian butuh bantuan. Eh, ternyata kosong rumahnya." Sekar mengawali ceritanya, sementara Leon masih merangkul dari samping kanan, menguatkan. "Akhirnya kami ke Real Publishing. Eh, Bang Kama juga nggak ada di sana. Nah, terus Leon tanya ke bagian resepsionis. Iya kan, Leon?"Leon mengangguk, tersenyum sedih. "Iya, benar. Aku tanya, Kama berangkat ke kantor apa nggak? Katanya berangkat, setengah hari. Kembali sebentar menitipkan Firdaus ke Vivi, pegawai di bagian administrasi. Terus pergi lagi. Nah, nggak berapa lama dari itu, si Vivi itu tadi pergi juga, membawa Firdaus.""Dari itulah kami mulai curiga, ada yang nggak beres pasti!"Leon membenarkan kesimpulan yang dibuat Sekar. "Aku memberanikan diri masuk ke ruang kerja Bang Kama. Mana tahu ada sesuatu yang bisa dijadikan petunjuk." lanjut Sekar sambil melepaskan diri dari rangkulan Le
"Oh, Leon, terima kasih!" Seika tak mampu menutupi perasaan haru yang menyergap. "Aku nggak tahu gimana ceritanya kalau nggak ada kamu!" Sungguh, Seika merasa baru saja diselamatkan dari bencana alam yang begitu besar. Lebih besar dari tenggelamnya kapal Titanic, baginya. Bayangkanlah!Saat Leon berhasil menyusup masuk ke dalam rumah, Derya sedang bersiap-siap untuk menikahinya. Sudah duduk berhadapan dengan penghulu, dikelilingi oleh para saksi.Seumur hidup, baru kali itu Seika terlibat dalam sandiwara paling gila. Drama paling menguras emosi, tenaga jiwa dan raga. Bukan hanya melibatkan orang dewasa, Derya juga melibatkan Firdaus, seolah-olah penculikan itu adalah sebuah permainan anak-anak. "Serius, aku bahkan sudah berpikir untuk membawa Firdaus juga. Biar kami sama-sama nggak selamat, karena kasihan sekali kalau sampai dia jatuh ke tangan Derya untuk selamanya. Oh, dia tuh terlalu kejam untuk ukuran manusia. Terlalu jahat."Leon tersenyum simpul, menarik napas lega. "Sama-sam
Bencana!Mamak video call. Kama pun tertindih buah fiktif bernama simalakama seketika. Diangkat, tidak tahu harus berkata apa? Tidak diangkat, Mamak pasti curiga. "Ha, jangan-jangan Mamak telepon El tadi?" tanya hatinya begitu kuat. "Gawat!"Kama baru saja berpikir untuk mematikan ponsel ketika tiba-tiba ada panggilan masuk dari nomor tak dikenal. Sempat ragu tetapi akhirnya diangkat juga, dengan harapan itu adalah seseorang yang telah menculik Seika. Bahkan, Kama tidak memikirkan segala resiko yang mungkin terjadi. Terpenting Seika dapat ditemukan dalam keadaan sehat dan selamat tak kurang satu apa pun. "Ha---Halo!" sapa Kama gugup sambil mengurangi kecepatan laju mobil, menepi. Sekarang mereka sudah sampai di Jalan Parangtritis KM 5. Menurut alamat yang tertera di denah, sebentar lagi akan sampai di tempat persembunyian Derya. "Ini dengan siapa?""Ini Mamak, Kama! Pakai nomor abangmu yang baru. Kalian lagi di mana ini, Mamak telepon dari tadi kok, nggak diangkat?"Dug! Sekeras it
"Eh, jangan asal, ya?" Kama mulai tersebut amarah. "Aku nggak kenal siapa kamu. Jangankan gula-gula, tebu atau apa pun itu yang kamu bilang tadi. Dengar baik-baik, ya? Selain istriku, aku nggak pernah menyentuh yang namanya perempuan." tandas Kama emosional. "Minggir kamu, buang-buang waktu saja!" "Ya ampun, Kama … Beneran kamu nggak inget sama aku?" Adiva, tentu saja tak sudi melepaskan Kama. Hanya dia satu-satunya jalan untuk tetap bersama Derya. "Ternyata benar ya, kata teman-temanku, selain sampah kamu juga laki-laki gila!"Braaak! Dengan sangat kasar, Kama menutup pintu mobil kembali. Bisa-bisanya wanita yang tak dikenalnya ini bersikap lancang, merendahkan? "Hei, apa-apaan kamu? Apa yang kamu bilang tadi? Woi, sadar, woi! Bukan aku yang sampah, gila atau apa pun itu yang kamu tuduhkan tapi kamu. Buktinya? Kamu datang dengan cara misterius dan membuat masalah denganku. Sampah sekali kan, itu? Gila!""Eh, santai dong, Kama? Kok, malah jadi semeledak ini, sih? Ya ampun, malu don
"Leon!" tuduh Kama begitu menyadari CCTV di rumah sudah tidak terpasang lagi. Lebih tepatnya hilang dari tempatnya. "Pasti dia, siapa lagi? Ugh, dasar, brengsek! Kurang ajar, berani-beraninya membuat masalah denganku!" Secepat kilat, Kama kembali ke kamar, menggendong Firdaus yang ternyata sudah bangun. Berjalan cepat ke ruang makan, membuatkan susu. Memasukkan satu kaleng susu ke dalam tas bekal, diaper, tisu basah dan tiga setel baju ganti. "Kita ke kantor Daddy ya, Nak?" sebisa mungkin Kama bersikap tenang. "Nanti kamu Daddy titipkan sama Tante Vivi dulu, ya? Daddy harus mencari Mommy." Seakan mengerti situasi sulit yang dihadapi sang Ayah, Firdaus tersenyum tampan. Bukannya menangis, rewel atau sejenisnya. "Yuk, kita harus cepat, Nak!" ajak Kama sambil setengah berlari ke ruang tamu. Memastikan ponsel masih di saku celana. Menutup pintu dan menguncinya rapat-rapat. "Doakan ya Nak, semoga Mommy cepat ketemu?" Kama tak mau kehilangan waktu walau hanya satu detik. Sungguh, bag
Sesampainya di rumah, Kama langsung melompat turun dari mobil. Berlari ke teras, mengetuk pintu. Menekan bel dengan tak sabar namun tetap menunggu. Oleh karena mendengar tangisan Firdaus yang melengking-lengking dari ruang tamu, tanpa pikir panjang langsung membuka pintu. Semakin bingung karena ternyata pintu tidak dikunci, pertanyaan demi pertanyaan membombardir tanpa ampun. Apa yang terjadi?Ke mana Seika?Bagaimana bisa Firdaus menangis sejadi-jadinya seperti ini?"Firdaus, sini sama Daddy!" cakapnya di antara kepanikan yang mulai melanda. "Mommy ke mana, Nak?" Firdaus sudah tenang dalam pelukan Kama walau sesekali masih terisak. Sekarang the real Seika Eline's lover itu berjalan cepat ke kamar, berharap dapat menemukannya."El!" Kama terus memanggil di antara segala perasaan yang semakin tak menentu. "El, Eline!" Tak mengunduh sahutan barang secuil kecil kata pun Kama semakin bingung, panik dan ketakutan. Namun demikian dia masih bisa berjalan cepat ke luar kamar, menyisir se
"Selamat sore, Noni!" kedatangan Derya yang tiba-tiba lebih dari mengejutkan Seika. Mengusik ketenangan hati. "Der-Derya?" Seika tak mampu mengatasi rasa gugupnya. "Mau apa kamu di sini?" Derya tidak takut sedikit pun, tentu saja. Bukannya menarik langkah mundur atau bagaimana, dia malah semakin mendekat. Pantang menyerah."Tenang, Noni!" katanya sambil mengangkupkan tangan di dada. "Saya ke sini hanya untuk melihat Noni sebentar, tidak lebih.""Melihat, maksud kamu?" Seika memasang wajah galak, meskipun sebenarnya masih terkejut. Bingung. "Jangan macam-macam ya kamu, Derya!"Derya tersenyum optimis, sambil menggeleng-gelengkan kepala. "Nggak, Noni, percaya sama saya!"Seika mencebik, memunculkan sisi tegas dalam dirinya. "Dari dulu saya nggak pernah percaya sama kamu, Derya. Aneh saja kalau tiba-tiba percaya. To the point saja lah, ada perlu apa kamu ke sini? Oh ya, memangnya kamu belum kera juga setelah sekian waktu lamanya mendekam di penjara, ha?""Wah, wah, wah … Sekarang Noni
Firdaus Nismara. Bayi berumur empat bulan itu sudah tertidur lelap di box bayi. Baru saja Seika memandikan, memakaikan pakaian terbaik, memberinya susu formula. Tak hanya itu, Seika juga memutarkan lagu pengantar tidur. "Selamat mimpi indah, Firdaus. Mommy mau mandi dulu, ya?" bisiknya lembut. "Nanti, kalau Firdaus bangun tapi Mommy masih mandi, jangan nangis, ya? Mommy nggak lama, kok."Sejenak, Seika memandangi wajah polos dan suci Firdaus. Tak dapat dipungkiri, bayi ini mewarisi wajah cantik Siti Hapsari. Hidung bangir, bibir sexy, mata bulat besar, bulu mata lentik, alis tebal membentuk bulan sabit … Nyaris semuanya copy paste Siti Hapsari. Kecuali rambut pirang ikalnya, mewarisi rambut Mamak. "See you soon, Firdaus!" bisiknya tersendat-sendat, menahan tangis. "Oh, mamakmu di sana pasti bangga punya kamu, Anak Baik." Tak terasa air mata Seika menetes hangat. Teringat bagaimana hari itu, hari dimana Hirabur memberikan kabar tentang Siti Hapasari yang telah menutup mata untuk se
"Jangan lupa kasih kabar ya Welas, kalau kalian sudah sampai di sana?" lagi, Seika merengkuh Welas ke dalam pelukan, berbisik lembut. Air matanya kian deras melintang. "Ya ampun, nggak nyangka banget kamu akan sekuat ini, Welas. Berani banget ngambil keputusan. Oh, Ya Tuhan!"Kama menepuk-nepuk pundak Seika. Begitu juga Ayah dan Sekar. Tanpa berkata-kata, hanya mengulum senyum tipis, William memeluk Seika dan Welas bersamaan. Dua wanita itu adalah bagian terpenting dalam hidupnya. Dulu, setelah menikahi Welas, sekarang dan selamanya. "Pokoknya kita nggak boleh loss contact!" cetus Seika begitu pelukan mereka terlepas secara alami. Mulai hari ini Welas dan William akan pindah dan tinggal di Netherlands. Pekerjaanlah yang menuntut William untuk mengambil keputusan ini. Bagaimanapun, apa pun yang terjadi, mustahil Welas tinggal di Indonesia sendiri. Long Distance Relationship bukanlah sesuatu yang mudah untuk dijalani, baginya. Welas tertawa cekikikan. "Lah, kamu aneh banget deh, Sei!