Dinda celingukan, baru menyadari bahwa ia ditinggal sendirian, berdua dengan Gibran tepatnya. Mendadak wajahnya panas saat mengingat percakapan mereka sebelum Gibran datang."Ditanya malah celingukan?" tanya Gibran dengan tawa pelan."Tadi Nda ramean di sini, deh. Kok pada ngilang. Uda ngeliat Nda sama teman yang lain, kan tadi?" tanya Dinda dengan wajah heran.Gibran turut celingukan. Kemudian dia menggeleng. "Nggak, tadi aku ngeliat Nda sendiri aja di sini."Mata dan bibir Dinda membulat, reflek Dinda mengusap tengkuk. "Uda serius?"Gibran mengangguk."Terus dari tadi Nda ngobrol sama siapa?" gumam Dinda dengan wajah pias. Dia yakin yang tadi bersamanya memang benar teman pelatihannya. Lalu bibir Dinda mengulas senyum dengan embusan napas lega, saat mendapati teman-temannya itu berdiri di balik dinding pembatas antara area kolam renang dan servis area."Itu mereka," tukas Dinda menunjuk dengan wajah lega.Gibran hanya menoleh sekilas, tak tertarik dengan mereka yang menyembunyikan d
Fahri memacu kembali mobilnya menuju daerah Puncak setelah mendapat kabar bahwa Dinda kritis. Berbagai pikiran buruk silih berganti memenuhi benaknya. Kemudian kelebat senyum lemah Dinda saat mereka berpisah tadi, membuat ketakutan Fahri semakin menjadi. Bagaimana jika itu adalah pertanda perpisahan dari istrinya. Berkali-kali lelaki di belakang kemudi itu mengusap kasar matanya yang mengabur dan terasa panas. Sesal menyelimuti hatinya. Fahri takut ditinggalkan untuk kedua kalinya, hatinya terlalu rapuh untuk kembali menerima kehilangan.Bulan depan tepat satu tahun pernikahan mereka, reka adegan kenangan bersama Dinda selama hampir satu tahun ini membuat rasa bersalah merayapi hati Fahri. Menyadari betapa buruknya ia memperlakukan Dinda. Bahkan sebaris kata cinta saja enggan ia ucapkan. Lalu bayangan sorot mata Dinda yang penuh harap kembali memenuhi ruang memorinya. Perempuan itu rela merendahkan harga diri demi mengharapkan sebuah pengakuan darinya. Dan dengan brengseknya ia selalu
"Uda pulang dulu," pamit Fahri setelah mengantarkan Dinda kembali ke hotel. Pukul 09.00 Dinda sudah diizinkan pulang setelah kondisinya stabil.Dinda hanya mengangguk dan meluncur turun tanpa berkata apa pun. Bahkan tanpa mengucapkan terima kasih seperti biasa. Kalimat Fahri yang menyalahkannya di rumah sakit semalam, membekas dalam benak Dinda. Melukai jantung dan hatinya. Sebegitu tak berharganya ia di mata Fahri, bahkan ketika ia tengah terbaring lemah di rumah sakit pun, lelaki itu masih saja mengucapkan kalimat tajam. Menyesal Dinda telah meninggikan harapan. Toh, pada kenyataannya, Fahri tetap lah Fahri yang memiliki hati batu. Entah berapa lama usaha yang harus ia lakukan agar hati sekeras batu itu bisa melunak."Nda!" Fahri teringat kembali kejadian kemarin, Dinda juga pergi seperti ini, tetapi kemarin Dinda masih mengucapkan salam perpisahan. Tiba-tiba rasa takut kembali menyerang, bagaimana jika Dinda akhirnya benar-benar pergi tanpa salam perpisahan.Namun, begitu berada di
Lelah menangis, Dinda beranjak ke kamar mandi. Berendam air hangat di bath up, berharap dapat mengurangi penat di tubuh dan hatinya. Ia merenungi perjalanan pernikahan mereka yang baru akan menginjak satu tahun di bulan depan. Apakah pernikahan ini layak dipertahankan jika terus merasa tak dianggap. Entah apa arti kehadirannya bagi Fahri. Namun, Dinda segera menepis rasa putus asanya. Tak ada rumah tangga yang tak diuji, kalimat itu kembali terngiang di benak Dinda. Ujiannya adalah sifat Fahri yang sulit ditebak. Terkadang manis, terkadang bikin meringis. Dinda baru saja selesai mengenakan pakaiannya ketika Nunik masuk kamar."Dinda sudah enakan?" tanya Nunik dengan sorot mata dan nada prihatin. "Sudah, Nik. Sudah mendingan," Dinda mengulas senyum lebar. Seperti biasa ia selalu saja menyembunyikan perasaan kacau balaunya di balik senyuman. "Pak Gibran nyuruh aku nengok Dinda ke kamar, sepertinya dia khawatir banget," tukas Nunik sembari menghempaskan bokongnya di bibir ranjang.Din
"Bukan cuma perasaan Nda, kok. Memang aku ada rasa sama, Nda. Aku sayang sama Nda," balasnya dengan nada santai. Gibran tak lagi peduli dengan status Dinda. Toh, dari percakapan sekilas yang ia dengar semalam, nyata sudah bahwa Dinda begitu menghiba mengemis perasaan pada lelaki yang berstatus suaminya itu. Gibran tak rela, perempuan yang ia cintai sepenuh jiwa itu diperlakukan seperti itu.Dinda terkesiap mendengar kalimat yang meluncur dengan santainya dari bibir Gibran. "Astaghfirullah, Uda. Nda sudah menikah. Nggak baik Uda ngomong kayak gitu," balas Dinda dengan perasaan bergejolak."Apa Nda bahagia dinikahi sama laki-laki yang nggak pernah cinta sama Nda? Perempuan itu kodratnya dicintai, bukan mengemis-ngemis untuk dicintai, Nda!" Kali ini nada suara Gibran mulai meninggi.Dinda berusaha menelan ludahnya yang mendadak terasa kering. Mengerjapkan mata dengan cepat agar bulir hangat di netranya tak luruh. Tenggorokannya terasa tercekat. Dia tidak mengerti dari mana Gibran tau kon
Gibran mengusap kasar wajahnya setelah Dinda keluar dari ruangan. Entah setan apa yang menghasut hingga ia berani menyatakan perasaan pada perempuan yang telah bersuami. Padahal saat Dinda resmi melepas lajang, Gibran sudah bertekad untuk melepaskan Dinda. Akan tetapi, perasaan yang selalu ia tekan, melambung ke permukaan begitu saja saat melihat wajah penuh beban Dinda.Sementara itu di luar ruangan, Dinda berkali-kali menarik napas dan mengembuskan perlahan. Berusaha mengatur detak jantung yang terasa bagai diremas. Kenapa di saat hatinya tengah gamang seperti ini, Gibran justru mengungkapkan perasaan. Hatinya sedang lemah, tawaran Gibran tadi sangat menggoda imannya. Terlebih lagi Gibran adalah lelaki yang namanya dulu selalu ia sebut dalam doa. Keraguan tiba-tiba muncul dalam hati Dinda, bagaimana jika ini adalah cara Tuhan untuk menjawab doanya. Bukankah terkadang cara Tuhan menjawab doa hambanya salah satunya dengan menundanya. Dinda kembali menoleh ke arah pintu ruangan yang t
Hingga akhir minggu datang, Gibran masih saja tak menampakkan diri. Dinda berhenti bertanya-tanya dalam hati. Lebih baik begitu, jika ia masih bertemu Gibran di saat jiwanya sedang gamang, tentu saja hatinya makin berpihak pada lelaki itu. Dinda tak mau hal itu terjadi. Seperti yang sudah ia janjikan pada Fahri minggu lalu, kali ini Dinda berkemas untuk pulang. Pikirannya kembali berkecamuk, tetapi rindu yang mendominasi. Iya, Dinda rindu pada suaminya yang galak itu. Rindu suara berat Fahri yang ketus, rindu mendengar suara tawa Fahri ketika mereka bercanda, serta rindu aroma dan hangat tubuh lelaki itu saat mereka berpelukan. "Dinda, kamu jadi nyewa mobil ke Jakarta?" Suara Nunik yang baru keluar dari kamar mandi menjeda lamunan Dinda."Jadi, ini sudah mau jalan." Dinda menyampirkan ranselnya ke bahu saat bangkit berdiri."Aku nebeng, dong. Mau reunian sama teman kuliah ku di Jakarta," pinta Nunik dengan wajah penuh harap."Ayo. Aku telpon supirnya dulu minta nunggu sebentar.""Ak
Rasa terkejut dan lelah yang bersatu, membuat Dinda tak beranjak dari duduknya. Bahkan di saat Fahri keluar kamar dengan wajah yang sudah dicukur rapi dan wangi pun, Dinda masih bergeming di tempatnya duduk. Biasanya, Dinda suka menciumi aroma tubuh Fahri saat lelaki itu baru selesai mandi. Namun, kini ia hanya bisa menatap nanar Fahri yang berlalu dari hadapannya. Tak lama kemudian, terdengar suara mesin mobil dinyalakan, keluar dari garasi, dan pergi meninggalkan pekarangan rumah. Fahri pergi tanpa pamit, dan Dinda pun enggan menyusul keluar untuk bertanya. Ah! Ternyata rasanya seperti ini, ujar Dinda membatin. Jauh-jauh pulang, ketika sampai di rumah malah diajak ribut. Mungkin begini perasaan Da Ari setiap kali Nda selalu mencari gara-gara. Dinda masih terus saja meracau di dalam pikirannya.Hampir dua jam Dinda merenung seorang diri, tak beranjak dari tempat ia duduk tadi. Merenungi sikapnya yang juga tak pandai membawa diri. Merasa percuma semua ilmu pendekatan kejiwaan yang ia
Memasuki bulan keempat usia kandungannya, apa yang dikatakan Hendra saat di grup chat dulu terbukti. Sikap menyebalkan Dinda—yang membuat Fahri hampir menyesal dengan keinginannya memiliki anak—mulai mereda. Dinda yang bawel tetapi manis pun kembali."Nda mau dibawain apa nanti kalau uda pulang kerja?" tanya Fahri sembari mengusap perut Dinda yang mulai berisi. "Uda pulang dengan selamat saja, sudah cukup." Benar, kan? Dinda jauh lebih jinak dibanding awal hamil dulu. Senyum manis selalu merekah menghias bibirnya. Kini Fahri mulai bernapas lega. Bayangan indah memiliki momongan pun kembali menari-nari di benaknya."Wa aja kalau nanti mau dibawain apa, uda usahakan pulang cepat.""Nda nggak butuh apa-apa, Uda saja sudah cukup!"Duh! Lama-lama Fahri diabetes dengan sikap Dinda yang kembali manis seperti kembang gula di pasar malam, cerah, berwarna-warni. Sikap manis itu bertahan hingga akhir kehamilan. Bahkan saat hendak melahirkan pun, Dinda tidak berteriak histeris seperti dalam sin
Fahri : Woi! Share pengalaman kalian ngadepin bini hamil. Akhirnya Fahri sudah tidak mampu menahan sendiri rasa frustrasi akibat tingkah Dinda yang akhir-akhir ini makin terasa tak masuk akal dan agak menyebalkan. Tengah malam membangunkan Fahri dan meminta dibelikan mie ayam, di mana tukang mie ayam yang diminta Dinda sudah tutup. "Ya Uda bangunin dong tukang mie ayamnya. Uda kan punya duit banyak, tinggal kasih lebih sama tukang mie ayamnya. Nda kan hamil anak Uda. Mana buktinya Uda cinta sama Nda, minta beliin mie ayam saja Uda nggak mau." Begitu kata Dinda ketika Fahri mengajukan alasan untuk menunda mengabulkan permintaannya. "Bukannya uda nggak mau, Nda. Ini pukul 12.00 malam, yang ada uda dikira maling, emangnya Nda mau uda dikeroyok massa?""Hilih! Dasar Uda lebay." Dan Dinda pun cemberut seharian, meskipun besok harinya Fahri bela-belain pulang kerja lebih awal demi membelikan Dinda mie ayam yang diminta istrinya itu. "Sekarang Nda lagi nggak pengen mie ayam, Uda makan sa
"Maaf, Pak, Bu. Kami sudah tidak menerima pasien baru lagi karena sudah mendekati jam tutup klinik." Kedatangan Fahri dan Dinda di klinik dokter kandungan, disambut wajah penuh sesal resepsionis klinik tersebut. "Tapi ini urgent, Mba!" Fahri masih berusaha menegosiasi. "Kalau kondisi gawat, bisa langsung ke UGD rumah sakit terdekat saja, Pak.""Sudahlah, Uda. Besok saja kita periksa," bujuk Dinda menarik lengan Fahri menjauh dari meja resepsionis. "Kalau buat konsultasi besok, bisa di-booking dulu, Bu." Tatapan resepsionis itu beralih ke arah Dinda yang tampak lebih memahami kondisi. "Iya—""Nggak usah! Kita cari klinik lain saja malam ini," potong Fahri dengan wajah kesal dan menarik Dinda keluar dari klinik. "Ini sudah malam, Uda. Pasti klinik yang lain juga sama, tidak mau menerima pasien lagi," tukas Dinda ketika mereka keluar dari lobi. "Kita cari sampai ada yang mau terima." Fahri bersikukuh. "Nggak mau! Nda capek!" Dinda menghempaskan tangannya yang digenggam Fahri. "Ken
Dinda bersenandung kecil sambil menunggu Fahri pulang kerja. Ia kembali menata ulang beberapa sendok di meja makan yang telah dihias sedemikian rupa. Satu tahun kembali telah terlewati, hari ini tepat tiga tahun pernikahan mereka. Dinda sudah mempersiapkan hadiah untuk Fahri, dibungkus dalam sebuah kotak yang dikasih pita. Dinda membuka kembali kotak tersebut, senyum terkembang indah di bibirnya yang hanya dipoles lip gloss, membayangkan reaksi Fahri saat menerima hadiah yang ia berikan. Saat mendengar suara mesin mobil memasuki garasi, buru-buru Dinda menutup kembali kotak itu, dan menyimpannya ke dalam laci pantry. Ia akan memberikan hadiah spesial malam ini untuk suami tercinta setelah selesai makan malam. Dinda bergegas menyambut Fahri di depan pintu tatkala mendengar suara suaminya mengucapkan salam. "Wah! Masak apa, nih? Wangi banget!" komentar Fahri begitu pintu terkuak. "Nda masak Kalio¹ Ayam favorit Uda." Senyum puas terbit di bibir Dinda. Meskipun sikap Fahri sudah jauh b
Keluar dari ruangan Bianca, Dinda mengeluarkan ponsel, memeriksa pesan dari Fahri, dan mengulas senyum tipis tatkala melihat nama Fahri tertera pada layar ponsel. Gegas Dinda membuka pesan dari Fahri. 14.00: [Nda, sepertinya uda telat jemput. Tadi ada meeting dadakan sama Om Syahrial. Kalau Nda nggak keberatan, naik taksi ke kantor uda.]Baru saja Dinda hendak mengetikkan balasan, suara Fahri dari arah parkiran memanggil. Terlihat sosok jangkung itu tergesa menyusul Dinda ke teras klinik. "Lho, katanya Uda nggak bisa jemput?" tanya Dinda sembari mengulas senyum. "Uda izin sebentar sama Om Syahrial.""Jadi ngerepotin." Dinda tersenyum semringah. Ada hangat yang terasa menjalar tatkala menyadari suaminya itu mengorbankan waktu demi memenuhi janji untuk menjemput. "Nda bisa naik taksi saja, padahal."Fahri merangkul pundak Dinda sembari berjalan beriringan menuju mobil. "Takut Nda nyasar."Dinda mencebik. "Ya nggak bakal nyasar, lah. Tinggal ketik alamat di aplikasi."Dinda duduk deng
Di dalam kamar mandi, jemari Dinda bergetar memegang kemasan plastik yang berisi alat untuk pendeteksi kehamilan tersebut. Takut membelenggu hati Dinda. Ketakutannya bukan tanpa alasan, selama enam bulan belakangan ini, Dinda masih rutin mengkonsumsi antidepresan. Kehamilan ini di luar rencana. Dinda takut obat-obatan yang ia konsumsi selama beberapa bulan ini mempengaruhi janin yang mungkin saja sudah terlanjur hadir di rahimnya. "Nda!" Suara Fahri kembali terdengar dari luar. Panik kembali melanda pikiran Dinda. "Sebentar, Uda! Nggak sabar banget, sih!" Dinda kembali membalas dengan berteriak dan tanpa sengaja, Dinda menyenggol wadah yang telah berisi air seni yang akan digunakan untuk melakukan tes kehamilan tersebut. Tiba-tiba saja kesal melanda hati Dinda. Ia kemudian bergegas ke pintu, memberengut kesal saat melihat wajah Fahri yang hendak bertanya di depan pintu. "Belum!" ketus Dinda sebelum Fahri membuka suara, "katanya di kemasan itu sebaiknya dilakukan pagi hari." Dinda
Lima Bulan Kemudian"Misi paket!" Dinda yang tengah duduk meleseh sambil mengutak-atik laptop di depan meja ruang keluarga, sontak bangkit, menyambar kerudung instan yang selalu ia sampirkan di sandaran kursi ruang keluarga, dan melesat keluar rumah. Kening Fahri berkerut, sudah tak terhitung paket yang datang semenjak ia kemarin ada di rumah. Bahkan di sudut ruang keluarga mereka, masih ada beberapa paket yang belum dibuka. Selama ini Fahri tak terlalu memusingkan hobi baru Dinda berbelanja online, tetapi melihat tumpukan paket yang belum tersentuh itu, membuat rasa penasaran Fahri terusik. Apakah ini salah satu efek gangguan yang diderita Dinda atau memang istrinya itu sedang melakukan balas dendam akibat dulu selalu menahan keinginan untuk memiliki sesuatu. Tak lama Dinda masuk dengan sebuah kotak besar di tangan. Melihat Dinda kepayahan membawa kotak itu, Fahri reflek bangkit dari duduk. Menawarkan diri membawakan kotak itu pada Dinda. "Nda belanja apa lagi ini?" Penasaran, akh
"Nanti Snowy sama siapa di rumah kalau kita pulang kampung, Uda?" Pertanyaan tiba-tiba dari Dinda, membuat Fahri—yang hampir tertidur—kembali terjaga. Meskipun telah menjalani beberapa kali sesi terapi, tetapi Dinda masih saja sering membebani pikiran dengan hal-hal yang terkadang dianggap Fahri tidak terlalu penting. Seperti sekarang, Dinda malah tidak bisa ridur hanya karena memikirkan bagaimana nasib kucing peliharaannya itu ketika mereka berangkat ke kampung nanti. "Titipkan di pet hotel saja," putus Fahri berusaha menyabarkan diri dengan pertanyaan absurd Dinda. Matanya sudah berat, tubuhnya juga sudah lelah seharian dengan berbagai meeting bulanan dan tahunan di kantor dan ATPM¹."Tapi Nda takut Snowy nggak diurus dengan baik." Dinda kembali mengungkapkan kerisauannya. Fahri mengembuskan napas panjang, berusaha menyabarkan diri. Hanya masalah remeh, ia berpikir dengan cepat, mencari jalan keluar yang sekiranya membuat Dinda puas dan tak lagi mengajukan keberatan atas usulnya.
Sekuat tenaga Dinda menahan lututnya yang terasa goyah, tatkala melangkahkan kakinya memasuki gedung yang memiliki 20 lantai tersebut. Tujuannya adalah ke lantai 5 gedung itu, menemui Gibran untuk membicarakan perihal surat pengunduran dirinya yang telah ia kirim satu bulan lalu. Dinda berusaha mengatur napas agar mampu menghirup udara dengan normal. Rasa takut terasa menjalar di sepanjang tulang punggungnya. Dingin, terasa hingga ke tengkuk. Sebenarnya perlakuan buruk yang ia terima selama beberapa bulan bekerja di perusahaan itu, belum seberapa dibanding perundungan yang Dinda terima semasa menduduki sekolah menengah atas dulu, tetapi tatapan dan kalimat intimidasi Vanya, seakan merobek-robek kepercayaan dan harga dirinya. Dinda merasa menjadi manusia tak berguna setiap kali ia melangkahkan kakinya di lantai 5 gedung itu. Di tengah rasa panik yang menyerang, kalimat Bianca kembali terngiang. "Kamu itu berharga, tidak ada yang boleh membuatmu merasa rendah."Berusaha menguatkan hat