Saat menunggu lift menuju lantai di mana kamarnya berada, Dinda bertemu Nunik yang baru turun. Gadis itu terlihat manis dengan balutan sweater rajut berwarna marun dipadukan dengan high waist jeans. Rambut sebahunya tersisir rapi, dan wajahnya dipoles riasan yang cukup tebal. "Eh, Nik! Mau ke mana?" tanya Dinda dengan tatapan heran, penampilan Nunik terlihat seperti hendak pergi kencan. "Pak Syahid ulang tahun, beliau mengadakan pool party, semua trainee diundang. Kan di-share di grup. Kamu nggak baca?" terang Nunik dengan cepat. "Tadi aku juga wa kamu, tapi nggak dibaca. Keasyikan setoran sama suaminya, ya?" todong Nunik sambil cengengesan.Dinda membalas dengan cengiran lebar."Kamu mau bareng, apa mau ganti baju dulu?" tanya Nunik saat mendapati jawaban dari Dinda hanya cengiran saja."Memangnya harus datang, ya?" Dinda saat ini sedang ingin menyendiri. Perasaannya masih berantakan akibat pertengkaran dengan Fahri barusan."Nggak wajib, sih. Tapi yang ngadain Pak Syahid, nggak en
Dinda celingukan, baru menyadari bahwa ia ditinggal sendirian, berdua dengan Gibran tepatnya. Mendadak wajahnya panas saat mengingat percakapan mereka sebelum Gibran datang."Ditanya malah celingukan?" tanya Gibran dengan tawa pelan."Tadi Nda ramean di sini, deh. Kok pada ngilang. Uda ngeliat Nda sama teman yang lain, kan tadi?" tanya Dinda dengan wajah heran.Gibran turut celingukan. Kemudian dia menggeleng. "Nggak, tadi aku ngeliat Nda sendiri aja di sini."Mata dan bibir Dinda membulat, reflek Dinda mengusap tengkuk. "Uda serius?"Gibran mengangguk."Terus dari tadi Nda ngobrol sama siapa?" gumam Dinda dengan wajah pias. Dia yakin yang tadi bersamanya memang benar teman pelatihannya. Lalu bibir Dinda mengulas senyum dengan embusan napas lega, saat mendapati teman-temannya itu berdiri di balik dinding pembatas antara area kolam renang dan servis area."Itu mereka," tukas Dinda menunjuk dengan wajah lega.Gibran hanya menoleh sekilas, tak tertarik dengan mereka yang menyembunyikan d
Fahri memacu kembali mobilnya menuju daerah Puncak setelah mendapat kabar bahwa Dinda kritis. Berbagai pikiran buruk silih berganti memenuhi benaknya. Kemudian kelebat senyum lemah Dinda saat mereka berpisah tadi, membuat ketakutan Fahri semakin menjadi. Bagaimana jika itu adalah pertanda perpisahan dari istrinya. Berkali-kali lelaki di belakang kemudi itu mengusap kasar matanya yang mengabur dan terasa panas. Sesal menyelimuti hatinya. Fahri takut ditinggalkan untuk kedua kalinya, hatinya terlalu rapuh untuk kembali menerima kehilangan.Bulan depan tepat satu tahun pernikahan mereka, reka adegan kenangan bersama Dinda selama hampir satu tahun ini membuat rasa bersalah merayapi hati Fahri. Menyadari betapa buruknya ia memperlakukan Dinda. Bahkan sebaris kata cinta saja enggan ia ucapkan. Lalu bayangan sorot mata Dinda yang penuh harap kembali memenuhi ruang memorinya. Perempuan itu rela merendahkan harga diri demi mengharapkan sebuah pengakuan darinya. Dan dengan brengseknya ia selalu
"Uda pulang dulu," pamit Fahri setelah mengantarkan Dinda kembali ke hotel. Pukul 09.00 Dinda sudah diizinkan pulang setelah kondisinya stabil.Dinda hanya mengangguk dan meluncur turun tanpa berkata apa pun. Bahkan tanpa mengucapkan terima kasih seperti biasa. Kalimat Fahri yang menyalahkannya di rumah sakit semalam, membekas dalam benak Dinda. Melukai jantung dan hatinya. Sebegitu tak berharganya ia di mata Fahri, bahkan ketika ia tengah terbaring lemah di rumah sakit pun, lelaki itu masih saja mengucapkan kalimat tajam. Menyesal Dinda telah meninggikan harapan. Toh, pada kenyataannya, Fahri tetap lah Fahri yang memiliki hati batu. Entah berapa lama usaha yang harus ia lakukan agar hati sekeras batu itu bisa melunak."Nda!" Fahri teringat kembali kejadian kemarin, Dinda juga pergi seperti ini, tetapi kemarin Dinda masih mengucapkan salam perpisahan. Tiba-tiba rasa takut kembali menyerang, bagaimana jika Dinda akhirnya benar-benar pergi tanpa salam perpisahan.Namun, begitu berada di
Lelah menangis, Dinda beranjak ke kamar mandi. Berendam air hangat di bath up, berharap dapat mengurangi penat di tubuh dan hatinya. Ia merenungi perjalanan pernikahan mereka yang baru akan menginjak satu tahun di bulan depan. Apakah pernikahan ini layak dipertahankan jika terus merasa tak dianggap. Entah apa arti kehadirannya bagi Fahri. Namun, Dinda segera menepis rasa putus asanya. Tak ada rumah tangga yang tak diuji, kalimat itu kembali terngiang di benak Dinda. Ujiannya adalah sifat Fahri yang sulit ditebak. Terkadang manis, terkadang bikin meringis. Dinda baru saja selesai mengenakan pakaiannya ketika Nunik masuk kamar."Dinda sudah enakan?" tanya Nunik dengan sorot mata dan nada prihatin. "Sudah, Nik. Sudah mendingan," Dinda mengulas senyum lebar. Seperti biasa ia selalu saja menyembunyikan perasaan kacau balaunya di balik senyuman. "Pak Gibran nyuruh aku nengok Dinda ke kamar, sepertinya dia khawatir banget," tukas Nunik sembari menghempaskan bokongnya di bibir ranjang.Din
"Bukan cuma perasaan Nda, kok. Memang aku ada rasa sama, Nda. Aku sayang sama Nda," balasnya dengan nada santai. Gibran tak lagi peduli dengan status Dinda. Toh, dari percakapan sekilas yang ia dengar semalam, nyata sudah bahwa Dinda begitu menghiba mengemis perasaan pada lelaki yang berstatus suaminya itu. Gibran tak rela, perempuan yang ia cintai sepenuh jiwa itu diperlakukan seperti itu.Dinda terkesiap mendengar kalimat yang meluncur dengan santainya dari bibir Gibran. "Astaghfirullah, Uda. Nda sudah menikah. Nggak baik Uda ngomong kayak gitu," balas Dinda dengan perasaan bergejolak."Apa Nda bahagia dinikahi sama laki-laki yang nggak pernah cinta sama Nda? Perempuan itu kodratnya dicintai, bukan mengemis-ngemis untuk dicintai, Nda!" Kali ini nada suara Gibran mulai meninggi.Dinda berusaha menelan ludahnya yang mendadak terasa kering. Mengerjapkan mata dengan cepat agar bulir hangat di netranya tak luruh. Tenggorokannya terasa tercekat. Dia tidak mengerti dari mana Gibran tau kon
Gibran mengusap kasar wajahnya setelah Dinda keluar dari ruangan. Entah setan apa yang menghasut hingga ia berani menyatakan perasaan pada perempuan yang telah bersuami. Padahal saat Dinda resmi melepas lajang, Gibran sudah bertekad untuk melepaskan Dinda. Akan tetapi, perasaan yang selalu ia tekan, melambung ke permukaan begitu saja saat melihat wajah penuh beban Dinda.Sementara itu di luar ruangan, Dinda berkali-kali menarik napas dan mengembuskan perlahan. Berusaha mengatur detak jantung yang terasa bagai diremas. Kenapa di saat hatinya tengah gamang seperti ini, Gibran justru mengungkapkan perasaan. Hatinya sedang lemah, tawaran Gibran tadi sangat menggoda imannya. Terlebih lagi Gibran adalah lelaki yang namanya dulu selalu ia sebut dalam doa. Keraguan tiba-tiba muncul dalam hati Dinda, bagaimana jika ini adalah cara Tuhan untuk menjawab doanya. Bukankah terkadang cara Tuhan menjawab doa hambanya salah satunya dengan menundanya. Dinda kembali menoleh ke arah pintu ruangan yang t
Hingga akhir minggu datang, Gibran masih saja tak menampakkan diri. Dinda berhenti bertanya-tanya dalam hati. Lebih baik begitu, jika ia masih bertemu Gibran di saat jiwanya sedang gamang, tentu saja hatinya makin berpihak pada lelaki itu. Dinda tak mau hal itu terjadi. Seperti yang sudah ia janjikan pada Fahri minggu lalu, kali ini Dinda berkemas untuk pulang. Pikirannya kembali berkecamuk, tetapi rindu yang mendominasi. Iya, Dinda rindu pada suaminya yang galak itu. Rindu suara berat Fahri yang ketus, rindu mendengar suara tawa Fahri ketika mereka bercanda, serta rindu aroma dan hangat tubuh lelaki itu saat mereka berpelukan. "Dinda, kamu jadi nyewa mobil ke Jakarta?" Suara Nunik yang baru keluar dari kamar mandi menjeda lamunan Dinda."Jadi, ini sudah mau jalan." Dinda menyampirkan ranselnya ke bahu saat bangkit berdiri."Aku nebeng, dong. Mau reunian sama teman kuliah ku di Jakarta," pinta Nunik dengan wajah penuh harap."Ayo. Aku telpon supirnya dulu minta nunggu sebentar.""Ak